[1]
Saya kira banyak orang tahu bahwa Suparto Brata (SPTBT) yang kini sudah mencapai usia di atas 70 tahun itu sangat produktif sebagai pengarang, sebagai sastrawan, baik dalam jagad sastra Jawa maupun sastra Indonesia. Bahkan, kata Budi Darma, ’’SPTBT bukan pengarang sekedar produktif, tetapi amat sangat luar biasa produktif sekali. Ketika masih muda dia sanggup menulis setiap hari delapan lembar. Rutin. Bayangkan, sehari delapan lembar tanpa perlu revisi. Baginya menjadi penulis tidak lain identik dengan dengan menjadi perajin.
Dalam dunia tulis-menulis, dia bisa menulis dengan enak mengenai segala macam hal.’’ (SPTBT: Pengarang Serba Bisa, Harian Kompas, Jakarta, Februari 2001). Kita sebut saja beberapa bukunya, yang berbahasa Indonesia: Aurora Sang Pengantin, Saputangan Gambar Naga, Mencari Sarang Angin, Saksi Mata, Mahligai di Ufuk Timur Kerajaan Raminem, yang berbahasa Jawa: SPTBT’s Omnibus, Jaring Kalamangga, Emprit Abuntut Bedhug, Donyane Wong Culika, Dom Sumurup ing Banyu, Lelakone Si lan Man Cintrong Traju Papat, Mbok Randha Saka Jogja, Cocak Nguntal Elo, Ser! Ser! Plong!, ‘t Spookhuis. Itu belum terhitung cerita-cerita yang ditulis dan dibukukan oleh penerbitan milik Asmaraman S Kho Ping Hoo.
Maka, saya tidak terkejut ketika mendengar kabar bahwa Pak Parto (SPTBT) mendapat penghargaan kesusasteraan Asia Tenggara (The S.E.A. Write Award), karena, menurut saya, dalam kaitannya dengan penghargaan untuk bidang yang digelutinya Pak Parto itu sering terabaikan. Sekarang pun, ketika The SEA Write Award sudah diterima, penghargaan dari negri sendiri malah belum didapat. Jangankan untuk tingkat nasional, di Provinsi Jawa Timur pun ia sempat disalip (didahului) pengarang yang jauh lebih muda dari segi usia dan jauh berada di bawahnya dalam hal komitmen, dedikasi, dan produktivitasnya dalam dunia seni sastra.
Mungkin juga sadar bahwa ia telah disalip beberapa kali (setiap tahun Provinsi Jawa Timur memberikan penghargaan untuk 10 seniman yang dinilai terbaik di bidangnya masing-masing), tetapi Pak Parto seperti tak pernah memedulikannya. Ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca dan terutama menulis ’buku’. Maka, jadilah ia sastrawan tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi-jadi.
[2]
Pak Parto punya proyek perbukuan? Jika muncul pertanyaan seperti itu, jawabannya boleh ya, boleh tidak, tergantung dari sudut mana melihatnya. Saya, sebagai salah seorang yang (melalui Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya atau PPSJS) sering berkomunikasi dengan ’panjenenganipun Pak Parto’ melihat bahwa sesungguhnya Pak Parto telah dan sedang membangun proyek perbukuan yang boleh dibilang luar biasa. Negara, pemerintah, apakah bernama pemkab, pemkot, pemprov, maupun pemerintah pusat, pun, dalam hal ’’proyek perbukuan’’ tampaknya lebih banyak ’berbicara’ sementara Pak Parto lebih banyak ’berbuat.’
Pada awal 1990-an untuk pertama kalinya saya mendengar pernyataan Pak Parto yang kemudian sering saya kutip ketika saya menulis tentang betapa perlunya, pentingnya, kita mendukung gerakan ’’Indonesia Membaca.’’ Lebih-kurang, beginilah kata Pak Parto, ’’Zaman orangtua saya dahulu, orang cukup mendengarkan siaran radio untuk bisa bercocok tanam atau bertani dengan baik. Tetapi, para pendengar radio itu tak akan pernah bisa membuat radio. Untuk dapat membuat radio, atau menjadi orang-orang yang memiliki kepandaian dan ketrampilan sederajat dengan para pembuat radio, dan tidak hanya sekadar sederajat para petani, orang mesti membaca.’’
Dengan kata lain, Pak Parto mengatakan bahwa kalau kita ingin menjadi bangsa yang maju, satu hal yang tak boleh ditawar-tawar adalah: mari kita galakkan taradisi membaca! Membaca adalah kata kunci untuk maju, baik secara ndividu maupun kelompok (masyarakat, bangsa). Nah, belakangan Pak Parto menambahkan satu kata ’buku’ di belakang kata ’membaca’ sehingga menjadi: membaca buku. Seiring dengan hal itu, Pak Parto kini sering menyeru penulis/pengarang dari generasi yang lebih muda untuk tidak terburu-buru bangga jika sudah berhasil memublikasikan karya-karyanya melalui terbitan berkala, koran atau majalah. ’’Mari kita menulis buku, mari membuat buku, marilah kita membukukan karya-karya kita, sebab usia buku itu jauh lebih panjang daripada sekadar koran atau majalah,’’ lebih-kurang demikian alasan Pak Parto.
