Thursday 24 January 2008

Dari Gunung Ja’as ke Jazz Mountain


Pada suatu hari, seorang pejabat di lingkungan Pemkab Trenggalek, di depan forum (sebuah sarasehan) melontarkan gagasan yang sangat menarik. Maksudnya, menarik untuk dikomentari. Pejabat itu menyatakan (tidak menawarkan) keinginannya –tak tahu persis apakah lebih terdorong oleh selera pribadi atau sudah melalui pembahasan panjang di instasnsinya—untuk mengubah nama Gunung Ja’as menjadi Gunung Jaz (tak tahu mana yang dipilih: dobel z atau tidak, yang pasti ia menambahi dengan pernyataan setengah bercanda, ’’Biar terasa seperti jenis dari sebuah merek mobil.’’). Loh,mengapa tidak menjadi: Jaz Mountain sekalian? Yang jika sedikit salah lidah saja akan terdengar seperti yang biasa ditulis dengan, ''just mountain'' (hanya gunung?)

ALASAN lain, bisa jadi, biar terkesan lebih ’gaul’ dan terasa akrap di telinga turis asing (Barat). Ah! Saya benar-benar terkejut kala itu. Mengapa pejabat ini sedemikian kenesnya? Apakah ia sudah berpikir panjang? Shakespeare boleh bilang, ’’Apalah arti sebuah nama!’’ Tetapi, orang Jawa akan lebih keras menimpali, ’’Nama kinarya japa!’’ (Nama berfungsi sebagai doa atau mantra). Tetapi, saya tidak suka menarik ke wilayah itu ketika sebuah nama dikaitkan dengan tempat, kawasan, land-mark, atau ikon sebuah wilayah. Ia lebih bermakna sebagai pengusung muatan sejarah. Kita tidak boleh seenak udel (generasi) sendiri mengubah-ubah nama yang mesti jadi milik semua generasi.

Di Surabaya banyak orang marah besar ketika Pasar Wonokromo secara politik (bahasa) ditindas dengan DTC (Darmo Trade Centre). Dan tampaknya sekian nama jalan juga akan berubah-ubah sesuai dengan selera pejabat yang sedang punya kekuasaan.
Yang lebih ngeri lagi, yang terjadi di Trenggalek itu adalah wujud dari semacam keputusasaan ketika kenyataan menunjukkan bahwa arus turis tak meningkat secara memadai. Lalu, tampaknya, muncullah sejenis keputusasaan. Dan ujung-ujungnya, muncullah ide mengganti nama beberapa ikon tujuan wisata. Bahkan, nama Guwa Lawa (biasanya ditulis secara salah: Guwo Lowo) pun akan diganti pula.

Kelak, ketika nama lain sudah disematkan, dan dalam sebuah kurun waktu angka kunjungan wisata tidak menggembirakan, tak perlu berbenah, tak perlu berpikir soal ketertiban, keamanan, kenyamanan, kebersihan, dan keindahan kawasan wisata. Pikirkanlah saja untuk segera menemukan nama baru!

Ah, betapa enaknya jadi pejabat, jadi pengelola sebuah kawasan wisata, jika pekerjaannya hanya mengubah-ubah nama begitu! []

Catatan: Yang disematkan di dalam tulisan ini bukanlah foto Gunung Ja’as di Trenggalek, melainkan Lautan Pasir – Gunung Batok, di Kawasan Pegunungan Bromo, Tengger, Jawa Timur.

0 urun rembug: