Sunday 28 December 2008

Menyusuri Urat Nadi Seks Kota Buaya

Boleh dibilang Surabaya identik kota prostitusi. Tidak percaya? Mari kita menamsil seperti ini: di Pelabuhan Tanjung Perak, sesaat setelah kapal (baik penumpang maupun kargo) melego jangkar, PSK (pekerja seks komersial) sudah "menjemput". Mereka umumnya pengasong perempuan atau waria yang juga menjual "daging mentah" tubuhnya untuk konsumsi para pelaut yang butuh "ngetap oli" setelah "puasa" di tengah laut. Para PSK itu menyongsong kapal dengan perahu-perahu kecil, bahkan sampai ke tengah laut. Bila tak ada kapal merapat, para PSK itu juga berkeliaran di sudut-sudut Pelabuhan Tanjung Perak.

Masuk kota, tentunya bila malam, PSK berjajar di pinggir-pinggir jalan, mulai dari Jl Pemuda, Gubernur Suryo, Panglima Sudirman, Ahmad Yani, Diponegoro, sampai Bundaran Waru. Hendak keluar Surabaya lewat Terminal Bungurasih atau Bandara Juanda pun kita masih juga mendapati para PSK menjajakan diri di peron atau di gang-gang antarbus yang parkir.

Sudah pasti, selain PSK jalanan seperti itu, Surabaya juga mempunyai seabrek lokalisasi resmi maupun tidak resmi alias liar dan terselubung. Dari kelas teri di panti-panti pijat hingga kelas kakap di hotel-hotel, tempat-tempat hiburan malam, salon, atau rumah-rumah mesum kelas atas yang memang menyediakan "ayam-ayam" aneka rasa untuk para hidung belang. Sebut saja Dolly, Jarak, Bangunrejo, Moroseneng, dan Sidokumpul. Itu lokalisasi "resmi". Atau kawasan Kedungdoro, Darmo Park, segi tiga emas Tunjungan, Embong Malang dan banyak lagi. Itu lokalisasi tidak resmi.

Begitu suburnya geliat usaha esek-esek di Surabaya itu, tak mengherankan bila Hartono -germo kelas kakap-mengembangkan sayap usahanya di kota ini, setelah sukses di Jakarta dan Bali.

Bila Anda setuju dengan klaim bahwa Surabaya adalah kota prostitusi, maka yang kemudian pantas ditanyakan adalah, sejak kapan sebetulnya lokalisasi di Surabaya dikenal orang? Buku ini mencatat (setidaknya yang tercatat manuskrip sejarah), Surabaya 138 tahun lalu sudah mempunyai lokalisasi besar. Namanya Bandaran. Lokalisasi ini terletak di Kelurahan Ujung, Kecamatan Semampir, tepatnya di belakang Markas Lantamal III Surabaya.

Disebutkan dalam buku ini, tahun 1864 lokalisasi Bandaran sudah amat tersohor. Tidak hanya dikenal warga Surabaya saja, namun juga luar kota dan warga asing, termasuk para pelaut yang berlabuh. Pada tahun itu, di Bandaran terdapat 228 PSK di bawah asuhan 18 germo. Rata-rata PSK-nya tergolong high class. Yang menarik, dalam beroperasi para PSK kala itu harus mengenakan ID card (tanda pengenal). Hebatnya lagi,
lokalisasi di zaman pendudukan Belanda itu juga dilengkapi dengan rumah sakit yang khusus melayani PSK yang terjangkit penyakit kelamin.

Ibu-ibu Kencani Waria

Dari waktu ke waktu dunia prostitusi di Surabaya makin marak dengan bentuk servisnya yang juga makin aneh-aneh. Bahkan kini mulai merambah di jalan-jalan sempit dekat pemukiman penduduk. Pelaku-pelakunya juga kian kreatif dalam mengemas dan memasarkan "dagangan". Ada yang lebih senang di jalanan, tapi tidak sedikit yang tetap enjoy di gedongan. Meski polisi dan Satpol PP Pemkot Surabaya rajin menertibkan, jalananan Surabaya sulit bisa dibersihkan dari "hiasan" para PSK itu. Tidak hanya PSK perempuan, tapi belakangan juga banyak waria, gay, dan gigolo berkeliaran.

Berbagai siasat diterapkan untuk memikat konsumen. Alhasil, ada PSK yang menyaru sebagai mahasiswi dan siswi SMA. Ada yang pura-pura jadi SPG (sales promotion girl), kapster di salon-salon atau profesi lain yang banyak bersentuhan langsung dengan konsumen. Tapi ada pula yang terang-terangan dengan beriklan di koran-koran.

Dan, bukan barang baru lagi bila hampir semua panti pijat yang di belakangnya diembel-embeli "tradisional", seperti dicatat buku ini, juga menjual jasa "esek-esek". Yang paling gres, kini di Surabaya juga diwarnai fenomena seks ekstrem: ibu-ibu gemar mengencani waria-waria cantik. Ha?! Menurut pengakuan si waria, umumnya ibu-ibu
langganannya adalah wanita kelas atas, bermobil, dan senang kencan di hotel-hotel berbintang. Mereka suka waria-waria bertubuh langsing. "Tampaknya para ibu itu ingin sesuatu yang lain daripada yang lain. Dan, mereka tampaknya mendapat kepuasan tersendiri dengan para waria itu," ujar sosiolog Dede Oetomo yang banyak bersentuhan
dengan persoalan dunia "bawah tanah" ini.

Fenomena tersebut hanya satu penggalan yang tercatat dalam buku yang isinya kebanyakan pernah dimuat di halaman Metropolis Jawa Pos ini. Masih banyak drama lain yang mungkin membuat pembaca geleng-geleng kepala (sambil mengelus dada). Pertanyaannya, fenomena seks dan sosiologis macam apa yang sedang berlangsung di Surabaya itu? Investigasi yang ditulis secara features, dan kaya diskripsi dalam buku ini, memang tidak menjawab pertanyaan itu. Karena buku ini hanya memotret geliat industri seks di Surabaya saja, di permukaan! Sehingga terkesan buku ini kurang dalam dan detail.

Hendak diperlakukan sebagai apa buku ini, bergantung resepsi pembaca. Apakah sekadar untuk memuaskan fantasi, menambah pengetahuan, atau sebagai ultimatum bagi warga Surabaya: awas, prostitusi ada di sekitar kita! Monggo saja. []

Judul : Surabaya Doublecover, Kehangatan Malam Metropolis
Penulis : Tim Metropolis JP (editor Bonari Nabonenar)
Penerbit : JP Press, Oktober 2003
Tebal : ix + 181 hal

*) Peresensi, Oleh Leres Budi Santoso, adalah cerpenis dan penggemar buku.

diambil dari www.jawapos.com Minggu, 26 Okt 2003

Sunday 21 December 2008

Kado Tahun Baru bernama Kabar Baik


Ada kabar baik bagi calon BMI dan calon BMI yakni mulainya diterapkan pelayanan satu pintu untuk proses keberangkatan ke luar negri. Tetapi, bukankah kita sudah kenyang dengan kabar baik dan kenyang pula dengan kenyataan yang tidak baik?

’’Layanan Satu Pintu, Hadiah Tahun Baru Bagi TKI,’’ demikian sebuah judul berita versi detik.com (Rabu, 17/12/2008 23:20 WIB). Seperti dalam berita yang juga diturunkan Intermezo edisi ini (diambil dari: www.bnp2tki.go.id) kalimat judul itu dikutip dari pernyataan Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat, ’’Peluncuran ini merupakan hadiah tahun baru bagi TKI. Dengan hadirnya sistem Layanan Terpadu Satu Pintu, TKI dan calon TKI di NTB akan dimudahkan dalam pengurusan dokumen pemberangkatan ke luar negeri, melalui cara yang cepat, aman, murah, serta tidak birokratif,’’ jelas Jumhur Hidayat kepada wartawan.’’

Pernyataan Pak Jumhur itu sangat indah. Tetapi, sayangnya, pengalaman membuktikan bahwa kalimat-kalimat indah semacam itu lebih sering menimbulkan kegetiran, kejengkelan, dan rasa tidak enak campur-aduk di kemudian hari. Mari kita simak kalimat-kalimat sejenis ini: ’’Setelah konversi minyak ke gas, dijamin gas akan lebih mudah didapat dengan harga yang lebih murah daripada minyak.’’ Juga kalimat ini, ’’Kelangkaan elpiji pekan ini dijamin akan berakhir Selasa yang akan datang.’’ Yang terakhir itu adalah kalimat yang ’’sangat cerdas’’ tetapi juga berpotensi membingungkan, karena adanya kata-kata ’’akan berakhir’’ bersanding dengan ’’Selasa yang akan datang.’’ Karena, ’’Selasa yang akan datang’’ itu hanya bisa berakhir setelah terjadi kiamat. Lha, kalau kita sudah sampai pada hari Selasa dan ternyata elpiji masih langka, kan memang jaminannya adalah: ’’Selasa yang akan datang,’’ dan bukannya ’’Selasa hari ini.’’

Cak Kartolo pun layak marah jika mendengar permainan kata semacam itu dilakukan oleh pamong praja, pejabat, karena ia jelas lebih berhak membanyol seperti itu.

Ada lagi yang sesungguhnya juga sangat penting untuk kita bahas, yakni keberadaan terminal khusus bagi BMI di bandara kita, yang ada di Cengkareng itu, misalnya. Ini tidak ada kaitannya dengan keadaannya sekarang bagaimana dan nanti akan seperti apa. Pada saat yang sama Pemerintah memandang keberadaan terminal khusus itu sebagai bentuk layanan istimewa terhadap para pahlawan devisa-nya, sedangkan si ’’pahlawan devisa’’ sendiri sering mengaku justru mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan di terminal khusus itu.

Sebenarnya sangat perlu pula di HK ini digelar jajak pendapat dengan pertanyaan menyangkut keberadaan terminal khusus itu, untuk mengetahui apakah keberadaannya: [a] memudahkan, [b] menyengsarakan, [c] biasa-biasa saja, dan seberapa banyak BMI-HK yang menghendaki agar terminal khusus itu: [a] dipertahankan, [b] dihapus.

Kita kembali ke pernyataan Pak Jumhur bahwa dengan pelayanan satu pintu itu BMI ’’…akan dimudahkan dalam pengurusan dokumen pemberangkatan ke luar negeri, melalui cara yang cepat, aman, murah, serta tidak birokratif.’’

Ada rumusan ’tujuan’ dalam kalimat itu yang dalam ilmu mengajar disebut sebagai rumusan yang tidak operasional. Ambil contoh tentang ’aman.’ Aman yang seperti apa? Bukankah orang sering mengatakan bahwa kampungnya aman hanya karena di sana tidak terjadi pembunuhan, sementara pencurian, kekerasan terhadap anak, dan kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi? Juga mengenai ’murah.’ Kalau mau jelas, murah itu berapa? Sekarang berapa, dan setelah ada Layanan Satu Pintu nanti akan jadi berapa? Ini kan belum jelas!

Lha, kapan le jelas?

REDAKSI

Wednesday 3 December 2008

Ketua PPSJS Baru Kritisi Bahasa Jawa Google


SURABAYA – Kepengurusan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) telah dilantik. Ketuanya dijabat lagi oleh Bonari Nabonenar untuk periode 2008 - 2013. Pertengahan 2009, PPSJS merencanakan menggelar Festival Sastra Jawa (FSJ) pertama di Trenggalek. Ajang ini diharapkan bisa menjadi embrio ajang sastra etnik di Nusantara yang lama digagas.

Selain itu, tambah Bonari yang ditemui seusai pelantikan di Pendapa Kampus Sekolah Tinggi Seni Wilwatikta (STKW) Surabaya, Rabu (26/11), ke depannya PPSJS juga bakal bekerjasama dan memperluas jaringan dengan beberapa paguyuban lain, termasuk juga penerbit. “Jika ada salah satu anggota membuat buku, bakal difasilitasi untuk bisa masuk ke penerbit,” jelasnya.

Dua buku yang telah diterbitkan PPSJS, ditulis salah seorang anggota PPSJS, Sri Setyowati atau akrab dipanggil Trinil. Dua buku itu berupa guritan berjudul Dunga Kembang Waru dan novel berjudul Sarunge Jagung. Semuanya karya itu berbahas Jawa Surabayaan bukan Jawatengahan.

Menurut catatan Surabaya Post, Trinil dalam proses pemilihan Ketua PPSJS 2008 – 2013, juga banyak diunggulkan dan diharapkan bisa ngemong anggota PPJS. Selama ini dia juga dinilai produktif menulis dan aktif di keanggotaan. Karena kesibukannya di kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Trinil menolak duduk di kepengurusan tapi tetap mendukung sepenuhnya PPSJS.

Kalau PPSJS selama ini jarang muncul di permukaan, jelas dia, karena sepinya kegiatan. Acara besar yang pernah digelar PPSJS adalah Kongres Sastra Jawa (KSJ). Itupun baru dua kali diadakan dan rentan waktunya sangat jauh. KSJ pertama pada 2001 di Solo dan kedua 2006 di Semarang.

“Kegiatan ini waktunya nempel dengan Kongres Bahasa Jawa (KBJ). Karena itu, kadang KJS dikatakan saingan KBS,” tutur Bonari.

Selain itu, tambah Bonari, PPSJS bakal menjadi wadah aspirasi anggotanya mulai yang muda maupun yang memiliki nama besar seperti Suparto Brata, RM Yunani, Suharmono Kasiyun dan lainnya. Semisal karya anggotanya ada yang ‘menyomot’ tanpa ada ijin atau tanpa ada royalti, PPSJS memfasilitasi dan ikut “teriak,”.

Sementara pada pidato pelantikannya, Bonari juga mengkritik Bahasa Jawa di situs Google. Dia menilai ada beberapa ketidaksesuaian yang digunakan Google dengan ejaan yang baku. Misalnya penulisan fonetis “o” pada “toko” dan “o” pada “tokoh”. Di situs itu dituliskan dengan vokal yang sama “o”.
Dalam Bahasa Jawa berbeda dengan Bahasa Indonesia. Kedua vokal tersebut dituliskan berbeda di Bahasa Jawa. Vokal “o” pada “tokoh” di Bahasa Jawa ditulis dengan vokal “a.”

Di Bahasa Jawa Google, kata dia, akan sulit dibedakan antara kata “loro” berarti “dua” ataukah “loro” yang berarti ‘sakit.’ Contoh kalimatnya “tanganku loro,” yang berarti “tanganku dua” ataukah “tanganku loro” yang berarti “tanganku sakit”. Mestinya sakit dalam Bahasa Jawa ditulis “lara.”

Sedangkan Pengurus Besar PPSJS 2008 – 2013 secara lengkap, Amir Mahmud sebagai Pelindung dan penasihatnya adalah RM Yunani, Suparto Brata, Suharmono Kasiyun, Trinil, dan Aming Aminoedhin.

Ketua PPSJS Bonari Nabonenar, Wakil Ketua R Djoko Prakosa, Sekretaris Mashuri, Bendahara Indri, dan Pembantu Umum Arif Santoso dan Kicuk Parta. Seksi Kegiatan Anang Santoso, Kerumahtanggaan Gatot Suryowidodo, Litbang Yulitin Sungkowati, Humas R Giryadi, dan Kemitraan Leres Budi Santoto dan Ulfa.

Bersamaan dengan pelantikan itu, Komunitas Sastra Tutur Surabaya menggelar Sarasehan Sastra Lisan dan Pentas Tradisi Lisan. Acara tersebut dihadiri Wawalikota Surabaya Drs Arif Afandi.[k13]

Sumber tulisan/foto: Surabaya Post, Selasa, 2 Desember 2008 | 09:55 WIB