Sunday 27 April 2008

Mengganti Kebut-kebutan dengan Kunjungan ke Panti Anak Yatim

Iki meh wayahe Lulusan bocah-bocah sekolah. Biasane, yang udah lulus lalu merayakannya dengan naik motor kebut-kebutan, saling mengotori baju dengan coretan-coretan yang takkaruan, dengan cat, dengan spidol, dan bahkan tahun lalu ada yang merayakan kelulusan itu dengan cium-ciuman habis-habisan.

Ini memang pemandangan yang sudah mentradisi di Indonesia kita. tetapi, dengan ini saya menawarkan kepada teman-teman yang kini sedang berada di luar negri, khususon yang ada di HK, yang mnerasa memiliki anggotakeluarga: anak, adik, keponakan, dan lain-lain, mohon diajak mengumpulkan baju-baju seragam mereka, untuk tidak dikotori dengan coretan cat dan spidol, untuk diserahkan kepada yang lebih memerlukannya. Disumbangkan kepada fakir bukanklah lebih hebat daripada dicorat-coret tak karuan begitu? Juga, betapa akan semakin indahnya jika kegiatan kebut-kebutan itu diganti dengan kunjungan ke Panti Asuhan, ke asrama anak-anak yatim, dan sebagainya.

Jika para orangtua dan bahkan para guru yang ada di Indonesia sudah tak begitu mereka gubris nasihat-nasihatnya berkaitan dengan "ritual kelulusan" ini, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa kawan-kawan kita di HK punya cukup "kekuasaan" untuk memaksa mereka melakukan kebaikan-kebaikan itu. Mau tak? Di situ soalnya. Oh, mau, ya? Salam!

Tuesday 8 April 2008

Mengadili Para Penulis Hantu

Tulisan Imam Cahyono berjudul Ghost-Writers (JP Minggu, 4 September 2005) sungguh menggelitik. Topik ini sebenarnya bisa digiring ke arah yang lebih fokus, dengan kepala yang sedikit lebih dingin, sehingga, misalnya, tidak memunculkan simpulan yang tampaknya terlalu menghakimi seperti dikemukakan Cahyono ini,

’’Ghost-writers telah berbohong kepada publik dan melakukan pembodohan masal. Alih-alih memberikan teladan dan menyumbangkan gagasan melalui karya-karya intelektual, hasil karya penulis hantu sejatinya malah menjerumuskan. Misi pencerahan dan edukasi pun nihil sebab hal ini berangkat dari ketidakjujuran.’’

Jika seorang Camat atau Bupati, misalnya, membayar seorang ’penulis hantu’ untuk menyusun pidatonya dan lahirlah pernyataan-pernyataan yang berpihak kepada rakyatnya, rasanya tidak ada yang perlu dirisaukan. Bukankah kelak, jika ternyata Sang Camat atau Sang Bupati mengeluarkan kebijakan publik yang bertentangan dengan isi pidatonya rakyat tinggal ’’memukulnya’’ dengan cara nagih janji, atau tidak memilih mereka lagi untuk masa jabatan berikutnya?

Dalam dunia sastra, misalnya, para penulis hantu bisa mengacaukan peta, mengaburkan bakal sejarah, dan mengecoh para peneliti yang dengan susah-payah telah memeras otak, mengucurkan keringat dan dana yang tidak sedikit, dengan penuh kejujuran. Sebab, seorang aktris bahenol yang ejaan pun belum paham benar, bukan mustahil dalam sekejap disulap menjadi seorang penyair, novelis, atau cerpenis oleh ’penulis hantu’.

Bisa merepotkan juga memang. Tetapi ’hantu-hantu’ seperti itu (dalam dunia kesusastraan) sudah bermunculan sejak zaman dahulu kala. Serat Darma Gandhul dan Gatholoco adalah dua buah contoh karya sastra yang ditulis oleh orang yang rasanya susah dipahami jika nama aslinya adalah Tanpa Aran seperti yang tercantum, sebab artinya adalah ’tanpa nama’ alias anonim. Saya pernah membaca buku yang diterbitkan dari hasil penelitian (studi teks) –maaf saya lupa penulisnya—yang mengemukakan dugaan kuat bahwa pengarang Darma Gandhul dan Gatholoco sebenarnya ialah Ronggo Warsito yang sering disebut-sebut sebagai pujangga terakhir dalam Sastra Jawa itu.

Lalu ada lagi nama Ki Panji Kusmin yang sosok sebenarnya juga masih misterius hingga saat ini, yang pernah menggegerkan dunia kesusastraan dan pengadilan di Indonesia karena cerpennya Langit MakinMendung. Ketika si pengarang (Ki Panji Kusmin) harus diseret ke meja hijau, justru HB Jassin yang maju, bukannya mengakui bahwa dia adalah pengarang yang juga memakai nama samaran Ki Panji Kusmin, melainkan sebagai sebentuk tanggung jawab karena ia --sebagai Redaktur Horison yang pernah memuat cerpen Langit Makin Mendung-- tidak bersedia membuka jatidiri pengarang yang telah memakai nama Ki Panji Kusmin itu. Dengan demikian, hingga kini Ki Panji Kusmin tetap boleh disebut sebagai pengarang/penulis ’hantu’?

Memang,’hantu’ seperti yang banyak disebut oleh Cahyono jelas berbeda dengan ’hantu’ yang menghasilkan Darma Gandhul, Gatholoco, maupun Langit Makin Mendung. Tetapi, justru di sinilah antara lain titik awal yang bisa kita perhatikan untuk mengurai benang kusut ’perhantuan’ dalam dunia kepenulisan/kepengarangan kita, untuk mendapatkan simpulan-simpulan yang lebih adil.

Rezim yang represif sering pula mendukung perkembangbiakan ’penulis hantu’. Jika seseorang merasa terancam untuk menyampaikan sebuah kebenaran yang diyakininya, menyamarkan diri dengan menulis menggunakan nama samaran adalah jalan yang terbaik, setidak-tidaknya jauh lebih baik daripada ia mendiamkan, misalnya, sebuah kezaliman melenggang di depan matanya.

Dalam kesusastraan, seorang Suparto Brata misalnya, memiliki banyak nama samaran. Ia menggunakan nama M Soleh ketika menulis cerita-cerita agamis (Islam), menggunakan nama Peni untuk menulis cerita yang mengambil sudut pandang (point of view) perempuan. Biasanya, sebagai pembaca, saya akan mengalami semacam gangguan estetis ketika membaca sebuah cerita yang ditulis oleh lak-laki dengan tetap menggunakan nama aslinya, sedangkan cerita itu sendiri meluncur dari ’aku’ seorang perempuan. Nah, seberapa berdosakah pengarang-pengarang yang ’menghantukan diri’ semacam Suparto Brata itu?

Dalam kaitannya dengan Sang Camat atau Sang Bupati atau Sang Gubernur yang ’memelihara’ seorang atau beberapa orang ’penulis hantu’ memang, seperti telah disebut di paragraf kedua tulisan ini, bisa tidak menimbulkan masalah berkaitan dengan materi tulisannya. Bukankah ada pepatah, ’’Simaklah apa yang dikatakan, dan jangan memandang siapa yang mengatakannya.’’

Kesibukan seorang pejabat/pemimpin, apakah ia bupati, gubernur, atau bahkan presiden, tampaknya lebih sering memaksa kehadiran seorang atau bahkan sekelompok orang ’penulis hantu’. Dan seperti yang dikemukakan Cahyono, ’penulis hantu’ dimaksud bukanlah penulis kacangan. Maka, dengan dukungan data-data yang tersedia, dia/mereka tentu akan melaksanakan tugas dengan baik. Untuk berbicara saja seorang pemimpin yang sibuk memerlukan jurubicara. Apalagi untuk menulis!

Tetapi, publik yang ’bodoh’ memang bisa terkecoh, misalnya citra terhadap Sang Bupati berubah karena kecanggihan retorika pada tulisan-tulisan ’penulis hantu’ atas nama Sang Bupati yang muncul di media cetak, di koran atau bahkan jadi buku. Tulisan-tulisan itu bisa mengubah (dari negatif ke positif) anggapan/penilaian pembaca/masyarakat terhadap penulis (bukan ’hantu’-nya), alias Sang Bupati. Padahal, masyarakat seharusnya mengukur kualitas seorang pemimpin terutama dari tindakannya: sikap dan perilakunya, terutama berkaitan dengan kebijakan publik yang diambil/dilakukannya.

Seperti juga dicontohkan Cahyono, tampaknya ’penulis hantu’ yang paling destruktif adalah yang melayani penulisan skripsi, tesis, atau bahkan disertasi. Seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap lalu mencoba-coba profesi tukang bikin skripsi, pun patut dikecam. Apalagi, jika posisi ’penulis hantu’ tukang bikin skripsi, tesis, atau bahkan disertasi itu dilakukan oleh seorang pegawai negeri, apalagi lagi oleh seorang dosen! Cobalah bayangkan, Si Pulan yang menjadi staf pengajar di Universitas Ngeri Kita itu ndilalah diambil menantu oleh Kanjeng Bupati yang tampaknya sangat kuat memegangi semboyan long life education. Program S2 pun sudah ditempuh dengan gampang. Lha, bagaimana lagi? Membayar SPP juga tak pernah terlambat. Bahkan, kalau memberi cinderamata teman sekelas --yang suka diminta mengisikan daftar hadir atau memotokopikan catatan pada hari beliau tidak masuk— jan nggak tanggung-tanggung: handphone, televisi, bahkan sepeda motor! Lha, kini tiba saatnya meneruskan ke program S3, untuk mendapatkan gelar doktor. Ndilalah lagi, kelas disiplin ilmu yang beliau pilih pas di situ ada sang menantu yang jauh lebih dulu bergelar Doktor sebagai salah seorang dosennya. Maka, Anda bisa tebak sendiri, manakah yang kira-kira dipilih Sang Menantu: mengurangajari mertua dengan menolak melakukan penelitian dan menyusun disertasi atas nama mertua (dengan begitu ia masuk golongan ’penulis hantu’) atau mengurangajari profesinya dengan merebut satu lagi gelar Doktor buat Sang Mertua! Doktor gadungan dengan ijasah asli, pasti lebih menakutkan daripada hantu! (Bonari Nabonenar, penulis, bukan hantu)


pernah dimuat Jawa Pos

Tuesday 1 April 2008

SUDUT BACA, PILIHAN ATAU KEHARUSAN ?

Oleh :Dwi Prihastuti*

Sungguh menarik saat membaca apa yang disampaikan oleh Bonari Nabobenar dalam opininya yang dimuat di harian Jawa Pos hari Selasa (18/03) kemarin. Dalam opininya tersebut Bonari seolah-olah (atau memang?) mengajak pembaca untuk memilih mana yang lebih penting antara hotspotisasi yang saat ini gencar dilakukan Pemkot dengan penyediaan sudut baca di Kota Surabaya.


Bagi saya pribadi, sebagai seorang pustakawati tentu akan memilih kedua-duanya karena sama-sama penting. Karena membaca dan mengakses internet bisa dibilang merupakan kebutuhan utama. Saya membaca untuk menambah ilmu sekaligus untuk rekreasi dengan bacaan yang ringan dan menyejukkan seperti novel Ayat-Ayat Cinta. Disisi yang lain, dalam mengakses internet pun juga ada aktivitas membaca. Baik membaca email dari teman dan kolega ataupun membaca info-info terbaru melalui situs berita seperti beritajatim.com dan detiksurabaya.com. Juga untuk berseluncur di situs-situs milik perpustakaan lain untuk meningkatkan kelimuan di bidang pustaka.

Tapi jika harus memilih salah satu, tentu saya memilih penyediaan sudut baca jauh lebih penting dari pada program hotspotisasi. Karena saya melihat bahwa menyediakan fasilitas yang mencerdaskan warganya seperti sudut baca merupakan sesuatu tanggung jawab yang mutlak bagi pemerintah kota Surabaya.

Meski hal tersebut sebetulnya tanggung jawab bersama, hingga saat ini setahu saya belum banyak pihak swasta yang mau membuka sudut baca. Seperti misal pak Kartono, mantan mucikari yang kini membuka taman bacaan Kawan Kami di lokalisasi Dolly. Bandingkan dengan fasilitas hotspot yang sudah banyak disediakan berbagai pihak. Mulai dari hotel-hotel, café di mall yang bertebaran di seantero kota Surabaya hingga Stasiun Pasar Turi tak luput dari fasilitas hotspost tersebut. Tapi apakah di kawasan tersebut tersedia fasilitas sudut baca? Anda bisa menjawab semua.

Namun demikian, bukan berarti saya anti hotspotisasi. Menurut hemat saya, itu bukan kebutuhan utama warga kota Surabaya. Setidaknya hingga lima tahun kedepan. Sebagaimana pertanyaan Bonari dalam opininya, perlu penelitan lebih lanjut tentang kebutuhan warga akan hotspotisasi. Berapa banyakkah warga kota Surabaya yang hobi ngenet di alam terbuka seperti taman prestasi, taman bungkul atau taman terbuka lainnya? Apalagi dalam musim hujan seperti sekarang ini. Jika saya punya laptop, saya pasti berpikir ribuan kali untuk ngenet di tempat terbuka dengan resiko kehujanan sewaktu-waktu. Masih enak ngenet di warnet atau di kantor.

Bukan hanya itu, jika dibandingkan dengan maraknya penderita gizi buruk di Surabaya akhir-akhir ini, kebutuhan akan hotspotisasi yang dibiayai oleh APBD juga perlu dipertanyakan. Sekali lagi, benarkah program tersebut dibutuhkan warga Surabaya mengingat masih banyak balita yang kurang gizi. Baik dalam artian gizi untuk tubuhnya yang dipenuhi oleh nutrisi dalam makanan dan gizi untuk otak dan jiwanya yang bisa dipenuhi dengan bacaan bermutu.

Selain tingkat kebutuhan, anggaran untuk penyediaan hotspotisasi mencapai Rp 3,5 Milyar juga sangat besar untuk kebutuhan yang tidak terlalu mendesak. Jika dana tersebut dihibahkan untuk mengelola taman bacaan atau sudut baca dengan asumsi tiap sudut baca butuh Rp 100 juta, maka akan tersedia 35 sudut baca bagi masyarakat di Surabaya.

Dengan dana tersebut, akan lebih banyak lagi anak-anak tidak mampu yang bisa melihat dunia melalui “jendela dunia” bernama buku. Dengan dana sebesar itu, kehadiran sudut baca bisa membius banyak anak-anak yang kurang bacaan menjadi pecandu. Pecandu buku! Itu karena berdasar pengalaman saya selama masih menjadi pustakawati di mobil pustaka PBA Sampoerna yang memberikan pelayanan ke SD-SD pinggiran. Saya melihat mereka sangat antusias untuk “menyerbu dan memamah” koleksi kami dengan lahap. Artinya, minat baca mereka sebetulnya cukup tinggi, namun fasilitas yang tersedia masih jauh dari cukup. Apalagi layak.

Saya percaya, jika diwujudkan, 35 sudut baca tersebut akan banyak berarti bagi masa depan Surabaya. Katakanlah setiap sudut baca itu dikunjungi 50 anak per hari, maka dalam sebulan akan ada 52.000 anak yang mendapat tambahan gizi bagi jiwa dan otaknya ! Bayangkan jika lebih banyak lagi sudut baca di kota metropolis ini.

Selain anak-anak yang dapat menikmati fasilitas sudut baca tersebut , perlu juga disediakan bahan bacaan untuk orang tua karena mereka juga punya peranan yang sangat penting untuk menumbuhkan mianat baca anak. Alangkah asyiknya jika banyak menemui orang tua dan anak asyik membaca buku bersama sebagaimana yang sering saya temui di taman bungkul setiap akhir pekan. Seharusnya layanan seperti perpustakaan keliling Badan Arsip dan Perpustakaan Surabaya tersebut diperbanyak.

Namun pada akhirnya semua kembali kepada kebijakan dari pemerintah kota Surabaya. Apakah pemkot benar-benar konsisten dengan Visi dan Misinya menjadi kota yang Smart and Care (Cerdas dan Perduli) dengan menyediakan fasilitas yang mencerdaskan rakyatnya yang tidak mampu. Atau hanya mencerdaskan mereka yang mampu. (mampu beli laptop dan mampu browsing gratis di cafe-café serta hotel). Atau, jauh lebih bijak dan merupakan win-win solution jika Pemkot mengakomodir kebutuhan warganya yang berasal dari dua strata tersebut. Hotspotisasi oke, sudut baca juga oke. []

*) Penulis adalah pustakawati SD Al Falah 1 Tropodo,
sedang alih jenjang di Fisip Unair.



CATATAN: Tulisan ini juga pernah dimuat di Jawa Pos, terima kasih kepada penulisnya yang telah memenuhi permintaan (setelah saya lacak di JP-online ora ketemu) untuk mengirim salinannya.