Saturday 23 November 2013

NEGERI OPERA SABUN

di negeri opera sabun
rakyat adalah penonton yang kecewa
ada pula yang marah membabibuta
benar-benar marah atau sekadar akting
semua sudah terjual
atau tergadai
yang benar-benar kita punya tiada lagi
juga tontonan di sepanjang hari
di layar di depan dan belakang
atau di samping kanan dan kiri
di negeri opera sabun
para pejabat kehilangan watak
mereka genit dan latah
macam artis kejar tayang
dan sibuk bikin gosip setingan

kewibawaan jadi barang langka
atau telah menjadi fosil
yang terkubur bersama para raja
pada zaman dahulu kala

penonton sudah bosan
tetapi cerita dipanjang-panjangkan
sebab makin ramai tepuk
tangan yang terpaksa menerima recehan

di negeri opera sabun
seperti para pecinta yang gagal
orang-orang malas bertanya
dan menerima segala sebagai kutukan

Sawojajar, 2013
Jawa Pos(Minggu, 24 November 2013)

Thursday 21 November 2013

BERHENTILAH

seperti pengelana pada umumnya
menikmati pemandangan
sepanjang perjalanan adalah bagian dari mengintip surga
maka berhentilah mengajakku bercinta dalam gelap
seperti awan berarak di angkasa
membawa berita yang kadang terlewat begitu saja
ketika kita tidak merasa penting untuk membaca
lalu ketika hujan menderas dan banjir melanda
aku dan kau sibuk berbaku tanya
maka berhentilah merinduiku
sebelum bara mengubah janji menjadi debu


duri setiawan
2013

SENJA

tahukah engkau mengapa hatiku selalu berdebar
saat langit senja memerah menyala?
kecemasan yang datang tiba-tiba
mengingat begini saatnya ketika aku sadar
di sisiku kau tiada
entah pergi ke mana
bahkan aku tak mau bertanya
dengan siapa
merah nyala senja
mengingatkanku pada luka
sebentar mengatup
sebentar menganga


duri setiawan
2013

CINTAMUKAH

itukah cintamu
menggelinding jatuh dari langit biru
pijar bagai bara
mekar bagai bunga
bila boleh kutahu
di manakah ia menyimpan wanginya
bila benar itu cintamu
cintamukah itu
mengalir sepanjang waktu
gemercik lembut mendayu
di bibir ombak aku merindu
timpalah
gulunglah aku
tenggelamkanlah aku

telanlah aku
agar kutahu
cintamukah itu


duri setiawan
2013

PAGI

ini pagi berseri
membawa kabar kesehatan jasmani dan rohani
pohon berdiri dan kembang mewangi
ketika kupegang janji
mempersesat khayal
menindih imaji
ini pagi berseri
burung-burung berdendang
di dahan riang
pikiran segar di hati lapang
ada yang berjanji datang
yang ada berpamit pergi

kulipat sekuplet puisi
agar cepat masak dan tak menjadi basi
dan kuselipkan di antara rambut pagi
diterpa angin berjuntai-juntai

duri setiawan
September, 2013

APAKAH LAGI

apakah lagi yang lebih menyedihkan
ketimbang sepasang pengantin mengering di jemuran
demikianlah muasalnya
lalu mereka memilih lari dari percakapan
menjemukan
mereka ingin segera pulang
bersama sekeranjang kisah
petualangan
apakah lagi yang lebih memilukan
ketimbang simpang jalan
memisahkan tangan yang bergandengan
lalu bimbang memanjang
tak berkesudahan

apalagi yang lebih mengiris
ketimbang gerimis jatuh menimpa
tubuh yang sendiri
di malam yang bengis

duri setiawan
2013

KEHILANGAN

kutangkap aroma kembang jambu
wangi yang belum disempurnakan
pagi menggelinding sendirian
di mana semilir dan kehangatan
bersekongkol menghentikan pengembaraan
seorang kekasih
kabarkan padaku
di mana engkau menganyam rindu
dan kegelisahan


duri setiawan:
Oktober, 2013

CINTA YANG MENUBUH

di lingsir subuh
aku ingin melihat cinta yang menubuh
bukan tubuh yang menyinta
tak akan kubiarkan dirimu terluka oleh jeritan
yang menyayat sekujur kenangan
saat pagi tiba
dikawal seribu pasukan berkuda

kecemasan telah ditaklukkan
kerinduan telah dibakar
aku melihat tali dan tiang gantungan
berubah jadi ayunan
dan bayangmu bermain riang
bersama angin gemilang

tubuh bergerak
semua berarak
menuju siang

cinta yang menubuh
sebentar hinggap
sebentar melayang


duri setiawan: 2013

Monday 11 November 2013

Mengendarai Kuda Lumping*


FOTO: eastjava.com

Kesenian lahir sebagai salah satu bentuk upaya manusia untuk meningkatkan derajat kemanusiaannya, bersama sektor lainnya seperti: sistem kekeluargaan, politik, teknologi. Terutama pada kebudayaan lama, sebelum lahir agama-agama, pada kesenian konon sangat menonjol fungsi komunikasi vertikalnya (baca: komunikasi dengan Yang Maha Kuasa).

Kesenian lahir sebagai bentuk ekspresi, dan karenanya memiliki fungsi komunikasi. Di dalam perkembangannya kemudian, komunikasi horisontal-nya tampak lebih mengemuka. Bahkan, kemudian berkembang pula jenis komunikasi ke dalam; barangkali itu yang dapat kita katakan untuk ciptaan (baca: karya seni) yang kelahirannya didorong oleh paham ”seni untuk seni.” Sementara itu, orang Jawa terbiasa menyebut karya seni sebagai kagunan (ke + guna + an) yang berarti: sesuatu yang bermanfaat. Manfaat yang dimaksudkan di dalam sebutan ”kagunan” itu tentulah bukan sebatas manfaat bagi dirinya (seni itu) sendiri, melainkan juga bagi masyarakat, bagi jagad gedhe (makrokosmos).

Kuda Lumping dan Pasar

Kuda lumping, jaran kepang, atau jaranan merupakan salah satu seni warisan leluhur yang memiliki daya tahan luar biasa. Ketika kethoprak, wayang orang, dan bahkan ludruk menunjukkan tanda-tanda kepunahan, jaranan justru berkembang biak. Fungsi ritualnya mungkin sudah tergerus. Dugaan sementara, jaranan lebih bersahaja, lebih praktis, dan lebih ’murah’ dibandingkan jenis seni tradisional lainnya. Di pihak lain, fungsi ritual secara sadar digeser ke fungsi ekonomi dengan menjadikan jaranan sebagai komoditas dan tunduk terhadap kemauan pasar. Maka, muncullah jenis jaranan campursari.

Ketika jaranan sudah menjadi semata-mata komoditas, beberapa konsekuensi harus dihadapi para pelakunya: (1) tuntutan perubahan bentuk komunitas dari paguyuban ke patembayan, berbadan hukum, agar perselisihan dapat segera diatasi secara hukum, (2) kesulitan membuat format pembagian honor/bayaran yang memenuhi rasa keadilan semua pihak, (3) ketika seseorang atau sekelompok kecil bertindak sebagai juragan, para pemain cenderung hanya menjadi semacam buruh, (4) kesakralannya cenderung hilang, dapat diganti atau hanya sejajar kedudukannya dengan jenis kesenian profan lainnya. Kita memang dihadapkan pada pilihan: mau menjaga jaranan agar tetap menjadi kesenian yang sakral ataukah merelakannya tumbuh menjadi barang dagangan.

Kita patut bersyukur karena memiliki Pak Pamrih dan Pak Muan yang bersama komunitasnya di awal tahun 80-an telah menggali nilai-nilai dalam ritual bersih desa –di tempat lain disebut ”merti desa”—dan mengaktualisasikannya ke dalam bentuk kreasi seni jaranan turangga yaksa seperti kita kenal sekarang ini. Jika benar demikian muasal kelahirannya, para kreator itu tentu tidak pernah berpikir untuk menjadikan turangga yaksa sebagai barang dagangan. Saya yakin, hal itu masih dengan erat dipedomani para penerusnya hingga kini. Oleh karena itu, sebagai pengantar diskusi, tulisan pendek ini akan saya lanjutkan dengan ajakan untuk mengoptimalisasi peran kesenian jaranan –bukan hanya turangga yaksa-- di wilayah Kecamatan Dongko khususnya, bagi penguatan nilai-nilai kemasyarakatan: persatuan, persaudaraan, gotong-royong, untuk ambil bagian dalam upaya memayu hayuning bawana.

Bersih Desa

Ketika mendengar istilah ”bersih desa” pikiran kita biasanya menggambarkan sebuah upacara ritual, membakar kemenyan di tempat-tempat yang dikeramatkan, ndhas kali/mason, dhanyangan, dan sebagainya, dan tak jarang pula sambil memperkuat penolakan terhadapnya. Terlepas dari pro dan kontra-nya, mari kita lihat di sekitar kita, di kampung-kampung, di desa-desa, betapa sumber air banyak yang tidak terurus, mati merana, dan kali-kali, termasuk kalen, dipenuhi sampah. Lebih mengerikan lagi, sampah itu berupa berbagai serpihan atau barang berbahan plastik yang nyaris tak akan terurai.

Mungkin inilah saat yang bagus untuk menafsir ulang atau mendefinisikan kembali ”bersih desa.” Kalau menepikan atau membuang sebuah ranting yang merintang di tengah jalan adalah satu perbuatan baik, pastilah membersihkan sepanjang jalan dari rumah ke kali/belik/mason bernilai banyak kebaikan. Jika kita alergi aroma kemenyan, mungkin ramuan rempah-rempah atau bahan aromatheraphy jenis lain bisa dipakai, sekaligus untuk mengusir nyamuk dan sejenisnya. Pasti tidak ada satu pun sistem keyakinan, kepercayaan, yang menolak kegiatan menanam pohon, membangun dan merawat jalan, merawat sumber air, dan tindakan-tindakan lain dalam kerangka konservasi lingkungan/alam. Di sinilah kesenian tradisional seperti jaranan dapat mengambil peran, ketika kita sepakat mengembalikan ke dalam fitrahnya sebagai kesenian rakyat pengusung nilai-nilai kearifan, dan bukannya mendorongnya untuk memasuki pasar bebas sebagai barang dagangan.

Tidak bolehkah kelompok jaranan menerima upah dari pementasannya? Tentu boleh. Bahkan, pasanglah tarif yang layak! Yang patut disayangkan dan pantas membuat kita merasa kehilangan adalah ketika jaranan menjadi semata-mata barang dagangan, dan seluruh kerja kreatif (penciptaan) berlangsung dengan sepenuhnya tunduk kepada hukum pasar. Kalau ada satu-dua kelompok yang memang secara sadar memilih mengemas jaranan sebagai barang dagangan pun, mereka bukanlah musuh kita. Menentukan pilihan secara sadar itu lebih baik daripada setengah sadar atau bahkan tidak sadar ketika sudah hanyut dan terombang-ambing di atas gelombang pasar.

Zaman terus berubah. Kebudayaan pun terus tumbuh dan berkembang. Orang Jawa punya satu resep untuk bertahan dari gempuran perubahan itu: ”Nut ing jaman kelakone.” Pasti, yang dimaksudkannya bukanlah mengikut membabi-buta, atau pasrah total, hanyut mengikuti arus. Saran atau resep, ”nut ing jaman kelakone,” mestilah kita maknai sebagai sebuah keluwesan yang merupakan buah kecerdasan dan kepintaran kita menempatkan segala sesuatu pada konteks kekinian, sambil terus berupaya melakukan penafsiran ulang, mendefinisikan kembali.

Potensi

Sebagaimana bentuk kesenian lainnya, yang tradisional maupun yang modern, jaranan pertama-tama berpotensi menjadi ruang kreasi dan saluran ekspresi masyarakat, terutama kaum muda. Apalagi jika kita dapat mengoptimalkan peranannya sebagai kesenian tradisional dengan segala ciri khasnya. Tentu harus dimulai dari dalam, secara internal. Para pengurus dan pemain secara intensif tak henti-henti membangun kesadaran interaktif dengan alam (bisa diintegrasikan dengan program latihan) untuk kemudian mengajak masyarakat di sekitarnya untuk menjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

Kita bisa berharap, misalnya, kelak kelompok-kelompok jaranan menjadikan kegiatan merawat sumber air dan penanaman pohon sebagai salah satu syarat yang mesti dipenuhi sebelum sebuah pementasan digelar. Dengan demikian, kita tidak sekadar menjadi agen pelestarian kesenian warisan leluhur, melainkan juga menegaskan fungsinya sesuai konteks zaman (kekinian). Kalau harapan seperti itu dapat kita wujudkan, yakinlah, orang tak akan lagi punya alasan untuk mengolok-olok jaranan sebagai sebentuk kesenian yang ketinggalan zaman. Saat itulah, tanpa harus merasa pongah, kita pasti tampak lebih gagah, mengendarai kuda lumping, sambil menatap masa depan yang lebih cerah. Semoga! [Bonari Nabonenar]

*)Dibuat sebagai pengantar diskusi pada SEMINAR SEHARI DENGAN TEMA
”Menapak Turonggo Yakso masa dulu, sekarang dan masa depan” (6 November 2013)

Friday 18 October 2013

ULAH MANUSIA!

Dulu waktu masih kanak-kanak, masuklah ke dalam rekaman ingatan ini sekian banyak pernyataan dari sekian banyak orang di desa bahwa burung cendet/pentet sangat pandai meniru suara burung lain, bahkan suara ayam dan kucing. Yang dimaksudkan dalam setiap percakapan itu adalah burung cendet liar, yang secara alamiah (suka) meniru-niru suara-suara …lain itu. Sekarang, di kalangan para penggemar burung dikenal istilah master, memaster, pemasteran, burung master, untuk menyebut hal-hal berkaita dengan upaya memperkaya varian suara burung kesayangan dengan memakai ”jasa” burung lain yang dijadikan sebagai master (untuk ditiru suaranya). Burung prenjak, lovebird, burger, cililin, pelatuk, dan banyak lagi jenis burung yang dapat dijadikan master.

Pertanyaan iseng: kalau kita dapat memelihara seekor burung dengan suara semua burung yang ada di hutan/kebun binatang, buat apa kita punya beberapa ekor burung, kecuali untuk diperdagangkan? Lebih ganjil lagi, para juri lomba burung berkicau menilai keragaman suara seekor burung dan member nilai tinggi pada burung yang dapat menirukan suara burung jenis lain secara (hampir) persis dengan kicau burung aslinya. Pertanyaan iseng: Mengapa juri memberikan nilai lebih untuk peniru/plagiat, dan justru memberikan nilai rendah kepada burung yang (kreatif) mengadaptasi kicauan burung masternya?

Demikianlah, para penyayang binatang, dalam hal ini –yang mengaku sebagai-- penyayang burung, telah membuat banyak burung kehilangan jatidiri mereka, membuat para burung tercerabut dari ”akar kultural”-nya. Dan kita hepi-hepi saja?*

Monday 24 June 2013

Menghasilkan Kisah yang Mengasyikkan

Semua orang yang menulis (baca: mengarang) tahu bahwa dalam sebuah cerita terkandung unsur: latar, tokoh, alur –baik dengan pengetahuan yang disadari atau pun tidak disadari. Kesadaran yang terlalu kuat mengenai unsur-unsur tersebut sering justru membuat sebuah cerita tidak padu dan tidak/atau kurang menarik. Saat anda menulis/mengarang, sebaiknya memang semua pengetahuan (baca: teori) tentang tulisan/cerita/fiksi sudah mengendap secara sempurna di bawah kesadaran anda Begitulah, ketika anda mengendarai mobil, justru akan ribet ketika ketrampilan dan pengetahuan anda tentang: mengubah arah (berbelok, berbalik, maju, mundur), mengerem, mengoper gigi persneling, membunyikan klakson, menyalakan lampu, dan lain-lain masih terapung di atas kesadaran. Proses, sebaiknya berjalan spontan. Budi Darma malah mengistilahkan proses kreatifnya sebagai semacam kesurupan. Semuanya berjalan otomatis, dan hasilnya benar-benar bagus.
Apakah dengan proses yang mengalir otomatis itu cerita tidak justru melantur tak karuan, atau tak jelas jluntrungnya? Bisa jadi demikian, jika seorang pencerita memulai pekerjaannya bukan karena dorongan dari dalam, jika ia menulis kejar target, diuber deadline, atau karena desakan-desakan dari luar lainnya. Ketika magma kreativitas itu sudah benar-benar mendidih dan waktunya meledak, maka meledaklah ia sebagai karya baru yang benar-benar segar.
Latar bisa berupa tempat dan/atau waktu yang dilukiskan sedemikian rupa sehingga pembaca bisa menangkap suasana, bahkan seolah ikut merasakan detak jantung, desah nafas, dan berbagai macam perasaan yang berkecamuk pada diri para tokoh yang diceritakan. Karena itu dengan sedikit ketelitian, pembaca akan segera merasakan pula, apakah deskripsi mengenai sebuah tempat, gambaran mengenai cuaca, dan semacamnya hanya sekadar tempelan yang seolah sengaja ditampilkan pengarang untuk mempermanis atau mengulur-ulur kisah ataukah memang tepat sebagai gambaran yang padu dengan bangunan cerita secara keseluruhan.

Penulis pemula biasanya mengawali kisahnya dengan membuat latar dengan deskripsi bertele-tele. Malam dengan bulan penuh bertabur bintang, suara jengkerik, atau pagi hari dengan semburat cahaya dari matahari yang sedang terbit serta kokok ayam sangat disukai banyak penulis, tambah lagi dalam menggambarkannya digunakan kalimat yang liris, tak peduli klise, dan lebih celaka lagi, bisa jadi justru berlawanan atau destruktif terhadap alur cerita selanjutnya. Pernahkah anda membayangkan sebuah cerita yang diawali dengan penggambaran latar cerita bernuansa merdu, riang, kemudian dilanjutkan dengan menampilkan sosok tokoh yang sedang mengalami kesusahan?

Juri dalam sebuah perlombaan (menulis) boleh saja memandang kekarut-marutan cerita seperti disebut dalam paragraf sebelum ini sebagai hasil dari ketidakcermatan penulis/pengarang. Tetapi, persoalan sesungguhnya adalah pada sejauh mana penulis/pengarang menghayati sambil mengendapkan bangunan kisah yang hendak dilahirkannya dalam bentuk tulisan. Maka, sesungguhnya istilah teknis yang lebih tepat adalah penghayatan, pengendapan, dan bukan ”pencermatan.” Ketika pengarang telah berada di puncak penghayatan itu, tidak jadi urusan lagi apakah dia cermat atau tidak cermat. Kembali meminjam istilah Budi Darma, bahkan, pengarang boleh (seperti) kesurupan!

Jika anda membaca cerita-cerita Iwan Simatupang, sebutlah novelnya: Merahnya Merah, Kering, atau Koong, misalnya, anda akan menemukan pula bagaimana tokoh-tokoh yang sedemikian kuat karakternya seperti meledak-ledak membangun ceritanya sendiri. Pada titik ini urusan alur, kronologi, benar-benar tidak penting lagi. Cerita mengalir dengan gaya spiral, kadang melompat ke belakang bagai ninja, kadang berdegup-degup sambil tampak seperti berlari padahal ia masih saja ada di tempat semula. Guru Bahasa Indonesia yang kurang bijak bisa saja memberi nilai rendah untuk garapan alur/plot cerita-cerita Iwan Simatupang. Padahal, pembaca yang berhasil masyuk di dalamnya, akan tidak lagi mempersoalkan plotnya. Sebab dia akan terlalu asyik!
Salah satu yang paling menarik dari Iwan Simatupang adalah: tanpa basa-basi, tanpa pengantar apalagi bertele-tele. Seperti seseorang yang tiba-tiba menggigit bokongmu, selanjutnya mengalir seperti tanpa perlu direncanakan, memaki, atau adu mulut dengan mesra. Kalau ia berkata tentang malam yang gelap, atau siang yang terik itu adalah bagian yang seperti tak bisa ditawar, memang harus dikatakan seperti itu, dan tidak bisa diganti, misalnya dengan "malam remang-remang" atau "siang yang bolong." Jika anda membaca novel Rafilus karya Budi Darma, anda akan menemukan kalimat pertamanya yang tidak hanya begitu menggoda, melainkan sangat mengejutkan, ”Rafilus mati dua kali.” [Kang Ndemun]

Rumah sebagai Barang Konsumsi atau Modal

Kebutuhan dasar setelah sandang dan pangan adalah papan. Yang disebut dengan papan adalah tempat (berkeluarga, beristirahat, berteduh, dan tak jarang juga: berusaha). Itulah rumah. Jika kita mendapatkan sejumlah uang yang sekiranya cukup untuk membangun atau membeli sebuah rumah, pun walau hanya dari jenis yang biasa disebut rumah sederhana, kita bisa membelanjakannya sebagai modal atau sebagai konsumsi. Sama-sama membangun/membeli rumah, ada dua jalurnya: jalur modal dan jalur konsumsi. Banyak orang merantau demi mendapatkan pekerjaan yang layak, lalu memanfaatkan uang perolehannya untuk membangun rumahnya di desa. Ratusan juta rupiah dihabiskan untuk pembangunan rumah itu, dank arena lokasinya yang tidak strategis (jawa: ora madoli) nilainya pun seolah tak pernah bergerak naik dari jumlah yang dihabiskan itu. Kalau disebut tidak pernah naik pasti salah. Persoalannya adalah, apakah kenaikan itu signifikan? Dalam kasus seperti inilah kita bisa menyebut uang telah dibelanjakan untuk barang (rumah konsumsi) dan bukannya sebagai modal.
Berbeda halnya jika rumah yang dibangun itu berada di lokasi yang strategis, atau sekalian membeli dari pengembang (yang membangun perumahan di pusat atau pinggiran kota). Kalau tiga bulan lalu rumah itu dibeli seharga Rp100 juta, misalnya, sekarang bisa saja sudah bisa dijual dengan harga Rp125 juta atau bahkan Rp150 juta. Jangankan berbilang bulan, tak jarang baru beberapa hari saja seseorang membeli rumah (di lokasi yang bagus) orang lain sudah menawarnya dengan selisih harga (lebih mahal) yang sangat menggiurkan.

Di sebuah pinggiran kota Malang, misalnya, sebuah perumahan dibangun menempel dengan kawasan perumahan lama. Harga yang ditawarkan melalui baliho yang dipasang di pintu masuknya adalah Rp160 juta/unit untuk rumah bertipe 36 dengan luas tanah 72 m2. Belum genap setahun, baliho itu masih bagus dan tampak dilubangi untuk menghapus angka yang mengabarkan nilai jualnya, karena ternyata sudah berganti harga (dalam brosur terbaru yang dicetak oleh perusahaan pengembang) menjadi Rp210 juta! Rumah seperti inilah yang dapat kita miliki sebagai barang modal. Artinya, sewaktu-waktu dapat diuangkan/dijual dengan nilai yang lebih tinggi. Potensi keuntungannya cukup menggiurkan. Dan karena itulah banyak orang berinvestasi di bidang properti, memiliki rumah bukan untuk ditempati sendiri, melainkan sebagai barang dagangan.

Kini menjamur perumahan-perumahan baru di tengah-tengah atau pinggiran kota-kota kabupaten. BMI-HK pun tampaknya tak sedikit yang telah menyadari dan memanfaatkan peluang bisnis bidang properti ini. Semoga, termasuk Anda. Salam sadar investasi!*

Donyane Wong Kakehan Omong

Kalungguhane basa Jawa ing bebrayan Jawa bakal tansaya santosa sauger: (1) digunakake ing bebrayan, (2) diwulangake ing bangku pasinaon, (3) ana pakulinan nulis/maca kanthi bukti anane kalawarti kang seger-kuwarasan sarta akeh buku kang kababar. Nanging, Rapat Koordinasi Implementasi Hasil Kongres Bahasa Jawa V di Jawa Timur bersama Masyarakat dan Dunia Pendidikan (Hotel Inna Tretes, 12-14 Juni 2013) kaya-kaya mung dhapur nanggapi bakal tumapake Kurikulum 2013 kang ngiwakake (yen ora entuk diarani: muthes) basa ’daerah’ kalebu basa Jawa ing pamulangan. Apa nanggapi Kurikulum 2013 iku ora penting? Wangsulane: penting banget. Ayo digatekake unine Pasal: 42 ayat 1 UU RI No 24 Taun 2009 ngenani: Gendera, Basa, lan Lambang Negara, sarta Lagu Kebangsaan: "Pemerintah Daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia," kang banjur disusul ayat (2): ”Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan.”

Ing perangan ’penjelasan’ dijlentrehake mengkene: ”Yang dimaksud dengan ’pembinaan bahasa’ adalah upaya meningkatkan mutu penggunaan bahasa melalui pembelajaran bahasa di semua jenis dan jenjang pendidikan serta pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat.”

Kanthi mangkono, satemene UU No 24/2009 iku wis aweh pangayoman kanthi nibakake kuwajiban marang pamarentah (daerah) supaya bahasa daerah kalebu basa Jawa diwulangake ing: semua jenis dan jenjang pendidikan. Yen UU iku ditrapake kanthi bener, kahanane bakal luwih becik tinimbang kang gumelar saiki. Mula, yen nganti pelajaran basa Jawa disuwak saka pamulangan, masyarakat bisa kelah, gugat, lumantar jalur pengadilan kang sumadhiya. Ajamaneh kok nganti nyuwak, yen ana peraturan pemerintah (daerah) utawa naskah kurikulum kang pratela, ”Mulok (muatan lokal) dapat diisi dengan mata pelajaran bahasa daerah,” iku wis kena diarani cengkah karo UU amarga wus ngowahi saka ’wajib’ dadi ’oleh’ (oleh iya oleh ora) utawa: kok iseni basa Jawa karepmu, ora ya karepmu!

Yen pasamuan ing Tretes iku ngasilake rekomendasi kang prasasat 100% sinurung dening para paraga ing donyaning pendidikan formal (guru lan dhosen) bisa ketemu nalar. Keh-kehane sing rawuh pancen guru lan dhosen. Tur maneh, momentum-e ya pas karo swasana rada ’panas’ ngadhepi tumapake Kurikulum 2013 kang dianggep ngiwakake utawa malah nyuthat basa daerah (klebu basa Jawa) saka pamulangan. Rekomendasi saka ’Pasamuan Tretes’ satemene mung dhapur ngambali utawa mbengokake maneh saperangan rekomendasine KBJ V, supaya Pemerintah Provinsi Jawa Timur enggal mangun bebadan kang sinebut Dewan Bahasa Jawa, supaya enggal digawe perda ngenani basa daerah. Kanthi mangkono, senajan Kurikulum 2013 panggah muni: ”Basa daerah kuwi kok wulangke karepmu, ora ya karepmu,” para guru basa Jawa ora prelu kuwatir amarga basa Jawa isih kudu (wajib) diwulangake ing bangku pasinaon, kayadene kang wus lumaku ing Jawa Tengah alelandhesan perda (apa SK Gubernur?). Jawa Barat uga dikabarake wus luwih dhisik yasa lan duwe perda basa daerah (Sunda).

Ancas ngetrapake Kurikulum 2013 tan wurunga ndadekake donyane pendidikan gonjing. Para guru basa Jawa padha protes, lan Mendikbud disemprot saka kana-kene. Senajan wusanane ana pangayem-ayem manawa basa daerah, klebu basa Jawa ora disuwak warasan kanthi (bakal) tumapake Kurikulum 2013, ada-ada gawe kurikulum anyar iki nyata wus nuwuhake padudon kang mesthine ngentekake wragad ora sethithik. Aja dikira yen saben-saben rapat para penggedhe (klebu para gemedhe) ing Jakarta kuwi cukup diwaregi lan diwenehi sangu mbecak.

Tansaya ora produktif, nalika para guru (basa Jawa) banjur padha umyeg merga rumangsa bakal kelangan ”jam pelajaran” ibarate wong tani kelangan sawah lan tegalane. Ora produktif jalaran sabubare KBJ V kang mesthine ngrembug ayahan apa wae kang becik enggal katindakake ing sekolahan apadene ing sanjabane sekolahan, malah sangsaya nglantur olehe padha udreg prekara kurikulum. Mula ing ”Pasamuan Tretes” kuwi Pak Parto (Suparto Brata) kawetu pangunandikane, ”Wis ta, cekake aku ora sah rekomendasi apa-apa, ora sah perda, angger isih diparingi waras-wiris dening Gustiallah mesthi terus taktindakake ayahanku. Apa ayahanku kuwi? Nulis lan gawe buku.”

Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan (Unesa) lan Drs, Amir Mahmud, MPd. (Kepala Balai Bahasa Jawa Timur) wis ngakoni manawa durung ana langkah nyata kang mitayani saka KBJ V. Satemene, luwih nunjem maneh manawa diarani: saka KBJ kang wus dianakake kaping 5 kuwi. KBJ kuwi rak isine wong adu rembug. Yen adu rembug-adu rembug sabanjure kang diarani rapat koordinasi, sarasehan, lan sapiturute kuwi diarani ”tindak lanjut” mesthine dadi hak-e masyarakat, aktivis basa lan sastra Jawa, mitakonake: Banjur olehe tekan ngenggon kapan? Mangga, sinten ingkang badhe paring wangsulan, sadurunge ana usul supaya Pak Suparto Brata mbabar maneh novel Donyane Wong Culika kanthi ngowahi irah-irahane dadi: Donyane Wong Kakehan Omong. (Bonari Nabonenar)

Wednesday 1 May 2013

Hari Buruh dan BMI-HK

Seperti biasanya, tanggal 1 Mei tahun ini (2013) tentunya akan ramai dengan aksi peringatan Hari Buruh di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Hong Kong. Seperti biasanya pula, BMI-HK (Buruh Migran Indonesia di Hong Kong) akan mengerahkan segenap potensinya. Saking banyaknya potensi aksi/kegiatan yang ada di kalangan BMI-HK, bahkan satu hari (tanggal 1 Mei) pun tampaknya adalah waktu yang tidak cukup panjang. Maka, hari libur, terutama hari-hari Minggu, di sepanjang bulan Mei 2013 ini nanti pun tampaknya akan dipenuhi pula dengan kegiatan-kegiatan yang bernuansa peringatan Hari Buruh Sedunia. Festival Sastra Migran III yang jauh-jauh hari sudah dipersiapkan oleh kawan-kawan dari FLP-HK (Forum Lingkar Pena Hong Kong) pun pastilah tidak asal-asalan dijadwalkan di bulan Mei (26 Mei 2013). Berbeda dengan peringatan hari besar lainnya yang biasanya lebih menonjol pertunjukan pesta riang-gembira-nya, peringatan Hari Buruh selalu juga bernuansa perjuangan. Maka, aksi turun ke jalan, meneriakkan protes dan tuntutan mendapatkan momentumnya. Mengapa mesti berteriak? Mengapa protes? Mengapa menuntut? Sebabnya adalah, para pihak, terutama pemegang kuasa dan penentu kebijakan sepertinya tidak pernah benar-benar gelisah, gusar, prihatin, menyaksikan pertunjukan ketidakadilan dan bentuk-bentuk tindakan eksploitatif terhadap kaum buruh. Kebijakan penerbitan KTKLN (Kartu Tanda Kerja Luar Negri) misalnya, yang sejak awal sudah mendapat penentangan, dan terbukti banyak memakan korban itu pun hingga kini masih dilanggengkan.

Kalau mereka menyatakan prihatin, sedih, dan sejenisnya, biasanya itu hanya ketika di depan kamera televisi atau di dalam jumpa pers. Dan mereka tidak cukup hanya dibisiki. Protes, tuntutan, memang harus selalu diteriakkan. Jerit dan tangis yang mengumandang dari penderitaan rakyat sepertinya pun tidak mengalir dengan baik ke dalam rongga pendengaran mereka yang seperti sudah dibuntu oleh ambisi mengokohkan dan memperpanjang masa jabatan!

Selamat hari buruh, kawan!

Wednesday 20 March 2013

RAKYAT*

rakyat adalah kita
yang dipelihara
agar tetap atau makin menderita
agar ada alasan untuk mengunduh
proyek penyejahteraan basi-basa
rakyat adalah kita
kaum yang dijaga agar lemas tak berdaya
agar bisa dibangunkan dengan proyek hura-hura
sambil mengimpun massa
untuk digiring menuju pilkada!

rakyat adalah kita
yang sering bersukarela
diperlakukan bak tikus dicoba-coba
dicekoki model dan car
pembangunan manusia seutuhnya
yang sesungguhnya hanya dibikin
untuk mengeruk sebanyak-banyaknya
harta kekayaan negara agar menumpuk
di rekening mereka

rakyat adalah kita
yang dianggap bisu walau bisa bicara
yang banyak melihat tetapi dianggap buta
yang mendengar tetapi dianggap tak bertelinga

rakyat adalah kita
yang punya suara yang di telinga mereka
macam bunyi uang recehnya

rakyat adalah kita
yang mereka desak turun ke jalan
melalui penggusuran, pemerasan
dan berbagai bentuk kesewenang-wenangan

rakyat adalah kita
daun-daun kering di ladang berbunga
aspal meleleh di jalan raya
makhluk hidup yang mereka lihat sebagai angka-angka



*)terinspirasi puisi Rakyat karya Hartoyo Andangjaya

Thursday 14 March 2013

Sanggar Sastra....

Sanggar Sastra (Jawa) lan Partai (Politik) iku padha-padha wujud organisasi. Klebu bab kang mbedakake: watak lan gegayuhane.

(1)
Partai (Politik)

Partai (politik) diedegake kanggo ngranggeh kekuasaan, amrih bisa gawe utawa melu gawe program mbangun negara. Wong mlebu (dadi anggota/pengurus) partai amrih entuk bageyan kekuasaan, lan saora-orane duwe saluran aspirasi kang cetha kanggo program mbangun negara, klebu mbangun rakyate sing duwe aspirasi kuwi. Saben anggota biasane duwe kartu tanda anggota. Partai kuwi organisasi kang sipate resmi, formal. Ora ana partai kang aweh kalonggaran ing bab keanggotaan rangkap. Jenenge anggota, kader partai, kudu setya mung marang partaine, ora oleh dadi anggota partai A lan uga dadi anggota partai liyane. Wong sing arep mlebu partai biasane wis dunung marang ideologi, visi, lan misi-ne partai. Sok yen ana bengkrik njuk nganti saweneh anggota/pengurus mundur/metu saka partaine, biasane tuking prakara ana ing bab: kalungguhan/jabatan, utawa ora sapanemu karo program utawa strategi aksi-ne partai.

(2)
Sanggar Sastra

Sanggar Sastra diedegake kanggo ngiket paseduluran ing antarane wong-wong kang padha seneng nulis utawa ngarang. Sipate bisa resmi/formal, duwe akta notaris, bisa uga ora formal. Wong mlebu utawa dadi anggota (bisa uga banjur kapilih dadi pengurus) padatane kasurung dening karep entuk kanca sapepadhane pengarang/penulis lan bisa entuk wektu luwih omber kanggo ngasah kawasisane ing bab ulah kridhaning basa/sastra. Grup-grup (Basa/Sastra Jawa) kang digawe ing kacamaya pasrawungan (situs jejaring sosial) iku dakkira bisa uga diarani sanggar basa/sastra Jawa.

Ing jagad maya apadene ing jagad nyata, ora pati keprungu anane aturan: ora oleh keanggotaan rangkap. Si Suta bisa wae dadi anggota Sanggar A lan B. Yen dadi pengurus ing sanggar kene lan uga dadi pengurus ing sanggar kana, mbokmanawa pancen ewuh olehe ngayahi ing jagad nyata. Nanging, ing (sanggar) jagad maya Si Naya bisa wae dadi pengurus (admin) ing pirang-pirang grup kang nunggal sedya.

Wong sing arep mlebu grup utawa sanggar biasane ya wis dunung apa kang dikarepake, digayuh dening sanggar/grup kuwi. Saweneh anggota sanggar (dudu grup ing jagad maya) bisa mundur/metu …angger ana uleman sapatemon ora ngenyangi, upamane merga pindhah ing papan kang adoh banget, ganep ping selikur ngono penguruse rak waleh ngulemi, nanging padatane isih diakoni kadidene anggota. Lagi ora diakoni dadi anggota sanggar, di-mantan-ake, mengko yen wis kumawani padudon karo pengurus sanggar ing ruang publik? Mbokmanawa bisa uga amarga prakara seje.

Yen ing bab mlebu-metune anggota sanggar aku takon, ”Apa bersanggar iku mirip-mirip karo berpartai, ya? –upamaa aku duwe wangsulan genah ora valid. Yen ana conto mung siji-loro wong ninggalake sanggare saperlu dadi ketua ing sanggar anyar utawa nggabung sanggar seje, apa kuwi wis bisa digawe dudutan? Rak ya durung. Mula diprelokake panaliten mirunggan. [ngluwariujar.com]

Sunday 3 March 2013

ANAK SETAN (2)

Ini pagi berkabut. Ombak bergelegaran di laut. Sawah yang telah menguning itu pun tampak sebagai hamparan lautan tanpa tepi, sebab bukit dan gunung-gemunung pun tenggelam dalam kabut. Juga hati tiga orang manusia yang malang itu. Mereka seperti sudah tidak punya apa-apa lagi, tak punya siapa-siapa lagi. Tuhan, mungkin mereka masih merasa punya, tapi dengan kemalangan tak ada ujung yang terus menggilas, keimanan mereka pun jadi semakin gembring. Makin pipih dan begitu rentan. Di mana-mana kabut. Dan mereka merasa seolah dunia benar-benar sudah hampir dikukut, persis bersamaan dengan perasaan adanya kehadiran Tuhan dengan wajah yang seram, yang sedang murka.

”Ayah, ibu, selamat tinggal….”

”Oh, mau ke mana, kau, Nak?”

”Ke mana saja, sampai kutemukan lubang yang pas buatku.”

”Ibu akan selalu mendoakanmu, Nak!”

”Ayah juga. Jangan menangis, Nak. Air mata lelaki akan melunakkan daging dan tulang-belulangmu. Padahal, sebagai lelaki kau harus kuat lahirbatin.”

”Terima kasih, Bu! Oh, Ayah…..!”

”Jalan terus. Jangan pernah berhenti. Dan yang paling penting, lupakan bahwa kau telah mati.”

”Aku berjanji.”

Alung pun melangkah. Ia terus berjalan –kadang juga berlari dan melompat-lompat—dari desa satu ke desa lain, dari satu kota ke kota lainnya. Sering juga dia melintasi desa yang sebelumnya pernah dia singgahi. Kadang ia merasa seperti bermimpi, tetapi semuanya terlalu seru untuk sebuah mimpi. Kadang, memang, Alung benar-benar bermimpi. Bermimpi tersesat di dalam gua di tengah hutan penuh gua batu. Saat ia keluar dan sampai di mulut gua batu yang lain, ia mencicil lega. Padahal tak jarang ia kembali lagi, kembali lagi, ke dalam gua yang sama.

Banyak yang mencoba menahannya, tetapi Alung tak mau berhenti. Ia terus berjalan ketika singgah, bahkan ketika sedang bermimpi. Alung jalan terus, membawa tubuh sendiri. Membawa mayatnya sendiri. Walaupun, sebenarnya, sangat sulit baginya untuk melupakan bahwa sesungguhnya dirinya telah mati.

Disambar Mobil

Alung berjalan menyusur gelap. Diguyur hujan lebat. Dia kini ada di sebuah kota. Di kota yang sibuk. Sangat sibuk. Semua seperti berlari, dengan kesombongan sendiri-sendiri. Alung lagi tak bisa berlari, bukan karena dia telah mati. Dia cuma bisa jalan, kini. Dia sedang melenggang di jalan tergenang ketika tiba-tiba sebuah mobil menyambarnya. Mobil itu sedang melaju sangat kencang ketika tiba-tiba menyambar Alung. Anehnya, sedan merah hati itu cepat berhenti. Si pengemudi segera keluar dari mobilnya dan menghambur ke arah Alung yang sedang terkapar.

”Oh!”

”Kamu berjalan terlalu ke tengah, sih! Mau bunuh diri, ya?”

”Aku sudah mati.”

”Mari!”

Alung merasakan tangannya ditarik, dan dia mencoba bertahan.

”Cepat lari!” perintah Alung.

Pengemudi itu seorang perempuan muda. Seandainya peristiwa itu terjadi di pagi hari yang cerah, tentu Alung akan menyaksikan betapa cantik perempuan yang baru saja menyambarnya dengan sedan merah hatinya itu. Dan bisa jadi Alung akan mengikuti apa maunya, bukan menolaknya seperti itu.

”Aku tidak apa-apa,” kata Alung lagi. “Cepat lari, kalau kamu tak mau ditangkap polisi!”

”Apa katamu?”

”Oh!”

”Syukurlah, kamu masih bisa berdiri. Ayo, masuk ke mobil!”

”Ke mana?”

”Rumah sakit.”

”Kau dengarlah kataku: Aku sudah mati!”

”Oh, ayo! Cepat. Kamu gegar otak!”

Keinginan Alung untuk menentang perempuan itu pun surut seketika. Dia pasrah dan menurut. Masuk mobil, melesat ke rumah sakit terdekat. Hujan semakin lebat.

”Bagaimana, Dok?” tanya perempuan itu dengan nada cemas yang sangat kental.

”Oh, tak apa-apa. Hanya lecet saja. Sebentar lagi juga sudah boleh pulang.”

”O, ya?”

”Coba saja lihat!”

”Mobilku menyerempet dia ketika sedang melaju kencang. Betapa saktinya dia, jika memang cuma lecet saja.”

”Oh, saya pikir dia……”

”Mmm, bukan, Dok. Dia orang lain.”

”Baik, baiklah.” [bersambung]

Saturday 2 February 2013

Anak Setan [1]

Novel: Oeing Ling

Pengantar Redaksi: Pembaca yang pedulian, mulai edisi 82 (Februari 2013) ini Majalah Peduli menyuguhkan cerita bersambung berjudul Anak Setan. Seutuhnya adalah kisah tentang duka-lara seorang manusia yang terbuang dari masyarakatnya. Percayalah, Oeing Ling menggarap kisah ini dengan cara yang berbeda dengan kisah-kisah sedih a la Sinetron Indonesia!


illustrasi dipotong dari lukisan RIHAD HUMALA


Alung berjalan menyusuri pematang sawah. Padi sedang menguning, menyebarkan keharuman yang amat khas, digiring angin semilir. Pagi itu sangat bening. Kehangatan matahari pagi sungguh telah meningkatkan gairah para petani. Beban kehidupan yang semakin menindih pun seolah malah makin mengasyikkan. Keindahan garis-garis pematang, padi menguning dengan keharumannya yang sangat khas, desau angin ditingkah nyanyian pipit, dan kehangatan matahari pagi itu, samasekali tak mampu menyentuh wilayah keharuan dalam perasaan Alung. Atau, barangkali, Alung sudah tak lagi sempat menerima sentuhan-sentuhan keindahan dan kenikmatan itu. Pikiran dan perasaan Alung sedang kacau. Bahkan, sering ia merasa sedangberada di puncak kegetiran hidupnya.

Malahan, mungkin, sistem pikiran dan perasaan Alung telah benar-benar rusak. Seperti komputer yang lagi hang, karena ia terlalu sibuk memikirkan kematian itu, yang tak lain dan tak bukan adalah kematiannya sendiri.

Alung telah mati. Memang, dia masih berjalan dengan tubuhnya sendiri yang masih berdarah, berdaging. Sungguh tragis. Sepuluh tahun yang lalu dia roboh menimpa pangkuan ibunya. Tiga tubuh terkapar di pagi yang masih gelap itu: tubuh Alung dan kedua orang tuanya.

”Ayah, Ibu, bangunlah! Ayo, matahari sudah naik!”

”Oh, anakku! Kau masih hidup, Nak?”

”Anakmu sudah mati, Bu….! Sudah mati!”

”Tapi…..?”

”Yang Ibu lihat cuma bayang-bayang.”
Kata-kata Alung meluncur mendatar. Sedatar pandangnya yang jadi kosong akibat terlalu banyak hal berkelebat di dalam angan-angannya sendiri. Nada yang datar, tapi justru semakin memperkuat efek puitis kalimat itu. Dan pertemuan keluarga itu sungguh sangat teatrikal.

”Oh, mengapa bukannya kita saja yang mati: aku dan kau? Mengapa harus anak kita yang tak tahu apa-apa ini?” Ayah Alung protes. Kepada dunia yang diyakininya sudah terlalu tidak waras. Dunia yang sudah sangat gila. Bahkan, kepada Tuhan.

”Bersabarlah. Kita memang selalu terlambat menyadari kehendak Tuhan. Suatu saat nanti, pasti kita akan tahu mengapa semua ini harus terjadi,” kata-kata ibu Alung menukik dan sampai pada sasaran secara sangat akurat, padahal diucapkan dengan tenaga yang sangat pas-pasan. Suaranya serak dan lirih. Begitu lirih, tapi lebih dari cukup untuk membuat seluruh jiwa raga ayah Alung bergetar hebat.

”Ya, sekarangpun aku tahu. Barangkali inilah hukuman yang setimpal bagi kita. Ini semua tentu lebih berat, jauh lebih berat daripada kematian kita sendiri. Tapi, apa pula yang tertimpakan kepada anak kita ini? Hukuman? Hukuman atas tindakannya yang mana? Jangankan berbuat, berpikir untuk hal-hal yang jika lalu dilakukaknnya berarti melanggar hukum pun aku yakin tidak pernah. Anak kita terlalu bersih. Dia tidak berdosa, setidaknya untuk dikenai hukuman seberat itu. Cobaan? Jika dengan begitu dia harus berdiri tegak lurus dengan maut, masihkah kita dapat menyebutnya sebagai sebuah cobaan? Ah, yang bener aja! Inilah akibatnya jika orang-orang mabuk --bahkan orang-orang gila-- diberi kesempatan menggenggam kekuasaan. Inilah bencana. Setidaknya buat orang-orang kecil macam kita. Mereka menimpakan bencana bagi kita, dan percayalah, dengan begini sebenarnya mereka telah memintal tali yang akan menjerat leher dan menggantung mereka sendiri. Sebab Tuhan tak akan membiarkan mereka. Sebab dibuat berkeping-keping pun dunia akan tetap waras. Orang-orangnyalah yang gila.” Begitu, ayah Alung seperti kesurupan. Kalimat-kalimatnya meluncur deras, mirip-mirip sebuah editorial, atau sebuah esai yang disusun dengan emosi yang sangat kental.

”Sudahlah,” ibu Alung kembali membijaki.

”Tidak. Sampai mati pun aku akan terus bertanya!”

”Berteriak sampai serak pun suara kita hanya akan memantul kembali ke dalam telinga sendiri. Kita ini tak lebih dari narapidana yang dikerangkeng di dalam tubuh sendiri.”

”Sedangkan anak kita ini, tak lebih dari terpidana mati yang harus mengusung mayat sendiri ke lubang kubur yang tak karuan di mana tempatnya itu.” [bersambung]

MENILAI KEMATANGAN SEORANG PENJUAL

Pengantar:
Dalam sebuah grup jual-beli hewan (tertentu) di Facebook, beberapa kali saya jumpai penjual bersitegang dengan calon pembeli gara-gara si calon pembeli mengajukan tawaran (harga) jauh di bawah banderol yang dipasang. Tetapi, tak sedikit pula penjual mereaksi jhal yang sama justru dengan kalimat yang ramah, segar, kadang juga setengah berkelakar. Itu cara yang sangat cerdas untuk menguapkan energi negatif, bukan? Pada suatu kesempatan, saya pun menulis komentar yang terlalau panjang, seperti berikut ini (sudah disunting sekadarnya).


Alangkah indahnya jika semua penjual tidak gampang tegang ketika menghadapi calon pembeli yang menawar jualannya dengan angka yang sangat jauh dari yang dipatoknya. Atau setidaknya: tidak menampakkan kemarahaan atau ketersinggungannya.

Jika kita mau sejenak berempati kepada si hewan, pada satu titik kita akan sadar bahwa derajatnya tidak ditentukan oleh seberapa mahal harga jual maupun belinya, melainkan bagaimana ia dipelihara, dirawat, dan dibinatangkan dengan baik.

Jika ada penjual gampang tersinggung dengan penawaran yang terlalu rendah, saya lalu teringat oleh cerita rakyat yang saya lupa judul dan sumber aselinya, yang secara ringkasnya begini:

Pada suatu hari Si Denun pergi ke pasar menuntun seekor kambing, hendak menjualnya. Pada saat yang sama, ada tiga orang (A, B, dan C) yang sudah berbagi tugas untuk mengerjai Denun.

Belum jauh dari rumah, Denun yang menuntun kambingnya itu dicegat A, yang serta-merta menyemprotkan kalimat ini begitu Denun sudah sangat dekat dengannya, ”Anjing siapa ini, Nun, setahuku selama ini kamu tidak memelihara anjing!”
--Catatan: bahwa sekarang bisa ada seekor anjing yang harganya berlipat-ganda dibandingkan seekor kambing, itu soal lain. Tampaknya ketika cerita aslinya dibuat, harga kambing jauh lebih mahal daripada anjing.

”Emang kamu sudah katarak, ya? Ini kambing, bukan anjing!” Denun balik menyemprot.


”Kamulah yang katarak! Coba, sebentar lagi kan menggonggong. Kalau tidak percaya….. biar saya pukulnya, ya?”

”Ayo, coba saja!” Denun menerima tantangan si A.

Maka, A memukul kambing yang tampak terbengong-bengong itu dengan pentungan yang sudah disiapkannya. Kaming itu pun terkejut dan mengembik.

”Nah, menggonggong, kan?”

”Itu tadi mengembik, bukan menggonggong. Telingamu tidak beres, kali!”

”Menggonggong!”

”Mengembik!”

”Menggonggong!”

Sadar bahwa pasar masih jauh dan keburu bubar ketika ia datang, Denun nyelonong saja meninggalkan A yang juga sudah tampak tak bersemangat lagimenggodanya. Lebih tepatnya: mengerjainya.

Tetapi, tak lama kemudian Denun harus berhadapan dengan B, yang lagi-lagi dengan penuh percaya diri menyebut binatang yang dituntunnya sebagai: anjing. Pikirannya pun mulai goyah. Tetapi ia masih bertahan, setelah melalui perdebatan yang cukup sengit pula seperti dengan si A tadi.

Giliran terakhir, dicegat C, pikiran Denun benar-benar ambruk. Dia khawatir dan menyangsikan kewarasannya seperti dikatakan C, ”Duh, kasihan kamu nanti kalau orang sepasar raya menertawakanmu dan menganggap kamu sebagai sudah tidak waras lagi.”

Maka, Denun menyerahkan kambingnya ke C dengan harga seekor anjing. Artinya, sangat murah!

Demikianlah Saudara! Terima kasih.

Thursday 31 January 2013

UDAN

satemene aku ora mentalan
yen kowe gelem aweh dalan
ing kitir kang takgawa saka prepat kepanasan
kacetha atur pambagya lan kabar suka marang bumi kelairan
marang manungsa
marang kewan lan thethukulan
lan kabeh kang njegreg apadene kang gegremetan

tansah semayan
aku ora teka salah papan
kowe sangsaya aleman

yen prabu rama sawadya mbendung samodra agawe dalan
kanggo mbrastha watake buta yak-yakan
kowe nawu segara kanggo nggedhekake wetenge buta

yen anoman njabel gunung
kangggo nyampurnakake patine si dasamuka ya rai sepuluh
saiki alas bosah-baseh gunung jugrug mung kanggo
njembarake raimu!

Nggalek, Januari 2013



KOMENTAR:


satemene guritan iku uga sawijine piranti kanggo ngabarake. ngabarake rasa lan angen-angene penggurite. kadidene sarana kanggo ngabarake, guritan kudune duwe cara seje, beda karo cara kang digunakake dening alat pekabaran liyane (upamane warta ringkes ing kala-/ari-warti).

ajamaneh karo "warta ringkes", selagine karo golongane anggitan kaya ta crita cekak, sandiwara (teks/naskah) wae ya kudune beda. Cethane, upamane, guritan kuwi dudu pedhotan crita cekak, utawa pawarta saka koran, kang merga ditulis kanthi tatanan aksara (tipografi) kaya salumrahe guritan wae banjur diarani guritan. malah kosokbaline, ana guritan kang becik tunilis kanthi tipografi kayadene gancaran.

tegese, kang marakake sawijining guritan dibiji becik iku ora amarga tipografine, uga ora saka akehe kedadeyan: tiba pas dhong-dhinge suwara (guru lagu), nanging amarga pangrakiting tembung dadi ukura gurit kang pancen seje, khas. kakehan tiba ing dhong-dhinge suwara kaya guritan ndhuwur iki malah ora beda karo sayur, jangan, kakehan uyah. dadine rak kasinen.

amarga pangrakiting tembung kanthi ngerigake sakehing piranti, wirama, wilangan, dhong-dhinging suwara, pralambang, pasemon, personifikasi, sanggit, lan liya-liyane (bapak/ibu dhosen lan para mahasiswa/i mesthi isih apal kabeh kuwi) padatane banjur ora sadhengah pawongan bisa enggal nampa "kabar" kang winartakake dening sawenehing guritan (kang becik). --saka kene wae wis bisa katitik manawa guritan "UDAN" iku klebu ewoning guritan kang ora becik, ora bisa ngadeg jejeg kadidene guritan, ananging mung kayadene tugelan pawarta kang ditata tharik-tharik saemper guritan.

sumangga

Saturday 5 January 2013

Membangun Bisnis Berjaringan dari Nol*

Barangkali memang kita sudah memasuki zaman ultramodern. Ketika jaringan internet merambah hampir seluruh permukaaan bumi, saya lebih suka menggambarkan keadaan ini sebagai: ketika ’nyaris’ setiap orang memiliki azimat Cupu Manik Astagina (CMA) dan atau aji pameling.
Seperti digambarkan dalam kisah Ramayana (edisi yang lebih menarik untuk pembaca sekarang mungkin adalah yang telah di-roman-kan oleh Sindhunata dengan judul Anak Bajang Menggiring Angin, Gramedia (1983). Dalam jagad pewayangan (kisah Mahabarata dan Ramayana) aji pameling maupun azimat CMA itu hanya dimiliki oleh para dewa/dewi dan beberapa gelintir wayang biasa yang terpilih. Dalam kisah Ramayana, salah seorang wayang biasa yang terpilih untuk memiliki CMA ialah Dewi Anjani, putri Resi Gotama yang menikahi seorang (eh, sewayang) bidadari bernama Dewi Windradi.

Pada suatu hari, Dewi Windradi memanggil putri kesayangannya itu dan memberinya hadiah berupa CMA. Tetapi, dua saudara: Sugriwa dan Subali juga sangat ingin memilikinya. Tiga wayang bersaudara itu lalu terlibat pertengkaran memperebutkan CMA. Resi Gotama yang menjadi gerah dengan pertengkaran itu meminta paksa CMA dan melemparkannya, menjelma telaga, dan ketika ketiga wayang bersaudara itu menceburkan diri ke dalamnya, mentas sudah dalam wujud baru mereka: kera!

Apakah keistimewaan CMA sesungguhnya? Para dalang sering menggambarkan sebagai benda azimat yang dapat digunakan untuk menerawang sudut paling tersembunyi sekalipun di muka bumi, bahkan dapat digunakan untuk memanggil para dewa dan para dewi. Bukankah gambaran singkat itu (kalau mau lebih jelas ya baca bukunya) mengarahkan kita kepada pemahaman mengenai khasiat teknologi komunikasi yang bernama jejaring internet ini? Bukankah internet juga memeliki potensi luar biasa untuk melakukan kebaikan dan sebaliknya pula: menyimpan potensi luar biasa untuk melakukan kejahatan?

Pada suatu waktu, ada kawan membuka usaha dadakan, menjual paket (jajanan) lebaran untuk dikirimkan ke alamat yang dituju pemesan dari dalam maupun luar negri –dengan lingkup alamat tujuan pengiriman dibatasi hanya di dalam negri, Indonesia. Transaksi dilakukan secara langsung (uang kontan) maupun secara online/transfer. Beberapa kawan di luar negri membantu menyebarkan selebaran iklan dan/atau transaksinya, namun pusat layanannya (pemaketan dan pengiriman) dilakukan dari satu titik, sebuah kota di Jawa Tengah. Padahal, hampir semua paket harus dikirim ke seluruh Jawa, terbanyak justru ke pelosok-pelosok Jawa Timur, lalu Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sebagian besar paket dikirim melalui jasa pos, dan sebagian lagi dikirim langsung. Permasalahan timbul terutama akibat derasnya arus kiriman (melalui pos) menjelang lebaran, sehingga konsumen gelisah ketika hari Lebaran makin dekat dan barang yang dipesan belum tiba di alamat. Akhirnya, demi citra layanan yang bagus, pengiriman langsung dilakukan tidak hanya di daerah Jawa Tengah (yang dekat dengan pusat layanan), melainkan juga untuk wilayah-wilayah pelosok Jawa Timur, bahkan armada antar langsung masih harus beroperasi pada hari ke-2 lebaran. Memang ada beberapa orang sukarelawan di beberapa kota kecil. Tetapi, upaya menemukan dan memilih jalur paling tepat menuju alamat tampaknya terkendala oleh tiadanya posko-posko layanan di tiap kabupaten.

Potensi BMI-HK

Jumlah BMI-HK yang berada pada kisaran 140 ribu – 150 ribu orang adalah potensi yang sangat luar biasa untuk menggalang solidaritas dan membuka usaha/bisnis bersama. Potensi itu didukung oleh faktor-faktor antara lain: (1) adanya hari libur setidaknya sehari setiap pekan (walau faktanya tidak seluruh BMI-HK dpat menikmatinya), (2) adanya kesempatan akses komunikasi global, (3) banyak/seringnya diadakan pelatihan, workshop, sarasehan tentang kewirausahaan di HK, (4) persebaran daerah asal yang luas, dan yang tidak kalah pentingnya adalah (5) kelonggaran yang dibuka oleh Pemerintah Hong Kong bagi BMI untuk berserikat/berkumpul, sehingga organisasi/komunitas termasuk sanggar-sanggar kesenian tumbuh subur di kalangan BMI-HK.

Hari libur yang dinikmati sekian banyak BMI-HK memungkinkan mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan diri: berkuliah, mengikuti sarasehan, pelatihan, dan lain-lain, baik yang diselenggarakan opleh lembaga formal maupun nonformal, termasuk membangun organisasi/komunitas, resmi maupun tidak resmi.

Yang dimaksudkan dengan kesempatan untuk akses komunikasi global adalah fakta bahwa hampir semua BMI-HK (?) memiliki perangkat komunikasi: ponsel, komputer tablet, laptop dan sejenisnya yang memungkinkan mereka bisa terkoneksi dengan jaringan internet sehingga bisa terhubung dengan kenalan, sahabat, sanak-famili yang berada ”di mana pun” sejauh masih di muka bumi.

Kesempatan untuk upaya pengembangan diri melalui pendidikan dan pelatihan secara formal maupun nonformal adalah faktor penting yang memungkinkan BMI-HK (seharusnya) lebih siap untuk menghadapi masa depan dengan semakin produktif setelah tidak lagi menjadi BMI.

Persebaran daerah asal yang luas, memungkinkan dibentuknya ikatan untuk menuju pembentukan badan usaha bersama (di bidang wirausaha) dengan jaringan setidaknya mencakup seluruh pelosok Jawa, mengingat jalur padat asal BMI-HK terbentang antara Cilacap hingga Banyuwangi. Coba mari bermimpi, seandainya bisa (dimulai) dibentuk jejaring komunikasi antar-BMI-HK yang tiap kabupaten/kota di Jawa terwakili, itu sudah merupakan modal sosial yang tidak ternilai. Jawa Timur saja memiliki 38 kabupaten/kota. Belum Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Barat.

Nah, kini mari disederhanakan atau jumlahnya kita perkecil menjadi 50 kabupaten/kota. Maksudanya, komunitas memiliki anggota yang dapat mewakili 50 kabupaten/kota di Jawa. Jika ikatan itu dapat diperkokoh dan bersepakat membangun usaha bersama, ambil contoh buka gerai cinderamata dan berbgai jenis barang kerjinan seperti dibuat oleh kawan-kawan kita yang tergabung di dalam komunitas Karindo (Karya Srikandi Indonesia) itu. Memiliki gerai cabang sejumlah 50 itu sungguh luar biasa. lho! Jika itu dapat anda wujudkan, anda bukan hanya berhak menyandang gelar pelopor, tetapi anda juga telah melakukan sebuah lompatan besar yang dapat pula disebut sebagai sebuah revolusi.

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sarana teknologi komunikasi, apa yang sudah dilakukan kawan-kawan, BMI-HK, dengan mengembangkan situs jejaring sosial di Facebook dengan nama: BHSI (BMI-HK Sadar Investasi, BBM (BMI Bersatu Maju), sesungguhnyalah sangat potensial diarahkan menjadi gerakan perubahan besar-besaran dalam tempo cepat, sebuah revolusi buruh migran yang digerakkan oleh buruh migran sendiri. Sebuah revolusi tanpa setetes pun darah. Keringat? Itu pasti! Dan kekuatan terbesar yang mesti digelindingkan sebagai bola salju, sebenarnya adalah: keinginan untuk maju bersama-sama.


Rekening Bersama

Rekening bersama bisa diartikan sebagai rekening (bank) atas nama perseorangan (individu) yang di dalamnya tersimpan uang milik beberapa orang untuk keperluan tertentu yang disepakati bersama. Misalnya, untuk membeli sesuatu alat/barang secara urunan, untuk keperluan sosial yang bersifat insidental, dan sebagainya. Tetapi, akan lebih tepat jika untuk keperluan-keperluan semacam itu dan akan berlaku dalam jangka waktu yang panjang, dibuka rekening bersama yang benar-benar atas nama lebih dari satu orang. Konsekuensinya, ketika akan menarik tunai secara manual, bukan melalui ATM (anjungan tunai mandiri), harus atas persetujuan semua, dua/tiga orang, yang terdaftar sebagai pemilik/kuasa atas rekening itu.

Salah satu kegunaan rekening bersama adalah adanya jaminan (setidaknya saksi) serta pihak/orang/teman lain yang dapat memberikan rekomendasi sebagai jaminan bahwa pihak yang kita ajak bertranskasi memiliki jejak rekam yang baik. Rekomendasi yang lebih akurat lagi tentu adalah pihak/orang yang secara geografis/fisik maupun batin dekat (misalnya teman baik) dengan pihak yang direkomendasikan. Dengan kata lain, seseorang hanya dapat merekomendasikan pihak lain yang benar-benar dikenalnya dengan baik, dan ia yakin bahwa pihak yang direkomendasikan itu tidak akan berbuat curang.

Rekening bersama ini antara lain dipakai oleh para penggemar musang yang persisnya bernama Musang Lovers Indonesia (MLI). Baru bulan lalu MLI mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) dan dibentuk kepengurusannya, menyusul dibentuknyaMLI di daerah-aerah, beberapa kota: Surabaya, Mojokerto, Depok, Tangerang, Banten, Yogyakarta, Semarang, Lamongan, dan lain-lain. Lalu seorang yang dituakan (bukan yang menjabat ketua) ialah Ted Hartanto, menawarkan rekeningnya untuk dipakai bersama dalam hal ”jual-beli” musang. Dibubuhkan tanda petik pada istilah ”jual beli” itu karena untuk menghormati musang yang mereka cintai disepakati penggunaan istilah penggantinya yaitu: adopsi (pelepas adopsi = penjual, penerima adopsi = pembeli).

Cara kerjanya, calon pembeli musang menyetorkan uang seharga musang yang hendak dibeli ke rekening bersama itu. Ketika terjadi deal harga, dari rekening bersama itu baru ditransfer ke penjual. Pada saat yang relatif sama, penjual mengirimkan musang/hewan yang dijualnya melalui jasa pengiriman hewan, ada beberapa perusahaan yang melayani ini. Transfer dari rekening bersama ke panjual itu dilakukan setelah mengetahui (dengan catatan/rekam jejak maupun menanyakan langsung ke sesama angota MLI yang bertempat tinggal tidak jauh atau bahkan mengenal langsung dengan si penjual). Dengan demikian, ruang untuk terjadinya tindak kecurangan dipersempit atau bahkan ditutup samasekali.

Menariknya, di jejaring sosial Facebook, dibentuklah grup untuk para penggemar musang (MLI) yang anggotanya terdiri atas para pemelihara (sebagai hobi), penangkar untuk diperdagangkan, pemelihara/penangkar untuk ”mesin penggiling” kopi yang menghasilkan kopi luwak, dan para pemilik petshop/penjual. Selain ada grup MLI (Musang Lovers Indonesia), di buat pula Grup RAMLI (Rumah Adopsi Musang Lovers Indonesia), di samping itu ada pula grup DPO (Daftar Pencarian Orang). Grup yang disebut terakhir itu digunakan untuk memasang daftar para penjual/pembeli nakal dan mendiskusikannya. Kadang pihak yang disebut-sebut sebagai menipu, termasuk mengulur-ulur pembayaran atau pengiriman hewan menyalahi kesepakatan awal, ikut nimbrung dalam diskusi membeberkan alibinya.

Membangun Jaringan

BMI yang berpikiran jauh ke depan sudah seharusnya memiliki obsesi ini: membangun jaring pertemanan/persahabatan yang tidak sekadar kenalan biasa, melainkan dengan ikatan seperti sebuah keluarga besar, dengan solidaritas yang kokoh. Dan seperti sudah jadi pengetahuan bersama bahwa BMI adalah objek yang biasanya ’dieksploitasi’ sekian banyak pihak: lembaga resmi, tidak resmi, maupun perorangan, terutama berkaitan dengan bidang ekonomi yang notabene dapat disebut sebagai masalah bersama. Bukankah menjadi BMI adalah pilihan untuk mendapatkan upah yang lebih baik daripada yang mungkin didapatkan di dalam negri?

Di luar negri, orang/pekerja bisa mendapatkan jumlah uang yang lebih banyak. Tetapi, satu persoalan besar yang disadari atau tidak adalah, arus balik uang yang didapat itu juga sangat deras. Sebegitu derasnya hingga tak sedikit BMI gagal mengendalikannya. Bukankah banyak BMI justru masih meminjam ke bank atau lembaga keuangan di luar bank untuk belanja konsumsi, bukan untuk belanja modal? Pada akhirnya, seperti kita ketahui bersama, BMI adalah pasar yang sungguh empuk bagi para penjual, yang tak henti-henti menggelontorkan barang-barang dan jasa mereka, dari yang berupa alat kecantikan, pakaian, barang-barang elektronik, termasuk pulsa ponsel.

Cobalah jawab pakai perkiraan saja pertanyaan berikut ini. Dari 140 ribu – 150 ribu BMI-HK itu berapa orang yang menggunakan ponsel (telepon selular)? Ambil rata-rata angka paling rendahnya, berapa dolar (HK) pengeluaran tiap pemilik ponsel/bulan? Itu belum termasuk, jika beberapa anggota keluarga di kampung halaman pun dapat jatah pulsa dari Hong Kong, rutin maupun tidak rutin. Berapa sepeda motor dibeli BMI-HK dalam setahun untuk anak atau suami atau adik/kakak/orangtua di kampung halaman? Berapa HKD dikirim oleh BMI-HK ke kampung halaman? Lalu ke manakah aliran selanjutnya uang kiriman itu? Berapa banyak digunakan untuk belanja modal: sawah/ladang, alat-alat pertanian, alat pertukangan, dan alat-alat/sarana produksi lainnya? Berapa banyak dihabiskan untuk belanja konsumsi: makan/minum, pulsa, benda-benda elektronik, pakaian, telepoin genggam?

Pada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi itu, tampaknya Anda akan mendapati angka-angka yang cukup mencengangkan. Lalu berten yalah kemudian, ”Seandainya BMI/mantan BMI memiliki jejaring usaha di berbagai kota hingga ke pelosok-pelosok, keuntungan dari pembelian barang-barang konsumtif dan sebagian juga dari pembelian barang-barang modal tentu dapat dinikmati bersama, dan tidak bulat-bulat menggelinding ke para penjual entah siapa.

Bagian peliknya adalah: membangun jaringan itu sedemikian gampangnya (apalagi sekarang didukung oleh fasilitas komunikasi yang sangat ampuh, tetapi sering terbukti sebegitu susahnya di dalam praktiknya. Persoalan-persoalan biasanya timbul berkaitan dengan mental atau kesiapan para pemimpin dari tingkat terbawah (mungkin: desa) hingga level paling atas. Sering terjadi, ketika organisasi (jejaring) mulai terbentuk, persoalan-persoalan politis (berkaitan dengan jabatan, kekuasaan, derajat sosial) jadi lebih mengemuka dibandingkan hal-hal yang bersifat teknis/praktis berkaitan dengan penumbuhan dan pengembangan jaringan. Itulah sebabnya, mengapa kita melihat sejarah koperasi yang digelorakan Bapak Bangsa kita, Mohammad Hatta, seolah babak-belur di dalam sejarahnya, terutama di tingkat pedesaan. Bahkan, walau di dalam kabinet sekarang ada menteri yang bertugas di bidang ini, perkoperasian tidak juga menunjukkan perkembangan yang signifikan. Di desa-desa, yang menjadi subur biasanya hanyalah (koperasi) simpan-pinjam, yang sesungguhnya sangat jauh dari semangat asli koperasi itu sendiri.

Jika jejaring itu terbentuk, banyak pekerjaan menjadi lebih ringan, dan yang mahal bisa jadi murah. Sebutlah contoh, jika Anda membuka usaha gerai/toko busana di salah satu kota di Jawa Timur dan memiliki jaringan pertemanan (syukur-syukur yang sudah diikat dengan kesepakatan kerja sama) di Yogyakarta, Surakarta, bandung, Pekalongan. Dari kawan-kawan yang ada di beberapa kota tersebut, Anda sudah dapat memenuhi butik/gerai Anda tanpa harus terlalu banyak keluar ongkos hilir mudik. Mungkin untuk belanja pertama perlu datang langsung. Tetapi, selanjutnya bisa dilakukan dengan pemesanan secara tertulis atau kiram nota pemesanan barang, bayar melalui transfer bank, dan tinggal menunggu kedatangan barangnya. Tentu bukannya gratis, karena dalam bisnis yang sehat semua lini pekerjaan mesti mendapatkan imbalannya. Bukankah tanpa jejaring pertermanan di berbagai kota hal demikian dapat pula dilakukan secara langsung? Betul. Memang demikian. Tetapi, jangan lupa, kita sedang memimpikan kemajuan bersama, para BMI/mantan BMI. Jika mau bergerak sendiri-sendiri, secara perorangan, sekarang pun sudah banyak yang boleh dibilang sukses. Itu bukan lompatan besar, bukan ’revolusi’ yang mampu mengguncang dunia.

Lagi pula, tentu tidak semua BMI/mantan BMI hanya tertarik berbisnis di bidang penjualan busana. Pasti ada yang tertarik di bidang kuliner, garmen, pertanian, retail, pertanian, peternakan, organizer, dan sebagainya. Maka, betapa mudahnya sekian banyak urusan jika jejaring itu terbentuk. Ketika pada suatu hari anda menginginkan indukan domba garut untuk dipelihara, atau bibit pohon matoa untuk ditanam, Anda tinggal memosting di dinding grup, misalnya, dan kawan-kawan dari berbagai penjuru dapat menawarkan bantuannya.

Jika Anda memroduksi barang, benda-benda kerajinan, pernik-pernik aksesories, misalnya, dan kemudian membuka toko online, sama halnya Anda sudah punya gudang penyimpanan stok barang di berbagai kota. Di seluruh Indonesia, atau bahkan ada pula cabang-cabangnya di berbagai negara.

Kendala

Seperti sudah disinggung di bagian terdahulu, salah satu kendala yang mesti mendapat perhatian adalah kesiapan mental, bahwa ketika badan usaha bersama dan jejaring mulai terbentuk, persoalan-persoalan baru yang akan timbul justru yang tidak berkaitan dengan hal-hal praktis, melainkan berkaitan dengan hal-hal ’politis’. Sering terjadi, perbedaan pendapat dalam hal-hal yang tidak esensial, yang sebenarnya sepele, berkembang menuju perpecahan. Maka, untuk sementara kita melihat banyak komunitas sejenis di sini (Hong Kong) dan beberapa di antaranya adalah anak-pinak dari sebuah komunitas yang kemudian melepaskan diri dari induknya, membentuk semacam barisan sakit hati, lalu memproklamasikan diri sebagai individu (baca: komunitas) baru.

Alhasil, sang induk gagal melahirkan anak-anak yang kemudian menyebar dan berkembang menjadi sebuah keluarga besar, melainkan tercerai-berai dan tidak saling membesarkan. Pertanyaannya, ketika ada pilihan untuk menjadi Hiu, mengapa memilih menjadi hanya teri? Ilustrasi ini tentunya mesti disertai permintaan maaf bahwa bukan maksudnya menganggap banyak komunitas ”cap teri” di sini, melainkan lebih dimaksudkan untuk menjadi semacam pengingat bahwa Anda semua memiliki peluang untuk menjadi besar, sangat besar, sehingga pihak-pihak yang selama ini mencibir di belakang atau bahkan ketika berhadapan dengan Anda harus menaruh hormat, suka atau tidak.

Dulu banyak koperasi bertumbangan karena pengurusnya tidak amanah. Itu dulu. Sekarang eranya sudah lain. Ini era keterbukaan, transparansi mesti dikedepankan. Apalagi dalam sebuah organisasi atau lembaga bisnis yang didirikan bersama-sama. Banyak sudah yang kini membuktikan bahwa koperasi tidak pernah bisa menjadi besar itu ternyata hanya mitos. Itulah, salah satu tanda pada orang-orang yang akan memetik keberhasilan adalah keberaniannya menumbangkan mitos!

Janganlah rasa iri terhadap jabatan/kedudukan orang lain di dalam organisasi membuntu peluang untuk maju bersama, menciptakan sesuatu yang baru dan sedemikian besar, yang tak seorang pun pernah menduga sebelumnya. Jika Anda semua siap, sekarang, segeralah dimulai. Modalnya: hanya kemauan. Mau maju bersama, menciptakan sesuatu yang sangat besar yang tak pernah dibayangkan orang. Kayao!*

*) Untuk Majalah Peduli

Singkatan:
BMI = Buruh Migran asal Indonesia
HK = Hong Kong