Saturday 8 December 2012

MENANGKAPI PARA PELANGGAR HUKUM ITU HANYA CARA


Jika kita mencintai sesama makhluk hidup, kita pasti setuju dengan ancaman hukuman yang berat terhadap perusak lingkungan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Tetapi, menegakkan hukum hanya demi hukum itu sendiri, tampaknya tak jarang memakan korban pihak yang tidak berdosa, dalam hal ini justru adalah hewan yang seharusnya terlindungi oleh hukum itu. Simak ilustrasi berikut ini!

Seorang tetangga saya, Ndemin –demikianlah nama rekaan untuk tokoh nyata ini, bercerita bahwa pada suatu hari ia pulang dari Kalimantan dengan membawa empat ekor burung murai batu. Karena ia menumpang pesawat dan tahu dari cerita beberapa temannya bahwa pasti akan ada pemeriksaan di bandara, ia menyembunyikan keempat ekor burung itu di balik pakaian yang dikenakannya. Salah seekor di antaranya, yang kemudian lolos dari penyitaan petugas bandara, adalah yang ditaruhnya di selangkangan.

Tiga ekor yang lain ketahuan petugas, dan terpaksa diserahkannya. Sebutannya saja terpaksa, Ndemin jelas tidak ikhlas. Entah seperti apa detail kecamuk di dalam pikirannya, yang sempat terlontar dalam ucapannya hanyalah, ini: ”Sambil menyerahkan ke petugas, saya cekik 3 ekor burung itu, ben padha ora mangane (biar sama-sama tidak ada yang diuntungkan). Orang kampung seperti Ndemin, yang bekerja secara musiman sebagai buruh di perkebunan sawit di luar Jawa tidak hanya ratusan orang. Dan tidak sedikit pula yang setiap pulang membawa oleh-oleh ilegal seperti yang dilakukan Ndemin. Menghitung atau menduga-duga berapa kisaran angkanya memang susah, tetapi saya berani mengatakan bahwa angka itu tidak sedikit, apalagi untuk pihak yang mengaku mencintai kelestarian lingkungan. Orang-orang seperti Ndemin adalah pihak yang bersalah, walau kerusakan yang mereka timbulkan mungkin tidak sebesar yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan besar pembabat hutan.

Demikianlah, pun ketika hukum sidah diupayakan untuk tegak, korban tetap saja berjatuhan. Dalam kasus seperti saya ceritakan ulang tadi, kita tidak bisa menyebut ”si korban” (burung murai batu dari kalimantan) sebagai tumbal, karena mereka bertiga adalah subjek yang hendak dilindungi dengan penegakan hukum.

Sebagai salah seorang warga awam di bidang hukum, saya tidak punya usulan tentang cara-cara penegakan hukum yang lebih baik. Yang hendak saya usulkan adalah upaya-upaya yang saya yakini dapat ditempuh untuk menekan jumlah korban yang potensial akan makin bertambah. Inilah usulan-usulan saya:

Pemerintah melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) seyogyanya aktif memantau dan mendukung warga negara (atas nama perorangan maupun lembaga) yang nyata-nyata telah dapat mengembangbiakkan hewan dalam kategori dilindungi dengan undang-undang. Penegakan hukum secara kaku, menyita hewan yang sudah dipelihara justru berpotensi menambah jumlah korban. Jika harus terjadi penyitaan, titipkanlah hewan sitaan kepada penangkar yang sudah membuktikan kredibilitasnya. Akan sangat berarti pula jika para penangkar sukses dapat dilibatkan untuk membimbing para penangkar pemula. Para pemelihara hewan di desa-desa, adalah mereka yang mencintai hewan peliharaannya, dengan cinta yang sebenar-benarnya ataupun karena nilai ekonomisnya. Artinya, dapat dijamin bahwa mereka akan melakukan pemeliharaan dengan penuh perhatian. Hal demikian tentu berbeda dengan mereka yang memelihara hewan tertentu hanya untuk membanggakannya, dan karena ketebalan kantongnya, tak akan ada penyesalan yang mendalam ketika hewan peliharaannya itu mati telantar. Dengan uang akan dengan cepat didatangkan hewan yang baru.

Pecinta Musang (baca: MLI) adalah sebentuk gerakan dari bawah (setahu saya ini bukan komunitas/organisasi yang diinisiasi Pemerintah) yang dari namanya saja kita sudah tahu bahwa organisasi/komunitas ini terbentuk atas dasar cinta (kepada musang/luwak). Beberapa anggota/pengurus di dalam komunitas ini sudah menunjukkan keberhasilannya menangkarkan/memuliakan musang/luwak).

Di dalam situs jejaring sosialnya, banyak terjadi tanya-jawab mengenai cara perawatan musang yang benar, tentang penyakit serta cara-cara pencegahan/pengobatannya. Menilik apa yang terjadi di dalam komunitas ini, menurut saya adalah wajib bagi Pemerintah untuk memberikan dukungan yang memadai untuk mengembangkan komunitas ini dengan segenap programnya.

Saya kira MLI dapat menjadi mitra yang baik untuk menyelamatkan musang indonesia dari kepunahan. MLI mengajak masyarakat, secara verbal maupun dengan contoh-contoh kongkrit, untuk mencegah tindakan membuat kerusakan di muka bumi, bahkan membangunnya, atau yang dalam terminologi Jawa: memayu hayuning bawana. Dalam konteks ini, bahkan adalah wajib bagi pemerintah (jika MLI mau menerima) untuk memberikan subsidi!

Demikianlah, para petugas penegak hukum di lapangan itu harus selalu ingat bahwa ia sedang mengemban amanah melindungi (hewan). Menangkapi para pelanggar hukum, itu hanya cara!

0 urun rembug: