Monday 28 January 2008

Mencerdaskan Dangdut

ADA yang istimewa pada diskusi Sabtu sore (28 September 2002) itu. Diskusi yang sedianya membahas Festival Kesenian di Surabaya tersebut sempat terseret ke dalam perdebatan seputar dangdut. Pemicunya adalah pernyataan Max Arifin pada pengantar makalahnya yang seolah memandang sebelah mata musik dangdut sebagai kesenian bermutu.

Tentu saja, pernyataan Max (yang mungkin tidak bermaksud menilai rendah dangdut, Red) mengundang tanggapan peserta. Menurut peserta, dangdut bukanlah musik kampungan, karena kini sudah masuk hotel- hotel berbintang, mempunyai rating tinggi di televisi, dan bahkan sudah go international. Dangdut disukai oleh rakyat jelata, cendekiawan, bupati, gubernur, bahkan pejabat tinggi negeri ini. Siapa bilang dangdut kesenian tidak bermutu, ketinggalan zaman?
Tetapi, dengan tangkas Max pun berargumentasi. Bobot atau mutu sebuah kesenian tidak ditentukan oleh jumlah massa pendukungnya. Bahwa dangdut berhasil melanglang buana, kata Max, itu bukan karena mutunya, melainkan karena eksotismenya. Dangdut musik yang sangat sederhana. Hanya persoalan cengkok saja, tegasnya. Dangdut tidak memiliki partitur yang rumit seperti musik klasik (patutkah dibandingkan?).

Dan perdebatan pun makin seru. Akhirnya forum sepakat mendiskusikan dangdut sebagai fenomena budaya secara khusus pada kesempatan mendatang, dengan iming-iming mendatangkan Inul Daratista --penyanyi dangdut asal Pasuruan yang sedang naik daun-- sebagai salah satu narasumber. Nah!

Saya jadi teringat pepatah Belanda yang sering disitir novelis Budi Darma, bahwa soal selera tidak dapat diperdebatkan, tetapi dari selera derajat seseorang dapat diketahui. Dan, perdebatan seputar dangdut itu, tampaknya jadi “memanas” karena faktor selera. Seorang teman saya memahami dangdut sebagai kesenian yang tidak bermutu tapi disukai banyak orang. Dangdut diibaratkan sebagai makanan yang disukai banyak orang, meski kandungan gizinya tidak seberapa, dan bahkan bisa merugikan kesehatan. (Jangan bandingkan kesenian dengan makanan, dong!)

Teman saya Leres Budi Santosa juga bilang, “Saya bisa menikmati goyang pantat Shakira atau Jennifer Lopez sebagai seni, tetapi saya sulit menemukan di mana seni goyang pantat Inul yang sedemikian seser itu, walau saya juga menikmatinya.” Mungkin sebenarnya Leres akan bilang bahwa pantat Shakira maupun pantat Jennifer Lopez “lebih cerdas” dibanding pantat Inul Daratista (memangnya pantat bisa cerdas?). Pantat Inul hanya lebih berotot, sehingga goyangannya bisa lebih seser. Benarkah demikian?

Pada suatu saat sastrawan/penyair kenamaan Sapardi Djoko Damono diundang TVRI untuk menjadi narasumber pada acara Pembinaan Bahasa Indonesia. Pada kesempatan itu tema yang dipilih adalah bahasa Indonesia dalam syair-syair lagu dangdut. Saat itu, dengan “cerdas” Sapardi menelanjangi syair-syair dangdut. (Tapi tidak semua syair lagu dangdut “tidak cerdas”, kan?).

Perdebatan musik dangdut musik bermutu atau tidak tampaknya bisa semakin seru, tentu saja bila kita melepaskan faktor selera masing-masing. Tetapi, seperti yang tercermin dalam diskusi itu, pada dasarnya, jika digarap dengan serius (memangnya selama ini digarap secara tidak serius?) kita masih bisa berharap dangdut akan menjadi musik bermutu, syair maupun musiknya.

Dalam hal syair, misalnya, musisi dangdut bisa berkolaborasi dengan para penyair seperti yang dilakukan musisi lain dengan melibatkan penyair Taufiq Ismail, Yudhistira, atau Rendra? Bukankah sinetron dangdut pun jadi lebih berbobot ketika digarap dengan melibatkan seniman seperti Arswendo atau Putu Wijaya?

Yang jelas dangdut kini menjadi ladang yang sangat subur sehingga banyak artis --di luar dangdut-- yang berbondong-bondong memasuki ranah ini. Nama-nama seperti Ayu Azhari, Denny Malik, Denada, Thomas Jorgie, dan banyak lagi, kini akrab dengan musik ini. Kenyataan demikian tentu tidak boleh membuat lupa diri. Para kreator, musisi, penyanyi dangdut, justru harus semakin berpikir soal kualitas.

Akhirnya, tulisan ini harus ditutup dengan sebuah anekdot: seorang pengrajin “fosil” (pembuat fosil tiruan) di kawasan Sangiran merasa sangat bangga dan merasa telah berhasil membuat fosil yang bagus karena karyanya laris bukan main, bahkan para turis pun menyukainya. []


Jawa Pos, Minggu, 06 Okt 2002

0 urun rembug: