Monday 14 February 2011

PUISI DAN KEMISKINAN YANG DISEMBUNYIKAN

[Catatan Nurani Soyomukti]


“dipastikan tak berdampak sistemik
jika orang kecil bangkrut
dan menjerat leher sendiri dengan kawat
sebab untuk urusan rezeki dan maut
tuhan pun dikambinghitamkan
dipastikan tak berdampak sistemik
jika ibu putusasa membuang bayinya
sebelum menamatkan diri dengan minum obat serangga
sebab orang bisa matidini atau matitua

dipastikan tak berdampak sistemik
jika anakmuda memilih kehilangan ingatan bersama narkoba
daripada menatap masa depan mereka yang gelap gulita
sebab mereka hanya angka di dalam statistik
bisa diatur dengan sedikit utakatik

dan karena dipastikan tidak berdampak sistemik
tak diperlukan talangan perhatian buat mereka.”

(Puisi Bonari Nabonenar, Desember 2009)


Puisi Kang Bonari tersebut punya kekuatan menggugah. Hanya dengan beberapa baris kata, tidak perlu satu buku ekonomi yang terdiri dari beratus-ratus halaman, untuk menunjukkan apa yang sedang terjadi. Tetapi dengan puisi yang memiliki pilihan kata (diksi)-nya tepat, kita semua tergugah. Bahwa kemiskinan dan orang miskin berusaha disembunyikan. Sebuah puisi yang level manfaatnya setaraf dengan analisa sosial yang dikerjakan oleh peneliti atau aktivis sosial yang reputasinya sudah internasional. Kenapa saya katakan demikian? Karena membaca puisi di atas, saya menemukan ungkapan hampir sama dengan kata-kata yang ditulis oleh aktifis sosial internasional, Jeremy Seabrook, yang dalam bukunya ”Kemiskinan Global” menuliskan berikut ini: ”Orang miskin dibentuk ulang dalam citra orang kaya. Mereka menjadi subjek berondongan publisitas dan iklan, untuk memiliki dan untuk membelanjakan... di kalangan yang terpinggirkan, budaya itu membangkitkan suatu karikatur partisipasi pasar kejahatan, penyalah-gunaan obat, kecanduan, persaingan... tersingkir dari pasar global, kaum muda menjadi prajurit bayaran transnasional, dalam kancah perang untuk memenangkan logo dan merk. Obsesi mereka pada emblem yang menunjukkan kepemilikan—kaos, jeans, pakaian olah-raga, telfon genggam—mendorong mereka melakukan apapun untuk menggenggam barang-barang itu”.

Mereka berusaha menutupi mata kita akan adanya fakta ketimpangan yang menyebabkan kejahatan dan eksploitasi itu. Caranya misalnya adalah dengan mengatakan bahwa kaya dan miskin itu sama saja. Bagi kita yang mengetahui hokum-hukum alam dan materi, tidak mungkin segala sesuatu yang secara material berbeda—bahkan meskipun perbedaan itu kecil—dapat dianggap sama. Dua hal yang secara material berbeda, tidak boleh dikatakan sama, karena dengan mengatakannya sama berarti menutup-nutupi realitas atau mengompromikan antara keduanya—alias “pukul rata”.

Dengan bahasa yang menggunakan agama sebagai tameng, banyak dari orang bodoh itu yang berkata bahwa: (1) “Kaya dan miskin itu sama saja dihadapan Tuhan; (2) “Belum tentu orang miskin itu sengsara, belum tentu juga orang kaya itu bahagia. Kadang orang miskin itu lebih bahagia daripada orang kaya”.

Orang yang mengatakan dan berpikir itu punya kecenderungan yang sangat negatif. Pertama, ia menganggap bahwa kaya dan miskin sama saja, ia membiarkan (tak peduli) pada adanya ketimpangan yang akibatnya sangat membahayakan bagi hubungan antar manusia. Dengan mengatakan bahwa perbedaan material antara kaya dan miskin sama saja, ia tak punya semangat untuk merubah kondisi itu, dia membiarkan saja karena tidak tahu bahwa kemiskinan disebabkan oleh suatu hubungan material (ekonomi) yang sangat eksploitatif—karena mungkin menurutnya hanya karena takdir Tuhan yang dianggapnya sangat wajar.

Kedua, dia tidak objektif atau tidak jeli dalam melihat kondisi sebenarnya—mungkin karena ungkapan semacam itu, meskipun seringkali kita jumpai, merupakan ungkapan yang paling banyak muncul di sekitar kita. Tidak objektif dan tentu saja tidak adil karena—kalau kita mau menganalisa secara mendalam—ketidakbahagiaan orang kaya adalah ketidakbahagiaan yang tingkat dan derajat atau kualitasnya berbeda. Orang kaya tidak bahagian mungkin karena tak puas pada kondisi tubuh gemuknya yang diakibatkan oleh terlalu banyak makan—pada saat orang lain kurang makan; atau tidak bahagia karena merasa kekurangan karena kekayaan membuat orang semakin serakah dan kian gengsi atau takut bersaing dengan orang kaya lainnya; tidak bahagia karena ia resah karena takut kalau rumahnya dimasuki pencuri, yaitu kalangan yang mencuri bukan karena “takdir” tuhan tetapi karena kondisi material kemiskinan; tak bahagia karena anaknya tiba-tiba mati karena gaya hidup orang kaya yang bebas, anaknya mati karena nge-drug over-dosis; tak bahagia karena karena kekayaannya ia mampu beristri dua, karena harus berbagi ia harus berkorban perasaan, belum lagi kalau istri pertamanya marah-marah—tak bahagia kalau ia ketahuan selingkuh atau ketahuan masyarakat saat “jajan” di rumah bordir; tak bahagia yang sebenarnya lebih disebabkan oleh hal yang remeh dan akibat ulahnya sendiri yang tak data berpikir solider, objektif, dan dilenakan oleh kondisi kekayaannya yang memanipulasi dirinya di hadapan orang lain.

Memandang—lebih tepatnya menggeneralisir—bahwa orang miskin belum tentu tidak bahagia juga membahayakan karena ia akan membiarkan kondisi kemiskinan dan sekaligus pandangan ini tak berdasarkan kenyataan. Dari hari ke hari, baik disadari atau tidak, orang miskin yang serba kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya adalah pihak yang paling merasakan kesusahan, bersamaan dengan tekanan-tekanan fisik dan psikologis yang membuatnya menderita sakit da miskin.

Puisi Kang Bonari di atas sengaja saya kutip karena mengandung ketajaman dalam melihat persoalan yang ada di masyarakat kita. Sebagai bagian dari masyarakat di era kapitalis yang dilindungi oleh tentara dan angkatan perang dan dihiasi oleh jagat hiburan (entertainment) yang terdiri dari glamourisme seni-budaya borjuasi yang kualitasnya hanya sebatas citra teknologi, juga tatanan yang dilanggengkan secara politik-pemerintahan oleh seorang presiden yang hanya mengandalkan politik pencitraan, nasib orang miskin hanyalah sebatas bahan omongan.

Kemiskinan hanya jadi bahan kajian kaum intelektual agar mereka mendapatkan banyak uang dalam proyek penelitian dan pemberdayaan, sudah lama hal itu dilakukan terus-terusan, tetapi kemiskinan bukannya menurun tetapi malah menjadi-jadi. Jangan-jangan untuk mengubah dan menghilangkan kemiskinan sebenarnya tidak cukup hanya dengan intelektualitas, tetapi butuh keberanian dalam bertindak. Tidak butuh terlalu banyak seminar atau perdebatan di kalangan akademisi atau kalangan cendekia, karena kalau hanya omongan saja, kata-kata saja, tidak akan merubah apa-apa. Widji Thukul dalam puisinya:

"... dunia bergerak bukan karena
omongan para pembicara dalam ruang
seminar yang ucapnya dimuat
di halaman surat-kabar
mungkin pembaca terkagum-kagum
tapi dunia tak bergerak setelah surat-kabar itu dilipat."

Tetapi bukan berarti bahwa pengetahuan dan kata-kata tidak memiliki kekuatan dan manfaat. Tentu yang dibutuhkan adalah kata-kata dan pengetahuan yang progresif dan bukan pengetahuan yang konservatif. Pengetahuan yang progresif adalah yang mampu menunjukkan realitas objektif dan secara kritis menguak terjadinya suatu fakta penghisapan/pemiskinan. Intelektualitas progresif adalah yang dengan pengetahuannya dan kata-kata yang dikabarkannya pada orang lain mampu menunjukkan fakta terjadinya ketimpangan, lalu pengetahuan tersebut menimbulkan empati dan komitmen banyak orang untuk bertindak.

Sedangkan intelektual konservatif adalah kaum yang mengotak-atik pengetahuan hanya sekedar untuk membuat dirinya layak disebut kaum intelek atau suatu status yang dipamerkan untuk mendapatkan sesuatu: pujian dan uang. Intelektual konservatif ini tak lebih dari orang yang masuk ke dalam pengetahuan dengan batasan-batasan tertentu dengan mengompromikan kepentingannya untuk mendapatkan keuntungan dari sistem yang ada. Ia akan mencari pengetahuan dan mengabarkannya sebatas ada uang atau menghasilkan, sebatas ada proyek. Dan hasilnya pun tak akan menghasilkan tindakan bagi orang lain, tak menyadarkan, dan tidak kritis.

Jadi, yang dibutuhkan adalah pengetahuan dari kaum intelektual yang progresif yang mampu menguak ketimpangan dan keberlangsungan tatanan material penindasan. Ideologi dan pengetahuan semu yang melanggengkan tatatan penindasan punya kekuatan untuk menutup-nutupi realitas nyata, terutama realitas bahwa banyak orang miskin dan dimiskinkan kadang juga disembunyikan.*

dicomot dARI catatan facebook penulisnya

KENDURI MELLY

pagi kemarin melly mendarat di bumi pertiwi
di kampung halaman wajahnya berseri
dikerubuti tetangga kanan kiri
tapi keceriaan bundanya sore ini surut
sebab melly mothah bersungut-sungut
minta dibuatkan kendurian
peringatan hari kasih sayang
"gek kuwi ambengane piye ta ndhuk?"

dan tak kebayang pula
bagaimana Mbah Kariyo nanti malam
bingung piye le ngajatke

februri 2011