’’Membaca dan menulis buku jangan baru diajarkan di perguruan tinggi (yang motifnya sebagai syarat untuk penulisan skripsi), tetapi sejak kelas 1 SD...’’ [Suparto Brata, Kompas (Jatim) 24 September 2005]
UNTUNGLAH --dan sekaligus bisa jadi juga adalah: celakalah-- kita dimanjakan teknologi. Sekolah boleh meminggirkan pelajaran ’Sastra’ termasuk di dalamnya pelajaran menulis (baca: mengekspresikan pikiran, perasaan, gagasan, dengan tulisan). Tetapi telepon genggam, internet, dan sejenisnya ’memaksa’ kita untuk setiap hari ’menulis’. Membuat pesan pendek (SMS), menurut penyair Tengsoe Tjahjono adalah pelajaran ’menulis’ yang sangat efektif.
Lalu, celakanya, jika beberapa waktu lalu Dr Ayu Sutarto memrihatini lompatan budaya lisan, yakni dari kelisanan tahap pertama ke kelisanan tahap kedua dengan maraknya budaya nonton televisi, video, dan sebagainya, dengan teknologi yang makin canggih kita juga akan terbawa arus ke dalam lompatan berikutnya, mungkin bisa kita sebut kelisanan tahap ketiga, ketika pesan tertulis kita pandang sangat menyibukkan dan berbagai peralatan canggih memungkinkan kita cukup dengan berbicara.
Bangsa-bangsa maju tidak punya persoalan dengan perangkat-perangkat canggih, supermodern, karena mereka menjalani prosesnya secara urut, dan tidak ’melompat-lompat’ seperti kita. Mereka telah memiliki tradisi berpikir mantik, logis, urut, analitis. Sedangkan kita, lahir dan terus saja merasa nyaman dalam budaya serta tradisi lisan yang tergolong kacau. Akibatnya, misalnya, kita juga tidak bisa membedakan mana bahasa Indonesia, dan mana bahasa daerah. Sinetron berbahasa Betawi pun kita sangka berbahasa Indonesia. Dan lihatlah, pejabat negara pun banyak yang bahasanya tergolong kacau!
Ketidakmampuan menulis, ketidakmampuan kita membuat buku, mengakibatkan kita hanya sering menjadi objek. Kita adalah pelaku budaya, seniman, kreator, yang karena tidak mampu menulis lalu hanya tampil dengan wajah ’tukang’ atau bahkan ’kuli.’ Yang menjadi subjek adalah orang asing, yang sering kita sebut dengan penuh hormat sebagai warga bangsa maju. Dalam khasanah kebudayaan, sebutlah buku-buku yang berkualitas internasional, misalnya Nusa Jawa Silang Budaya, Santri, Priyayi, Abangan, dan sekian banyak buku tentang falsafah hidup atau pandangan hidup serta keberagamaan orang Jawa, penulisnya adalah orang asing. Tanpa melupakan nama-nama asli orang awak yang telah membuktikan prestasinya sebagai subjek kebudayaan sendiri, kita patut merasa cemas bahwa sebenarnya kita telah menjadi sedemikian mabuk dan merasa gagah walau sebenarnya semakin lemah. Dan kita hanya menjadi manusia seolah-olah, seolah-olah gagah, seolah-olah kreator, seolah-olah pencipta, padahal sebenarnya kita hanya dicekoki remah-remah. Kita merasa gagah meminum ekstrak buah yang diproduksi perusahaan asing, dan melupakan buah segar di kebun sendiri, yang lebih berkualitas. Meminjam istilah orang Jawa, kita sudah keblinger, karena kita masih merasa pinter, padahal setiap saat dibodohi terang-terangan.
Jadi, tradisi menulis itu, jika kita hendak menjadi bangsa yang tidak hanya selalu menjadi pelengkap penderita, mestilah dibangun. Dan ini harus mendapatkan perhatian lebih di dalam pengelolaan pendidikan formal.
Menulis itu indah. Menulis itu menyenangkan. Menulis itu bermanfaat. Bahkan, menulis itu baik bagi kesehatan, lebih-lebih bagi kesehatan jiwa.... []
0 urun rembug:
Post a Comment