Tuesday 25 December 2012

BUMI SEBUAH KESEIMBANGAN

Pagi ini ketika saya nyruput wedang kopi setelah menyuapi anak luwak peliharaan saya, sebuah stasiun televisi mengabarkan bahwa bannyak petani di Indonesia kawasan timur beralih pekerjaan menjadi penambang emas. Lalu, tiba-tiba pula terlintas di dalam pikiran saya yang sesungguhnya belum ada rubriknya untuk dimasukkan ke dalam go-blog-kan ke sini, sebab rubrik yang paling tepat adalah: NGGEDABRUS BANGET. Begini:

Bukankah alam, termasuk di dalamnya planet bernama bumi ini adalah sebuah sistem yang selalu bergerak dalam sebuah keseimbangan (yang rumit)-? Termasuk di dalamnya adalah peran gravitasi, yang membuat planet-planet berputar sambil ’menggelinding’ pada garis edarnya masing-masing? Pernahkan Anda bertanya, mengapa ada garis katulistiwa, mengapa ada kutub selatan dan kutub utara? Dan Anda terburu-buru menemukan jawabannya di sela-sela buku bikinan para pakar di bidangnya, atau membiarkan dulu pikiran Anda berjalan nggedabrus seperti saya? Bumi yang bundar (lebih tepatnya: agak lonjong?) ini bukankah sangat potensial untuk mengsla-mengsle dalam gerakan tak beraturan yang memungkinkan terjadinya chaos dan bahkan berujung: kiamat?
Sebuah pemandangan dari puncak Gunung Bogang yang berkaldera. Lokasi: Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur.

Pernahkan Anda bertanya, mengapa barang-barang (tambang), mineral, gas (panas) bumi, gunung berapi lebih banyak di wilayah garis katulistiwa atau di dekatnya? Itu pertanyaan saya yang mengarahkan pada sejenis kekhawatiran setelah mengetahui kenyataan bahwa minyak, gas, dan barang-barang mineral dari dalam perut bumi terus disedot. Tak pernah berhenti. Padahal, itu semua punya limit. Akan ada habisnya. Maka, apa yang terjadi ketika emas, timah, tembaga, perak, besi, gas alam, habis disedot sehingga yang disebut gunung berapi pun hanya tinggal menyisakan kaldera yag tak lagi pernah menyala?

Jangan-jangan, pada suatu hari nanti bumi kehilangan gravitasinya dan meluncur, melayang, liar di tengah-tengah galaksi ini? Sedangkan menumpang kereta luncur saja kita sudah merasa jantung mau copot (jangan bilang-bilang ya: saya belum dan sepertinya tak akan pernah berani mencobanya). Padahal, itu masih kereta luncur itu sangat terkendali dan dijamin keamanannya. Apa yang tgerjadi jika bumi melesat dari garis edarnya dan melayang-layang liar di angkasa raya? Sudahkah ada penelitian yang dibuat dengan simulasi ketika bumi sudah habis diperas barang-barang tambangnya? Tolong, kasih tahu saya, ya? Jika Anda hanya bilang, ”kasih tahu enggak, ya?” --niscaya akan saya kutuk Anda untuk menjadi lebih nggedabrus daripada saya. –GLODHAG….!

Wednesday 12 December 2012

Selayang Pandang: Dunia Penulisan Kita

Novel berbahasa Jawa karya Suparto Brata

Semakin hari kehidupan kita cenderung semakin pragmatis. Nilai-nilai kemanusiaan pun makin menipis, karena hubungan antarmanusia lebih sering semata-mata bermotiv kepentingan pragmatis. Apalagi ketika Ekonomi sangat terasa dipanglimakan, baik oleh warga masyarakat maupun pemerintah. Lalu terjadilah komodifikasi di segala lini kehidupan, bahkan di dalam kehidupan beragama. Sastra sebagai salah satu cabang kesenian yang sangat dekat dengan pemikiran, seperti dikatakan Budi Darma, ”Dunia sastra adalah dunia pemikiran,” seharusnya lebih banyak mendapatkan perhatian di dalam situasi seperti ini. Sastra dalam pengertiannya kini, nyaris identik dengan tulisan. Tanpa menyepelekan keberadaan sastra lisan, memberi perhatian terhadap sastra pada dasarnya adalah bentuk kepedulian pula terhadap tradisi tulis-baca di tengah-tengah masyarakat, satu hal yang dapat menjadi pedoman untuk mengukur seberapa kemampuan kita sebagai bangsa mengejar ketertinggalan dalam bidang pemikiran, ilmu, pengetahuan, dan teknologi dari bangsa-bangsa lain yang sudah terlebih dahulu menjadi bangsa yang maju. Ironisnya, di sekolah-sekolah, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, pelajaran kesusasteraan hanya ditempelkan di dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang sering pula disebut sebagai Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Mata pelajaran ini memang ikut menentukan apakah sesorang siswa lulus ujian atau boleh naik kelas. Tetapi, ia sering dipandang enteng. ”Toh, bahasa Indonesia adalah bahasa kita sendiri,” kira-kira begitulah alasannya. Maka, betapa mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tidak hanya jauh kalah gengsi di mata siswa dibandingkan dengan mata pelajaran lain yang diujikan dalam UNAS dan menenentukan seorang siswa boleh naik kelas atau tidak.
PROF. DR. AYU SUTARTO

Salah satu persoalan besar bangsa ini adalah kurangnya tradisi literasi (baca-tulis). Prof Dr Ayu Sutarto sering mengemukakan hal ini dengan, ”Masyarakat kita telah melompat dari kelisanan tahap pertama (oral) ke kelisanan tahap kedua (audio-visual). Dari tradisi tuturan/lisan dengan dongeng, petuah-petuah lisan pada zaman yang lebih ke belakang, seharusnya melangkah ke tradisi tulis seperti dialami kebanyakan bangsa yang sekarang sudah maju. Barulah, ketika tradisi literasi sudah menjadi, mereka menerima fasilitas teknologi baru dengan berkembangnya materi audio-visual, termasuk multimedia secara urut. Lompatan itu tentu membawa konsekuensi yang lain. Tradisi berpikir kritis, rasional, dan mendalam, tidak terbangun dengan baik. Di tengah-tengah zaman digital ketika hampir setiap individu, dari anak-anak hingga manula dilengkapi dengan perangkat multimedia, dari yang bernama ponsel, iphone, hingga komputer tablet, nyaris semuanya menjadi serba instan, serba cepat saji.

Kurikulum tidak mendukung (sebab ’sastra’ hanya ditempelkan dalam mata pelajaran Bahasa (Indonesia), sebagian guru yang kurang siap mengajak para siswanya menyukai kesusasteraan, ketersediaan buku-buku karya sastra di perpustakaan-perpustakaan sekolah yang sangat minim, adalah faktor-faktor yang menyempurnakan keterpinggiran sastra di sekolah-sekolah.

Jika ada yang menggembirakan, belakangan ini geliat kesusasteraan, setidaknya kecenderungan untuk menyukai kegiatan baca-tulis sedang mengalami tren naik di tengah-tengah masyarakat. Begitu, menyukai dunia sastra, biasanya anak-anak muda itu cenderung jadi militan: dengan kemampuan dana yang biasanya pas-pasan mereka tekun mengikuti pertemuan-pertemuan, bedah buku, festival, sarasehan sastra di berbagai kota. Bahkan, ikut berangkat ke luar negri, untuk menghadiri acara kesusasteraan, dengan biaya sendiri.

Budi Darma pernah menyatakan bahwa orang (termasuk anak-anak muda itu) menyukai sastra, giat mengikuti agenda-agendanya, rajin membaca buku-bukunya, didorong oleh keinginan untuk menjadi sastrawan. Akibatnya, banyak yang berguran, patah hati, dan tampak berhenti mencintai kesuasteraan karena merasa tidak lagi mampu bersaing untuk menempatkan namanya di dalam buku sejenis ”apa-siapa”-nya Kesusasteraan Indonesia. (Solilokui: 1984). Rasa gagal, dan patah hati itu muncul ketika karya-karya mereka tak kunjung dapat menembus saringan para redaktur media cetak, baik media umum maupun media khusus (sastra), dan apalagi menembus saringan penerbit buku.

Sekarang zaman sudah berganti. Untuk menembus media cetak barangkali memang masih susah bagi kebanyakan penulis pemula. Selain harus bersaing dalam hal kualitas dengan para penulis yang sudah mengantongi banyak ”jam terbang”, ruang bagi tulisan berkaitan dengan kesusasteraan: puisi, cerpen, esai, makin menyempit, atau bahkan dihapus oleh banyak media cetak, walau jumlah media cetaknya bertambah. Tetapi, kini ada alternatif lain: media online, yang dikelola dengan atau tanpa sistem penyaringan oleh admin. Bahkan, kini setiap orang dapat membuat media online-nya sendiri, secara gratis pula! Grup-grup bagi para pecinta sastra pun tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Kini, seharusnya tidak ada lagi yang ”patah hati” dan berhenti mencintai sastra karena setiap orang bisa jadi pemain, bisa tampil, dan menciptakan panggung masing-masing, baik secara perorangan maupun kelompok.

Demikian pula penerbitan buku. Jika sampai era 80-an para sastrawan seolah hanya bisa menunggu sampai ada pihak lain (dalam hal ini penerbit) menerbitkan buku-buku mereka, sekarang hampir setiap orang dapat menerbitkan bukunya, setidaknya dengan membiayai sendiri. Antologi bersama juga sangat sering/banyak diterbitkan dengan saringan yang kadang sangat longgar, atau bahkan tanpa seleksi! Baik penulis yang sudah memiliki banyak jam terbang maupun pemula sekarang punya peluang yang sama tidak hanya untuk menerbitkan buku, tetapi juga untuk menjadi penerbit buku. Dalam konteks ini, boleh dikata sekarang ini sesungguhnya sedang terjadi banjir buku, bukan mengacu pada banyaknya buku yang terbit dalam datuan waktu tertentu, melainkan karena nyaris tiadanya seleksi. Dalam sebuah tulisannya, Budi Darma pun mengakui bahwa sekarang ini para pengamat/kritikus pun sudah kewalahan untuk memonitor karya-karya sastra yang beredar.

Penerbitan buku secara indie kini memang sedang sangat marak. Menariknya, seorang penulis sekaliber Suparto Brata yang pernah mendapatkan SEA Write Award pun banyak menerbitkan bukunya secara indie. Suparto Brata sadar, bahwa buku-buku berbahasa Jawa tidaklah ”seksi” di mata penerbit. Oleh karenanya, di samping karya-karya (cerpen dan novel) berbahasa Indonesia-nya yang banyak diterbitkan secara ”major label” Suparto Brata menerbitkan karya-karya berbahasa Jawa-nya dengan ”indie label”.

Di tengah-tengah masyarakat, komunitas pecinta sastra pun bermunculan, baik yang dimulai dengan jejaring online maupun sebaliknya. Fasilitas teknologo komunikasi yang mengalami kemajua luar biasa belakangan ini sungguh telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap gerakan literasi. Sekali lagi, ini kabar baik untuk urusan kuantitas: banyaknya tulisan yang beredar, semakin dekatnya ”jarak psikologis” antara penulis/sastrawan dengan sesama penulis/sastrawan maupun dengan pembaca. Komunitas-komunitas bernuaansa ”fans-club” pun bermunculan, baik merujuk sosok (sastrawan) maupun (karya).
FOTO: diambil dari akun FB Muntamah Sekar Cendani

Sangatlah besar peranan komunitas-komunitas itu, baik yang online maupun yang off-line, terhadap pertumbuhan minat baca-tulis di tengah-tengah masyarakat kita. Kalau kita mau membandingkannya dengan lembaga-lembaga formal, bahkan gerakan masyarakat itu tampak jauh lebih progresif. Banyak kawan-kawan saya yang guru, hanya menggelengkan kepala ketika saya tanyai, apakah buku ini atau buku itu teersedia di perpustakaan sekolahnya. Guru-guru Bahasa Indonesia pun dituntut (terlalu banyak di sita waktunya) oleh kurikulum untuk mengajarkan materi-materi yang sudah tidak ’hangat.’ Sementara itu, komunitas-komunitas yang tumbuh di masyarakat langsung berurusan dengan isu-isu terkini dalam dunia sastra dan perbukuan pada umumnya.

Yang jauh lebih menarik perhatian saya adalah gerakan masyarakat buruh migran dalam bidang literasi ini, setidaknya yang saya lihat sendiri di Hong Kong. Para pekerja rumah tangga asal Indonesia di Hong Kong, tergolong ’rakus’ terhadap buku. Beberapa di antara mereka malahan layak dijuluki bukumania, ketika berlibur ke tanah air bisa habis berjuta-juta rupiah untuk berbelanja buku. Beberapa di antara mereka malah membangun perpustakaan di kampung halaman, seperti dilakukan Maria bo Niok dengan Rumah Baca Istana Rumbia (Wonosobo, Jawa tengah), dan Muntamah dengan Pondhok Maos Cendhani (Kediri, Jawa Timur).

Bukan hanya urusan membaca dan memasyarakatkan minat baca, kawan-kawan di Hong Kong itu juga sangat maju di bidang penulisan. Salah seorang di antara mereka, Etik Juwita (sekarang ia mahasiswa Jurusan Sastra Inggris di Universitas Gajayana, Malang) memasukkan sebuah cerita pendek Bukan Yem (kali pertama dimuat Jawa Pos) ke dalam 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2008 versi Pena Kencana. Peranan komunitas-komunitas penulis, termasuk Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Hong Kong tentu sangat besar terhadap kemajuan dunia penulisan di kalangan para pekerja migran itu. Tentu, tak boleh dilupakan pula peranan beberapa media cetak berbahasa Indonesia yang khusus beredar di antara sekitar 150.000 orang asal Indonesia di Hong Kong itu. Karenanya, di Hong Kong kita tidak hanya akan bertemu dengan para pekerja rumah tangga yang sekaligus adalah seorang penulis fiksi, melainkan juga dengan beberapa orang yang sekaligus adalah kontributor atau bahkan jurnalis untuk media cetak, baik yang terbit di Hong Kong maupun di Indonesia.

Buku-buku pun banyak terbit dari kalangan para pekerja migran asal Indonesia di Hong Kong. Seminar-seminar, workshop dan lomba penulisan, pun digelar atas upaya dan jerih-payah mereka. Setahu saya, lembagaa-lembaga resmi pemerintah kita belum berperan secara signifikan untuk mendukung gerakan yang sangat mulia itu.

Padahal, bukankah jika kita ingin menjadi bangsa yang maju, maka kita harus memacu gerakan literasi ini?*

*)dimuat di Majalah "Anu" (maaf, lupa namanya, kiriman nomor bukti belum datang)

Pamarentah Nggembosi Programe Dhewe

ing Prakara: Ejaan Basa Jawa ing Aksara Latin

Atur tulisan ringkes iki wiwit diracik sinambi ngeling-eling lelakon sawatara taun kepungkur, nalika lumantar SMS (short message system) –sumangga yen arep dijawakake dadi KTT (kitir tilpun tangan)—saka saweneh sesepuh sawijining sanggar sastra Jawa. Isine ora mung nylekit, nanging melehake sakayange
Nanging, tibane malah dadi gungan saka pinisepuh marang kang luwih enom, dadi panyaruwe kang kasurung rasa tresna. Kang dadi tuke prekara nalika kuwi sawijining kaset campursari abasa Jawa kang sumebar ing Jawa Timur. Ing CD kuwi, saben ana aksara kang kudune tinulis ’a’ diganti dadi ’o’ upamane: ’aja’ dadi ’ojo’, ’kulawarga’ dadi ’kulowargo’.

Kamangka nakah asli kang diaturake marang produser kaset ora kaya mangkono. Lha, geneya kok dadine malah ngisin-isini ngono kuwi? Pranyata, pihak produser yakin banget yen naskah asli saka penulis-e kuwi luput, mula kudu ’dibenerake’ tanpa (dianggep ora prelu) nganggo taren. Ngono kuwi rak ya banjur ngelingake marang sawijining ’teori’, ”Ing negarane wong edan, yen ana wong siji-loro kang isih waras malah bakal dianggep utawa diarani edan.”

Isih saka Jawa Timur, ana tim penulis kang dhek semana mbabar buku kanthi irah-irahan Among Roso ditambahi Monografi Pengabdian Imam Utomo. Geneya kok ora ditulis ”Among Rasa” kamangka ing sajroning tim iku ana penggurit, jurnalis, redaktur saweneh majalah basa Jawa, kang bisa ngelingake manawa panulise kuwi mau luput. Pranyata, ing kene dumadi lelakon: wong siji kang bener dikalahake wong salah kang luwih akeh lan luwih kuwasa.

Pamarentah Kabupaten Ponorogo uga tau gawe baliho kanthi tulisan, ”Manunggale cipto, roso, karso agawe rahayuning Bumi Reyog,” –kudune tinulis, ”Manunggale cipta, rasa, karsa, agawe rahayuning Bumi Reyog.” Mesthine ing bab gegandhengan sikap-e pamarentah marang tatatulise basa Jawa, Pamarentah Kabupaten Ponorogo iku ora ngijeni. Akeh (lembaga) pamarentah saka tataran desa tekan provinsi kang sawiyah-wiyah marang basa Jawa kanthi nulisake sakarepe udele. Kanyatan kang mangkono iku nuduhake manawa pamarentah pranyata malah nggembosi utawa nindakake bab kang lelawanan karo program-e: nguri-uri, nglestarekake basa Jawa kang wis diwragati ora sethithik.

Iku banget mrihatinake, ngelingi yen basa Jawa kuwi satemene basa kang ’sugih’ kang uga ora sethithik sumbang-surunge marang ajuning basa Indonesia. Bisa uga diibarateke bumi (Nuswantara) kang subur, nanging ora dirumat kanthi becik, kepara malah dianiaya. Pawadan ”waton komunikatif” kerep dadi tamenge para pihak kang gawe rusak iku.


Sawise prasasat kelangan aksarane (carakan) basa Jawa sansaya rusak ora mung merga akeh kang ora nggatekake tatatulise ing aksara latin, ananging uga ing pandhapuking tembung-tembung, kaya kang ditindakake KPU (Komisi Pemilihan Umum) Jawa Tengah kanthi ukara, ”Ayo sareng-sareng ke Pilgub Jateng 2013.” Apa ora luwih nges nggunakake ’sesarengan’ tinimbang ’sareng-sareng’ (bareng-bareng)? Apa uga mung waton narik kawigaten dene banjur dipilih tembung ’ke’ lan nyisihake tembung ’tumuju’ utawa ’menyang’? Kareben diarani gaul ngono apa piye? Ana maneh semboyan, ”Bali ndeso mbangun ndeso,” kuwi gaweyane sapa?

Sajake kaluputan-kaluputan iku dumadi amarga ora ngreti lan kurang ing rasa andarbeni. Banjur tuwuh pitakon, senajan ta mung dijatah 40- 45 menit saben seminggune kanggo wulangan basa Jawa ing sekolahan (kelas 1 – 9) –ing Jawa Tengah malah tekan kelas 12? --utawa sajroning 6 – 9 taun iku kepriye kok nganti ora ana tilase? Mbokmanawa, wangsulane ora mung iki: ”Sajroning perang lumawan tumindak aniaya marang basa Jawa, para guru kudu adhep-adhepan karo ”wadyabala sewu negara” kang dumadi saka: pamarentah kang nggembosi programe dhewe mau, CD/VCD campursari/tembang Jawa kang cakepane tinulis kanthi sakarepe dhewe, langkane bahan/wacan abasa Jawa, lan liya-liyane.


Kanthi mangkono, satemene kabar manawa wulangan basa Jawa bakal disuwak saka sekolahan ora kudu ditampa kadidene kabar kang nyedhihake, sauger ana cara liya kang tumemen anggone nandangi.

Cara liya kang (sapa ngreti malah) luwih ampuh iku kaya ta: nyuburake papan utawa ngurup-urupi babare buku-buku wacan abasa Jawa, mepaki perpustakaan sekolahan kanthi sawernane buku basa Jawa, mbabar kalawarti mligi kanggo para siswa/remaja, lan sapiturute. Coba takona marang para penulis/pengarang/sastrawan Jawa, apa kang luwih nyababake padha dadi penulis/pengarang kang bisa ngugemi tatatulis basa Jawa (kanthi aksara latin) kuwi? Amarga padha tau sekolah, apa amarga padha seneng memaca? Sumangga.*

wus kapacak ing Solopos

Ajining Dhiri Dumunung Aneng Lathi

Yen ana pilihan tokoh nasional kang paling kerep gawe pratelan njumbulake, mbokmanawa juwarane Pak Marzuki Alie, kang saiki nglenggahi dhampar Ketua DPR-RI kuwi. Saka pratelane ngenani wong-wong kang dedunung ing pesisir kang bisa katrajang tsunami, ngenani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kang yen ”ora bisa ngene ora bisa ngono” luwih becik dibubarake wae, ngenani pramuwisma kang makarya ing luwar negri (domestic worker) kang diarani ngucemake martabate bangsa (Indonesia), lan kang saiki isih kebul-kebul prakara koruptor kang diarani dumadi saka para pinter… kang bisa saka pawiyatan luhur kaya ta: UGM (Universitas Gajah Mada), ITB (Institut Teknik Bandung), UI (Universitas Indonesia).

Akeh wong njumbul utawa kaget. Nganti saweneh mahasiswa program doktor UI, David Tobing, mrekarakake pratelan iku menyang pengadilan. Kaya wus bisa dibadhe, sawise Marzuki Alie njlentrehake apa kang dikarepake kanthi pratelan kang njumbulake kuwi, tanpa utawa tinambahan pratelan manawa dheweke rumangsa keduwung lan nyuwun pangapura, prekarane ora bakal ngambra-ambra. Enggal sirep, nganti mengko ing sawijining wektu, tanpa kanyana-nyana, dumadakan gawe pratelan anyar kang njumbulake maneh.

Uwal saka bener apa lupute, upamane yen winawas kanthi nalar akademik, pratelan-pratelan kang njumbulake kuwi cetha wus marakake ora kepenake (atine) liyan. Tegese, Pak Marzuki Alie kuwi kebangeten olehe sembrana, kaladuk ceplas-ceplos, kang tundhone luput olehe (kudune tansah) ”amemangun karyenak tyasing sasama.” (Pupuh Sinom, Wedhatama, KGPAA Mangkunegara IV). Mung etungan jam saka kawetune pratelan manawa pramuwisma asal Indonesia kang makarya ing negara manca kuwi ngucemake martabate bangsa (Indonesia) mbrudhul pratelan kang ngunek-unekake Ketua DPR-RI kuwi, saka kang rada alus nganti tekan kang kasar banget. Protes saka para pramuwisma asal Indonesia ing negara manca marang Pak Marzuki iku sumebar ing situs jejaring sosial, lan sawatara pramuwisma ing Malaysia, ing Hong Kong, malah gawe tulisan mirunggan ing blog-e.

Wektu iki cacahe pramuwisma asal Indonesia ing Hong Kong wis nyedhaki angka 150 ewu. Puluhan ewu embuh rangkep pira, kang wis padha melek internet. Lan bisa dibayangake kayangapa kemropoke atine para wanita kang ing negarane dhewe (yen ngepasi libur lan bali menyang bumi klairane) kerep dikuya-kuya (diuber-uber calo terminal/bandara), kang dening pamarentah diarani ”pahlawan (devisa),” lha kok dening Ketua DPR-e malah dianggep ngucemake bangsane? Apa ora malah pamarentah, bebarengan karo para wakil rakyat (DPR) kang ora kasil njaga amrih aja nganti ana rakyat kang keplayu menyang luwar negri mung luru pegaweyan kadidene batur utawa rewang kuwi kang kudune dadi underaning sabab kang marakake bangsa iki yen ta iyaa banjur ingaran Bangsa Kuli?

Kanyatan manawa padatane umyeg kang kajalaran saka pratelane Pak Marzuki banjur sirep sawise dijlentrehake iku uga bisa dadi titikan manawa kadidene pemimpin, basa pasrawungan (komunikasi) kang digunakake kurang titis. Mula banjur ora efektif. Malah mung ngentek-enteki wektu kanggo medharake maneh kanthi luwih trawaca. Kang ’entek’ ora mung wektune pak Marzuki kadidene pribadi apadene Ketua DPR-RI, nanging uga wektu lan papan pakabaran, kaladuk akeh kang mung kanggo ngabarake umyeg prakara pratelan nuwuhake seling-surup kuwi. Kabar liya kang kudune luwih wigati malah dadi kurang papan/wektu kanggo nggiyarake.

Rakyat kang uripe sangsaya sangsara, para pejabat kang dinakwa korup, pratikele pamarentah kanggo ngawekani sangsaya tambahe pengangguran, lan liya-liyane kaya-kaya sangsaya ora kawruhan jluntrunge, merga kamera lan kawigatene juruwarta kaya karebut dening kang padha udreg mung prakara omongan. Mengko gek pancen dijarag: kanggo ”ngulur wektu” lan kanggo nylimur rakyat kang tambah dina sangsaya getem-getem dening kabar ala kang saben-saben sumebar saka ”Senayan” saka bab nglipus ing wayahe sidang, malah ana kang nyambi nonton video/foto saru, kadurjanan ing Badan Anggaran kuwi, nganti tekan kanyatan manawa akeh anggotane kang kegeret prakara korupsi? Yen ta ana kang duwe panyakrabawa nganti tekan kono, ya kuwi rak isih klebu ing unen-unen, ”Janma limpad seprapat tamat.” Wong nyatane ya bisa dinalar. Mula, cara jago tinjune ngono rak bebadan kang aran DPR-RI kuwi kaya-kaya wis babak-belur diundhamana rakyat (kang diwakili).

Mbokmanawa pancen dibutuhake anane prakara anyar kanggo ngaling-alingi prakara kang luwih baku, lan ibarate jago tinju, upama kebacut ”kalah angka” ya kang bisa diupayakake mung aja nganti ”kalah KO”, rak ya ngono!

Apamaneh kang diarani keceplos, kepleset ilat, utawa aweh pratelan kang dadi seling-surup lan wis ora bisa dijlentgrehake maneh awit dhasare pancen wis luput, bisane rampung udreg mung yen pratelan kuwi mau dijabel, sinartan atur nyuwun ngapura. Yen pejabat publik nganti kepengkok ing bab kang mangkono iki, apamaneh ora pisan-pindho teges ora nuhoni unen-unen, ”Sabda pandhita ratu, sepisan dadi ora kena bola-bali.” Ingatase wong lumrah wae, yen bola-bali njabel omongane dhewe bisa kucem lan ora kinurmat, apamaneh yen pemimpin. Ya ing kene iki sajake mapan tumibane unen-unen, ”Ajining dhiri dumunung ana ing lathi.”

Ing satengahe bebrayan Jawa isih kerep kawetu ukara iki, ”Yen kebo-sapi sing dicekel dhadhunge, nanging yen manungsa sing dicekel omongane.” Ukara kuwi mau uga nuduhake sepira wigatine pratelan utawa omongan. Bedane, ukara kang disebut pungkasan kuwi mau mung kerep kawetu ing lisan, dene ukara sadurunge, ”Ajining dhiri dumunung aneng lathi, ajining driya dumunung aneng busana,” sajak banget diaji-aji, dipepetri dening bebrayan Jawa kanthi tinulisake ing boman, manjila ing antarane ukiran wangun tetuwuhan lan kekembangan. Mula dhek isih akeh omah gebyog, tulisan, ”Ajining dhiri…” –lan sateruse kuwi mau meh mesthi bisa diprangguli ing boman, saliyane tulisan, ”Sugeng rawuh,” utawa dibacutake dadi, ”Sugeng rawuh para tamu.”

uga iki pancen lagi nemahi jaman kang para pemimpin ing satengah-tengahe bebrayan agung wis angel dicekel omongane. Sing kerep kawetu malah ”esuk dhele sore tempe.” Wis olehe omong marakake lara atine rakyat, isih ditambah mencla-mencle pisan! Kamangka, yen kewan kebo-sapi kang dicekel dhadhunge. Yen manungsa kang dicekel omongane. Lha, yen para pemimpin lan mligine anggota Dewan Perwakilan Rakyat niku gek sing ajeng dicepeng napane? Arep dicekel partaine, lha wong nyatane ya akeh sing kerep ngolah-ngalih partai. Repot ta, nggih?*


Wus kapacak ing: Suara Merdeka

Tuesday 11 December 2012

Aja Dumeh Babu*

"Jalan Lain ke Jogja" novel karyane Asih Aspalia, PRT asal Blitar ing Taiwan

Ing artikata.com tembung ‘’babu’’ iku mengku teges: ‘’perempuan yang bekerja sebagai pembantu (pelayan) di rumah tangga orang” (wong wadon kang makarya kadidene rewang ing omahe wong liya). YEN tembung 'babu' kasebut, kuping sok dadi keri, utawa malah dadi lara. Tembug iku kaangep kasar, ngasorake, beda karo tembung, 'pramuwisma', domestic helper (=rewang), domestic worker (= pekerja rumah tangga dicekak: PRT).

Basa Jawa sajak kangelan nemokake tembung kang trep, kang surasane presis karo kang kinandhut ing sebutan pungkasan kuwi mau: domestic worker/PRT. Apa, coba? Ing tataran nasional wae ya isih diarani 'PRT' utawa 'rewang'. Ajamaneh ing Indonesia, Hongkong kang kepetung negara kang luwih maju wae undang-undang/peraturan kang diwetokake departemen tenaga kerjane ya ngarani 'PRT' kadidene domestic helper utawa pembantu rumah tangga.

Eloke, senajan ing Hongkong sebutane domestic helper nanging cak-cakane luwih pas yen diarani domestic worker utawa PRT. Sababe, ing Hongkong ana aturan baku mligi ngenani pekerja rumah tangga: pira bayarane, apa hak-hake, lan apa wae kang dadi kuwajibane (pakaryan kang kudu ditindakake), klebu hak libur ing dina Minggu (bisa diganti dina liya) lan ing dina-dina tinamtu liyane, upamane ing 'hari besar nasional' utawa 'hari besar keagamaan'.

Ing bab libur, ora beda karo pegawe negri ing Indonesia, ta? Bayaran (resmi)-ne PRT ing Hongkong iku 3740 dolar Hongkong (HKD). Kanthi kurs saiki 1 HKD = Rp 1.180, kuwi padha karo Rp 4.413.200. Yen pegawai negri ing Indonesia kuwi golongan pira ya? Kanyatane ya akeh sing sangisore kuwi nampane, merga pancen majikane nyalahi aturan utawa isih kepotong cicilan utang kanggo wragat budhale biyen. Nanging, kanthi bayaran resmi samono kuwi, mapan lan mangan wis melu majikan, senajan cak-cakane ya akeh sing olah-olah dhewe amarga kangen olah-olahan khas Indonesia.

Mbaleni prakara sebutan, PRT uga sinebut kadidene pakaryan ing 'sektor informal'. Apa kang mangkono iku ora klebu ing wewengkon 'kelirumologi' ngampil tembunge Pak Jaya Suprana? Apa kulawarga iku dudu lembaga resmi (formal) yen: duwe NPWP, duwe kartu keluarga, lan sapiturute? Mengko gek aran-aranan 'sektor informal' kuwi mung linandhesan wawasan manawa keh-kehane PRT ing Indonesia iki dipleter pegaweyan lan dibayar sakarepe tuan/nyonya majikan? Rak durung ana ta UU PRT ing Indonesia? Perda PRT wae, sajake lagi Pemda DIY kang duwe.

Sawatara wektu kepungkur Ketua DPR Marzuki Alie aweh pratelan, kurang-luwihe, manawa: PRT asal Indonesia ing mancanagara ngucemake bangsa (menjatuhkan martabat bangsa). Merga krasa banget olehe nggebyah uyah kuwi, mula akeh PRT ing Hongkong padha kemropok. Malah ana kang mitakonake, "Kok sing disalahke malah PRTne, geneya dudu Pamarentah kang ora becus nyedhiyani lapangan kerja kang cukup kanggo rakyate?" Anazkia PRT asal Indonesia ing Malaysia, lumantar situs-e (anazkia.com) mrotes pratelan kuwi, nganti Marzuki Alie nglonggarake wektu kanggo langsung aweh wangsulan.

Jaman saiki, bakal gedhe lupute wong kang nganggep manawa PRT kuwi mesthi mendho, lan sarwa kekurangan. Ana kang budhal saka Indonesia wis sarjana, lho! Contone, Dhenok (asal Malang) kang banjur nulis buku kumpulan crita cekak (Abasa Indonesia) Majikanku Empu Sendok (Alfina, Surabaya, 1996) budhal menyang Hongkong sawise lulus sarjana saka FPOK IKIP Malang.

Etik Juwita (Blitar) kang tau nampa anugerah sastra Pena Kencana 2008, sawise nyambutgawe ing Hongkong saiki nggethu kuliyah ing Jurusan Sastra Inggris Universitas Gajayana, Malang. Ing Hongkong, kejaba akeh kang ngleboni pendidikan 'Kejar Paket', uga akeh kang dadi mahasiswi Program Diploma (pantoge Diploma 3).

Saka Hongkong akeh kang banjur bali menyang Tanah Jawa lan dadi wong pilih tandhing jroning nindakake 'proyek kabecikan'. Maria Bo Niok (Wonosobo) adeg kapustakan Istana Rumbia ing desane, lan gawe rintisan UKM kanthi produk merek 'Marie Singkong Rasa Gadung'.
buku karyane para buruh migran utawa PRT asal Indonesia kang makarya ing luwar negri

Ing Banyuwangi ana Eni Kusuma. Sawise sawatara taun ing Hongkong, ibu kang saiki wis peputra siji kuwi nerusake suksese mbabar buku motivasi Anda Luar Biasa!!! kanthi adeg PAUD lan bimbel ing bumi klairene.

Ing Ngawi ana Nadia Cahyani, tau dadi Pemimpin Redaksi Majalah Iqro kang dibabar dening Dhompet Dhuafa Hongkong, saiki wiwit adeg perpustakaan, bukak leslesan gratis kanggo para siswa sakiwa-tengene, lan ngajak para ibu tumandang, usaha produktif, nggawe manekawarna kripik.

Ing Cilacap ana Perpustakaan Wiwawi kang diedegake dening Pendar Bw, ing Kediri ana Pondhok Maos Cendhani kang dibangun dening Muntamah Sekar Cendhani, kang kayadene Pendar Bw, saiki isih nyambutgawe ing Hongkong.

Para PRT asal Indonesia ing Hongkong, kahanane pancen beda banget yen dibandhingake karo kang ana ing negara-negara Timur Tengah utawa ing Malaysia. Ing Singapura duwe dina libur, nanging ora bebas kaya ing Hongkong. Ing Hongkong, para pekerja migran bisa ngedegake organisasi resmi. Yen mung paguyuban seni/tari wae, ing Hongkong cacahe puluhan rangkep. Lan kang agawe mongkog, pranyata isih akeh kang nengenake olehe nguri-uri seni/tari tradhisional: ngremo, jaipong, klebu jaranan campursari. Ana Sanggar Budaya Indonesia kang diembani KJRI-HK, ana Sekarbumi (Seni Karya Buruh Migran), Alexa Dancer, Arimby Dancer, DIF Dancer, Borneo Dancer, lan liyaliyane.

Eloke, kejaba Sanggar Budaya Indonesia kang sinengkuyung dening KJRI-HK, paguyuban-paguyuban seni (tari) kuwi mentas saka eguhe dhewe-dhewe, ora ana kang dibantu dening pamarentah. Kamangka, ora saben pentas mung ditonton dening sapepadhane warga Indonesia ing kana, nanging kerep ana acara pentas antarbangsa kang wujud lomba utawa pagelaran kanggo mengeti dina kang penting. Tegese, senajan diaranana PRT, para 'domestic worker' (ora mung) ing Hongkong kuwi uga wenang sinebut duta budaya bangsa, kang kanthi suka-rila mromosekake kaskayane kabudayan Indonesia ing negara manca.

Haryati (asal Malang) kang luwih kawentar kanthi julukan Anggie Camat kang tau pinercaya dadi Ketua Sanggar Budaya Indonesia ing Hongkong uga ngandhakake manawa olehe gumregut ngleluri seni/tari tradisional ing negara manca kuwi kesurung dening rasa tresna marang budaya bangsane lan kepengin bisa ngenalake marang bangsa seje.

Annie (asal Sragen) kang uga sengkut ing donyane seni tari ing Hongkong, kandha yen saben wong minggu sepisan mesthi ana tanggapan. Mulane ora mung penarine, senajan juru paes lan kang nyewakake sandhangan tari ya melu kelarisan. Anik Purwaningsih (asal Wonosobo) malahan kandha yen dheweke ora mung dadi juru paes, nanging uga bukak kursus rias penganten ing Hongkong. Senajan sing kursus mung wong siji-loro, Anik uga rumangsa marem, ngelingi yen kabisane kuwi ora mung bakal dicakake ing Hongkong, nanging diangkah uga bisaa dadi kabisan kang bisa diterusake mengko yen wis bali menyang Tanah Jawa.

Ing donyane kasusastran, Forum Lingkar Pena (FLP) ya bukak cabang ing Hongkong. Mula aja gumun yen sajroning setaun ana puluhan buku karyane para pekerja rumah tangga asal Indonesia ing nagara iku.

Saperangan dicetak ing Hongkong, nanging uga ana kang kacetak ing Indonesia. Apa kang mangkono iku dudu gerakan literasi kang ngedap-edapi? Durung maneh yen dicritakake kridhaning para PRT asal Indonesia ing internet. Kajaba Anazkia (anazkia.com) ing Malaysia, ing Hongkong ana Sri Lestari (asal Blora) kang duwe: babungeblog.blogspot.com kanthi isi tulisan-tulisan 'mletik' kang bobote bisa diadu karo karyane para sarjana. Iku ya mung saderma kanggo conto. Liyane, isih akeh.

