Tuesday, 8 April 2008

Mengadili Para Penulis Hantu

Tulisan Imam Cahyono berjudul Ghost-Writers (JP Minggu, 4 September 2005) sungguh menggelitik. Topik ini sebenarnya bisa digiring ke arah yang lebih fokus, dengan kepala yang sedikit lebih dingin, sehingga, misalnya, tidak memunculkan simpulan yang tampaknya terlalu menghakimi seperti dikemukakan Cahyono ini,

’’Ghost-writers telah berbohong kepada publik dan melakukan pembodohan masal. Alih-alih memberikan teladan dan menyumbangkan gagasan melalui karya-karya intelektual, hasil karya penulis hantu sejatinya malah menjerumuskan. Misi pencerahan dan edukasi pun nihil sebab hal ini berangkat dari ketidakjujuran.’’

Jika seorang Camat atau Bupati, misalnya, membayar seorang ’penulis hantu’ untuk menyusun pidatonya dan lahirlah pernyataan-pernyataan yang berpihak kepada rakyatnya, rasanya tidak ada yang perlu dirisaukan. Bukankah kelak, jika ternyata Sang Camat atau Sang Bupati mengeluarkan kebijakan publik yang bertentangan dengan isi pidatonya rakyat tinggal ’’memukulnya’’ dengan cara nagih janji, atau tidak memilih mereka lagi untuk masa jabatan berikutnya?

Dalam dunia sastra, misalnya, para penulis hantu bisa mengacaukan peta, mengaburkan bakal sejarah, dan mengecoh para peneliti yang dengan susah-payah telah memeras otak, mengucurkan keringat dan dana yang tidak sedikit, dengan penuh kejujuran. Sebab, seorang aktris bahenol yang ejaan pun belum paham benar, bukan mustahil dalam sekejap disulap menjadi seorang penyair, novelis, atau cerpenis oleh ’penulis hantu’.

Bisa merepotkan juga memang. Tetapi ’hantu-hantu’ seperti itu (dalam dunia kesusastraan) sudah bermunculan sejak zaman dahulu kala. Serat Darma Gandhul dan Gatholoco adalah dua buah contoh karya sastra yang ditulis oleh orang yang rasanya susah dipahami jika nama aslinya adalah Tanpa Aran seperti yang tercantum, sebab artinya adalah ’tanpa nama’ alias anonim. Saya pernah membaca buku yang diterbitkan dari hasil penelitian (studi teks) –maaf saya lupa penulisnya—yang mengemukakan dugaan kuat bahwa pengarang Darma Gandhul dan Gatholoco sebenarnya ialah Ronggo Warsito yang sering disebut-sebut sebagai pujangga terakhir dalam Sastra Jawa itu.

Lalu ada lagi nama Ki Panji Kusmin yang sosok sebenarnya juga masih misterius hingga saat ini, yang pernah menggegerkan dunia kesusastraan dan pengadilan di Indonesia karena cerpennya Langit MakinMendung. Ketika si pengarang (Ki Panji Kusmin) harus diseret ke meja hijau, justru HB Jassin yang maju, bukannya mengakui bahwa dia adalah pengarang yang juga memakai nama samaran Ki Panji Kusmin, melainkan sebagai sebentuk tanggung jawab karena ia --sebagai Redaktur Horison yang pernah memuat cerpen Langit Makin Mendung-- tidak bersedia membuka jatidiri pengarang yang telah memakai nama Ki Panji Kusmin itu. Dengan demikian, hingga kini Ki Panji Kusmin tetap boleh disebut sebagai pengarang/penulis ’hantu’?

Memang,’hantu’ seperti yang banyak disebut oleh Cahyono jelas berbeda dengan ’hantu’ yang menghasilkan Darma Gandhul, Gatholoco, maupun Langit Makin Mendung. Tetapi, justru di sinilah antara lain titik awal yang bisa kita perhatikan untuk mengurai benang kusut ’perhantuan’ dalam dunia kepenulisan/kepengarangan kita, untuk mendapatkan simpulan-simpulan yang lebih adil.

Rezim yang represif sering pula mendukung perkembangbiakan ’penulis hantu’. Jika seseorang merasa terancam untuk menyampaikan sebuah kebenaran yang diyakininya, menyamarkan diri dengan menulis menggunakan nama samaran adalah jalan yang terbaik, setidak-tidaknya jauh lebih baik daripada ia mendiamkan, misalnya, sebuah kezaliman melenggang di depan matanya.

