Monday 31 August 2009

FSJ-D 2009: Percepat Perbaikan Jalan

Dalam setiap Rapat Panitia selalu muncul pernyataan dalam nada bangga bahwa kami akan kedatangan banyak tamu dari berbagai wilayah di Jawa. Sejak awal memang saya memaparkan bahwa untuk Festival Sastra Jawa saya akan mengundang para seniman/sastrawan Jawa, termasuk akademisinya dari berbagai wilayah di Jawa, dari Jakarta hingga Banyuwangi.


Saya juga mengatakan bahwa setidaknya dua perguruan tinggi yang sudah siap mendukung acara ini yakni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) melalui Fakultas Bahasa dan Seni-nya dan Universitas Negeri Semarang (Unnes) melalui Jurusan Bahasa Jawa-nya. Selain gambaran mengenai para tamu, apa yang diharapkan Panitia sesuai dengan proposal juga saya kemukakan, bahwa jika dikabulkan, Panitia berharap FSJ-D 2009 dapat dibuka oleh Gubernur Jawa Timur.

Salah satu dampak dari gambaran seperti itu adalah ke-gupuh-an tokoh masyarakat Desa Cakul beserta warga, terutama yang terlibat di dalam kepanitiaan. Lalu diserukanlah agar warga yang tinggal di tepi jalan ikut bersiap dengan memperbaiki pagar, membersihkan jalan, dan lain-lain, yang pada intinya adalah diserukannya upaya mematut diri agar tidak memalukan.

Saya memandang ketergopohan itu sebagai hal positif. Tetapi, saya juga mencoba menjelaskan bahwa ketergopohan itu tidak perlu terlalu berlebihan. Saya beranggapan bahwa, misalnya, kemiskinan yang akan terlihat dari kondisi rumah dan lingkungan yang nanti akan terlihat oleh rombongan pejabat, baik dari Kabupaten maupun dari provinsi, bukanlah hal yang memalukan. Kalau berpikir positif, saya kira keadaan seperti itu justru tidak perlu ditutup-tutupi, karena dengan demikian kami akan tampil sejujurnya. Jangan sampai suasana pedesaan yang sudah dibayangkan oleh para undangan dari kota-kota yang jauh itu justru hilang karena upaya mematut diri berlebihan.

Makanan khas pedesaan, udara pegunungan yang dingin menusuk, tidur di tempat ala kadarnya, dan hal-hal lain yang segera menyadarkan siapa pun bahwa sedang berada di desa yang jauh dari kota adalah jualan kami. Hal yang rasanya wajib disuguhkan kepada para tamu dari kejauhan itu pertama-tama adalah kebersihan. Andaikata tidak mampu memagari sepanjang jalan, cukuplah kalau jalan itu bersih. Kalau pun aspal jalan sudah banyak berlubang, dan seandainya terpaksa dibiarkan begitu, itu bukanlah hal yang memalukan bagi warga desa, bukan? Tetapi, kalau bisa diupayakan, misalnya agar lubang-lubang di jalan itu bisa ditambal, mengapa tidak dicoba? Itulah yang disarankan, dan Panitia melakukannya, mengajukan usulan ke Kabupaten untuk perbaikan jalan masuk menuju lokasi festival.

Ternyata tak sampai hitungan minggu setelah surat permohonan diajukan, petugas survei datang. Dan penambalan jalan aspal itu dilakukan jauh hari sebelum pelaksanaan festival. Selain perbaikan jalan, secara gotong-royong warga pun memagari jalan masuk menuju lokasi festival. Maka, harap dimaklumi jika sesekali muncul celetukan dari Panitia bahwa FSJ-D 2009 telah membantu mempercepat perbaikan jalan desa itu.[]

Bandha Nekad

Tetapi, saya tidak akan menolak jika pun ada yang menyebut saya dan kawan-kawan Panitia sebagai bonek (bandha nekad). Di dalam proposal yang kami buat, kami menyebut perlu dana hampir Rp 60 juta untuk FSJ-D 2009, dan sebagai modal Panitia sudah mengantongi dana dari kas OPSJ (Organisasi Pengarang Satsra Jawa sebesar Rp 5 juta, ditambah swadaya masyarakat senilai sekitar Rp 30 juta. Ternyata, mengenai swadaya masyarakat, dari pembuatan joglo, pembuatan pagar jalan, pembangunan gardu pandang, dan lain-lainnya, pasti nilainya lebih dari Rp 50 juta jika semuanya dirupiahkan.


Itulah yang membanggakan. Masyarakat desa dengan sukarela mendukung persiapan hingga pelaksanaan acara rampung. Mereka tidak dibayar. Betapa banyak dana yang mesti disiapkan jika semua harus dibayar dengan uang. Jika perlu ongkos pula untuk rumah warga yang dijadikan home stay dadakan itu. Jika segenap peserta diganti uang transportasi mereka. Jika para juru masak yang sekurang-kurangnya dalam 3 hari bekerja terus-menerus siang dan malam itu mesti dibayar pula.

Bukan saja karena diselenggarakan di desa terpencil, desa yang belum terbaca oleh Google Earth, yang disebut Beni Setia tidak tertera dalam peta dengan skala 1 : 10.000 (Jawa Pos, Minggu, 02 Agustus 2009), FSJ-D 2009 adalah acara yang besar dilihat dari jumlah pesertanya. Tak kurang dari 600 orang hadir dalam acara pembukaan, terdiri atas calon peserta Seminar Pembelajaran Bahasa Jawa, calon peserta Sarasehan Sastra, dan calon peserta Sarasehan Desa ditambah para pejabat dari berbagai dinas/instansi tingkat Kecamatan Dongko dan Kabupaten Trenggalek.

Dalam beberapa kali rapat koordinasi antara Panitia dengan tokoh masyarakat dan lembaga pemerintah (di tingkat Kecamatan Dongko: Muspika dan Unit Dinas Pendidikan) saya tidak berani menyebut angka lebih dari 100 untuk jumlah undangan sastrawan yang akan datang dari berbagai kota di Jawa. Saya hanya mengatakan bahwa undangan yang saya sebar sekitar 100-an, tetapi mengingat lokasi Festival yang tergolong susah dijangkau, kalau datang 50 hingga 60 orang saja Panitia akan merasa senang. Ternyata, seniman/sastrawan yang hadir malah 100 orang lebih.

Seusai pembukaan, acaranya pun digelar serentak atau secara paralel di 3 tempat: [1] Seminar Pembelajaran Bahasa Jawa di SMP Negri Satu Atap 2 Dongko (di tempat yang sama dengan acara pembukaan), [2] Sarasehan Sastra di Joglo Nglaran, dan [3] Sarasehan Desa di MTs Nurul Huda Desa Cakul.[]

Tuesday 25 August 2009

Bulan Berserakah

Memang, Allah menciptakan bulan Ramadhan sebagai bulan penuh berkah. Tetapi, yang namanya manusia, kita ini, sering jadi kelewat usil. Dan untuk keusilan yang tak jarang menjurus-jurus ke hal-hal jahat itu kita sematkan sebutan atau istilah-istilah pembenar: kreativitas. Dhasar menus! Ya, ta? Enak ta? Sudah benar-benar salah pun masih berkelit.


Mengaku atau pun mungkir, banyak di antara kita ini adalah manusia pendendam. Ketika siang hari mesti menahan lapar dan dahaga, tidak makan dan tidak minum (dan diam-diam masih suka ngintip hal-hal yang potensial membatalkan puasa?) maka lihatlah pasar-pasar modern maupun tradisional: manusia berjubel bahkan ngantre pun dilakoni untuk berbelanja kebutuhan perut.

Dan ketika bedug maghrib ditabuh dan adzan dikumandangkan, kata yang pertama terlontar pun adalah: ’’Serrrrrbbbbuuuuuu....!’’ Benar-benar ekspresi sebuah pembalasan dendam. Meja pun tiba-tiba kurang luas untuk menampung nasi, sayur, lauk, buah, dan aneka menu takjil. Lalu, manusia pun menjelma Prabu Dewatacengkar: jangankan lembu atau rusa, kalau bisa (sesama) manusia pun dilahapnya. Dan bulan penuh berkah pun menjelma bulan berserakah.

Keserakahan perut ternyata belum seberapa. Keserakahan hati bisa jadi lebih nggegirisi. Di atas keserakahan hati itu, perbuatan baik pun bisa menelan korban. Berpuluh jiwa bisa melayang karenanya. Karena manusia serakah, karena beramal pun menjadi media penyaluran syahwat bergagah-gagah. Ada yang menyebarkan duit dari langit (dengan pesawat), ada yang menjejal-jejalkan manusia lain di tanah lapang. Alih-alih kegembiraan karena bisa ikut menikmati sedekah, berpuluh orang, tahun lalu, meregang nyawa, karena terhimpit dan terinjak-injak manusia lain ketika mengantre sedekah atau zakat.

Korban sudah terlalu banyak, dan kita layak mengenangnya untuk memerkaya pemahaman kita tentang kehidupan yang makin hari makin rumit ini.

Suatu hari, Sumi yang sedang kemaruk-kemaruknya menjadi menantu baru itu pun mengajak suaminya ke desa, menjenguk sekalian mengirimi mertuanya makanan-makanan khas kota: berbagai jenis kue dan roti, pokoknya yang aneh-aneh. Beberapa hari Sumi menjelajah berbagai mal untuk mendapatkan makanan aneh-aneh yang ia berharap, mertuanya belum pernah menyantap, bahkan melihatnya.

Sumi membelanjakan lebih dari sejuta rupiah uangnya, dari gaji suaminya, dengan riang. Kalau bicara soal ikhlas, dalam hal memberikan makanan, dan kelak juga pakaian kalau sudah mendekati lebaran, kepada Sang Mertua, keikhlasan Sumi lebih dari 1000 persen. Suaminya yang ngrejekeni dan gagah bin tampan itu tidak bisa dinilai dengan harta benda bukan? Sumi menyadari itu sepenuhnya. Dan seandainya orangtua suaminya bukan mertuanya yang sekarang ini, apakah bersedia juga menyerahkan putra tertampannya ke dalam pelukannya agar bisa digendong di mana-mana? Iya ta? Enak ta?

Singkat cerita, Sang Mertua sangat terharu dengan ketergopohan Sang Menantu. Wis datang jauh keraya-raya, bermobil ratusan kilometer hanya untuk mengantarkan badhogan, jal ta! Rak ndlomok tenan ta? Maka, ora ketang rada asing di perasaan, dilahaplah makanan antaran Sang Menantu itu. Senajan rasane saka rumangsana galor-ngidul, ya dienak-enakke. Nggo nyenengke sing ngeteri.

Dan akibatanya ialah: mencret! Celakanya, Sumi tak pernah diberi tahu. Dan perihal mencret karena makanan kutha kuwi mau tetap mejadi rahasia sampai sehari sebelum tulisan ini dibuat.

Semoga pada saat yang tidak terlalu lama lagi Sumi pun tahu untuk kemudian menyadari bahwa sebaiknya, jika mau memberikan sesuatu kepada orang lain pakailah ukuran kebutuhan orang yang akan kita beri dan bukannya memakai ukuran kita. Sebab, selalu memakai ukuran diri sendiri pada hakikatnya adalah keserakahan juga. [Kang Ndemun]