Tuesday 27 December 2011

Kewirausahaan untuk Melindungi TKI

Bonari Nabonenar*

Dalam acara Debat Calon Bupati melalui televisi pada suatu waktu muncul pertanyaan begini: ’’Ponorogo sebagai salah satu kabupaten yang mengirimkan banyak TKI ke luar negri tentu akan menerima kiriman devisa yang banyak pula. Jika anda terpilih menjadi pemimpin di kabupaten ini, apa yang akan anda lakukan untuk menyelematkan devisa itu, dan dengan demikian juga menyelamatkan para TKI itu agar dengan modal yang mereka peroleh mereka bisa mengembangkan usaha di kampung halaman dan tidak perlu terus ulang-alik ke luar negri?’’


Kalimat pertanyaan aslinya tidak persis seperti itu, tetapi begitulah intinya. Dan mari kita simak jawaban para kandidat. Ini pun tidak ditulis persis. Tetapi tidak mengurangi esensinya, dan tidak ada kata yang dilebih-lebihkan dalam kutipan berikut.

Salah seorang kandidat menjawab, ’’Pertama harus kita sepakati dulu bahwa masalah TKI ini adalah masalah pelayanan. Berangkatnya yang susah, ada banyak masalah. Itu yang harus kita selesaikan dulu. Perkara nanti kalau dapat duit, ya tentunya kita akan memfasilitasi agar mereka bisa berusaha. Itu kalau mereka mau. Kalau tidak mau ya biarin aja, wong itu duit-duitnya sendiri….’’

Kandidat berikutnya mengawali kalimatnya dengan beberapa kata yang terasa akan mengarah ke jawaban yang tepat, ’’Soal dana yang didapat para TKI ini kita memang perlu mengarahkan dan membina agar bisa dikembangkan sebagai modal usaha produktif, tidak sekadar membangun rumah mewah, tetapi mari kita investasikan sesuai dengan peluang yang ada di Kabupaten Ponorogo….’’ tetapi, sayangnya, ini jadi semacam kalimat tidak selesai karena disambung dengan kata-kata yang melebar ke perbankan dan peningkatan akses masyarakat umum termasuk selain TKI atau mantan TKI untuk pengembangan kewirausahaan, bukannya menawarkan contoh nyata kebijakan macam apa yang akan ditempuh nanti.

Kandidat ketiga menyatakan bahwa jawaban kandidat sebelumnya sudah bagus. Tetapi, tiba-tiba ia menukik, ’’cuman kalau menurut saya yang tidak bagus yang nanyak itu. Pertanyaan di TKI itu poinnya bukan di situ. Tetapi, perlindungannya dulu. Bagaimana TKI ini berangkatnya baik, bekerja baik, pulangnya baik. Ini koreksi untuk pertanyaannya dulu.’’ Lhadalah! Sungguh, jawaban yang sangat menjengkelkan.

Tulisan Ririn Handayani, Memutus Lingkaran Setan TKI (JP, 27/11) sangat bagus, dan itulah persoalan yang sepertinya kurang disadari para pemangku kepentingan/kuasa TKI selama ini. Urusan TKI adalah urusan manusia, adalah urusan multidimensi, dan karenanya akan terlalu berat jika dibebankan hanya kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan apalagi, maaf, dengan menteri yang ditunjuk hanya (?) karena harus mendapatkan jatah kursi berkat Partainya. Jika semua lembaga yang mengurusi manusia Indonesia berkoordinasi dengan baik mengurusi TKI kita secara sungguh-sungguh, tentulah urusannya tidak serunyam sekarang ini. Mungkin juga tidak diperlukan lembaga-lembaga ekstra macam komisi atau apa.

Tetapi, pertanyaan besarnya adalah: apakah kita, khususnya pejabat pembuat kebijakan kita menyadari bahwa mengirimkan TKI ke luar negri untuk menjadi pekerja industri dan terlebih lagi pekerja rumah tangga adalah kebijakan yang bersifat darurat? Apakah mereka punya target, misal 20 atau 25 tahun ke depan kita akan kokoh sebagai bangsa yang bisa benar-benar mandiri, dan tanpa aturan pelarangan pun tak akan ada lagi warga negara yang tergiur untuk menantang risiko sakit atau bahkan mati di luar negri karena di dalam negri sendiri sudah bisa bekerja dan hidup berkecukupan?

Jika kesadaran seperti itu ada, pastilah, tanpa mengurangi keseriusan penanganan persiapan pemberangkatan dan perlindungan TKI yang masih di luar negri, urusan mempersiapkan mereka menjadi entrepreneur di negri sendiri adalah sangat penting. Pastilah, tidak ada pejabat, apalagi seorang pemimpin yang dengan enteng melontarkan kalimat, ’’itu kan duit-duit mereka sendiri…..!’’

Konsumtif

Datanglah ke kampung-kampung TKI, dan Anda akan menemui pemandanagan yang mengagetkan. Rumah-rumah bagus, tetapi sepi, dan loket penukaran mata uang asing pun bertebaran di kota-kota kecil. Seorang teman di Blitar memberikan saran, ’’Jangan beli motor di Blitar menjelang lebaran,’’ karena biasanya harus inden, rela berlama mengantri. Begitulah, di Blitar, beli motor seperti beli baju saja. Enteng saja pakai motor-baru saat Lebaran. Bahkan, juga mobil, bersliweran di kampung-kampung.

Sebuah bank nasional menawarkan kredit rumah (mewah) seharga ratusan juta rupiah di setengah halaman warna sebuah koran bulanan yang dicetak dan diedarkan untuk komunitas pekerja rumah tangga asal Indonesia di Hong Kong. Industri/ pedagang furniture, motor, dan barang-barang elektronik di tanah air pun menyebarkan brosur penawarannya di Hong Kong. Jadi, para pekerja rumah tangga asal Indonesia di Hong Kong itu bisa bertransaksi jual-beli di Hong Kong, dan tinggal tunggu kabar dari kampung bahwa barang-barang yang dibeli itu sudah terkirim ke rumah. Bukan hanya barang-barang kasatmata berkait kebutuhan rumahtangga sehari-hari. Benda-benda azimat dan bahkan tuyul pun konon diperjualbelikan pula dengan cara transaksi modern seperti itu.

Biasanya TKI pulang kampung dan membeli barang-barang konsumtif dengan penuh nafsu. Akibatnya, mulai enam bulan pertama, satu per satu barang-barang baru pun kembali terjual. Pada ujungnya, tak ada lagi pilihan: kembali lagi ke luar negri. Begitu berulang-ulang, sampai tua. Mereka seperti sisipus yang dikutuk para dewa dalam mitos Yunani Kuno. Pemerintah yang tak hanya memburu kepentingan sesaat harus punya program yang nyata untuk memutus kutukan tersebut.

Sudahkah kita pernah mendengar, misal, sebuah kabupaten menyiapkan kawasan bisnis, membangun ruko-ruko murah untuk dikredit-kan kepada para TKI-nya, menyiapkan bengkel-bengkel kerja (workshop) untuk pelatihan kewirausahaan bagi suami/istri TKI yang ada di desa? Banyak orang keburu berpikir bahwa bantuan untuk para TKI/mantan TKI itu pertama-tama adalah uang dalam bentuk pemberian kredit dari bank. Padahal, pengembangan wawasan dan ketrampilan mereka jauh lebih penting. Kalau bank punya uang yang mau disalurkan, salurkanlah kepada mereka yang belum telanjur berangkat ke luar negri. Dan dampingilah mereka. ILO Jatim dapat menunjukkan beberapa koperasi mantan TKI dan komunitas mantan TKI yang didampingi dan menunjukkan keberhasilan yang menggembirakan di Jawa Timur. Komunitas TKI/Mantan TKI yang sukses didampingi pemerintah, mana?

Inspirasi

Sesungguhnya ada cukup banyak kisah keberhasilan mantan TKI, yang di kampung halamannya sukses mengembangkan usaha. Ada yang menjadi petani sukses sambil menjadi dosen, ada yang menjadi pengusaha bordir dan menyerap cukup banyak tenaga kerja di sekitarnya, ada yang berhasil membangun perusahaan jasa travelling, dan bahkan ada pula yang mendirikan PJTKI. Kisah sukses mereka ini seharusnya dapat digunakan untuk menginspirasi para TKI. Bisa mulai diperkenalkan kepada para calon TKI di barak penampungan/pelatihan sebelum keberangkatan mereka, kepada para TKI di negara tempat mereka bekerja, dan kepada para mantan TKI. Tampaknya hal bagus ini belum dilakukan. Saya pernah menghadiri workshop kewirausahaan yang diselenggarakan Disnaker Jatim, seoraang mantan TKI yang sukses diundang pula. Tetapi, saya melihat upaya ini belum optimal.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pernah pula memberikan penghargaan tahunan kepada para TKI sukses. Tetapi, entah karena apa, kegiatan yang sangat baik itu tidak berlanjut. Jawa Timur sebagai provinsi yang terbanyak mengirim TKI (dari sekitar 130.000 pekerja rumah tangga asal Indonesia di Hong Kong, 80% di antaranya berasal dari jawa Timur) pun sepertinya belum tertarik untuk menyelenggarakannya.

Lagi-lagi, ini momentum yang baik untuk bersama-sama berbuat bagi bangsa, melalui kepedulian terhadap para pejuang ekonomi bangsa yang kita sebut TKI itu. Mari bertindak sekarang juga, atau kita mau kembali kecele, ketika para TKI itu membuktikan, menyodorkan pemandangan nyata ke depan mata kita, bahwa sesungguhnya hanya mereka sendirilah yang bisa berbuat, bahkan untuk kita, sedang kita hanya plonga-plongo saja ketika menyaksikan, misalnya: ratusan juta rupiah mengalir dari keringat para TKI kita (dari Hong Kong saja) untuk para korban bencana Merapi, Lapindo, Gempa Bantul (Yogyakarta), dan lain-lain, ketika melalui komunitas-komunitas penulis di Hong Kong, para TKI kita telah membangun proyek kebudayaan, gerakan literasi, yang, jika diuangkan melalui APBD/APBN bisa bernilai triliunan rupiah! Nah, lho!*

Keterangan Foto: Para Perempuan Pekerja Migran asal Indonesia sedang menikmati hari libur mereka di Victoria Park, Hong Kong

[FOTO: MICHA OBOEDENY]

Monday 26 December 2011

JAWA: PERLU BEBERAPA KONGRES*

Oleh: Bonari Nabonenar**

Ketika Kongres Bahasa Jawa (KBJ V) berlangsung seorang pemilik akun Facebook Edie S Triwida yang juga guru bahasa Jawa di sebuah SMP itu mengunggah ”status” di Grup Sastra Jawa Gagrag Anyar: ”Dhumateng ingkang ndherek KBJV nyuwun tulung titip pesen dipunusulaken supados Jawa Timur kersaa ngawontenaken Kongres Guru Basa Jawa saben 4 taun sepindhah gentosan saben kabupaten. Bab dana kedahipun saking APBD Provinsi lajeng kandhap wonten kabupaten ingkang angsal jatah minangka penyelenggara!” Maksudnya, ia titip usulan agar Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengagendakan Kongres Guru Bahasa Jawa (KGBJ) 4 tahun sekali dengan dana dari APBD Provinsi, dan tempat penyelenggaraannya digilir dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota berikutnya.


Itu usulan yang bagus. Tentu dengan catatan, jangan meniru KBJ yang menyedot dana hingga beberapa miliaran rupiah. Saya membayangkan, dengan modal keinginan untuk melakukan yang terbaik demi profesi guru dan perbaikan sistem serta membahas berbagai problematika pengajaran bahasa Jawa di sekolah, batas tertinggi Rp 1 milyar sudah dapat digunakan untuk menggelar KGBJ. Atau, bahkan, cara berhemat model Konggres Sastra Jawa (KSJ) mungkin bisa dicontoh.

Dalam sebuah obrolan santai di luar forum persidangan, pada hari kedua KBJ V (28/11) muncul pula gagasan untuk menggelar Kongres Budaya Jawa. Ini bukan gagasan baru. Berbarengan dengan acara penganugerahan Hadiah Rancage di Surabaya di awal tahun 2000-an digelar pula Pekan Budaya Jawa, yang dimaksudkan sebagai semacam kegiatan pengantar untuk menuju ”Kongres Budaya Jawa” –yang hingga kini belum pernah terlaksana (?). Wacana mengenai perlunya menggelar Kongres Budaya Jawa antara lain muncul setelah mengetahui sering di dalam Kongres Bahasa Jawa pembicaraan dan bahkan makalah-makalah dibuat untuk lebih mendedah persoalan-persoalan kebudayaan dengan memanfaatkan bahasa sebagai alat bantu analisis, hanya sebagai contoh-contoh. Di dalam KBJ V pun begitu. Mantan Dirjen Kebudayaan Edi Sedyawati dari Universitas Indonesia dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia yang didaulat Panitia untuk menjadi salah seorang pemakalah utama pun membuat makalah berjudul ”Aktualisasi Filsafat Jawa dalam Kehidupan Pascamodern.” Ia berbicara tentang filsafat, dan bukan tentang bahasa Jawa, walau di akhir makalahnya dikutip beberapa contoh ungkapan yang memenunjukkan pedoman perilaku orang Jawa: ”mikul dhuwur mendhem jero, wani ngalah luhur wekasane, alon-alon waton kelakon, jer basuki mawa beya.” Kita pasti sepakat, makalah-makalah jenis ini pastilah sangat tepat ditampilkan di dalam Kongres Budaya, dan bukan pada Kongres Bahasa Jawa.

Sebagian besar makalah KBJ V pun lebih terasa ditulis dengan penyudutpandangan yang keliru, misal, mendedah nilai-nilai: sopan santun, kebajikan, etos, yang terkandung di dalam naskah-naskah sastra) Jawa klasik. Makalah-makalah seperti itu pasti lebih terkesan dibuat untuk meyakinkan bahwa sekarang masih penting untuk menginternalisasi nilai-nilai budaya Jawa seperti yang diwariskan para leluhur dan mengaktualisasikannnya di dalam praktik kehidupan sehari-hari. Karena itu jangan heran jika kadang muncul pula celetukan, ”Bukanlah bahasanya yang terpenting, melainkan adalah bagaimana kita, orang Jawa, berperilaku layaknya orang Jawa.” Pikiran seperti tecermin pada pernyataan seperti itulah tampaknya yang kemudian memunculkan gejala ”krama-nisasi” dalam pemakaian bahasa Indonesia. Pasti lucu bukan, jika Kongres Bahasa Jawa justru melahirkan rekomendasi yang hakikatnya adalah justru membunuh Bahasa Jawa itu sendiri? Nah, lho!

Untunglah, di luar makalah yang ditampilkan/dibahas di dalam persidangan-persidangan, Panitia KBJ V memberi oleh-oleh bagi para peserta berupa buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang Disempurnakan terbitan Balai Bahasa Yogyakarta, dua keping CD (Program Alih Aksara Jawa dan Dasa Nama/Sinonim) yang diproduksi Dinas Kebudayaan Provinsi DIY, serta mendapatkan buku antologi cerpen dan puisi Jawa berjudul Pasewakan (Konggres Sastra Jawa III bersama Elma Tera) serta novel berbahasa Jawa karya Suparto Brata berjudul Donyane Wong Culika.

Memusatkan pembahasan hanya pada persoalan-persoalan bahasa Jawa dan tidak melebar ke persoalan kebudayaan, pastilah juga akan menjadi salah satu variabel untuk menekan biaya penyelenggaraan. Jumlah peserta bisa lebih dirampingkan, misalnya hanya 200 hingga 300 orang. Tempat penyelenggaraannya tidak di hotel bintang 5, dan makalah yang ditampilkan sebanyak-banyaknya 20 atau 25 saja.

Di era sekarang ini, bahasa Jawa memiliki beberapa persoalan, antara lain: [1] kesenjangan antara ragam tutur dan ragam tulisan, seperti tecermin pada kesulitan yang dihadapi banyak orang ketika harus membedakan, kapan menuliskan ”cara” dan kapan harus menuliskan ”coro”, kapan harus menuliskan ”wedi” dan kapan harus menuliskan ”wedhi.” [2] semakin tergerusnya perasaan bangga menggunakan bahasa Jawa di kalangan generasi muda Jawa, [3] ketidakpedulian lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta pada saat menggunakan bahasa Jawa ragam tulisan, misal untuk kepentingan pembuatan kain rentang, selebaran, poster, dan lain-lain.

Lalu, persoalan tantangan. Tantangan yang dihadapi bahasa Jawa sekarang adalah, apakah ia dapat meningkatkan ”derajatnya” dari ragam tutur/lisan ke dalam ragam tulis secara signifikan atau tidak. Fakta membuktikan, di antara 130-an juta orang Jawa yang ada di Indonesia terbit tiga buah majalah berbahasa Jawa: Jaya Baya (Surabaya), Panjebar Semangat (Surabaya), dan Djaka Lodang (Yogyakarta), masing-masing terbit sekali dalam seminggu dan jika dijumlahkan total oplah ketiga majalah itu pastika tidak mencapai 100.000 eksemplar. Secara kasar, itu berarti tidak mencapai 10 % orang Jawa yang melek bacaan berbahasa Jawa. Kegetiran itu pun tergambar saat terbit buku berbahasa Jawa. Buku novel, cerpen, atau kumpulan puisi Jawa terbaik pun, yang diterbitkan dan terjual 1.000 eksemplar pada bulan pertama, kecuali yang, kalau ada: ”dipaksakan”. Apakah itu dapat dipandang sebagai bukti kegagalan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah? Itulah antara lain pertanyaan yang mestinya dapat dijawab dalam Kongres Bahasa Jawa.

Tantangan berikutnya adalah, peningkatan ”derajat” bahasa Jawa dari sekadar sebagai bahasa ekspresi (sastra), termasuk untuk keperluan pembuatan syair tembang (Campursari, misalnya) menjadi bahasa pengetahuan. Masih belum terpenuhinya secara utuh keinginan Panitia KBJ V untuk membebaskan persidangan-persidangan, bahkan sejak acara Pembukaan hingga Penutupan dari penggunaan selain bahasa Jawa adalah bukti bahwa bahasa Jawa belum berdaya secara optimal di tengah-tengah masyarakatnya sendiri. Ironisnya, fakta membuktikan bahwa bahasa Jawa sesungguhnya jauh lebih ”analitis” daripada bahasa Indonesia. Misalnya, bahasa Jawa memiliki istilahnya masing-masing untuk: batang kelapa (glugu), daun kelapa (blarak), pucuk daun kelapa (janur), kelapa muda (degan), bunga kelapa (manggar) dan seterusnya. Orang sering masih bertanya, ”Lalu bagaimana halnya dengan istilah-istilah pengetahuan modern, termasuk istilah-istilah teknik yang tidak dimiliki bahasa Jawa? Bukankah setiap bahasa memiliki mekanisme penyerapan dari bahasa lain? Inilah pula persoalan-persoalan yang mestinya menjadi bidang garap Kongres Bahasa Jawa. Alih-alih menyelesaikan persoalan di dalam kamar-nya sendiri, Kongres Bahasa Jawa malah nggedhabyah, melebar ke urusan-urusan kebudayaan (Jawa).

Bertolak dari gambaran tadi, kiranya perlu sekalian saja diagendakan: [1] Kongres Kebudayaan Jawa, [2] Festival Budaya Jawa, [3] Konggres Sastra Jawa, [4] Festival Sastra Jawa, [5] Kongres Guru Bahasa Jawa, [Lomba Menulis Sastra dan Karya Ilmiah berbahasa Jawa]. Jika untuk tiap-tiap program itu diagendakan masing-masing dengan biaya Rp 1 milyar, diadakan 1 kali dalam 5 tahun, itu tidak akan menambah beban Pemerintah. Anggaran belanja tidak bertambah, tetapi akan semakin banyak pihak/kepentingan terakomodasi. Dan dengan demikian, kita punya tambahan alasan untuk berharap: bahasa, sastra, dan budaya Jawa akan memperoleh kejayaannya sebagai bagian dari kebhinekaan Indonesia.

*) Dipublikasikan pertama kali oleh harian Solopos


**) Bonari Nabonenar, bagian dari kepanitiaan KBJ V –tulisan ini adalah pendapat pribadinya.

KSJ III: Biyen Oposisi kok Saiki Kongsi?

Akeh pitakon kang sairip utawa malah presis kaya irah-irahane tulisan iki. Mula, sinambi ngeling-aling lelakone Konggres Sastra Jawa (KSJ) wiwit sepisanan (2001) nganti kang lagi wae digelar (28 – 30 Oktober 2011) muga-muga tulisan iki bisa atur katrangan kang trawaca, geneya kok ngono, geneya kok ngene.

Satemene, sebutan ”oposisi” apadene ”kongsi” kuwi rasane keladuk ”politis”. Nanging, sumangga kepriye olehe arep ngarani. Ana maneh kang tansah ngarep-arep supaya KSJ tansah bisa ngemban ayahan kadidene ”lembaga kontrol” tumrap Kongres Basa Jawa (KBJ) lan sokur-sokur uga tumrap kawicaksanan liyane saka Pamarentah kang gegayutan karo prakara basa lan sastra Jawa. Aran-aranan ”lembaga kontrol” iku satemene ya krasa kemelipen. Kok kaya dewan (perwakilan rakyat) wae! –senajan ta, sagaduk-gaduke KSJ tansah nindakake ”fungsi kontrol” kuwi, kanthi maneka-warna cara, klebu ngontrol saka njero, kanthi gelem melu kadhapuk dadi perangane Panitia KBJ. Mula, wiwit KSJ I nganti KSJ III, tansah ana paraga/pawongan saka unsur KSJ kang melu dhapuk dadi perangane Panitia KBJ. Geneya pitakon ”Biyen oposisi kok saiki dadi kongsi,” iku lagi njengat saiki?

Apa amarga KSJ III nampa sumbangan prabeya saka Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bojonegoro lan saka Pemerintah Provinsi Jawa Timur, kajaba saka priyantun lan bebadan swasta? Yen ditlusur, ing taun 2006 nalika bakal digelar KSJ II, Panitia KBJ III ya nawakake sumbangan dana. Mung, nalika kuwi saelingku dikantheni panjaluk, aja nggunakake tembung ”Konggres.” Rapat Panitia KSJ II banjur kabotan nampani sumbangan iku. Malah, merga kadhung kecenthok ing rasa, nalika dijabel panjaluk (nggunakake tembung ”Konggres”) lan sumbangan prabeya bakal diwenehake, Panitia KSJ II ya panggah wegah nampani. Iku bisa dadi titikan lamon sambung-rembug antarane Panitia KSJ II lan Panitia KBJ IV iku ora dumadi kanthi becik. Conto liyane, nalika sawatara paraga saka Panitia KSJ II bakal sapatemon karo Panitia KBJ IV ing Surabaya saprelu ngrembug usulan kanggo mbabar buku-buku sastra Jawa, wurung kalakon senajan sing ditilpun saka Ngayogyakarta budhal sadeg-sanyet.

Beda banget karo Panitia KBJ V, kang wiwit diwangun, wis nggoleki paraga saka unsur KSJ saprelu diajak rembugan. Kadang Sugeng Adipitoyo kang sawijining wektu mbarengi Prof Dr Djoko Saryono (Ketua Pelakasana KBJ V) nilpun ngene, ”Mas, sampeyan iki neng endi, arep takparani karo Pak Djoko Saryono.” We lhadalah! Ya gage olehku mangsuli, ”Wah, yen ngono carane aku bisa kuwalat, Mas. Sesuk wae yen Pak Djoko Saryono wis kondur menyang Malang taksowanane!”

Tenan, kelakon sapatemon karo Prof Dr Djoko Saryono M.Hum ing Kampus Universitas Negeri Malang. Rembugan ngalor-ngidul prakara lelakone KBJ lan KSJ. Pepuntopning rembug, Prof Djoko Saryono nelakake pamanggihe manawa anane Konggres Sastra Jawa kang wektune meh padha lan ing papan kang ora adoh karo Kongres Basa Jawa ora prelu didadekake prakara, kepara malah bisaa saiyeg-saekapraya amrih kabeh bisa kelakon kanthi lancar lan ngasilake pancadan kanggo ngranggeh gegayuhane. Mulane banjur disambung maneh rembugan karo sawatara paraga saka unsur KSJ. Mapan ing ruwang rapate salah sijine Asisten Gubernur Jatim, wektu kuwi saka ka unsur KSJ sing teka: Daniel Tito (Sragen), Dhanu Priyo Prabowo (Yogyakarta), Bonari Nabonenar (Malang), JFX Hoeri (Bojonegoro), Aris Sudaryanto alias Pakdhe Uban (Bojonegoro). Sing diulemi padha-padha lumantar SMS nanging ora bisa teka, Sucipto Hadi Purnomo (Semarang).

Apa kanthi mangkono para paraga saka unsur KSJ kuwi banjur kaya wong kang padha kesrimpung daya kritis-e? Mbokmanawa ora. Pratelan-pratelane Daniel Tito kang tkok-slorok, blak-blakan, upamane nalika mitakonake, ”Apa KBJ V iki mengko mung bakal kaya KBJ-KBJ sakdurunge kang katone mung kaya wong ngeceh-eceh dhuwit,” takkira bisa dadi titikan manawa para penggiat KSJ iku durung mlenceng saka gegayuhane sakawit.

Sepisan maneh, lamon dhek taun 2006 kae Panitia KSJ II gelem nampani, dhuwit bantuwan kuwi cetha saka Panitia KBJ V. Dene Panitia KSJ III ora mung arep nampani, nanging malah nyuwun bantuwan saka Pamarentah Provinsi Jawa Timur (ora saka Panitia KBJ V), merga sadhar yen rakyat kuwi duwe hak kanggo melu nanjakake dhuwit ”tabungane” kang disimpen (kanthi cara mbayar pajek lan sapiturute) lan diatur carane nggunakke dening Pamarentah. Ewadene isih ana sing mitakonake, ”Biyen oposisi kok saiki dadi kongsi?” mesthi iku pitakon ngemu pandakwa kang muncul saka pawongan kang ora bisa kanthi trawaca ngaweruhi apa kang satemene wis ditindakake dening para paraga pengiat KSJ kang uga kadhapuk dadi perangane Panitia KBJ V –sakdurunge, sajrone, lan mengko sakwise KBJ V kagelar.

Cekake, arepa dikayangapa, Panitia KBJ V kang wis gelem sapejagong karo (Panitia) KSJ III. Kuwi kudu dianggep sawijining kemajuan. Wis mundhak apik (ing tataran komunikasi) tinimbang KBJ-KBJ sakdurunge. Prekara asile jagongan utawa rembugan kuwi isih ngalor-ngidul, sairing lumakune wektu kudu tansah dijaga amrih dadi sangsaya becik. Syukur ora malah padha bali nglare, manjing kaya wong jothakan maneh. Mesthine iki ya salaras karo unen-unen pitutur, ”Yen ana rembug dirembug.” Ya merga ngajeni kang wis kasdu ngajak rembugan kuwi mula Panitia KSJ III ora kabotan nampani lan malah nyuwun sumbangan prabeya saka Pamarentah Provinsi Jawa Timur, lan senajan sabanjure entuk kabar manawa tibane etungan mung, utawa malah ora ana --separone kang nate ditawakake marang Panitia KSJ II dening Panitia KBJ IV (Semarang, 2006). Muga-muga iku bisa nambahi titikan manawa wong-wong KSJ kuwi ora mata-dhuwiten.

Kanthi mangkono uga, para paraga penggiat KSJ nuduhake manawa maneka kritik lan panyaruwe kang wis kasuntak sasuwene iki ora mung linandhesan semangat waton sulaya, ora mung ben ketok gagah dadi pemberontak. Panyaruwe iku uga ora mung katindakake saka njaba, saka kadohan, nanging uga nalika mapan ing sajerone Panitia (KBJ V). Terus apa titikane yen panyaruwe kuwi wis katindakake? Mbokmanawa sairing lumakune wektu kabeh mengko bakal kabuka. Yen saiki dijlentreh, sajake malah kurang prayoga, malah bakal katon kaya kaladuk ngalem awake dhewe.

Kang prelu dicathet maneh, yakuwi kanyatan manawa ing sajroning swasana ”dialog” kang lagi kawangun kuwi mesthi ora kabeh kawicaksanan kang sasuwene iki kabiji kurang prayoga banjur malik grembyang kaya kang dikarepake para pengritik. Mesthi ana proses. Lha, mulane, ayo saiki padaha melu dititeni, angger tindak lanjut-e KBJ V iki mengko isih panggah kaya sawise KBJ-KBJ sakdurunge: mung ana program sosialisasi lan banjur: sepi mamring, ya ayo aja kendhat-kendhat aweh panyaruwe. Syukur yen ana gerakan swadaya masyarakat kanggo bab-bab kang tundhone nggelak ajune basa lan sastra Jawa kaya kang ditindakake Suparto Brata kanthi mbabar buku-bukune, yen prelu malah ”mbayari wong kanggo maca bukune” kaya kang diandharake ing saweneh acara mapag tumapake KBJ V ing TVRI Jawa Timur sawatara wektu kepungkur, kaya kang wus katindakake sanggar-sanggar apadene paguyuban-paguyuban pamarsudi basa, sastra, lan kabudayan Jawa.

Mbokmanawa kanthi melu ngontrol kepriye lan apa kang bakal katindakake dening Pamarentah (Daerah) gegayutan karo Keputusan lan Rekomendasi KBJ V, bebrayan Jawa wiwit 2012 nganti 2015 utawa 2016 bisa nggolong-nggiligake suwara: sarujuk apa ora Program Pamarentah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, lan Provinsi DIY kang aran Kongres Basa Jawa iku mengko bisa diterusake apa kudu diendhgegake ing Surabaya wingi kuwi wae. [Bonari Nabonenar, Ketua Panitia KSJ III, perangane Panitia KBJ V. –Tulisan iki panemu pribadine dhewe.]


Cathetan: sepisanan digiyarake lumantar Suara Merdeka

FOTO: DHANU PRIYO PRABOWO

Sunday 25 December 2011

Agar Tak Jadi Kongres Omong Kosong

Menyongsong KBJ V (Surabaya, 27 – 30 Nov. 2011)

Kongres Bahasa Jawa akan digelar untukk kelima kalinya, dan karena itu selanjutnya disingkat KBJ V, akan diselenggarakan di Surabaya padha akhir November ini (27 – 30). Walau kritik tak seheboh menjelang KBJ IV (Semarang, 2006) sesungguhnya masih banyak orang pesimis, apakah proyek bernilai miliaran rupiah ini akan diikuti tindak lanjut yang sungguh-sungguh bermakna bagi (pertumbuhan dan perkembangan) bahasa Jawa itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, dalam beberapa kali kesempatan rapat, Sekretaris Panitia yang juga Kepala Bagian Kebudayaan dan Pariwisata, Biro Administrasi Kemasyarakatan, Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur Drs. H. Hizbul Wathon, MM. meminta agar KBJ V ini dikawal oleh semua pihak tidak hanya sampai pada keberhasilan pelaksanaannya, melainkan hingga tindak lanjutnya. Memang, keberhasilan kongres harus dinilai dari: tindak lanjutnya, bukan dari kemewahan, kemeriahan, keserbagemerlapan kongres itu sendiri, walaupun, dalam beberapa kali rapat panitia, justru kekhawatiran akan gagal menggelar perhelatan lima tahunan ini yang lebih dominan mencuat.

KBJ V yang mengusung tema ”Bahasa dan Sastra Jawa sebagai Sumber Kearifan bagi Pebentukan Watak dan Pekerti Bangsa” bisa jadi pertaruhan terakhir, untuk kembali menimbang apakah proyek tiga daerah (Pemprov Jateng, Pemprov Jatim, dan Pemprov DIY) ini memang layak diteruskan sebagai agenda rutin 5 tahunan, ataukah lebih baik dihentikan saja –seruan yang makin menguat menjelang KBJ IV, 2006 lalu. Di sinilah pentingnya dicatat ajakan Pak Hizbul itu. Jika dalam 3 – 4 tahun mendatang suasananya adhem-ayem saja seperti setelah KBJ yang sudah-sudah, tidak terbayangkan, kalimat atau mantra mana lagi yang akan dilontarkan untuk memulihkan harapan masyarakat, sehingga KBJ VI kelak bisa diselenggarakan di Yogyakarta (sesuai gilirannya) tanpa hujan olok-olok. Tampaknya janji yang dikemas dalam retorika paling apik pun tak akan laku lagi. Maka, tidak ada lagi pilihan, setelah KBJ V ini segenap pemangku kepentingan, pemerintah dan masyarakat, harus berani melakukan hal-hal yang lebih berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa dan sastra Jawa.

Tindak lanjut dimaksudkan di sini bukan hanya hal-hal yang sudah menjadi kegelisahan umum, misalnya menyangkut pengajaran: [1] ketersediaan guru (bahasa Jawa) yang berkualitas, [2] tersedianya ruang waktu/jam pelajaran yang cukup di sekolah. Sebagai catatan tambahan, [a] sering muncul keluhan mengenai kualitas guru bahasa Jawa di sekolah, karena dalam banyak kasus, mata pelajaran tersebut dibebankan kepada guru yang bukan fak-nya; [b] ketika pelajaran bahasa Jawa dimasukkan ke dalam kategori ”muatan lokal” ternyata juga sering diisi pelajaran teori/praktik komputer atau yang lain. [c] salah satu rekomendasi KBJ IV (?) bahwa pelajaran bahasa daerah (Jawa) akan diajarkan hingga tingkat SMU (dan sederajat) ternyata hanya ditindaklanjuti oleh Pemprov Jawa Tengah saja; [d] sering terjadi juga, menurut Sucipto Hadi Purnomo, jurnalis yang juga dosen Jurusan Bahasa Jawa Unnes, jam pelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah ”dirampok” oleh bidang studi lain yang gurunya diwajibkan mengajar setidaknya 24-26 jam pelajaran dalam seminggu setelah tersertifikasi.

Dan masih banyak lagi persoalan pengajaran bahasa Jawa, sehingga kira-kira kalau mau dibahas hingga tuntas, waktu efektif kongres yang 3 hari itu pun tidak akan cukup.

Tanpa kongres pun, seharusnya persoalan-persoalan berkaitan dengan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah bisa diselesaikan oleh instansi terkait, terutama Dinas Pendidikan, yang, apa lagi sekarang –dikaitkan lagi dengan ”Kebudayaan”. Saya justru lebih tertarik untuk menyerukan hal-hal yang tak punya ”payung” untuk sampai pada rekomendasi/keputusan dan pada akhirnya kebijakan yang diaplikasikan di luar hal-hal yang secara normatif lebih sering dibicarakan dalam forum-forum resmi.

Ketika suatu saat mendapatkan kesempatan sebagai pembicara di dalam Rapat Koordinasi menuju KBJ V, misalnya, saya beranikan diri untuk melontarkan pernyataan, ”Bagi saya, tidak begitu penting lagi apakah pelajaran bahasa Jawa diberi jam yang banyak atau tidak di sekolah-sekolah, sejauh setiap sekolah yang masih ada di lingkungan masyarakat Jawa masih memiliki fasilitas untuk bermain karawitan, bermain ketoprak, ludruk (kegiatan ekstra kurikuler), dan terutama didukung oleh perpustakaan yang dipenuhi juga dengan buku-buku karya sastra Jawa dan terbitan berkala berbahasa Jawa, itu sudah sangat cukup.

Kegiatan-kegiatan lomba penulisan, lomba nembang, termasuk lomba baca guritan seharusnya juga menjadi agenda rutin untuk para pelajar, mahasiswa, dan pengarang sastra Jawa dari tataran institusi (semisal: sekolah/kampus), lokal, regional, bahkan internasional dengan iming-iming hadiah yang pantas. Dengan demikian generasi muda akan kenal dan kemudian merasa perlu, bahkan penting untuk memiliki ketrampilan berkaitan dengan pemakaian bahasa Jawa.

Yang lebih penting lagi adalah ketersediaan media yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai laboratorium pembelajaran bahasa dan sastra Jawa bagi generasi muda. Memang ada rubrik ”Sinau Ngarang” di majalah Jaya Baya. Tetapi, itu pasti jauh dari memadai. Pasti bukanlah hal yang susah jika salah satu saja di antara tiga daerah (DIY, Jateng, Jatim) mau berkomitmen untuk memerhatikan persoalan pewarisan nilai-nilai budaya Jawa kepada generasi muda dengan memberikan dukungan sepenuhnya bagi penerbitan majalah berbahasa Jawa bagi kaum muda, terutama kalangan pelajar dan mahasiswa. Semoga ini bisa digiring menjadi janji bersama untuk membuktikan bahwa KBJ bukan hanya omong kosong.

Kalau ada perjanjian tertulis bahwa setiap sekolah, baik swasta maupun negri berlangganan 1 eksemplar saja majalah yang bisa diterbitkan sekali sebulan itu (dengan harga tidak sampai Rp 25 ribu/eksemplar) pastilah ada pihak swasta yang bisa digandeng untuk menerbitkannya. Persoalannya, kembali lagi, adalah: komitmen kita! (Bonari Nabonenar, Ketua Panitia Konggres Bahasa Jawa III, juga bagian dari Panitia KBJ V. Tulisan ini adalah pendapat pribadinya).

KETERANGAN FOto: Pasewakan adalah antologi guritan dan crita cekak yang diterbitkan Panitia Konggres Sastra Jawa III, juga menjadi cindera mata bagi peserta KBJ V.

--Tulisan ini dengan sedikit editing, termasuk pada judul, pernah dimuat Jawa Pos.



Saturday 24 December 2011

Menggagas Festival Pekerja Migran 2012

Setelah sukses dengan Festival Sastra Buruh 2007 (Blitar, Jawa Timur) FLP-HK sudah menggelar Festival Sastra Migran 2010 dan akan disusul acara serupa 2012 ini, di Hong Kong. Di Indonesia, masih sepi. Padahal, penerbitan buku-buku karya BMI/Mantan BMI semakin marak. Perhatian dari kalanhgan akademik pun semakin terlihat. Seorang dosen Unesa (Surabaya) yang kini sedang menyelesaikan program S-3-nya juga berniat menjadikan karya-karya BMI untuk bahan disertasinya. Acara internasional sebergengsi UWRF Ubud Writers and Readers Festival 2011 pun mulai memperhitungkan dan mengundang penulis dari kalangan BMI.

Namun demikian, semaraknya dapur produksi penulisan di kalangan BMI ini tetap saja terasa kurang diimbangi oleh kegiatan-kegiatan pendukungnya. Seolah-olah hanya didorong-dorong untuk berproduksi, setelah itu selesai. Buku terbit, masuk pasar, dan didiamkan. Sungguh eman jika acara yang sudah dimulai dengan baik dan susah-payah bernama Festival Sastra Buruh itu tidak dilanjutkan dengan baik.

Baiklah, setidaknya di HK sudah ada FLP yang meneruskan tradisi yang baik itu. Dan di Indonesia, jika tidak ada aral melintang, Mei 2012 nanti kita akan menggelar Festival Pekerja Migran. Bukan hanya untuk sastra, tetapi juga untuk merayakan segala produk baik yang benda maupun takbenda, yang dihasilkan oleh para BMI. Karena itulah, yang akan digelar bukan hanya sastra dan seputarnya, melainkan juga hal-hal lain, bahkan termasuk bakti sosial menanam pohon. Yang sudah diangankan adalah: bedah buku, pameran/bursa buku, pameran foto, pemutaran film, sarasehan sastra, sarasehan budaya, bakti sosial tanam pohon, telekonference, pentas sastra, pentas seni.

Buku yang akan dibedah, diusahakan adalah karya puncak para pekerja migran (BMI) yang mulai saat ini dihimpun. Caranya, para BMI penulis, diharapkan mengirimkan karya terbaiknya (yang belum dibukukan), baik yang baru, yang pernah dimuat di media cetak maupun elektronik, berupa puisi, cerpen, opini, features, memoar, ke pos-el: forumburuhmigran@gmail.com. Jangan lupa melengkapinya dengan biodata dan foto penulis. Ditunggu oleh panitia, selambat-lambatnya hingga 30 Maret 2012.

Partisipasi BMI di seluruh dunia akan sangat menentukan keberhasilan kegiatan ini. Selain mengirimkan karya, menyebarkan informasi ini melalui akun Facebook, milis, atau media lain, adalah bagian dari ujud partisipasi itu. Di Indonesia, sudah ada pihak yang bersedia memfasilitasi agar dapat digelar teleconference-nya. Jika ternyata tidak ada penyandang dana yang sanggup mencukupi kebutuhana acara ini, para penulis juga akan diminta bergotong-royong untuk membayar iuran penerbitan buku. Berdasarkan pengalaman menerbitkan buku Pasewakan setebal 500-an halaman (September 2011), sudah cukup jika masing-masing penulis, tanpa memandang apakah karyanya berupa puisi, cerpen, atau opini, menyumbangkan Rp 100.000 (seratus ribu rupiah).

Itu pun baru dapat diputuskan nanti. Yang terpenting sekarang, segeralah kirimkan karya Anda melalui alamat yang sudah disebutkan tadi. Dan sebarkan informasi ini ke rekan-rekan penulis dari kalangan BMI lainnya. Setuju?


BONARI NABONENAR

Friday 2 December 2011

MEMICU KREATIVITAS

Di dunia kesenian, orang memisahkan secara tegas antara kreasi (penciptaan) dengan inovasi (pembaruan) dan memberi derajat lebih tinggi pada hal yang pertama tadi: penciptaan. Tetapi, dalam pengertian sehari-hari, insan yang sering melakukan proses dan menghasilkan pembaruan-pembaruan dijuluki juga sebagai insan kreatif. Bicara soal kreativitas, Pemerintah kita, Republik Indonesia, tampaknya sedang memompakan semangat baru dengan menggeser urusan ekonomi kreatif ke Kementerian Pariwisata (dan Ekonomi Kreatif) serta mengembalikan urusan ”kebudayaan” ke Kementerian Pendidikan (dan Kebudayaan).

Sesungguhnya, bagaimanakah kreativitas itu bekerja pada satuan masyarakat yang lebih kecil (ambil contoh di sebuah desa) atau bahkan di tiap individu manusia? Pada tataran individu, kreativitas bekerja dengan cara yang unik, datang dengan cara yang sering tidak sama antara pada seseorang dengan orang lain. Ada yang pikiran dan perasaannya mencapai kesegaran optimal di waktu malam, di waktu pagi, dan ada pula orang yang mencapai puncak kondisi kreartif-nya pada waktu siang hari bolong. Ada orang yang bisa bekerja dengan baik ketika berada di antara banyak orang, bekerja secara gotong-royong, masuk dalam tim, melainkan ada orang yang baru bisa bekerja secara optimal jika dibiarkan sendirian. Dan seterusnya, dan seterusnya. Kreativitas, uniknya lagi, sering muncul jusru dalam/dari kesempitan. Karena itu, jika Anda sering mendengar kata-kata, ”Ambil kesempatan di dalam kesempitan,” kini gantilah kata-kata itu dengan, ”pacu kreativitas dalam kesempitan!”

Adalah Mariyatun, seorang pembuat kue pesanan di Desa Jono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro. Sekitar sebulan lalu, ia mendengar kabar bahwa desanya akan didatangi dan diinapi ratusan orang dari berbagai penjuru Pulau Jawa. Para pendatang itu adalah para pengarang sastra Jawa, guru, dosen, Staf Ahli Kementerian Informasi dan Komunikasi, termasuk di antaranya: Arswendo Atmowiloto.

Mereka datang di desa Jono untuk mengikuti acara Konggres Sastra Jawa III. Sampai 3 hari sebelum Konggres, Mariyatun memeras otak. Merasa bahwa kesempatan begitu sungguh langka, maka Mariyatun terpacu untuk memanfaatkannya. Obsesinya hanya satu, berkaitan dengan dunia kuliner yang ditekuninya: bagaimana menciptakan sesuatu yang baru, yang belum ada di tempat lain, di waktu sebelumnya. Maka, lalu terciptalah ”kripik daun jati (muda)” yang walau agak sepet dan sedikit pahit, tetapi laris dijual sebagai oleh-oleh peserta Konggres.

Begitulah, kreativitas sering memang harus dipicu!

BONARI NABONENAR
--untuk editorial majalah peduli

Thursday 1 December 2011

JLEGUR

user identiti: bonari
password: *******

jlegur!
ambyur telenging talaga
rembulan klumut
lintang klumut
pedhut kasaput warna lumut
kaladuk sengsem mbacut kepencut

jlegur!
ambyur ing bening tirta
yen ditaker sengseming lumban asmara
mung saglugut pinara sasra
wis ben cupumanik astagina
ginawa sapa
cinidra sapa
sengsem lelumban ing talaga
dadi kecebong ya ora apa-apa
jleg!

Sawojajar, November 2011


Saturday 22 October 2011

Sekali Gebrak: Gagal dalam 2 Hal

ANAK MUDA ITU BILANG SEDANG PRAKTIK KULIAH LAPANGAN: KOMUNIKASI PASAR. salut, ia sudah berani mencoba. tetapi sayang, andai saya boleh menilai, ia belum lulus kali ini. SETELAH saya bukakan pintu, pertanyaannya langsung menyergap. "Bapak pakai pasta gigi merek A atau merek B?"

Saya jawab: Tidak keduanya. Dia terkejut. Lalu, sebelum ia bilang, "Jangan-jangan tak pernah gosok gigi, saya bilang, "Saya pakai merek C."

Ia meminta saya menunjukkannya. Ia pegangi, dan saya diberi pertanyaan berhadiah. "Ini pabrik besarnya ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, atau jawa Timur?" Dan jawaban ngawur saya pun ndilalah tepat.

"Nah, bapak menerima hadiah, itu pun kalau....." Kalimat menggantungnya segera saya sergap, "Mau!" Ia agak kesal, "Lho kok kalau mau. Ya harusnya mau, kalau barangnya masih tersedia."

’’Lha, kalau gak ada barang buat apa susah-susah mau beri hadiah?’’

’’Sebentar, Bapak. Ini begini. Kami ada kompor gas….’’ Dan panjang lebar lagi. Intinya, untuk kompor seharga delapan ratus ribu itu, saya hanya perlu membayar pajaknya saja, dua ratus lima puluh ribu.

’’Eh, sebentar, sampeyan ini sebenarnya mau mengiklankan pasta gigi atau kompor? Kok saya rasa-rasa gak nyambung antara pertanyaan awal dengan iming-iming hadiah yang masih sampeyan jelaskan sebegitu detai spesifikasinya ini….!’’

’’Kami sedang PKL Pak. Melatih mental, komunikasi,’’ dan bla-bla lagi. Nah, bapak terima hadiahnya, ya?’’

’’Tidak!’’

Dia kaget lagi. Dan dengan wajah kecut ia berpamitan. Ia sudah gagal dalam dua hal: [1] menyampaikan ’hadiah’ itu, [2] membangun komunikasi yang baik dengan saya. [22 Oktober 2011]

Wednesday 19 October 2011

”POTENSI”

Kita masih beruntung, di tengah-tengah masyarakat masih ada individu-individu maupun kelompok-kelompok seniman yang sangat militan, dan dengan segenap kemampuan mereka menjaga tradisi warisan leluhur. Mereka tidak berpikir apakah kesenian bisa menghidupi mereka atau tidak, karena mereka memang tidak mencari nafkah dari kesenimanannya. Laku kesenian bagi orang-orang seperti ini, adalah seperti olahraga yang baik bagi kesehatan, yang melengkapi hidup mereka. Dan lebih dari itu, merupakan salah satu jalan untuk menjadi orang yang bahagia di dalam hidupnya. Di kampung saya yang jauh dari ibukota kabupaten (Trenggalek) itu misalnya, ada kelompok-kelompok kesenian trebangan yang hanya mendapatkan honor tak sampai sejuta rupiah (dibagi belasan orang) untuk tampil semalam suntuk.

Tetapi, mereka dengan suka-cita hangrungkebi keseniannya. Sehari-harinya, mereka bekerja sebagai petani. Begitu dari dulu. Hingga sekarang.

Friday 30 September 2011

Saemper Pasewakan

Ing kalangane para pengarang/penggurit, sok keprungu ukara mengkene: ’’Pengarang (utawa) penggurit Si Anu kae kok saiki ora tau metu tulisane ya?’’ Kebacute rembug, njur ditambahi ukara pitakon, ’’Gek-gek wis ora ana?’’ Utawa, tembung kasare, ’’wis mati.’’ Sing diarani pengarang utawa penggurit kuwi, diarani ana ya amarga olehe ngarang utawa nggurit. Dene yen wis ora ngarang maneh, utawa wis ora nggurit maneh, pancene ya bisa diarani wis ora ana (karyane), utawa wis mati (kreativitase). Buku kembang setaman guritan lan crita cekak iki kababar kanggo ngregengake gumelare Konggres Sastra Jawa (KSJ) III (Bojonegoro, 28 – 30 Oktober 2011). Mula, kabeh guritan lan crita cekak kapacak sajroning buku iki ora adhedhasar tintingan utawa seleksi, nanging adhedhasar uleman lan sok sapaa wae kang rumangsa kegugah dening kegiyatan (KSJ III) iki. Sawatara wulan sadurunge, wara-wara wis disebarake, mligine lumantar kacamaya kang maujud kanthi anane sambungan internet. Wong 200-an, malah luwih, diulemi dening Panitia. Nanging, nganti tumekaning titi bahan buku kudu wis mlebu percetakan, kang kasil kaimpun ana 40 crita cekak meh ora ganep, lan guritan saka penggurit cacah 74.

Mbokmenawa saemper yen ngestreni pasamuwan, adhakane ya milih klambi sing paling becik, macak mlipis, sakehe guritan apadene crita cekak kang kakirimake marang Panitia iki ya kang paling apik/prayoga miturut pengarang/penggurite. Mula, buku kembang setaman iki ya saemper pasamuwan, kang dirawuhi: saka para dhugdheng-e Sastra Jawa Gagrag Anyar nganti kang kena ingaran isih belajar, saka kang wis yuswa pensiunan puluhan taun nganti tekan bocah pelajar. Iki uga ngemu pawarta kang agawe bombong, awit kanthi mangkono cetha yen Sastra Jawa (Gagrag Anyar) ora bakal enggal cures, awit kabukten manawa proses regenerasi isih terus lumaku.

Muga-muga buku kembang setaman iki uga dadi tandha anane sambung paseduluran ing antarane para pengarang lan penggurit, dadi tandha mata kanggo para dwija, para siswa, lan sok sapaa wae kang ngaku tresna marang basa, sastra, budaya Jawa.

Ing wasana, atur panuwun katur marang para penggurit lan pengarang kang wus kersa nyumbangake karyane, ewadene malah isih ditarik iyuran, lan kanthi suka-rena maringake. Atur panuwun uga katur marang Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Bojonegoro, Yayasan Saworo Tino Triatmo, Pak JFX Hoery, Pakdhe Uban, Mas Sucipto Hadi Purnomo, Mas Dhanu Priyo Prabowo, Kang Arim Kamandaka, Dhimas Wahyu Hariyanto, lan kabeh Panitia KSJ III kang wis keraya-raya awit saking kepengine mujudake impen mbabar buku iki. Muga-muga kabeh iki gedhe paedahe.

Nuwun.


Bonari Nabonenar

Thursday 25 August 2011

Sebuah Catatan dari Lomba Menulis Kecil-kecilan

Pekan ketiga bulan lalu (21/8), hasil sebuah lomba penulisan kecil-kecilan (kalau boleh dibilang begitu) diumumkan. Lagi-lagi saya mendapat kejutan, sebelumnya, karena sebagai salah seorang juri (kalau boleh dibilang begitu) saya mendapat kesempatan membacai tulisan para peserta sebelum hasilnya diumumkan. Kejutannya adalah, munculnya tulisan-tulisan bagus dari nama yang belum familiar di antara nama-nama BMI-HK penulis yang sudang memalang-melintangkan namanya di media cetak: dari tanahair hingga ke Negeri Beton ini. Salah seorang di antaranya adalah Awiek Libra. Hingga kini pun saya belum pasti apakah seperti itu pula nama yang tertera di dalam paspor BMI-HK asal Trenggalek, Jawa Timur, ini. Ia menuliskan pengalamannya sendiri dengan baik, dan oleh karenanya saya tak begitu terkejut ketika saat pengumuman namanya muncul sebagai juara.

Untuk kesekian kalinya saya ingin mengatakan, bukan sekadar basa-basi, bahwa bibit-ibit penulis kita di HK ini bagaikan sebaran biji kacang kering di ladang kerontang. Ketika sedikit saja dapat siraman, bermunculanlah bagaikan jamur di musim hujan.

Penyelenggara lomba penulisan kecil-kecilan ini pun, Sri Lestari yang juga pemilik situs www.babungeblog.blogspot.com itu, pada saat sibuk mengurusi lombanya masih sempat mengirimkan 3 buah tulisan untuk majalah berbahasa Jawa, Jaya Baya. Luar biasanya pula, ia termasuk sedikit penulis (di media berbahasa Jawa pula) yang begitu coba-coba mengirimkan tulisan langsung dikomentari redakturnya, ’’Tulisan ini nyaris bisa lagsung naik cetak tanpa disunting!’’ Nah, model-model ’’bakat kependhem’’ seperti inilah yang kemudian kulihat bermunculan di HK.

Tulisan-tulisan yang ’’terkalahkan’’ di dalam lomba ini pun sebenarnya bukan tulisan-tulisan jelek. Dalam komentar saya di situs jejaring sosial, saya katakan bahwa penyebab ’’kekalahan itu kebanyakan hanya soal, ibarat memasak: salah takaran bumbu, atau terlalu lama atau terlalu sebentar memanasinya. Ada pula beberapa yang salah menghidangkannya, seperti menaruh rawon di dalam gelas dan menaruh es teh-nya di dalam mangkuk. Diminta menulis opini malah bercerita, dan sebaliknya, ketika diminta bercerita malah beropini. Artinya apa? Tidak diperlukan kuliah terlalu panjang-lebar atau resep menulis yang ndakik-ndakik untuk kawan-kawan kita ini, melainkan cukup diberitahu dengan dua atau tiga kalimat pasti mereka akan menghasilkan tulisan yang cukup bagus dan sesuai dengan kriteria yang ditentukan.

Selamat kepada para pemenang. Yang belum menang, jangan patah arang. Yakinlah, menulis itu membuat hati kita senang, pasti membawa manfaat, bahkan tak jarang bisa jadi semacam obat!

BONARI NABONENAR

Friday 8 July 2011

OPEN MARANG KUPIYANE MASYARAKAT MURIH LESTARI LAN NGREMBAKANE BASA LAN SASTRA JAWA

Dening: Bonari Nabonenar

Tulisan ringkes iki mengko bakal ngandharake apa kang dumadi ing masyarakat (bebrayan), gegayutan karo obah-mosike basa lan Sastra Jawa (Modern). Banjur kajumbuhake karo bab kang prelu digrengsengake dening para pamengku-gati (stakeholder). Merga wujude kang ringkes, tur dudu laporan panaliten, mbokmanawa ya pating pethasil. Iki mung dhapur kumpulan usulan, dene klebu nalar apa orane ayo dionceki bebarengan.
[1]

Nyata agawe bombong apa kang ditindakake dening H. Karkono Kamajaya Partokusumo (Javanologi): nglatinake Serat Centhini. Kanthi mangkono generasi kang wus ora atul karo aksara Jawa dadi bisa maca lan nggagapi apa kang kinandhut ing kitab kang kerep sinebut uga kadidene bothekane Kabudayan Jawa iku. Kupiya kang mangkono iku banjur diterusake dening Yayasan Centhini kanthi njarwakake kitab warisan kuwi menyang basa Indonesia. Ngelingi wigatine proyek iku, mesthi dadi kabar kang nambahi bombong lamon ana katrangan manawa kabeh prabeyane ditanggung dening pamarentah.

Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY), wiwit taun 1990-an wis bisa mbabar majalah (sastra Jawa) Pagagan kanthi wragat bantuan saka Balai Bahasa Yogyakarta. Malah Dinas Kebudayaan Yogyakarta uga mbabar majalah (abasa Jawa) Sempulur, kang paring ajang kanggo para penulis/pengarang kang kulina nggunakake basa Jawa.

Kepriye wartane ing Provinsi Jawa Tengah lan Jawa Timur? Ing Jawa Timur ana Sanggar Sastra Triwida (Tulungagung), Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), lan isih akeh liyane, bebadan (lembaga swadaya masyarakat) kang padha gumregut ngleluri basa, sastra, sarta kabudayan Jawa. Balai Bahasa Jawa Timur kang lagi madeg ing taun 2000-an, yen ora kleru wis kaping 3 (saben taun) aweh pangaji-aji marang Sanggar Sastra (wis ditampa dening Sanggar Triwida, PPSJS, lan PSJB). Iku nuduhake manawa wis ana kawigaten saka pamarentah. Mung wae, sajak pantes tinakonake, apa kuwi wis nuduhake lamon antarane pihak pamarentah lan para pamengku-gati liyane wis saiyeg-saeka praya ing bab murih lestari lan ngrembakane basa lan sastra Jawa?

Ing Surabaya, kejaba Suparto Brata lan Leres Budi Santosa kang sok ngarang crita nganggo basa Jawa dialek Surabaya ana Trinil (Dr. Sri Setyowati) kang malah wus mbabar buku guritan Donga Kembang Waru (Komunitas Cantrik, Malang, 2004) lan novel Sarunge Jagung (?) kang nggunakake basa Jawa dialek Surabaya. Kang rada nrenyuhake, kok Pamarentah Kutha Surabaya sajak babarpisan ora melu keplok nelakake rasa bombong dene ana kang melu-melu ngurip-urip basa Jawa dialek Surabaya lumantar buku wacan mengkono iku. Upamaa ora melu ngragati penerbitane, sepira ta abote nyawisake papan lan klethikan samurwate kanggo ngepyakake buku iku?

Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya kadidene sanggar wae sajake ya ora ditepungi dening ’’Pamarentah Kutha Surabaya.’’ Yen sawijining wektu ana Wakil Walikota gelem nglantik pengurus PPSJS, sajake iku ora amarga saking becike sesambungan antarane Pamarentah Kutha Surabaya karo PPSJS, nanging luwih amarga padha kenale antarane para pengurus PPSJS karo Arif Afandi kang wektu iku ngepasi dadi Wakil Walikota Surabaya.

Nalika anyar-anyaran ana siaran berita Pojok Kampung ing JTV kang nggunakake basa Jawa dialek Surabaya, masyarakat padha umyeg, basane Pojok Kampung dianggep saru lan malah ana kang banjur lapuran menyang KPID kang banjur nimbali para mbaureksane Pojok Kampung. Nanging nalika ’ditantang’ supaya gawe ’’bausastra’’ basa Jawa dialek Surabaya, pamarentahe ya sajak amem wae. Yen banjur ana M. Djupri kang mbabar kamus Surabaya-an, iku ya ora amarga ana ’order’-an saka Pamarentah Kutha Surabaya; kayadene nalika Hasan Ali gawe ’’Kamus Basa Using’’ iku ya merga nekad-e Hasan Ali, ora merga kawigaten kang gedhe saka Pamarentah Kabupaten Banyuwangi marang kaskayan budayane.

Ing masyarakat uga akeh paguyuban, sanggar kesenian, kang satemene bisa diarep-arep bisa dadi jejed-wengkune basa lan sastra Jawa, upamane sanggar-sanggar macapatan, kelompok kesenian tradisional, grup musik: keroncong, campursari lan sapiturute.

Nalika mampir ing Kantor Redaksi Jawa Pos sawatara taun kepungkur, Dr. George Quinn saka ANU (Australian National University) ngendika yen para mahasiswane uga nyetel tembang-tembang campursari kang wus akeh kaunggah ing internet (kacamaya) kanggo nyinaoni basa Jawa. Mangka yen panjenengan kersa mirsani, teks tembang campursari ing video, CD, DVD, kang saperangan banjur uga kaunggahake menyang kacamaya kuwi ajeg ngandhut ejaan kang luput panulise. Yen para siswa, mahasiswa, lan bebrayan agung nyinaoni barang salah ngono kuwi banjur kepriye dadine?

Ing Surabaya, ana Suparto Brata, pengarang sastra Jawa kang wus nampa SEA Write Award (2007), sengkut banget olehe ambyur ing ’’gerakan literasi, yaiku laku nggrengsengake bebrayan kiwa-tengene amrih sangsaya melek lan rumangsa butuh maca lan nulis. Saking makantar-kantare, nganti bola-bali Suparta Brata pratela, ’’Sastra iku buku!’’ Ngono iku ya ora mung bengak-bengok ala nganggur, nanging uga kanthi aweh conto, nindakake dhewe, lan saiki tekade, saora-orane mbabar 5 buku abasa Jawa saben taune. Ana wewalere Pak Parto, saking olehe kepengin ngluhurake Sastra Jawa, yakuwi: aja nganti buku basa Jawa-ne kajarwakake marang basa Indonesia. Yen menyang basa jagadan liyane, basa Inggris upamane, malah iku kang dikepenginake. Yen ana kalodhangan ketemu karo para priyagung, apa kuwi konsulat, walikota, gubernur, utawa wong kondhang liyane, Suparto Brata kaya ora tau kelalen nyepakake buku karyane pinangka tandha mata. Upamane nalika ana kalodhangan kepethuk karo Gubernur Jawa Timur ing acara mengeti dina klairane Pancasila (Balai Pemuda, Surabaya, 6 Juni 2011) wingi kae, Suparto Brata uga ngaturake buku karyane, Riwayat Madege Propinsi Jawa Timur: Lelabuhane Gubernur Jawa Timur I, R.M.T.A. Suryo (abasa Jawa) lan buku antologi Saya Bersekolah untuk Apa? (abasa Indonesia). Sadurunge munggah panggung saprelu ngaturake buku marang Gubernur, Suparto Brata isih kober grenengan, ’’Takaturi buku Jawa mengko apa Pak Gubernur kersa maca, ya?’’ lan senajan ora presis mangsuli pitakon iku, nalika adhep-adhepan karo Suparto Brata, Pakdhe Karwo (Gubernur Jawa Timur) ngendika, ’’Pak Parto, kula taksih langganan Panjebar Semangat lan Jaya Baya lho. Kula ugi maos crita panjenengan Kadurakan ing Kidul Dringu. Sae sanget…’’

Suparto Brata uga kerep nggunakake ukara, ’’Sastra kuwi buku!’’ kanggo nyemoni para pengarang kang sajak katrem nulis kanggo kalawarti/ariwarti, lan kaya-kaya ora duwe grenjet kanggo mbabar buku. Ukara kuwi pancen akeh kurang mathuke yen ditujokake marang sok sapaa kang isih inyik ajar nulis, utawa marang para siswa ing sekolahan. Kanggo golongan kang kasebut nggon mburi kuwi mau, ukara kang paling trep mesthine ya, ’’Sastra kuwi tulis!’’ Suparto Brata kaya-kaya nganti nedhas sungsum olehe nggrantes yen ngonangi manawa pasinaon maca-nulis kuwi ora ditengenake ing sekolahan-sekolahan, lan saben-saben pengarang Donyane Wong Culika iku ngelingake manawa: Yen bangsa iki pengin maju, ya ayo digrengsengake pakulinan maca-lan nulis kuwi!’’ Yen mung ngendelake basa lisan, saweneh bangsa mesthi gelis ketinggalan jaman. ’’Yen mung pengin bisa olah tetanen kanthi becik, uwong bisa sinau saka ngrungokake radio. Nanging, yen pengin bisa gawe radio, uwong kudu maca! Ben ana sing bisa diwaca, kudu ana sing nulis!’’ Kuwi uga ukarane Suparto Brata.

Senajan ’kaliber’-e ora sababag karo Suparto Brata, satemene akeh wong kang duwe panemu ngenani wigatine ’’gerakan literasi’’ mangkono kuwi. Mung emane, kaya-kaya paraga-paraga mangkono iku isih pating slempit ing papan-papan sepi, durung manunggal golong-gilig winadhahan bebadan wadhag kang bisa mbengokake kekarepan kanthi luwih sora. Apamaneh yen diayomi dening perda utawa bisa gandheng-kunca karo pamarentah kang duwe kuwasa ’meksa’ murih ngrembakane budaya maca-nulis lan ngendhih pakulinan kang mung nengenake ’konsumerisme’, mesthi kahanane bakal dadi luwih becik.

Pakulinan maca-nulis cetha kudu diwiwiti saka bocah, ora bisa mak bedunduk muncul sawise diwasa. Sekolahan bisa kandha yen maca lan nulis kuwi ya diwulangake, dikulinakake. Pitakone, kepriye kahanane kapustakan ing sekolahan-sekolahan? Apa wacan basa Jawane wis pepak tenan, nganti buku kang babaran anyar dhewe? Sumangga, para kadang saka donyaning pamulangan, para guru, mesthi bisa paring andharan kanthi luwih trawaca. Nanging, yen wis tekan bab ’nulis,’ apa cukup mung diendhegage tekan ’tugas ngarang’ dibiji guru, terus rampung tekan kono? Apamaneh yen bener pandakwa manawa akeh guru kang luwih seneng nglumpati bab ngarang, amarga rumangsa rekasa, apamaneh ngelingi mengko bakal ngadhepi tumpukan naskah kang bisa luwih sadedege dhuwure. Elok tenan yen saka kanyatan mangkono kuwi bisa tuwuh kanthi becik bibit-bibit bakat ngarang kang banjur bisa langsung ambyur ngiseni ariwarti/kalawarti kang satemene kababar kanggo wong kang wis diwasa, kaya ta Panjebar Semangat, Jaya Baya, Djaka Lodang, lan lembaran-lembaran abasa Jawa kang sumlempit ing ariwarti Kedaulatan Rakyat (nunggak semine majalah Mekar Sari), Harian Jogja, Solo Pos, Suara Merdeka, lan sapiturute kuwi. Yen sasuwene iki sepi suwara kang nelakake rasa prihatin merga ora anane ajang kanggo madhahi karya tulisan basa Jawa-ne para siswa/taruna, ya iku tandha manawa kekarepan ngurip-urip, ngleluri, nglestarekake, lan ngrembakakake basa/sastra Jawa kuwi satemene mung lelamisan wae.

[2]

Sanggar sastra, yayasan/bebadan (LSM), kesenian tradisional, paguyuban macapatan, lan liya-liyane, kabeh iku kayadene taman sari papan tuwuh lan mekare basa sarta sastra Jawa. Mung emane, saiki akeh kang padha kurang tumanja kanthi becik kadidene perangane apa kang takarani ’’benteng pertahanan rakyat semesta’’ kanggo ngrumat basa lan sastra Jawa. Akeh kang mung dadi klangenan, utawa pakumpulan ing antarane wong-wong kang nunggal kekareman, upamane nembang, karawitan, lan sapiturute. Kamangka, sanggar-sanggar seni utawa sanggar sastra iku bakal luwih becik lamon bisa dadi posko-posko (pos komando) kanggo ’’gerakan literasi’’ kaya kang wis ditindakake dening Suparto Brata. Coba, saiba becike yen Pamarentah bisa melu mikuwati adege sanggar budaya ing saben desa kang dadi pusat kegiyatan, upamane: olah beksa, karawitan, pedhalangan, lan sarasehan kampung kang ngrembug prakara-prakara tradisi, olah tetanen, bebakulan, lan liya-liyane. Cekak-cukupe, sanggar kang bisa dadi punjer pasinaon ing sabarang reh kang gegayutan karo panguripane wong sakiwa-tengene. Lan aja lali, durung sampurna adeging sanggar iku lamon durung diganepi kanthi kapustakan kang komplit, kang ing kono bisa ditemokake, upamane, buku-buku: Centhini, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita, Ruwatan/Murwa Kala, Pranatamangsa, Wulangreh, Wedhatama, Kalatidha, Ramalan Jaya Baya, Babad Tanah Jawi, lan buku-buku liyane, ora ngemungake kang kababar kanthi basa Jawa, nanging uga kang abasa Indonesia. Mesthine Pamarentah wajib nyukupi adeg lan lumakune ’’Sanggar Budaya’’ ing saben desa/kelurahan, kejaba yen kang diugemi panemu manawa laku maca-nulis iku ora penting kanggo kemajuaning bangsa.

Kajaba cacahe kang migunakake, sawijining basa iku kena diarani kuwat yen ngrembaka ’’tradisi tulis’’-e. Ing bab ’’tradisi tulis’’ iku basa Jawa isih kena diarani ringkih. Pancen nyata isih ana majalah lan ariwarti kang nggunakake basa Jawa. Nanging, nyatane basa Jawa isih durung bisa diarani pengkuh tenan ing tulisane (kang nganggo aksara latin). Senajan wis digawe aturan baku, akeh tembang-tembang campursari, upamane, kang isih tinulis kanthi salah. Kalawarti/ariwarti abasa Indonesia sajake uga kepenak wae methik ukara, tembung Jawa lan nulis ora nganggo aturan kang samesthine. Kamangka, yen methik tembung Inggris, luput saaksara wae wis dadi ’prekara’. Sangsaya kojur maneh manawa kang ’’tumindak luput’’ ing bab nulisake tembung Jawa iku bebadan pamarentah. Kaluputan kang kasebut keri dhewe kuwi mau ngabarake manawa saweneh bebadan pamarentah nggembosi programe dhewe (pamarentah) ing babagan ngrumat bahasa daerah. Mula, aja disemayani maneh, kudu enggal ana kang miwiti ada-ada kampanye ngurmati tatatulis kang bener lan pener iku, becik yen bisa dilekasi kanthi sapatemon ing antarane para pamengku gati: jurnalis ariwarti/kalawarti abasa Indonesia, jurnalis kalawarti basa Jawa, pengarang Jawa/Indonesia, penerbit buku, produser kaset/VCD/DVD campursari/keroncong lan sapangripta lagune pisan, karo pihak pamarentah, upamane diwakili dening Balai Bahasa kang mapan ing satengahe bebrayan Jawa.

Yen digandhengake karo kanyatan akehe kalawarti/ariwarti kang mingunakake basa Jawa, durung jejege aturan utawa tatatulis basa Jawa iku mbokmanawa dumadi amarga cacahe wong kang ajeg maca ora kubuk yen dibandhingake karo gunggung-kepruk-e wong Jawa. Banjur kepriye carane supaya luwar saka prekara iki? Pakulinan maca/nulis nggunakake basa Jawa kudu diwiwiti saka bocah, saka sekolahan lan kudu ana bahan wacan wujud buku kang nyukupi. Lan aja disepelekake, ing kahanan kaya mangkene iki mbabar kalawarti mligi kanggo para mudha-tumaruna iku banget PENTING-e.

Ayo, sapa gelem gawe ontran-ontran ing bab kang becik iki: (1) mangun sanggar budhaya ing desa-ngadesa, (2) gotong-royong mbabar majalah basa Jawa kanggo para midha-tumaruna! Ukara iku krasa kaya ajak-ajak ngrubuhake gunung, ya? Kamangka, angger wis dicantholake ing APBD, precaya kena ora precaya ya mangga: suwe mijet wohing ranti! Nuwun.

Sawojajar, Juni 2011

OPEN MARANG KUPIYANE MASYARAKAT MURIH LESTARI LAN NGREMBAKANE BASA LAN SASTRA JAWA

Thursday 23 June 2011

SAPI DAN MANUSIA

Belum berbilang bulan, Australia menghentikan ekspor sapi ke Indonesia, karena mengetahui (melalui rekaman video) sapi-sapi itu disembelih dengan cara yang tidak wajar, dengan disakiti terlebih dulu. Maka, penghentian ekspor itu adalah sebentuk protes terhadap para penjagal yang tidak ’berperikehewanan’. Protes kepada Indonesia. Ini soal sapi.

Dan ini soal manusia, dari kelompok yang sering disebut-sebut, juga oleh pejabat, sebagai pahlawan devisa. Ialah Ruyati, pekerja migran asal Bekasi, dihukum pancung di Arab Saudi, Sabtu (18/6) lalu, setelah pengadilan setempat memvonisnya sebagai pelaku pembunuhan atas majikannya. Jika faktanya Ruyati (almarhumah) memang membunuh, apakah motivasinya? Jangan-jangan justru sesungguhnya ia sekadar membela diri? Itu pertanyaan-pertanyaan yang pasti akan menggoda kita. Parahnya, Pemerintah Arab Saudi tidak mengkomunikasikannya dengan Pemerintah Indonesia, melalui Kedubes setempat misalnya, sehingga seperti dilansir detik.com, BNP2TKI merasa kecolongan dan Kemenlu RI pun melayangkan protes atas kejadian ini.

Itu berarti, tidak ada yang dilakukan Pemerintah RI hingga Ruyati menemui ajalnya. Padahal, 12 tahun silam, hukum pancung itu nyaris saja menimpa Zaenab, dan dapat dibatalkan setelah Raja Saudi ditelepon Presiden RI (Gus Dur) saat itu.

Ya, Kemenlu RI sudah melayangkan surat atau nota protes. Cuma itu. Sayang, kita belum dapat ikut membaca bagaimana bunyi kalimat nota protes itu. Maka, saya menulis status di Facebook, ’’Pahlawane dibunuh kok ora nantang perang? --ngono kuwi yen angger nggambleh ngarani pahlawan. Mung lelamisan…’’ Artinya lebih-kurang, ’’Pahlawannya dibunuh mengapa tidak menantang untuk berperang? Begitulah jika asal saja menyebut ’pahlawan’, hanya sebagai pemanis bibir.’’

Apakah benar saya menyetujui perang? Oh, tidak. Pasti tidak. Tetapi, saya mengangap penting untuk bersitegang. Ini menyangkut nyawa manusia yang dibunuh dengan sengaja, betapa pun atas nama hukum. Wong arep mateni anake uwong kok kulawargane dikabari wae ora, sadurunge!’’ Mau membunuh manusia kok memberi kabar keluarganya pun tidak, sebelumnya! Adalah penting untuk bersitegang. Bersitegang seperti apa? Ya, entahlah. Tetapi, setidaknya, jangan hanya sekadar mengirimkan surat, bagaimana pun bunyinya surat itu. Pasti saya tidak tahu cara paling tepat untuk meningkatkan ketegangan itu, sebab jika saya tahu, bisa jadi sayalah Ketua BNP2TKI atau bahkan Menakertrans-nya.

Nah, hal lain yang ingin saya ingatkan lagi adalah, janganlah seenaknya –terutama para pejabat itu-- menyebut-nyebut para pekerja migran kita sebagai Pahlawan Devisa. Sebab dari situlah saya tarik logika ke arah ’’peperangan’’ tadi itu. Jadi penalarannya begini. Pahlawan adalah kata yang sering digunakan untuk menyebut para kusumaning bangsa yang gugur di medan perang. Mereka dibunuh oleh pihak musuh di dalam peperangan. Pahlawan adalah mereka yang menakar harga kehormatan bangsa persis sama dengan jiwa dan raganya sendiri. Maka, mereka rela mati demi kehormatan bangsanya. Dan negara yang dijalankan oleh pemerintah, pun menghormatinya, antara lain dengan memakamkan di pemakaman istimewa, yang sering disebut sebagai Makam Pahlawan. Nah, ketika sang pahlawan sudah mempertaruhkan jiwa-raganya, dan kalah dalam pertaruhan itu, negara hanya mengeluarkan sepucuk surat? Ya, karena memang sebatas itulah yang bisa dilakukan sebagai reaksi. Sampai di sini, kita sudah dapat kesimpulan: ’’Janganlah terlalu mudah menyebutkan kata: pahlawan.’’

Memberikan komentar pada status FB seperti saya sebutkan tadi, seorang Dosen Teater dari Universitas Negeri Surabaya menulis, "Ora isin karo Australia sing Sapine ora "disapikan" oleh para jagal, memilih menolak melakukan ekspor sapi ke Indonesia..." yang lebih-kurang berarti, ’’Tidak malu dengan Australia yang ketika sapi-sapinya tidak ’’disapikan’’ oleh para jagal lalu memilih menolak melakukan ekspor sapi ke Indonesia.’’

Jadi, rasa hormat Pemerintah kita terhadap jiwa manusia, jiwa rakyatnya, lebih rendah daripada rasa hormat Pemerintah Australia terhadap para sapinya? Duh Gusti…!*

Sunday 29 May 2011

BURUH MIGRAN BERTANYA

bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh karena itu perbudakan dalam segala bentuknya harus
dilenyapkan
kecuali dalam keadaan memaksa
tenaga kerja boleh dikirim sebanyak-banyaknya
ke luar negri sebagai buruh migran


’’klenger, jan klenger tenan
di dalam negri merana susah cari kerja
di luar negri mung dadi gedibale majikan!”

apakah kami harus bangga
negara kami negara yang besar
banyak utangnya
dan juara korupsinya?

maka didirikanlah negara kesatuan republik indonesia
untuk melindungi warga negara
mencerdaskan dan menyejahterakan rakyatnya
kecuali rakyat yang berjuta jumlahnya
yang terlempar ke berbagai negara
menjadi buruh yang teraniaya
menderita di dalam
menderita di luar

jiwa-jiwa yang ingin merdeka
tapi terjajah nyaris sepanjang usia
berjuta kami jumlahnya
serentak berteriak
bertanya:
’’di manakah tempat berlindung bagi kami
sesungguhnya?’’

Thursday 14 April 2011

Lomba Ngarang Crita kanggo Siswa

Iki ana lomba ngarang crita kanggo para Siswa, dicepaki hadiah Rp 7.000.000 (pitung yhuta rupiyah). Sing nganakake lomba iki Yayasan Saworo Tino Triatmo (YASATRI).
Carane melu lomba:[1] Irah-irahan: bebas, [2] Tema: Ngudi kas kayaning budaya Jawa kanggo ngawekani laku brangasan ing madyaning para mudha. [3] Crita diketik MS Word 97-2003, ora luwih saka 5 kaca ukuran folio, spasi 1, font 11 (watara 2000 – 3000 tembung). [4] Asli asil karya pribadi para siswa durung dipacak ing media, dikanthi surat pengantar/katrangan kepala sekolah. [5] Dikirim sakdurunge 31 JULI 2011 marang pengurus YASATRI kanthi alamat email: bs2751950@yahoo.com utawa bs2751950@gmail.com. Hadiah lomba Rp 7.000.000 iku kanggo juara siji nganti teka juara harapan. [b]

Wednesday 13 April 2011

Lomba Ngarang Crita Abasa Jawa kanggo para Siswa


Friday 8 April 2011

Arisan Sastra, Sebuah Oase Budaya di Trenggalek

Ketika 3 atau 4 orang (saja) mengadakan pertemuan rutin dan mendiskusikan sesuatu hal secara intensif, sebuah oase budaya dapat terbangun dan berkembang menjadi besar, atau setidaknya menghasilkan sesuatu yang besar, dan menggelembung melampaui batas-batas wilayah geografis mereka, seperti yang dilakukan Socrates dan kawan-kawan (Socrates Café) atau Derrida dan kawan-kawan. Tiba-tiba, di Trenggalek muncul kelompok diskusi yang dibangun oleh sosok-sosok muda yang gandrung tulis-baca, yang dengan segala daya-upaya mereka giat mengampanyekan gerakan literasi di kota kecil yang jika terkenal pun, sering lebih karena kemiskinan dan keterpencilannya ini.

Kelompok anak-anak muda yang dipelopori Nurani Soyomukti, penulis yang sudah melahirkan belasan buku, Tony Saputra, mahasiswa STKIP Trenggalek yang gemar menulis puisi, dan kawan-kawan itu pun menjadi semacam kumparan yang semakin memperkokoh keberadaannya dengan aneka macam kegiatan, dari menyelenggarakan diskusi sastra, peluncuran/bedah buku, dan yang secara rutin diagendakan setiap bulan sejak 6 bulan lalu adalah: Arisan Sastra Trenggalek (selanjutnya disebut dengan Arisan Sastra). Beberapa nama yang dalam hal usia tidak bisa disebut muda lagi pun bergabung ke dalam kelompok ini.

Ini adalah kabar gembira, ketika masyarakat kita, tak terkecuali yang hidup di pelosok-pelosok desa cenderung menjadi sangat pragmatis-materialistis, dan pembangunan karakter bangsa hanya menjadi jargon atau kalau dilakukan pun sering lebih berorientasi proyek. Nurani Soyomukti dan kawan-kawan ini melakukan gerakan budaya dengan segenap kemampuan (yang sesungguhnya sangat terbatas) yang mereka miliki. Dan hebatnya, lagi-lagi, mata kita dibuka untuk melihat kenyataan bahwa kemauan yang kuat, yang bersih dari pretensi mendapatkan keuntungan material, mampu menyerap kekuatan alamiah yang, menurut saya: luar biasa, membalik keadaan dari kemampuan yang sangat terbatas itu menjadi kemampuan luar biasa.

Luar biasa, ketika puluhan orang bertahan untuk bergantian membaca/mendengarkan pembacaan-puisi, orasi, di tengah guyuran rintik hujan, dari sekitar pukul 19.00 hingga tengah malam (Rumah Hamzah Abdillah, Jl. WR Supratman, Minggu, 5 Maret 2011).

Luar biasa, ketika acara yang bahkan tidak tertera di dalam agenda Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten (Trenggalek) ini dihadiri oleh penulis, penyair, sastrawan dari berbagai kota: Bojonegoro (Riza Multazam Luthfi), Malang (Misbahus Su’rur), Jombang (Hadi Sutarno), Ponorogo (Ary Nurdiana), dan Ngawi (Hardho Sayoko).

Luar biasa, karena Arisan Sastra ini adalah model pembangunan kebudayaan dari akar rumput, dari bawah, yang sangat berpeluang menyejajarkan Trenggalek dengan kabupaten lain di Jawa Timur yang lebih dahulu maju di bidang kesusasteraaan dan dunia penulisan ini: Sumenep, Lamongan, Bojonegoro, yang belakangan disusul Kabupaten/Kota Mojokerto.

Mengapa tradisi tulis-baca seperti dilakukan Nurani Soyomukti ini penting untuk dibangun? Sastrawan peraih SEA Write Award Suparto Brata yang menulis dengan dua bahasa (Jawa dan Indonesia) memiliki jawaban yang bagus untuk pertanyaan itu: ’’Kita bisa bertani dengan baik hanya dengan mendengarkan siaran radio mengenai cara-cara bertani yang baik. Tetapi, kita tidak akan dapat membuat radio hanya dengan mengikuti petunjuknya melalui siaran radio.’’ Artinya, tradisi baca-tulis atau gerakan literasi adalah wajib hukumnya untuk masyarakat yang ingin maju peradabannya.

Luar biasa, karena Arisan Sastra ini menunjukkan kepada kita adanya geliat-gerak-maju peradaban/kebudayaan, dalam pengertian tidak statis dan puas hanya mengelus-elus warisan budaya nenek moyang (baca: tradisi lisan), yang, mengelus pun kini sepertinya sudah tidak dilakukan dengan benar. Hanya mau merawat (dengan baik) budaya warisan dan tidak dapat mengembangkannya dengan baik paling banter hanya akan menjadikan masyarakat sebagai semacam museum. Jangan sampai instansi bernama Dinas kebudayaan dan Pariwisata di negri ini, khususnya di Jawa Timur hanya mendjadi semacam biro penjualan tiket masuk ke: gua, pantai, candi. Jangan sampai hanya mau sesekali nanggap wayang, ludruk, kentrung, sambil merasa telah ikut menjaga dan mengembangkan warisan budaya bernama kesenian tradisional itu. Adalah kecelakaan budaya jika kita tidak mampu dengan benar merawat warisan dan gagal menciptakan iklim yang baik bagi dunia kreasi, penciptaan, bagi generasi terkini. Dan perlu dicatat pula, Arisan Sastra ini sekaligus juga dapat dipandang sebagai salah satu obat antidehidrasi (menghindarkan kelumpuhan kultural masyarakat) di tengah-tengah banjir limbah peradaban dunia.

Pada akhirnya saya hanya ingin mengatakan, bolehlah Dewan Kesenian Jawa Timur tidak tahu bahwa di Trenggalek juga ada Dewan Kesenian (Kabupaten Trenggalek). Tetapi, kini ada harapan untuk menuju apa yang bisa saya katakan dengan: ’’tidak ada yang salah dengan kesenian di Trenggalek.’’

Arisan Sastra ini penting untuk terus dipacu dan dikembangkan sebagai oase budaya di Trenggalek, dan tidak perlu digiring menjadi koperasi. Karena itulah disamping Nurani Soyomukti yang menjadi tumpuan utama keberlangsungan gerakan ini, saya mengusulkan Tony Saputra untuk dukukuhkan sebagai Bupati Penyair Trenggalek. Setuju, ya? [Bonari Nabonenar, peserta Arisan Sastra Trenggalek]. [Radar Surabaya, 18 April 2011]

Wednesday 30 March 2011

Menakar Kehebatan Seorang Penulis

Profesi penulis pastilah tidak mengungguli ’dokter’, ’menteri’, ’presiden’, ’pengusaha kaya’, dalam hal paling banyak dicita-citakan. Tetapi, fakta juga membuktikan bahwa tidak sedikit orang, secara diam-diam maupun terang-terangan, kepengin menjadi penulis. Menjadi penulis hebat! Persoalannya sekarang adalah, penulis macam apa yang kita pandang sebagai penulis hebat itu? Apakah penulis yang bukunya laris bak kacang goreng, penulis yang menginspirasi banyak orang, ataukah penulis yang berhasil mengoleksi banyak piala/piagam kompetisi dan menang di berbagai perlombaan? Penulis yang bukunya laris bak kacang goreng secara serta-merta dapat kita nilai sebagai telah pula menginspirasi banyak orang. Tetapi menginspirasi untuk apa? Untuk berubah. Berubah ke arah mana? Menjadi manusia yang lebih konsumtif, menjadi manusia yang tak ketinggalan mode, atau bahkan menjadi manusia yang berani melawan arus? Arus yang mana pula?

Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu. Atau, setidaknya, saya hanya berkepentingan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan itu kepada sidang pembaca. Dan berdamailah dengan jawaban Anda masing-masing.

Ada perasaan sukacita luarbiasa ketika tulisan kita untuk pertama kalinya dimuat di media cetak, apalagi di media cetak yang berwibawa. Seiring dengan pertukbuhan jam terbang sebagai penulis, hal seperti itu akan menjadi relatif biasa, walau rasa suka itu pasti tetap ada. Rasa sukacita luar biasa berikutnya akan muncul ketika berhasil melahirkan buku. Dan akan menjadi relatif biasa ketika semakin banyak buku dihasilkannya. Demikianlah, rentetan perasaan sukacita itu muncul pula saat, buku jadi best-seller, saat diangkat menjadi film dan ditonton jutaan pasang mata, dan dipuji-puji oleh ahlinya. Demikian pula saat seorang penulis berhasil mendapatkan gelar juara dalam sebuah perlombaan. Itulah rentetan ’keberhasilan’ yang tampaknya dalam jumlah keseluruhannya hanya dapat dinikmati sedikit penulis. Sebagian besar penulis hanya bisa mendapatkan satu, dua, atau beberapa di antara rentetan ’keberhasilan’ itu. Lalu, siapa penulis hebat? Nah, di sinilah uniknya. Fakta membuktikan, bahkan yang tampaknya sudah mengantongi seluruh daftar keberhasilan itu bisa jadi ternyata hanya mengantongi ’kehebatan’ sementara saja. Seperti sebuah lagu pop yang muncul di puncak tangga untuk beberapa bulan, dan setelah itu lenyap bagai di telan bumi. Sementara, di sisi lain, ada penulis yang seoalh tak begitu ’hebat’ tetapi ia ’berumur panjang’, bahkan jauh lebih panjang daripada usia tubuhnya, dengan segenap sanjungan dan predikat baik yang menyertai namanya.

Masih bingung? Jangan khawatir. Merasa bingung itu bagian dari tanda bahwa pikiran kita sedang ’jalan’. Sebelum terjerembab, ikutilah kisah pendek ini. Dalam suatu perlombaan menulis cerpen, seorang penulis yang jam terbangnya lebih banyak dikalahkan oleh ibarat bocah kemarin sore. Si Bocah Kemari Sore itu juara ke-2, sedangkan Si Pengarang Senior juara ke-3. Peristiwa itu terjadi puluhan tahun lalu. Perlombaan itu ternyata tidak menggusur kewibawaan Si Pengarang Senior, walau Si Kemarin Sore terangkat derajatnya karenanya.

Dunia Sunyi

Begitulah, masyarakat (pembaca) memiliki sistem penilaiannya sendiri. Karena itu, mengikuti lomba adalah cara yang baik untuk mengasah kemampuan menulis, tetapi ketika sukses mendapatkan gelar juara, janganlah lalu menjadi mabuk dan merasa sudah sampai di puncak. Tepuk tangan atau sanjungan dalam sebuah perlombaan itu hanya akan bertahan beberapa saat lamanya. Setelah itu akan kembali sepi. Dan, demikianlah, akal-akalan manusia saja membuat dunia kepenulisan menjadi dunia yang hiruk. Padahal, sesungguhnya, ia adalah dunia yang sunyi, yang justru karena kesunyiannya itulah banyak orang memburunya.

Tetapi, tak semua orang suka kesunyian macam itu. Ada yang melihat keberhasilan seorang penulis karena ia bisa pula menjadi semacam selebriti yang dielu-elukan para penggemarnya, yang tulisan-tulisannya selelu dikerubuti orang, bahkan ditunggu-tunggu, yang namanya tertulis dalam soal ujian anak-anak sekolah, yang menerima royalti ratusan juta rupiah, dan seterusnya. Maka, muncullah penulis-penulis dengan orientasi popularitas, kekayaan, dan hal-hal lain yang sifatnya harfiah. Apakah penulis demikian bukan pejuang nilai? Ya, pejuang juga tentunya. Tetapi, nilai-nilai yang diperjuangkan adalah nilai-nilai kebendaaan, dan bukannya nilai-nilai kemanusiaan. Yang memperjuangkan nilai kemanusiaan itulah, siapa pun, apakah ia seorang penulis ataukah seorang pekerja sosial, biasanya lebih dikenang untuk jangka waktu yang sangat panjajang.

Kini, jika Anda sudah mulai banyak melahirkan tulisan, mengantongi sekian banyak piala dan piagam penghargaan, mengantongi nama koran dan majalah bergengsi yang pernah/sering memuat tulisan Anda, dan sudah melahirkan pula sekian banyak buku, tengoklah kembali semua itu. Anda akan segera tahu, apakah Anda sudah berada di jalan lurus sesuai garis nilai yang Anda perjuangkan, dan apakah garis lurus itu adalah garis yang Anda setujui atau tidak, ataukah sesungguhnya Anda masih saja berputar-putar di lereng (gunung) yang masih sangat jauh dari puncaknya.

Sampai muter-muter di beberapa halaman majalah ini pun tampaknya kita tak akan mendapatkan jawaban yang jelas mengenai pertanyaan: Siapakah penulis hebat itu. Sebab, saya hanya tahu siapa penulis yang tidak hebat, yakni mereka yang suka bertanya: ’’Tulisan seperti apakah yang digemari orang (pembaca) sekarang ini?’’ [Bonari Nabonenar]

Monday 14 February 2011

PUISI DAN KEMISKINAN YANG DISEMBUNYIKAN

[Catatan Nurani Soyomukti]


“dipastikan tak berdampak sistemik
jika orang kecil bangkrut
dan menjerat leher sendiri dengan kawat
sebab untuk urusan rezeki dan maut
tuhan pun dikambinghitamkan
dipastikan tak berdampak sistemik
jika ibu putusasa membuang bayinya
sebelum menamatkan diri dengan minum obat serangga
sebab orang bisa matidini atau matitua

dipastikan tak berdampak sistemik
jika anakmuda memilih kehilangan ingatan bersama narkoba
daripada menatap masa depan mereka yang gelap gulita
sebab mereka hanya angka di dalam statistik
bisa diatur dengan sedikit utakatik

dan karena dipastikan tidak berdampak sistemik
tak diperlukan talangan perhatian buat mereka.”

(Puisi Bonari Nabonenar, Desember 2009)


Puisi Kang Bonari tersebut punya kekuatan menggugah. Hanya dengan beberapa baris kata, tidak perlu satu buku ekonomi yang terdiri dari beratus-ratus halaman, untuk menunjukkan apa yang sedang terjadi. Tetapi dengan puisi yang memiliki pilihan kata (diksi)-nya tepat, kita semua tergugah. Bahwa kemiskinan dan orang miskin berusaha disembunyikan. Sebuah puisi yang level manfaatnya setaraf dengan analisa sosial yang dikerjakan oleh peneliti atau aktivis sosial yang reputasinya sudah internasional. Kenapa saya katakan demikian? Karena membaca puisi di atas, saya menemukan ungkapan hampir sama dengan kata-kata yang ditulis oleh aktifis sosial internasional, Jeremy Seabrook, yang dalam bukunya ”Kemiskinan Global” menuliskan berikut ini: ”Orang miskin dibentuk ulang dalam citra orang kaya. Mereka menjadi subjek berondongan publisitas dan iklan, untuk memiliki dan untuk membelanjakan... di kalangan yang terpinggirkan, budaya itu membangkitkan suatu karikatur partisipasi pasar kejahatan, penyalah-gunaan obat, kecanduan, persaingan... tersingkir dari pasar global, kaum muda menjadi prajurit bayaran transnasional, dalam kancah perang untuk memenangkan logo dan merk. Obsesi mereka pada emblem yang menunjukkan kepemilikan—kaos, jeans, pakaian olah-raga, telfon genggam—mendorong mereka melakukan apapun untuk menggenggam barang-barang itu”.

