(1)
Lembaga Kajian Kebudayaan “Akar Indonesia” menggelar acara bedah buku puisi Suatu Cerita dari Negeri Angin (Agus R. Sarjono, Jendela, 2003) dan Reruntuhan Cahaya (Jamal D. Rahman, Bentang, 2003) di Auditorium IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 28 Mei 2003. Tajuk yang dipilih untuk acara itu sangat menarik dan bahkan provokatif: Ketika Jogja Menghakimi Jakarta. Saut Situmorang dan Amien Wangsitalaja jadi hakim, sedangkan terdakwanya adalah Agus R. Sarjono dan Djamal D. Rahman. Cerpenis Joni Ariadinata dengan gaya kocaknya yang amat khas bertindak sebagai moderator. Dua buku kumpulan puisi itu, tambah satu buku Permohonan Hijau (Antologi Penyair Jawa Tuimur) yang diterbitkan Panitia Festival Seni Surabaya 2003, menarik untuk dibicarakan.
(2)
Dalam beberapa kesempatan diskusi sastra di Surabaya, cerpenis M. Shoim Anwar mengatakan bahwa pasca-Rezim Orde Baru banyak sastrawan Indonesia yang seolah-olah kehabisan bahan bakar. Shoim pun menyebut bahwa pada tahun-tahun terakhir kejayaan Rezim Orde Baru banyak cerpen bermuatan kritik sosial. Cerpen “tentang Soeharto” pun banyak ditulis, menjelang hingga usai Soeharto jatuh. Mula-mula sangat tersamar, tetapi --walaupun tidak ada tokoh-tokoh yang terang-terangan dinamai Soeharto-- penggambaran sosok Soeharto makin jelas setelah orang terkuat di Indonesia itu kehilangan taringnya. Sebagian cerpen “tentang Soeharto” itu dikumpulkan Shoim dalam Soeharto dalam Cerpen Indonesia, Bentang, 2002).
Dalam perpuisian pun, tampaknya Shoim akan mempertanyakan pula, apakah Wiji Thukul masih akan berjaya seandainya dia tidak keburu hilang. Kesimpulan Shoim adalah, kebobrokan Rezim Orde Baru memberikan bahan bakar yang cukup hebat bagi kreativitas pengarang dan penyair Indonesia. Maka, setelah Orde Baru tumbang, para sastrawan Indonesia ibarat petarung yang sudah kehilangan lawan. Apakah para sastrawan Indonesia lupa bahwa musuh paling besar adalah diri mereka sendiri? Apakah sastrawan Indonesia yang mau terlibat (meminjam istilah Emha Ainun Nadjib) hanya melihat kebobrokan rezim Orde Baru, dan tidak melihat kebobrokan manusia? Apakah Zaman Edan sudah berakhir, sehingga tidak perlu lagi ada Kalatidha-Kalatidha baru?
Sehubungan dengan “teori” Shoim itu kemudian para sastrawan seolah justru shock ketika musuh utama mereka (Rezim Orde Baru) tumbang, lalu “berhenti” berkarya. Shoim mengatakan bahwa ia pernah menanyai Agus Noor, mengapa cerpen-cerpen terbarunya tidak bermunculan lagi, dan jawabannya adalah: nyaris kehabisan semangat menulis cerpen lagi setelah Rezim Orde Baru runtuh. Tetapi, jangan-jangan keluhan Agus Noor bahwa ia seolah kehabisan bahan bakar untuk melahirkan cerpen-cerpen mutakhirnya hanya abang-abang lambe atau kilah saja, untuk menyembunyikan alasan sebenarnya: “Menulis skenario untuk sinetron lebih banyak duitnya lho!” Tetapi, kenyataannya memang ada beberapa sastrawan yang “lesu darah” pasca-Rezim Orde Baru.
Kemungkinan berikutnya adalah, para sastrawan itu lalu kembali ke dunia dalam, kembali berkontemplasi, dan kemudian mengekspresikan hal-hal yang sangat personal. Dalam perpuisian, mengekspresikan hal-hal yang sangat personal itu biasanya lempang dengan kelahiran sajak-sajak atau puisi-puisi gelap!
(3)
Dalam “surat dakwaan”-nya, Amien Wangsitalaja “menuduh” puisi-puisi Jamal D Rahman dalam Reruntuhan Cahaya mirip puisi-puisi Goenawan Muhamad. “Jika dalam provokasi panitia, puisi Jamal dikatakan sebagai “kepingan estetika” Abdul Hadi W.M. saya tak hendak terprovokasi. Dalam kesan saya, justru Jamal lebih ng-Goenawan daripada ng-Abdul Hadi,” demikian tulis Amien. Baik ng-Abdul Hadi ataukah ng-Goenawan, puisi-puisi Jamal memang masih bisa disebut sebagai puisi remang-remang (meminjam istilah Sapardi Djoko Damono, istilah yang dipakainya untuk menjuluki puisi-puisi Abdul Hadi maupun Goenawan). Ada puisi Jamal yang sangat personal, misalnya puisi Batu-Batu Kian Abadi: dengan jasad luka, kuoleskan darah pada dinding ini/lalu kubiarkan langit berbicara sendiri. memaki atau tertawa//terasa batu-batu kian abadi. sebab di situ terukir amarah/dan kejenuhanku. menuang seluruh makna cinta/dan kebencian langit. memanggil guntur/dan membangunkan malam. bintang-bintang turun/sebagai gerimis airmata/mengalir tanpa suara//. Masih juga remang-remang, tetapi terasa lebih akrap pada Di Kota yang Menderu: hari demi hari, mereka menggelar spanduk dengan huruf-huruf yang gaduh. seperti papan-papan iklan yang setiap hari berputar/tak ada pijakan bagi hujan atau/gerimis: aspal, beton, atau batako. wajah kita saling/berganti juga….. Kemudian, simak salah satu bait puisi Jamal yang berjudul Doa Indonesia 2000 ini: aceh berdarah dalam sajakku/sambas berdarah dalam nadiku/maluku berdarah dalam nafasku/timor berdarah dalam otakku/mataram berdarah dalam sujudku/indoneia berdarah dalam lukaku//
Sementara itu, puisi-puisi penyair Jawa Timur yang terkumpul dalam Permohonan Hijau cenderung sangat personal untuk tidak menyebutnya sebagai puisi-puisi gelap. Pada diskusi dalam rangkaian FSS 2003 (Gedung merah Putih, Kompleks Balai Pemuda Surabaya, 26 Mei 2003) W Haryanto, seperti mengamini Shoim, mengatakan bahwa para “penyair Jawa Timur” itu tampaknya memang telah muak, jenuh, bosan, melihat realitas kehidupan masa kini, ketika para politisi cuma bisa omong besar, ketika elit politik lebih asyik ber-“dagang sapi”, ketika para demonstran pun cuma dapat pentungan, dan oleh karenanya kemudian lebih memilih menggarap sisi terdalam manusia, dunia batin, yang kecenderungannya memang adalah kelahiran puisi-puisi yang lebih “gelap.” Inilah salah satu bait puisi penyair Jaw timur (asal Trenggalek) Deny Tri Aryanti berjudul Kubangun Menara: Kubangun menara dengan sejuta matahari/membayang di antarakesunyian masa lalu/dan melelehkan lonceng dengan getaran halusnya/melantakkan pasir yang kubangun untuk kastil/negeri peri dan para kurcaci/. Baris-baris yang tampaknya hanya akrap dengan penyairnya sendiri.
Nah, sampailah kita pada Suatu Cerita dari Negeri Angin, Sejumlah Sajak Asli dan Satu Sajak Palsu-nya Agus R. Sarjono. Bagi Agus R. Sarjono, musuh tak pernah mati. Karena itu, bagi penyair yang mau “terlibat”, bahan bakar tak akan habis hanya karena Rezim Orde Baru telah tersungkur. Sebutlah beberapa judul puisi Agus: Di Planet Senen, Hollywoodku Sayang, Surat Paman Veteran pada Setengah Abad Kemerdekaan, Sesaat sebelum Kebakaran Hutan, Menjelang Pemilu, Tamasya di Jakarta, Bersama Para TKW, Demokrasi Dunia Ketiga, dan satu lagi judul yang sangat satiris: Indonesia, Sebuah Sisa. Dengan judul-judul demikian, jangan pernah membayangkan puisi-puisi yang kenes atau bahkan vulgar. Ada semacam pilinan antara kesederhanaan, rasa humor yang tinggi dipadu dengan daya puitik yang sangat kuat. Bahkan sangat terasa pula semangat plesetan, yang boleh jadi membuat kita curiga: tampaknya ada “darah” Jogja mengalir pada tubuh Agus R. Sarjono yang lahir, sekolah, dan berkuliah di Bandung itu. Simaklah satu Sajak Palsu ini: selamat pagi pak/selamat pagi bu, ucap anak sekolah//dengan sapaan palsu. Lalu mereka pun belajar sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah//mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka//yang palsu….
Kemudian, mungkin perlu juga ada pertanyaan begini: Manakah yang lebih bermutu, lebih baik, puisi terang, puisi remang-remang, ataukah puisi gelap? Rasanya juga tidak adil mengukur kualitas sebuah puisi dari tingkat keremang-remangan, kejelasan, ataupun kegelapannya. Tidak adil, dan bahkan mustahil! Pertanyaan berikutnya: “Mana yang lebih baik, puisi-puisi terlibat ataukah puisi yang tidak terlibat? Puisi kontekstual (meminjam istilahnya Ariel) atau puisi universal? Yang paling tepat menjawab pertanyaan ini tampaknya ialah Emha Ainun Nadjib (dalam bukunya Sastra yang Membebaskan). Jawaban Emha ialah: tergantung ditaruh di mana puisi (sastra) itu, di dalam bingkai kesenian ataukah di dalam bingkai kehidupan. Bingkai kehidupan akan menuntut “keterlibatan” kesenian, sastra, puisi.
Nah. Tulisan ini harus diakhiri dengan permintaan maaf karena tidak dibuat dengan teori puisi. Maka, Anda pun boleh tidak menyetujui ini: Ketika Jogja Menghakimi Jakarta, Surabaya Asyik Sendiri! []
Dimuat Jawa Pos
0 urun rembug:
Post a Comment