Ajakan itu pun bukan ajakan kosong. Asal tahu saja, ketika PPSJS hendak membuat buku antologi guritan, Pak Parto menyedekahkan lebih dari separo uang tunai yang ia dapatkan dari Yayasan Rancage –kalau tidak salah untuk bukunya Donyane Wong Culika ketika itu. Seorang anggota PPSJS, Trinil Sri Setyowati pun pernah disubsidi (saya tidak tahu jumlah nominalnya) ketika hendak menerbitkan novel berbahasa Jawa Surabaya-an, Sarunge Jagung.
[3]
Selama ini boleh dikata tidak ada penerbit yang berani menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa apalagi buku fiksi, karena membayangkan pasarnya yang sebegitu sempit. Jumlah orang jawa memang makin mendekati atau bahkan sudah 100 juta, tetapi jika dihitung yang melek huruf dan kemudian melek buku, pastilah akan ketemu angka yang sangat memrihatinkan. Oleh karena itu, kalau ada satu dua buku berbahasa Jawa terbit dalam setahun, biasanya yang menerbitkan adalah sanggar-sanggar sastra Jawa. Itu pun dengan jumlah eksemplar yang sangat kecil, dalam kisaran 100 – 300 buku setiap judul. Atau, bahkan individu-individu atau sang penulisnya sendiri yang membiayai ongkos penerbitan/percetakannya, seperti yang dilakukan Widodo Basuki, Suharmono Kasiyun, Trinil Sri Setyowati, juga SPTBT.
Ada kisah menarik berkaitan dengan penerbitan buku Donyane Wong Culika (Narasi, Jogja, 2004). Suparto menyerahkan urusan penyuntingan buku itu kepada Drs Dhanu Priyo Prabowo, M.Hum seorang peneliti di Balai Bahasa Jogjakarta, sekaligus mencarikan penerbitnya. Setelah tanya-tanya, Dhanu mendapatkan angka penawaran paling murah Rp 8 juta untuk menerbitkan buku setebal 537 halaman itu. Maka, Dhanu pun lemah semangat, sampai rentang waktu yang cukup panjang ia tak segera mengabarkan kepada Pak Parto, sampai kemudian Pak Parto menagihnya. ’’Bagaimana, Pak? Ada penerbit yang mau menerbitkan, tetapi Pak Parto harus menyiapkan ongkos percetakannya delapan juta rupiah…’’ kata Dhanu kepada Pak Parto. Tampaknya di luar dugaan Dhanu, Pak Parto mengatakan, ’’Inggih, kula siap!’’ (Ya, saya siap!). Maka, tak lema kemudian terbitklah buku itu. Tahun berikutnya (2005) Donyane Wong Culika jadi buku terpilih untuk mendapatkan Hadiah Rancage yang disertai uang Rp 5 juta. Artinya, sudah kembali lebih dari separoh modal. Beberapa waktu lalu, Pak Parto berkata kepada saya, ’’Mas, asal kita telaten menerbitkan buku sastra Jawa itu tidak rugi lho. Saya dapat kabar dari penerbit bahwa buku saya Donyane wong culika itu sudah balik modal. Tetapi saya tidak mengambilnya, melainkan akan saya gunakan untuk menerbitkan buku berikutnya.
Demikianlah, SPTBT menerapkan subsidi silang untuk proyek perbukuannya. Royalti terus mengalir dari buku-buku berbahasa Indonesia-nya dan sebagian disisihkan untuk menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa.
Seorang peneliti yang disebut SPTBT dengan Mbak Yuyun mengajukan pertanyaan tertulis seperti dikutip dalam www.supartobrata.com, ’’Apa maksud bapak menulis buku ini, menerbitkan buku ini dengan biaya sendiri? Dan apakah sudah merasa berhasil dengan maksud bapak itu?’’ Dan SPTBT menjawab, antara lain, ’’Saya menulis dan menerbitkan buku ini agar bangsa Indonesia membaca buku sastra Jawa. (DWC –Donyane Wong Culika, Bon-- mendapat Hadiah Rancage 2005, sebagai buku bahasa Jawa terbaik terbitan tahun 2004). Itu bukan maksud tunggal. Maksud kedua adalah agar bangsa Indonesia membaca buku sastra. Dan maksud yang paling mendasar adalah agar bangsa Indonesia membaca buku,’’ sebelum menutup dengan kalimat yang menyatakan bahwa tujuannya itu belum dan mungkin tak akan berhasil.
Nah, bukankah SPTBT dengan sadar membangun Proyek Perbukuan-nya itu?[]
0 urun rembug:
Post a Comment