Mereka berusaha menutupi mata kita akan adanya fakta ketimpangan yang menyebabkan kejahatan dan eksploitasi itu. Caranya misalnya adalah dengan mengatakan bahwa kaya dan miskin itu sama saja. Bagi kita yang mengetahui hokum-hukum alam dan materi, tidak mungkin segala sesuatu yang secara material berbeda—bahkan meskipun perbedaan itu kecil—dapat dianggap sama. Dua hal yang secara material berbeda, tidak boleh dikatakan sama, karena dengan mengatakannya sama berarti menutup-nutupi realitas atau mengompromikan antara keduanya—alias “pukul rata”.

Dengan bahasa yang menggunakan agama sebagai tameng, banyak dari orang bodoh itu yang berkata bahwa: (1) “Kaya dan miskin itu sama saja dihadapan Tuhan; (2) “Belum tentu orang miskin itu sengsara, belum tentu juga orang kaya itu bahagia. Kadang orang miskin itu lebih bahagia daripada orang kaya”.

Orang yang mengatakan dan berpikir itu punya kecenderungan yang sangat negatif. Pertama, ia menganggap bahwa kaya dan miskin sama saja, ia membiarkan (tak peduli) pada adanya ketimpangan yang akibatnya sangat membahayakan bagi hubungan antar manusia. Dengan mengatakan bahwa perbedaan material antara kaya dan miskin sama saja, ia tak punya semangat untuk merubah kondisi itu, dia membiarkan saja karena tidak tahu bahwa kemiskinan disebabkan oleh suatu hubungan material (ekonomi) yang sangat eksploitatif—karena mungkin menurutnya hanya karena takdir Tuhan yang dianggapnya sangat wajar.

Kedua, dia tidak objektif atau tidak jeli dalam melihat kondisi sebenarnya—mungkin karena ungkapan semacam itu, meskipun seringkali kita jumpai, merupakan ungkapan yang paling banyak muncul di sekitar kita. Tidak objektif dan tentu saja tidak adil karena—kalau kita mau menganalisa secara mendalam—ketidakbahagiaan orang kaya adalah ketidakbahagiaan yang tingkat dan derajat atau kualitasnya berbeda. Orang kaya tidak bahagian mungkin karena tak puas pada kondisi tubuh gemuknya yang diakibatkan oleh terlalu banyak makan—pada saat orang lain kurang makan; atau tidak bahagia karena merasa kekurangan karena kekayaan membuat orang semakin serakah dan kian gengsi atau takut bersaing dengan orang kaya lainnya; tidak bahagia karena ia resah karena takut kalau rumahnya dimasuki pencuri, yaitu kalangan yang mencuri bukan karena “takdir” tuhan tetapi karena kondisi material kemiskinan; tak bahagia karena anaknya tiba-tiba mati karena gaya hidup orang kaya yang bebas, anaknya mati karena nge-drug over-dosis; tak bahagia karena karena kekayaannya ia mampu beristri dua, karena harus berbagi ia harus berkorban perasaan, belum lagi kalau istri pertamanya marah-marah—tak bahagia kalau ia ketahuan selingkuh atau ketahuan masyarakat saat “jajan” di rumah bordir; tak bahagia yang sebenarnya lebih disebabkan oleh hal yang remeh dan akibat ulahnya sendiri yang tak data berpikir solider, objektif, dan dilenakan oleh kondisi kekayaannya yang memanipulasi dirinya di hadapan orang lain.

Memandang—lebih tepatnya menggeneralisir—bahwa orang miskin belum tentu tidak bahagia juga membahayakan karena ia akan membiarkan kondisi kemiskinan dan sekaligus pandangan ini tak berdasarkan kenyataan. Dari hari ke hari, baik disadari atau tidak, orang miskin yang serba kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya adalah pihak yang paling merasakan kesusahan, bersamaan dengan tekanan-tekanan fisik dan psikologis yang membuatnya menderita sakit da miskin.

Puisi Kang Bonari di atas sengaja saya kutip karena mengandung ketajaman dalam melihat persoalan yang ada di masyarakat kita. Sebagai bagian dari masyarakat di era kapitalis yang dilindungi oleh tentara dan angkatan perang dan dihiasi oleh jagat hiburan (entertainment) yang terdiri dari glamourisme seni-budaya borjuasi yang kualitasnya hanya sebatas citra teknologi, juga tatanan yang dilanggengkan secara politik-pemerintahan oleh seorang presiden yang hanya mengandalkan politik pencitraan, nasib orang miskin hanyalah sebatas bahan omongan.

Kemiskinan hanya jadi bahan kajian kaum intelektual agar mereka mendapatkan banyak uang dalam proyek penelitian dan pemberdayaan, sudah lama hal itu dilakukan terus-terusan, tetapi kemiskinan bukannya menurun tetapi malah menjadi-jadi. Jangan-jangan untuk mengubah dan menghilangkan kemiskinan sebenarnya tidak cukup hanya dengan intelektualitas, tetapi butuh keberanian dalam bertindak. Tidak butuh terlalu banyak seminar atau perdebatan di kalangan akademisi atau kalangan cendekia, karena kalau hanya omongan saja, kata-kata saja, tidak akan merubah apa-apa. Widji Thukul dalam puisinya:

"... dunia bergerak bukan karena
omongan para pembicara dalam ruang
seminar yang ucapnya dimuat
di halaman surat-kabar
mungkin pembaca terkagum-kagum
tapi dunia tak bergerak setelah surat-kabar itu dilipat."

Tetapi bukan berarti bahwa pengetahuan dan kata-kata tidak memiliki kekuatan dan manfaat. Tentu yang dibutuhkan adalah kata-kata dan pengetahuan yang progresif dan bukan pengetahuan yang konservatif. Pengetahuan yang progresif adalah yang mampu menunjukkan realitas objektif dan secara kritis menguak terjadinya suatu fakta penghisapan/pemiskinan. Intelektualitas progresif adalah yang dengan pengetahuannya dan kata-kata yang dikabarkannya pada orang lain mampu menunjukkan fakta terjadinya ketimpangan, lalu pengetahuan tersebut menimbulkan empati dan komitmen banyak orang untuk bertindak.

Sedangkan intelektual konservatif adalah kaum yang mengotak-atik pengetahuan hanya sekedar untuk membuat dirinya layak disebut kaum intelek atau suatu status yang dipamerkan untuk mendapatkan sesuatu: pujian dan uang. Intelektual konservatif ini tak lebih dari orang yang masuk ke dalam pengetahuan dengan batasan-batasan tertentu dengan mengompromikan kepentingannya untuk mendapatkan keuntungan dari sistem yang ada. Ia akan mencari pengetahuan dan mengabarkannya sebatas ada uang atau menghasilkan, sebatas ada proyek. Dan hasilnya pun tak akan menghasilkan tindakan bagi orang lain, tak menyadarkan, dan tidak kritis.

Jadi, yang dibutuhkan adalah pengetahuan dari kaum intelektual yang progresif yang mampu menguak ketimpangan dan keberlangsungan tatanan material penindasan. Ideologi dan pengetahuan semu yang melanggengkan tatatan penindasan punya kekuatan untuk menutup-nutupi realitas nyata, terutama realitas bahwa banyak orang miskin dan dimiskinkan kadang juga disembunyikan.*

dicomot dARI catatan facebook penulisnya

KENDURI MELLY

pagi kemarin melly mendarat di bumi pertiwi
di kampung halaman wajahnya berseri
dikerubuti tetangga kanan kiri
tapi keceriaan bundanya sore ini surut
sebab melly mothah bersungut-sungut
minta dibuatkan kendurian
peringatan hari kasih sayang
"gek kuwi ambengane piye ta ndhuk?"

dan tak kebayang pula
bagaimana Mbah Kariyo nanti malam
bingung piye le ngajatke

februri 2011

Friday 21 January 2011

PUISI BAIK BAGI KESEHATAN

ini puisi buruk
tetapi baik bagi kesehatan:


sebab manusia pemakan segala
mereka hanya perlu sadar takaran
untuk menjaga kesehatan
sayur, buah, dan biji-bijian
bahkan bisa jadi obat yang menyembuhkan
tak sekadar mengenyangkan
tetapi melahap sawah dan ladang
hutan dan bebukitan
hanya akan menimbulkan penyakit
dan penderitaan tujuh turunan


ini puisi buruk
tetapi baik bagi kesehatan:


dianjurkan rajin bergerak badan
jalan kaki dan bersenam
dan janganlah harihari dilewatkan
dengan berpangku tangan

untuk kesehatan
jangan pula suka menendang
dan menyikut kiri dan kanan

ini puisi buruk
tetapi baik bagi kesehatan:


membaca puisi
atau sekadar mendengarkan
juga baik bagi kesehatan
sebab sebuah puisi adalah makanan
bagi jiwa, seperti selembar daun
sayuran bagi badan

2010

Thursday 6 January 2011

NEGARA KANG KELANGAN PUSAKA, UTAWA….

Wauta kang cinarita, anenggih Nagri Indonesia Raya. Nagri nugrahaning Gusti, kang kebegan kaskayaning bawana, wiwit ingkang warni papan subur, ilen-ilen, thethukulan, sato kewan, lan padunung rong atus yuta langkung cacahira. Estu punika nagri kang (kedahipun) panjang punjung, pasir-wukir, gemah ripah lohjinawi. Eman sanget dene dugi sapriki sedaya wau mung kandheg dumugi teori. Pratandhane: polahe jalma manungsa pindha gabah deninteri.

Wiramane sampak. Sampak kuwi wirama seseg, kemrungsung. Ya kaya mengkono kuwi candra swasanane negara iki. Tansah kemrungsung. Rampung perang kembang antarane aparat karo para mahasiswa/demonstran kang nglairake tatanan anyar ingaran reformasi kang nganti saiki ya durung cetha jluntrunge, susul-sinusul kedadeyan-kedadeyan ngeram-eramake. Ana lakon Cecak mungsuh Bajul, ana Geger Bank Century, nganti tekan prekara goyas-Gayus nglelingsemi.

Para anung-anunging praja samya udreg rebut panguwasa, samya nggugu karsaning priyangga, mengko yen kesel prekentengan ngenggar-enggar sarira plesir nyang tlatah manca sinamudana program studi banding amrih bisa disangoni negara. Rakyat mung bisa nonton polahe-tandange para penggedhe ing layar kaca.

Wauta kang kacarita. Pating bilulung polahe para kawula. Pating bleber nggendhong keba luru rombeng satepining marga, ngongkreh-ongkreh pawuhan lan ngebur peceren mbokmanawa ana kang bisa digawa.

Kang katrajang murkaning bawana samya keplantrang ing pangungsen, sambate ngaruara.

Para taruna kang jibeg nguber lowongan wekasan keplayu nyang bumi sabrang adol bahu menyang para juragan bangsa manca. Dadi jurumudi kapal misaya mina, wekasane malah kaparentah nggangsir kaskayaning samodra, nyolong iwak ing perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Uga ana sing kaladuk cupeting graita, temah nglalu nguncalake ragane saka puncaking mall, pralambange urip kang keburu donya.

Sesa-sesa pethakilane wong mulya, sesa-sesa polahe wong cintraka. Uga ana kang adol kamardikane, trima dadi narapidana beteke butuh dhuwit sepuluh yuta.

Eloke, ekonomi ngrembaka nyundhul angka kang ngedap-edapi. Dhuwit ditandur ing sadhengah papan, ana kala-mangsane sinambi ngrabasa wong ringkih. Brahala winangun ing endi-endi, ing kutha, ing karang padesan. Kreta kencana pating bleber ngebaki ratan, adu dhisik kaya balapan. Pamberunge mesin wor-suh lan swarane wong pepriman.

Wiramane isih sampak. Seseg. Kemrungsung. Kapan bakal tumekane jaman kencana-rukmi, murah sandhang, murah Lombok, murah pangan, lan ora ana wong wedi kejengkang saka papan padunungane? Tanpa wilangan pawongan kang tansah kelunta-lunta saka impen siji nyang impen seje, saka impen iki nyang impen candhake, impen kang gilir5-gumanti tekane, mbarengi mangsa pilkades, pilkada, pileg, lan liya-liyane.

Negara kang candrane kaya mangkono iku, yen ing pakeliran bisa dibadhe, apa kang dadi jalarane. Padatane, pusaka andel-andeling praja lagi ilang cinidra dening mungsuh, upamane yen Negara Amarta kelangan Jamus Kalimasada, yen Ndwarawati kelangan Cakra. Utawa, ana mungsuh kang ora mung nyidra pusaka andel-andeling praja, nanging mikut Sang Narendra, banjur memba-memba dadi paraga (narendra gung binathara) kang dicidra kuwi mau.

Mula ana kang asung pratelan manawa satemene Negara Indonesia Raya titi mangsa iki lagi kelangan pusaka andel-andel kang ingaran Pancasila. Yenn isih ana murid kang apal utawa ana tulisan kang ditemplekke tembok, iku mung dhapur tulisan utawa apalan. Nanging jiwa utawa semangat Pancasila kang satemene wus oncat saka batine Bangsa Indonesia. Utawa, malah….

Dlang tak tung-tung…!