Dalam kesusastraan, seorang Suparto Brata misalnya, memiliki banyak nama samaran. Ia menggunakan nama M Soleh ketika menulis cerita-cerita agamis (Islam), menggunakan nama Peni untuk menulis cerita yang mengambil sudut pandang (point of view) perempuan. Biasanya, sebagai pembaca, saya akan mengalami semacam gangguan estetis ketika membaca sebuah cerita yang ditulis oleh lak-laki dengan tetap menggunakan nama aslinya, sedangkan cerita itu sendiri meluncur dari ’aku’ seorang perempuan. Nah, seberapa berdosakah pengarang-pengarang yang ’menghantukan diri’ semacam Suparto Brata itu?

Dalam kaitannya dengan Sang Camat atau Sang Bupati atau Sang Gubernur yang ’memelihara’ seorang atau beberapa orang ’penulis hantu’ memang, seperti telah disebut di paragraf kedua tulisan ini, bisa tidak menimbulkan masalah berkaitan dengan materi tulisannya. Bukankah ada pepatah, ’’Simaklah apa yang dikatakan, dan jangan memandang siapa yang mengatakannya.’’

Kesibukan seorang pejabat/pemimpin, apakah ia bupati, gubernur, atau bahkan presiden, tampaknya lebih sering memaksa kehadiran seorang atau bahkan sekelompok orang ’penulis hantu’. Dan seperti yang dikemukakan Cahyono, ’penulis hantu’ dimaksud bukanlah penulis kacangan. Maka, dengan dukungan data-data yang tersedia, dia/mereka tentu akan melaksanakan tugas dengan baik. Untuk berbicara saja seorang pemimpin yang sibuk memerlukan jurubicara. Apalagi untuk menulis!

Tetapi, publik yang ’bodoh’ memang bisa terkecoh, misalnya citra terhadap Sang Bupati berubah karena kecanggihan retorika pada tulisan-tulisan ’penulis hantu’ atas nama Sang Bupati yang muncul di media cetak, di koran atau bahkan jadi buku. Tulisan-tulisan itu bisa mengubah (dari negatif ke positif) anggapan/penilaian pembaca/masyarakat terhadap penulis (bukan ’hantu’-nya), alias Sang Bupati. Padahal, masyarakat seharusnya mengukur kualitas seorang pemimpin terutama dari tindakannya: sikap dan perilakunya, terutama berkaitan dengan kebijakan publik yang diambil/dilakukannya.

Seperti juga dicontohkan Cahyono, tampaknya ’penulis hantu’ yang paling destruktif adalah yang melayani penulisan skripsi, tesis, atau bahkan disertasi. Seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap lalu mencoba-coba profesi tukang bikin skripsi, pun patut dikecam. Apalagi, jika posisi ’penulis hantu’ tukang bikin skripsi, tesis, atau bahkan disertasi itu dilakukan oleh seorang pegawai negeri, apalagi lagi oleh seorang dosen! Cobalah bayangkan, Si Pulan yang menjadi staf pengajar di Universitas Ngeri Kita itu ndilalah diambil menantu oleh Kanjeng Bupati yang tampaknya sangat kuat memegangi semboyan long life education. Program S2 pun sudah ditempuh dengan gampang. Lha, bagaimana lagi? Membayar SPP juga tak pernah terlambat. Bahkan, kalau memberi cinderamata teman sekelas --yang suka diminta mengisikan daftar hadir atau memotokopikan catatan pada hari beliau tidak masuk— jan nggak tanggung-tanggung: handphone, televisi, bahkan sepeda motor! Lha, kini tiba saatnya meneruskan ke program S3, untuk mendapatkan gelar doktor. Ndilalah lagi, kelas disiplin ilmu yang beliau pilih pas di situ ada sang menantu yang jauh lebih dulu bergelar Doktor sebagai salah seorang dosennya. Maka, Anda bisa tebak sendiri, manakah yang kira-kira dipilih Sang Menantu: mengurangajari mertua dengan menolak melakukan penelitian dan menyusun disertasi atas nama mertua (dengan begitu ia masuk golongan ’penulis hantu’) atau mengurangajari profesinya dengan merebut satu lagi gelar Doktor buat Sang Mertua! Doktor gadungan dengan ijasah asli, pasti lebih menakutkan daripada hantu! (Bonari Nabonenar, penulis, bukan hantu)


pernah dimuat Jawa Pos

0 urun rembug: