Itulah yang membanggakan. Masyarakat desa dengan sukarela mendukung persiapan hingga pelaksanaan acara rampung. Mereka tidak dibayar. Betapa banyak dana yang mesti disiapkan jika semua harus dibayar dengan uang. Jika perlu ongkos pula untuk rumah warga yang dijadikan home stay dadakan itu. Jika segenap peserta diganti uang transportasi mereka. Jika para juru masak yang sekurang-kurangnya dalam 3 hari bekerja terus-menerus siang dan malam itu mesti dibayar pula.
Bukan saja karena diselenggarakan di desa terpencil, desa yang belum terbaca oleh Google Earth, yang disebut Beni Setia tidak tertera dalam peta dengan skala 1 : 10.000 (Jawa Pos, Minggu, 02 Agustus 2009), FSJ-D 2009 adalah acara yang besar dilihat dari jumlah pesertanya. Tak kurang dari 600 orang hadir dalam acara pembukaan, terdiri atas calon peserta Seminar Pembelajaran Bahasa Jawa, calon peserta Sarasehan Sastra, dan calon peserta Sarasehan Desa ditambah para pejabat dari berbagai dinas/instansi tingkat Kecamatan Dongko dan Kabupaten Trenggalek.
Dalam beberapa kali rapat koordinasi antara Panitia dengan tokoh masyarakat dan lembaga pemerintah (di tingkat Kecamatan Dongko: Muspika dan Unit Dinas Pendidikan) saya tidak berani menyebut angka lebih dari 100 untuk jumlah undangan sastrawan yang akan datang dari berbagai kota di Jawa. Saya hanya mengatakan bahwa undangan yang saya sebar sekitar 100-an, tetapi mengingat lokasi Festival yang tergolong susah dijangkau, kalau datang 50 hingga 60 orang saja Panitia akan merasa senang. Ternyata, seniman/sastrawan yang hadir malah 100 orang lebih.
Seusai pembukaan, acaranya pun digelar serentak atau secara paralel di 3 tempat: [1] Seminar Pembelajaran Bahasa Jawa di SMP Negri Satu Atap 2 Dongko (di tempat yang sama dengan acara pembukaan), [2] Sarasehan Sastra di Joglo Nglaran, dan [3] Sarasehan Desa di MTs Nurul Huda Desa Cakul.[]
0 urun rembug:
Post a Comment