Cekake, aja dumeh. Aja nyepelekake PRT, kang nalika para anggota DPR/DPRD padha mothah njaluk ditukokake laptop, wongwong kang kerep 'dikasari' nganggo sebutan 'babu' iku malah wis padha duwe komputer tablet kang tumetes langsung saka kringete dhewe.*

*) Kapacak ing Suara Merdeka

Saturday 8 December 2012

MENANGKAPI PARA PELANGGAR HUKUM ITU HANYA CARA


Jika kita mencintai sesama makhluk hidup, kita pasti setuju dengan ancaman hukuman yang berat terhadap perusak lingkungan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Tetapi, menegakkan hukum hanya demi hukum itu sendiri, tampaknya tak jarang memakan korban pihak yang tidak berdosa, dalam hal ini justru adalah hewan yang seharusnya terlindungi oleh hukum itu. Simak ilustrasi berikut ini!

Seorang tetangga saya, Ndemin –demikianlah nama rekaan untuk tokoh nyata ini, bercerita bahwa pada suatu hari ia pulang dari Kalimantan dengan membawa empat ekor burung murai batu. Karena ia menumpang pesawat dan tahu dari cerita beberapa temannya bahwa pasti akan ada pemeriksaan di bandara, ia menyembunyikan keempat ekor burung itu di balik pakaian yang dikenakannya. Salah seekor di antaranya, yang kemudian lolos dari penyitaan petugas bandara, adalah yang ditaruhnya di selangkangan.

Tiga ekor yang lain ketahuan petugas, dan terpaksa diserahkannya. Sebutannya saja terpaksa, Ndemin jelas tidak ikhlas. Entah seperti apa detail kecamuk di dalam pikirannya, yang sempat terlontar dalam ucapannya hanyalah, ini: ”Sambil menyerahkan ke petugas, saya cekik 3 ekor burung itu, ben padha ora mangane (biar sama-sama tidak ada yang diuntungkan). Orang kampung seperti Ndemin, yang bekerja secara musiman sebagai buruh di perkebunan sawit di luar Jawa tidak hanya ratusan orang. Dan tidak sedikit pula yang setiap pulang membawa oleh-oleh ilegal seperti yang dilakukan Ndemin. Menghitung atau menduga-duga berapa kisaran angkanya memang susah, tetapi saya berani mengatakan bahwa angka itu tidak sedikit, apalagi untuk pihak yang mengaku mencintai kelestarian lingkungan. Orang-orang seperti Ndemin adalah pihak yang bersalah, walau kerusakan yang mereka timbulkan mungkin tidak sebesar yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan besar pembabat hutan.

Demikianlah, pun ketika hukum sidah diupayakan untuk tegak, korban tetap saja berjatuhan. Dalam kasus seperti saya ceritakan ulang tadi, kita tidak bisa menyebut ”si korban” (burung murai batu dari kalimantan) sebagai tumbal, karena mereka bertiga adalah subjek yang hendak dilindungi dengan penegakan hukum.

Sebagai salah seorang warga awam di bidang hukum, saya tidak punya usulan tentang cara-cara penegakan hukum yang lebih baik. Yang hendak saya usulkan adalah upaya-upaya yang saya yakini dapat ditempuh untuk menekan jumlah korban yang potensial akan makin bertambah. Inilah usulan-usulan saya:

Pemerintah melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) seyogyanya aktif memantau dan mendukung warga negara (atas nama perorangan maupun lembaga) yang nyata-nyata telah dapat mengembangbiakkan hewan dalam kategori dilindungi dengan undang-undang. Penegakan hukum secara kaku, menyita hewan yang sudah dipelihara justru berpotensi menambah jumlah korban. Jika harus terjadi penyitaan, titipkanlah hewan sitaan kepada penangkar yang sudah membuktikan kredibilitasnya. Akan sangat berarti pula jika para penangkar sukses dapat dilibatkan untuk membimbing para penangkar pemula. Para pemelihara hewan di desa-desa, adalah mereka yang mencintai hewan peliharaannya, dengan cinta yang sebenar-benarnya ataupun karena nilai ekonomisnya. Artinya, dapat dijamin bahwa mereka akan melakukan pemeliharaan dengan penuh perhatian. Hal demikian tentu berbeda dengan mereka yang memelihara hewan tertentu hanya untuk membanggakannya, dan karena ketebalan kantongnya, tak akan ada penyesalan yang mendalam ketika hewan peliharaannya itu mati telantar. Dengan uang akan dengan cepat didatangkan hewan yang baru.

Pecinta Musang (baca: MLI) adalah sebentuk gerakan dari bawah (setahu saya ini bukan komunitas/organisasi yang diinisiasi Pemerintah) yang dari namanya saja kita sudah tahu bahwa organisasi/komunitas ini terbentuk atas dasar cinta (kepada musang/luwak). Beberapa anggota/pengurus di dalam komunitas ini sudah menunjukkan keberhasilannya menangkarkan/memuliakan musang/luwak).

Di dalam situs jejaring sosialnya, banyak terjadi tanya-jawab mengenai cara perawatan musang yang benar, tentang penyakit serta cara-cara pencegahan/pengobatannya. Menilik apa yang terjadi di dalam komunitas ini, menurut saya adalah wajib bagi Pemerintah untuk memberikan dukungan yang memadai untuk mengembangkan komunitas ini dengan segenap programnya.

Saya kira MLI dapat menjadi mitra yang baik untuk menyelamatkan musang indonesia dari kepunahan. MLI mengajak masyarakat, secara verbal maupun dengan contoh-contoh kongkrit, untuk mencegah tindakan membuat kerusakan di muka bumi, bahkan membangunnya, atau yang dalam terminologi Jawa: memayu hayuning bawana. Dalam konteks ini, bahkan adalah wajib bagi pemerintah (jika MLI mau menerima) untuk memberikan subsidi!

Demikianlah, para petugas penegak hukum di lapangan itu harus selalu ingat bahwa ia sedang mengemban amanah melindungi (hewan). Menangkapi para pelanggar hukum, itu hanya cara!