Kabar dari TKW asal Indonesia yang bekerja di luar negeri tak selalu soal disiksa majikan. Kali ini tentang dua TKW dari Jawa Timur (Jatim) yang pernah bekerja di Hong Kong.
Denok Rokhmatika dari Malang dan Etik Juwita asal Blitar, dua TKW itu, membacakan karya mereka berupa cerita pendek (cerpen) pada acara pembacaan sastra buruh migran dan diskusi yang digelar di Galeri Surabaya hingga Kamis (15/9) tengah malam.
Denok, yang mengenakan blus putih dan celana panjang jean biru, menyajikan cerpen berjudul Suramadu, sedangkan Etik, yang memakai t-shirt ungu, menyuguhkan cerpen berjudul Seharusnya Berjudul Celana Dalam.
Meskipun mereka tampil apa adanya, pujian mengalir untuk cerpen mereka yang dinilai memiliki bibit kualitas sastra yang bagus.
Etik tampil dengan pembacaan lebih baik dan lebih menjiwai meskipun beberapa kali tampak gugup, sedangkan Denok, yang juga sarjana pendidikan bidang olahraga dari IKIP Negeri Malang, dengan pembacaan lebih kocak dengan plesetan-plesetan dalam cerpennya.
Anggota Komisi E DPRD Jatim, Imam Ghozaly Aro, yang juga pecinta sastra, sempat hadir dalam acara tersebut bersama anggota lainnya, Chusnul Huda Imam, yang mantan wartawan. Mereka mendorong Denok dan Entik untuk memublikasi karya mereka lewat koran-koran di Indonesia.
"Ini bagus sekali. Kirim saja ke koran-koran di Indonesia, pasti mereka mau memuat. Karya seperti ini kan merupakan bentuk perlawanan baru para buruh di luar negeri terhadap berbagai kesewenang-wenangan yang mereka terima. Saya sangat senang ada teman-teman sastrawan yang peduli terhadap buruh migran ini," katanya.
Lan Fang, penulis novel terkenal di Surabaya, langsung menyampaikan salutnya dengan menggunakan dua jempol.
Sementara itu, pengamat sastra Jil Kalarang juga memuji karya mereka. Bahkan, ia berencana untuk menghubungi sejumlah pemimpin media massa untuk menampung karya mereka secara kontinyu.
"Saya tadi bilang ke teman-teman (media massa) agar membuka mata. Ini karya sastra yang bagus, harus kita dukung. Sastra buruh migran ini akan menjadi isu baru setelah ada sastra kontekstual atau sastra pedalaman dan lainnya," ucap Jil.
Penulis novel Zoya Herawati mengatakan hal serupa. Narasi dan pilihan kata yang disajikan oleh Denok dan Etik dinilainya sudah bagus, meskipun tentu saja masih ada kekurangan pada karya mereka.
"Saya melihat belum ada pikiran pengarang dalam karya mereka. Kunci agar karya kita lebih kaya dan bagus adalah dengan banyak membaca, terutama buku-buku dengan kualitas berat, khususnya filsafat," tutur Zoya.
Tapi, penulis cerpen Shoim Anwar sempat ragu apakah cerpen-cerpen tersebut betul-betul karya asli para TKW itu. "Saya tegaskan kepada mas Shoim, saya tidak pernah ikut campur dalam penulisan cerpen-cerpen mereka. Itu murni karya mereka," ujar sastrawan Bonari Nabonenar, yang menjadi penggagas acara tersebut.
Sementara itu, dalam diskusi yang dipandu oleh Autar Abdillah, Sekjen Dewan Kesenian Surabaya, para siswa SMA yang memenuhi ruangan Galeri Surabaya hingga terasa pengap dan panas itu bergairah menanyakan bagaimana kedua TKW tersebut menemukan proses kreatif mereka.
Tak sedikit pula peserta yang menanyakan apakah mereka menjadi TKW hanya karena dorongan kebutuhan ekonomi atau karena paksaan lingkungan, termasuk orangtua. [ant/ati]
Kompas [Jatim] Jumat, 16 September 2005
Denok Rokhmatika dari Malang dan Etik Juwita asal Blitar, dua TKW itu, membacakan karya mereka berupa cerita pendek (cerpen) pada acara pembacaan sastra buruh migran dan diskusi yang digelar di Galeri Surabaya hingga Kamis (15/9) tengah malam.
Denok, yang mengenakan blus putih dan celana panjang jean biru, menyajikan cerpen berjudul Suramadu, sedangkan Etik, yang memakai t-shirt ungu, menyuguhkan cerpen berjudul Seharusnya Berjudul Celana Dalam.
Meskipun mereka tampil apa adanya, pujian mengalir untuk cerpen mereka yang dinilai memiliki bibit kualitas sastra yang bagus.
Etik tampil dengan pembacaan lebih baik dan lebih menjiwai meskipun beberapa kali tampak gugup, sedangkan Denok, yang juga sarjana pendidikan bidang olahraga dari IKIP Negeri Malang, dengan pembacaan lebih kocak dengan plesetan-plesetan dalam cerpennya.
Anggota Komisi E DPRD Jatim, Imam Ghozaly Aro, yang juga pecinta sastra, sempat hadir dalam acara tersebut bersama anggota lainnya, Chusnul Huda Imam, yang mantan wartawan. Mereka mendorong Denok dan Entik untuk memublikasi karya mereka lewat koran-koran di Indonesia.
"Ini bagus sekali. Kirim saja ke koran-koran di Indonesia, pasti mereka mau memuat. Karya seperti ini kan merupakan bentuk perlawanan baru para buruh di luar negeri terhadap berbagai kesewenang-wenangan yang mereka terima. Saya sangat senang ada teman-teman sastrawan yang peduli terhadap buruh migran ini," katanya.
Lan Fang, penulis novel terkenal di Surabaya, langsung menyampaikan salutnya dengan menggunakan dua jempol.
Sementara itu, pengamat sastra Jil Kalarang juga memuji karya mereka. Bahkan, ia berencana untuk menghubungi sejumlah pemimpin media massa untuk menampung karya mereka secara kontinyu.
"Saya tadi bilang ke teman-teman (media massa) agar membuka mata. Ini karya sastra yang bagus, harus kita dukung. Sastra buruh migran ini akan menjadi isu baru setelah ada sastra kontekstual atau sastra pedalaman dan lainnya," ucap Jil.
Penulis novel Zoya Herawati mengatakan hal serupa. Narasi dan pilihan kata yang disajikan oleh Denok dan Etik dinilainya sudah bagus, meskipun tentu saja masih ada kekurangan pada karya mereka.
"Saya melihat belum ada pikiran pengarang dalam karya mereka. Kunci agar karya kita lebih kaya dan bagus adalah dengan banyak membaca, terutama buku-buku dengan kualitas berat, khususnya filsafat," tutur Zoya.
Tapi, penulis cerpen Shoim Anwar sempat ragu apakah cerpen-cerpen tersebut betul-betul karya asli para TKW itu. "Saya tegaskan kepada mas Shoim, saya tidak pernah ikut campur dalam penulisan cerpen-cerpen mereka. Itu murni karya mereka," ujar sastrawan Bonari Nabonenar, yang menjadi penggagas acara tersebut.
Sementara itu, dalam diskusi yang dipandu oleh Autar Abdillah, Sekjen Dewan Kesenian Surabaya, para siswa SMA yang memenuhi ruangan Galeri Surabaya hingga terasa pengap dan panas itu bergairah menanyakan bagaimana kedua TKW tersebut menemukan proses kreatif mereka.
Tak sedikit pula peserta yang menanyakan apakah mereka menjadi TKW hanya karena dorongan kebutuhan ekonomi atau karena paksaan lingkungan, termasuk orangtua. [ant/ati]
Kompas [Jatim] Jumat, 16 September 2005
0 urun rembug:
Post a Comment