Tuesday 27 May 2014

Memimpikan Rumah Buruh Migran Indonesia

Di hadapan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Malang yang duduk bersama beberapa narasumber pada Sarasehan dalam rangka Peringatan Hari Buruh (Kompleks Dewan Kesenian Kota Malang, 1 Mei 2014) saya menyatakan betapa pentingnya untuk dibangun Rumah Buruh Migran Indonesia di Malang. Sebagai gambaran saya menyebutkan bahwa fasilitas (baca: bangunan fisik) seperti yang dimiliki Dewan Kesenian Kota Malang itu tidaklah terlalu mewah bila dapat diwujudkan untuk Buruh Migran Indonesia (BMI). Menilik apa yang sudah diberikan oleh BMI kepada negara, seharusnya pemerintah bisa keluar dana semilyar dua milyar rupiah seperti mengeluarkan uang receh.

Malang-Kabupaten, Kota, atau Malang Raya (= Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) pantas menjadi pelopor pembangunan Rumah BMI mengingat posisinya di klasemen papan atas dalam jumlah BMI yang berangkat ke luar negri dari wilayah tersebut. Memulai merancang/membangun Rumah BMI di Jawa Timur tahun ini (2014) adalah sangat tepat, mengingat Gubernur Jawa Timur telah mencanangkan Tahun 2914 sebagai Tahun Kebudayaan. Adalah wajib hukumnya, seharusnya, mengurusi BMI dengan pendekatan kebudayaan, bukan semata-mata dengan pendekatan ekonomi-pasar. Lebih dari itu, jika mau disebut mau lebih memanusiakan BMI, Pemerintah Indonesia seharusnya berpikir dan segera melaksanakan pembangunan rumah-rumah BMI di daerah-daerah yang banyak mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negri.

Bayangkanlah sebuah kompleks bangunan yang memiliki fasilitas ruangan untuk seminar/sarasehan, kantor untuk kesekretariatan, pendapa untuk pertunjukan kesenian, pemutaran film, ruang perpustakaan, gudang perkakas, toilet, dan lain-lain, termasuk sambungan internet yang dapat diakses secara nirkabel.

Lalu, seandainya Rumah BMI itu sudah dapat diwujudkan, siapa yang akan menempati dan mengelolanya? Tentu, bangunan dan segala fasilitasnya adalah aset negara, yang pengelolaannya dapat diserahkan kepada/dilakukan oleh lembaga yang benar-benar konsern pada urusan BMI. Tampaknya lembaga baru/organisasi nonpemerintah perlu dibentuk untuk ini. Sementara itu, lembaga-lembaga atau organisasi nonpemerintah yang selama ini sudah terbukti besar sumbangannya pada pengentasan persoalan-persoalan BMI sedapat-dapatnya, jika menginginkan, diakomodasi untuk berkantor di Rumah BMI ini.

Pusat Dokumentasi


Pada umumnya kita lemah dalam hal dokumentasi. Tak terkecuali di bidang per-BMI-an. Banyak film dibuat. Foto-foto, berita, bahkan karya sastra tentang dan/atau oleh BMI sudah banyak terbit sebagai buku. Cobalah kita cari tahu, lembaga Pemerintah Republik Indonesia mana yang memiliki koleksi lengkap buku karya kawan-kawan BMI di Hong Kong? Kemenakertrasn? Kemendikbud? Kemenparekraf? Badan Bahasa? BNP2TKI? Atau, KJRI/KBRI di Negara-negara tempat BMI bekerja?

Siapa pula yang selama ini mengkliping berita-berita yang menyangkut BMI, dan menyimpan/merawatnya dengan baik? Jika kita perlu menggelar foto-foto para almarhum/almarhumah BMI yang telah dihukum mati di luar negri, di mana kita bisa mendapatkannya secara lengkap? Di mana pula kita bisa mendapatkan informasi lengkap mengenai profil usaha sukses yang dijalankan oleh mantan BMI? Dan masih ada sekian banyak pertanyaan sejenis.

Merawat/menyimpan benda-benda informatif itu akan sangat bagus untuk ”melawan lupa.” Bahkan, akan sangat berguna bagi generasi kesekian kita kelak, jika keadilan sosial dan kemakmuran sudah benar-benar dirasakan semua warga negara, ketika pemerintah tidak perlu lagi menjadi eksportir tenaga kerja terutama di sektor informal. Generasi kesekian itu kelak akan belajar, dan menjadi lebih waspada, sebab sudah terbukti ketika salah mengelola kekayaan bangsa, rakyat pun bisa jadi ibarat burung pipit mati di sawah.

Tempat Pelatihan

Rumah BMI juga dapat digunakan sebagai tempat pelatihan/bengkel kerja, termasuk jika instansi pemerintah mengundang mantan BMI untuk diberi pelatihan ketrampilan tertentu.

Rumah BMI dapat menjadi tempat jujugan bagi BMI yang sedang memanfaatkan waktu cutinya di tanahair, sekadar menyambangi atau malah membuat acara, misalnya peragaan busana, pementasan teater, peluncuran buku, dan lain-lain.

Rumah BMI-lah yang sesungguhnya layak menyandang sebutan dan menyatakan sebagai ”Pusat Informasi TKI” atau ”Pusat Informasi BMI” yang sesungguhnya, dan bukan sekadar/hanya menyediakan informasi mengenai lowongan kerja di luar negri.

Dekat Terminal Bus atau Bandara

Tampaknya, lokasi paling strategis untuk Rumah BMI adalah di dekat bandara atau terminal bus. Ketika berada di dekat bandara, bisa jadi jujugan keluarga pengantar/penjemput BMI, untuk sekadar beristirahat atau bahkan menginap. Ketika berada di dekat terminal bus, dijangkau dengan angkutan umum dari berbagai kota akan lebih mudah, mengingat Rumah BMI juga diharapkan menjadi prasarana untuk memperkokoh jaring persaudaraan/solidaritas antar-BMI.

Jika bengkel kerja, pelatihan, pameran, pementasan, sarasehan, dan kegiatan-kegiatan lain terus digelar di Rumah BMI, niscaya agenda kegiatan akan padat, dan peluang untuk melengkapinya dengan kantin yang sekaligus berfungsi sebagai laboratorium usaha bersama pun akan semakin terbuka.

Pembuktian

Orang boleh saja memandang impian seperti ini (membangun Rumah BMI) adalah impian ngayawara atau mengada-ada. Tetapi, bagi saya, bisa terealisasi atau tidak pada akhirnya juga akan menunjukkan kepada kita, apakah pemerintah tulus ketika menyebut BMI sebagai Pahlawan Devisa, atau sekadar sejenis olok-olok.

Lalu, bagaimana jika pemerintah memandang bahwa membangun Rumah BMI itu tidak penting? Itu tidak terlalu penting. Maksudnya, tak begitu jadi soal, sejauh BMI serentak memandangnya sebagai hal yang penting untuk segera diwujudkan. Seharusnya gerakan pengumpulan uang receh bisa dilakukan, lalu kita buktikan, siapa yang bisa mengolok-olok dengan cara yang cukup indah! *