Thursday 24 January 2008

Menyurigai Sastrawan Jawa yang Tak Sakit Hati

Tulisan Widodo Basuki berjudul Ndompleng Momen Besar KBJ (Surabaya Post, Minggu, 9 April 2006) diawali dengan pernyataan bernada ragu, bahwa Kongres Sastra Jawa (KSJ) II yang waktunya hampir bersamaan dengan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV mungkin tak sepenuhnya bergaung ke pengarang sastra Jawa. Kata ’mungkin’ menunjukkan keraguan penggurit yang pernah mendapat hadiah Rancage untuk buku kumpulan guritan-nya, Layang saka Paran itu. Keraguan itu diikuti pula oleh frase yang juga mengambang, ’’tak sepenuhnya bergaung ke pengarang sastra Jawa.’’

JIKA yang diinginkan hanya sekadar gaung, berita-berita mengenai KSJ II telah muncul di Suara Merdeka, Wawasan (Semarang), Kedaulatan Rakyat (Jogjakarta), Surabaya Post, Kompas halaman Jatim, dan tampaknya satu-satunya media berbahasa Jawa yang merasa perlu memberitakannya, yakni Panjebar Semangat (Surabaya). Bagaimana halnya dengan Jaya Baya, majalah berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya dan salah seorang redakturnya adalah Widodo Basuki?

Pertemuan-pertemuan panitia, termasuk pertemuan para pendukung kongres modal nekad ini juga sudah lumayan sering diadakan: di Surabaya, Jogjakarta, Tulungagung, dan Semarang. Bahkan, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya telah mengagendakan acara seminar, pra-KSJ II melalui Forum Transit, bekerja sama dengan Taman Budaya dan Dewan Kesenian Jatim, 9 Mei 2006. Publikasi melalui world web wide juga sudah dilakukan, antara lain dapat diakses melalui: http://sastrajawi.blogspot.com.

Widodo tidak cukup bernyali untuk mengatakan: ’’Prekethek dengan KSJ II,’’ atau ’’KSJ II, nggak usahlah yauw!’’ Maka, yang dilakukannya hanyalah menghibur diri dengan gaya pinisepuh: nuturi atau memberi petunjuk bahwa sebaiknya KSJ II menjadi ajang introspeksi, termasuk berupaya agar para sastrawan Jawa berkarya dan menghasilkan buku bermutu. Berupaya menghasilkan karya bermutu adalah tugas para seniman, termasuk sastrawan, dan lebih khusus lagi: sastrawan Jawa. Tetapi Widodo masih merasa perlu menambahnya dengan: buku bermutu! Pemenang hadiah Rancage tahun 2000 itu tampaknya perlu diingatkan, sekali lagi, bahwa tugas seniman adalah mencipta. Urusan membuat buku, menjual atau memasarkan, itu adalah kewajiban pihak lain yang secara sukarela mengambilnya --misalnya dengan mendirikan penerbitan dan/atau membuat toko buku-- yang bukannya tidak boleh dirangkap oleh sastrawan atau pengarang. Sejarah Sastra Jawa, misalnya, mencatat nama Any Asmara yang memiliki penerbitan, termasuk untuk menyetak karya-karya beliau sendiri. Di Surabaya juga ada pengarang yang –walau tidak punya penerbitan— menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa-nya dengan biaya sendiri: Suparto Brata dan Trinil Setyowati, dan jangan lupa: Widodo Basuki. Lebih tepatnya, menerbitkan buku dan menjualnya itu adalah juga hak setiap orang termasuk pengarang, tetapi bukan kewajiban mereka.

Sebelum berintrospeksi, dalam kaitannya dengan perbukuan dalam Sastra Jawa Modern ini, ada sebuah pertanyaan menarik: Siapakah yang lebih bermutu, orang-orang yang dengan gigih berusaha agar tercipta iklim yang kondusif bagi munculnya karya-karya bermutu dan pada gilirannya terbangun tradisi penerbitan buku yang baik pula, ataukah orang yang secara individual memaksakan diri menerbitkan bukunya sendiri setiap tahun, walau buku-buku yang terbit itu tak lebih dari semacam album dangdut dimana buku terbaru adalah kumpulan sejumlah karya lama yang dibiarkan apa adanya atau di-pupuri sedemikian rupa dan ditambah beberapa karya saja yang benar-benar baru?

Saya lebih suka menilai bahwa menyelenggarakan seminar, sarasehan, atau bahkan Kongres Sastra Jawa --walau terpaksa harus ngalem diri sendiri— adalah berkarya juga. Kalau menuruti anjuran Widodo, tidak akan ada kritik dalam Sastra Jawa Modern. Sebab, kritik itu, pasti, menurut widodo: ’’hanya omong doang!’’ Widodo lupa bahwa ada manusia tipe pekerja dan tipe pemikir (konseptor). Masing-masing tipe itu tidak lebih mulia atau lebih hina daripada yang lain. Jika ada yang lebih buruk, ialah jika seseorang dari tipe tertentu secara terang-terangan mencerca pihak dari tipe lain semaunya sendiri. Tak lebih dan tak kurang, itulah yangt telah dilakukan seorang Widodo Basuki.

Berkaitan dengan tema KBJ IV, Widodo menulis, ’’Jika tema utama dari KBJ IV lebih mengarah ke pemberdayaan pem binaan dan pengajaran bahasa dan sastra Jawa, ini lebih realistis...’’ Saya menginginkan, misalnya, Panitia KBJ IV punya cukup keberanian untuk mengusung tema: ’’Memperkokoh Kedudukan Bahasa Jawa sebagai Warga Bahasa Dunia.’’ Ketika cakupan tema itu seolah hanya berat pada titik pendidikan, kita tahu bahwa di Jawa Tengah, misalnya, sudah keluar Surat Keputusan Gubernur yang memberi peluang yang sangat luas bagi mata pelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah: dari TK hingga tingkat SMU. Artinya, khusus di wilayah pendidikan, dalam hal legalitas, kita sudah keluar dari salah satu persoalan besar: tersisihnya mata pelajaran bahasa Jawa. Pekerjaan besar yang ada di depan mata, berkaitan dengan wilayah pendidikan itu, kini, antara lain adalah bagaimana meningkatkan kualitas para guru, meninjau ulang kurikulumnya, dan menyediakan sebanyak-banyaknya buku bacaan berbahasa Jawa yang tanpa rekomendasi KBJ pun bisa dilakukan asalkan ada kemauan.

Menanggapi komentar saya, Dr Ayu Sutarto mengatakan bahwa persoalan etnis kini memang cukup sensitif. Jika tema itu secara terang-terangan menyebut istilah memperkokoh bahasa Jawa atau sejenisnya, dikhawatirkan oleh Panitia KBJ akan mengundang penafsiran keliru pihak luar (Jawa) sebagai serta-merta akan memperlemah bahasa Indonesia. Alasan berikutnya, masih menurut Dr Ayu Sutarto, ialah bahwa ketika rumusan tema itu ditetapkan, anggota panitia dari unsur disiplin ilmu kependidikan memang lebih dominan dalam jumlah, dan dengan demikian menang suara. Alasan itu lebih bisa diterima daripada alasan Widodo.

Lagi, menurut Widodo, KSJ I maupun KSJ II adalah pekerjaan orang-orang sakit hati. Pertanyaan saya: jika memang ada yang merasa sakit hati, apa salahnya? Saya justru menyurigai sastrawan Jawa semacam Widodo yang tidak sedikit pun merasa sakit hati ketika dana milyaran rupiah digunakan untuk pesta andrawina, untuk menerbitkan kamus tebal, buku tatabahasa, direktori, dan tak serupiah pun digunakan untuk menerbitkan karya sastra Jawa! Pada tahun 2001 di arena KBJ III memang beredar buku kumpulan crita cekak,Pasewakan Jawi. Buku itu berisi sekian banyak crita cekak hasil menyomot begitu saja karya beberapa orang pengarang tanpa pemberitahuan, apalagi memberi royalti. Kenyataan itu cukup menyakitkan.

Kalau pun KSJ harus ndompleng apa yang disebut Widodo sebagai momen besar KBJ, apa salahnya pula, jika itu dipandang lebih menguntungkan bagi Sastra Jawa Modern, setidaknya menurut keyakinan mereka yang meyakininya? Jika ada yang merasa dirugikan, termasuk membuat pihak-pihak tertentu gusar, boleh-boleh saja lho, mengadukannya kepada pihak berwajib, misalnya mencoba menjerat para penggagas dan pekerja KSJ dengan delik ’’perbuatan tidak menyenangkan’’! Lha, anehnya, kok yang tidak senang justru hanya seorang Widodo Basuki?

Menurut saya pula, KBJ bukan satu-satunya media untuk bersuara. Jika Widodo melihat saya dan kawan-kawan pekerja KSJ I bungkam di arena KBJ III, artikel saya yang dimuat Bernas pada hari terakhir KBJ III dan tulisan Suwardi Endraswara beberapa hari sebelumnya, misalnya, pastilah juga luput dibacanya.

Pada akhirnya, saya minta maaf kepada Surabaya Post, karena saya terpaksa menjelaskan hal remeh-temeh ini. Padahal, kavling yang tersedia ini tentu akan lebih bagus jika bisa dimanfaatkan untuk mengekspos wacana-wacana yang lebih ’’cerdas’’. Habis, gimana lagi, lha wong tudingan-tudingan Widodo juga tak kalah tak bermutunya sih! []

0 urun rembug: