Thursday 10 January 2008

Hamili Aku Yo

Cerpen Bonari Nabonenar

Barangkali langit memang telah jebol. Lubang menganga di atas sana. Luasnya tak terkira. Dan bagaikan bendungan jebol, airpun mengguyur bumi tanpa ampun. Akan terasa terlalu lembut untuk disebut hujan. Dan bahkan terlalu romantis. Bintang-bintang pun berguguran. Berjatuhan, pudar, dan bahkan padam, seperti bara terlibas air bah.

Barangkali ini badai paling kejam dalam sepuluh tahun terakhir. Rembulan pun hanyut, entah ke mana. Malam begitu gelap. Dan badai mengamuk tak karuan. Tetapi anehnya –jika tak boleh dipakai kata: hebatnya— tubuh kerempeng itu masih berdiri di sana, di tikungan jalan itu, dan masih tegak lurus dengan langit!

Namanya Aryo. Dia termangu, kini, di tengah badai. Malam-malam, lagi! Tetapi dia tetap saja tegak lurus dengan langit. Makin tegak, malah. Seolah tubuhnya telah membeku, telah membatu. Seperti semakin kokoh dalam kekeroposan yang sesungguhnya hampir sempurna.

Sesungguhnya dia lagi bingung. Atau, setidak-tidaknya: ragu, memasuki malam, memasuki pusaran badai yang makin menggila itu, atau kembali pulang. Memeluk Breta, isterinya yang notabene sedang sangat ingin dipeluk dan seterusnya itu? Justru itulah yang sedang dihindari Aryo, di malam yang dingin ini. Dia lebih memilih beku di pusaran badai daripada harus….! Oh, kalau boleh hanya sekedar memeluk Breta!

Aryo masih di situ. Tegak lurus dengan langit, di tikungan jalan itu. Dan kalimat itu kembali menggema, mengatasi gemuruh guntur dan badai. “Hamili aku, Yo!”

Ah, betapa mesranya! Betapa dahsyatnya kalimat itu! Manakah ada kalimat rayuan sehebat itu? Itulah kalimat paling sensual, paling sensasional, dan paling romantis! Bahkan muatan sipiritualnya sangat terasa pula. Bukankah kalimat itu sertamerta mengingatkan siapapun kepada proses penciptaan? Dan, lelaki mana yang kuasa menolak rayuan semacam itu? Siapa, kalau bukan Aryo?

Belum berbilang tahun memang, pernikahan Aryo dengan Breta. Baru sekitar tiga bulan. Waktu yang rasanya terlalu singkat untuk timbulnya konflik yang sangat mendasar itu. Tetapi, siapapun akan segera maklum jika mengingat proses perkenalan yang boleh dibilang superkilat itu.

Mereka bertemu dalam sebuah pameran lukisan. Waktu itu, bersama tiga orang temannya, Aryo menggelar pameran lukisan. Pada kesempatan itulah untuk pertama kalinya Aryo bertemu Breta.

“Anda Tuan Aryo, salah seorang pelukis yang berpameran ini, bukan?”

“Oh, jangan panggil aku begitu. Aku hanya seorang seniman. Seniman gagal!”

“Ah, jangan merendah begitu! Aku telah melihat semua lukisan yang digelar di sini. Luar biasa. Belum punya nama besar. Itulah barangkali persoalan yang dihadapi para pelukisnya. Anda, mm, maaf, aku panggil begitu, ya?”

“ Ya.”

“Anda sungguh luar biasa. Jika sekiranya Anda memerlukan model, dan memandang aku layak untuk Anda jadikan model lukisan Anda, aku akan senang sekali. Inilah kartu nama saya. Undanglah aku, jika Anda menginginkannya.”

Wanita itu, yang tak lain dan tak bukan adalah Breta, segera ngeloyor pergi. Dari langkahnya terlihat bahwa dia seorang profesional muda yang sangat sibuk, yang tak mungkin datang ke pameran lukisan macam itu jika gejolak rasa seni di dalam batinnya tidak sebegitu kuat.

Singkat cerita, suatu hari, Aryo mengundang Breta untuk dijadikan model lukisannya. Breta senang bukan main. Segeralah dia meluncur ke alamat Aryo, sebuah rusun di pinggiran kota. Pada hari itulah Breta dilukis habis-habisan oleh Aryo.

Tubuh Breta bergetar hebat, diguncang oleh rasa lelah dan nikmat yang bercampur, tumpang-tindih menguasai seluruh dirinya. Sekilas Breta teringat kata orang, bahwa tangis akan mudah sekalai meletus dalam suasana “puncak” seperti itu: puncak kesenangan, kesedihan, kekesalan, atau puncak-puncak yang lain.

“Diancuuuukkk…!! Mengapa aku tak bisa menangis?” Begitulah tiba-tiba Breta berteriak. Sungguh, dia tak pernah menduga bahwa jadi model lukisan akan mendatangkan pengalaman sehebat itu, pengalaman yang seolah melemparkannya ke planet lain. Sangat menyenangkan, dan sekaligus sangat menyebalkan. Breta gerah bukan main. Tetapi kenikmatan itu pula yang mendatangkan dorongan untuk mengumpat yang tak bisa lagi ditahannya. Harap tahu saja, seumur-umur baru kali inilah Breta mengumpat demikian.

Aryo tak mengerti. Padahal dia ingin tahu. Dan dia tak dapat menyembunyikan keinginannya itu.

“Kenapa?”

“Kok jadi begini, sih?”

“Begini bagaimana?”

“Kita kawin aja, ya?”

“Menikah, maksudmu?”

“Ya!”

“Hm. Boleh!”

“Hah! Aku tidak minta izin! Ini juga jangan anggap permintaan! Aku menuntut sampeyan! Nikahilah aku, Mas!”

“Iya, iya! Minta nikah aja kok teriak-teriak. Bilang pelan-pelan, kan, bisa?!”

“Biar. Aku lagi emosi, kok.”

“Jangan bikin keputusan ketika sedang emosi tinggi.”

“Benarkah, kita akan menikah?”

“Ya. Kenapa?”

“Benarkah sampeyan benar-benar cinta, atau hanya terdorong oleh semangat untuk menjadikan diriku sebagai model lukisan sampeyan?”

“Entahlah…..”

“Jawablah, Mas! Jawablah!”

“Apakah aku tak boleh menikahimu, jika tak mau menjawab pertanyaan itu?”

“Jadi benar, sampeyan bersedia menikahiku?”

“Benar, bersedia.”

“Hm.”

Lalu, Breta kembali memasrahkan dirinya untuk jadi model yang siap dilukis habis-habisan oleh Aryo. Dan seperti kesurupan, Aryo menari-narikan kuasnya di atas kanvas terbentang itu.

Pekan berikutnya mereka telah resmi jadi suami isteri. Sejak pertemuan mereka di pameran lukisan itu kehidupan mereka jadi seperti film yang diputar terlalu cepat. Bahkan hampir seperti sulapan. Breta yang semula --baik di kantor maupun di luar kantor-- dikenal sebagai terlalu kokoh mempertahankan kesendiriannya itu tiba-tiba saja menikah. Dengan seorang seniman, pula!

Hari pertama berlalu biasa-biasa saja. Artinya, sangat biasa, kan, jika sepasang pengantin baru luar biasa mesra di hari pertama? Hari bertambah-tambah jadi pekan. Pekan bertumpuk jadi bulan. Dan bulan ketiga pun sedang berjalan. Tetapi badai itu keburu menggilas mereka tanpa ampun.

Breta sudah sangat menginginkan anak, sedangkan Aryo merasa belum siap, dan bahkan, mungkin, menurut perasannya sekarang, tak akan pernah siap memiliki anak.
Jika bisa segera punya anak sekarang, menurut pikiran Breta, dia akan punya cukup waktu untuk mengembalikan kesempurnaan tubuhnya, nanti, setelah lewat masa menyusui. Mungkin dia tak akan mau melahirkan untuk kedua kalinya. Satu anak cukup bagi Breta. Selain akan jadi penerus sejarahnya, seorang anak bagi Breta adalah sebuah pengukuhan bahwa dia seorang wanita sempurna.

Lain lagi pikiran Aryo. Dia selalu memandang hidup sebagai sebuah kegetiran. Atau, setidak-tidaknya, rangkaian kegetiran. Karena itulah dia justru ingin memutus kesewenang-wenangan Kegetiran itu dengan pilihannya: tak punya anak saja, itu! Berbeda pula dengan Breta, dengan tidak memiliki anak, Aryo tak sedikitpun merasa berkurang kelelakiannya, kejantanannya.

Sayang, mereka tak pernah bisa mendiskusikan persoalan itu. Sesungguhnya, di luar “kesenimanannya”, Aryo adalah seorang pengangguran. Tetapi dia selalu saja terlalu sibuk dengan pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan kesenimanannya. Sementara itu Breta sendiri juga sangat sibuk dan bangga dengan kesibukan profesinya. Praktis, mereka jadi seperti dua orang asing yang karena sebuah keajaiban dapat bertemu di atas ranjang pengantin.

Mereka selalu sibuk pada urusan mereka masing-masing. Kesempatan mereka bertemu, di rumah, hampir habis untuk bikin lukisan: Breta jadi model, dan Aryo menari-narikan kuasnya di atas kanvas terbentang itu.

Konflik itu boleh dibilang sudah sampai pada puncaknya. Tetapi Breta tak pernah menyesal menikah dengan Aryo. Dia hanya sedih, mengapa Aryo belum juga bersedia menanamkan benih di dalam rahimnya.

“Hamili aku, Yo!”

Entah, sudah berapa kali rayuan, seruan, dan sekaligus permintaan itu dia kemukakan di hadapan Aryo. Tetapi Aryo tetap bersikukuh pada pendiriannya. Bahkan ketika Breta memaksakan pilihan: menghamilinya atau keluar dari rumah, pilihan terakhir itulah yang diambil Aryo. Mungkin sudah empat atau bahkan lima kali Breta memaksakan pilihan itu kepada Aryo. Hasilnya tetap saja sama. Aryo memilih keluar dari rumah, di malam gelap, ketika guntur dan badai mengamuk tak karuan sekalipun, seperti malam ini.

Aryo terpaku di tengah badai. Di tikungan jalan itu, dia masih tegak lurus dengan langit. Tubuhnya hampir beku. Dan suara itu benar-benar memenuhi rongga pendengarannya, “Hamili aku, Yo…..!!!” []

Catatan: Frase: “di tikungan jalan itu” dan “tegak lurus dengan langit” dicomot begitu saja dari kumpulan cerpen Iwan Simatupang, Tegak Lurus dengan Langit.

dari buku: CINTA MERAH JAMBU [JP-BOOKS, surabaya, 2005]

2 urun rembug:

met kenal , kunjungi juga www.sexycahsolo.blogspot.com , www.febriantoeko.wordpress.com

Ceritanya bagus Pak Bon..
Like it^^