Thursday 23 June 2011

SAPI DAN MANUSIA

Belum berbilang bulan, Australia menghentikan ekspor sapi ke Indonesia, karena mengetahui (melalui rekaman video) sapi-sapi itu disembelih dengan cara yang tidak wajar, dengan disakiti terlebih dulu. Maka, penghentian ekspor itu adalah sebentuk protes terhadap para penjagal yang tidak ’berperikehewanan’. Protes kepada Indonesia. Ini soal sapi.

Dan ini soal manusia, dari kelompok yang sering disebut-sebut, juga oleh pejabat, sebagai pahlawan devisa. Ialah Ruyati, pekerja migran asal Bekasi, dihukum pancung di Arab Saudi, Sabtu (18/6) lalu, setelah pengadilan setempat memvonisnya sebagai pelaku pembunuhan atas majikannya. Jika faktanya Ruyati (almarhumah) memang membunuh, apakah motivasinya? Jangan-jangan justru sesungguhnya ia sekadar membela diri? Itu pertanyaan-pertanyaan yang pasti akan menggoda kita. Parahnya, Pemerintah Arab Saudi tidak mengkomunikasikannya dengan Pemerintah Indonesia, melalui Kedubes setempat misalnya, sehingga seperti dilansir detik.com, BNP2TKI merasa kecolongan dan Kemenlu RI pun melayangkan protes atas kejadian ini.

Itu berarti, tidak ada yang dilakukan Pemerintah RI hingga Ruyati menemui ajalnya. Padahal, 12 tahun silam, hukum pancung itu nyaris saja menimpa Zaenab, dan dapat dibatalkan setelah Raja Saudi ditelepon Presiden RI (Gus Dur) saat itu.

Ya, Kemenlu RI sudah melayangkan surat atau nota protes. Cuma itu. Sayang, kita belum dapat ikut membaca bagaimana bunyi kalimat nota protes itu. Maka, saya menulis status di Facebook, ’’Pahlawane dibunuh kok ora nantang perang? --ngono kuwi yen angger nggambleh ngarani pahlawan. Mung lelamisan…’’ Artinya lebih-kurang, ’’Pahlawannya dibunuh mengapa tidak menantang untuk berperang? Begitulah jika asal saja menyebut ’pahlawan’, hanya sebagai pemanis bibir.’’

Apakah benar saya menyetujui perang? Oh, tidak. Pasti tidak. Tetapi, saya mengangap penting untuk bersitegang. Ini menyangkut nyawa manusia yang dibunuh dengan sengaja, betapa pun atas nama hukum. Wong arep mateni anake uwong kok kulawargane dikabari wae ora, sadurunge!’’ Mau membunuh manusia kok memberi kabar keluarganya pun tidak, sebelumnya! Adalah penting untuk bersitegang. Bersitegang seperti apa? Ya, entahlah. Tetapi, setidaknya, jangan hanya sekadar mengirimkan surat, bagaimana pun bunyinya surat itu. Pasti saya tidak tahu cara paling tepat untuk meningkatkan ketegangan itu, sebab jika saya tahu, bisa jadi sayalah Ketua BNP2TKI atau bahkan Menakertrans-nya.

Nah, hal lain yang ingin saya ingatkan lagi adalah, janganlah seenaknya –terutama para pejabat itu-- menyebut-nyebut para pekerja migran kita sebagai Pahlawan Devisa. Sebab dari situlah saya tarik logika ke arah ’’peperangan’’ tadi itu. Jadi penalarannya begini. Pahlawan adalah kata yang sering digunakan untuk menyebut para kusumaning bangsa yang gugur di medan perang. Mereka dibunuh oleh pihak musuh di dalam peperangan. Pahlawan adalah mereka yang menakar harga kehormatan bangsa persis sama dengan jiwa dan raganya sendiri. Maka, mereka rela mati demi kehormatan bangsanya. Dan negara yang dijalankan oleh pemerintah, pun menghormatinya, antara lain dengan memakamkan di pemakaman istimewa, yang sering disebut sebagai Makam Pahlawan. Nah, ketika sang pahlawan sudah mempertaruhkan jiwa-raganya, dan kalah dalam pertaruhan itu, negara hanya mengeluarkan sepucuk surat? Ya, karena memang sebatas itulah yang bisa dilakukan sebagai reaksi. Sampai di sini, kita sudah dapat kesimpulan: ’’Janganlah terlalu mudah menyebutkan kata: pahlawan.’’

Memberikan komentar pada status FB seperti saya sebutkan tadi, seorang Dosen Teater dari Universitas Negeri Surabaya menulis, "Ora isin karo Australia sing Sapine ora "disapikan" oleh para jagal, memilih menolak melakukan ekspor sapi ke Indonesia..." yang lebih-kurang berarti, ’’Tidak malu dengan Australia yang ketika sapi-sapinya tidak ’’disapikan’’ oleh para jagal lalu memilih menolak melakukan ekspor sapi ke Indonesia.’’

Jadi, rasa hormat Pemerintah kita terhadap jiwa manusia, jiwa rakyatnya, lebih rendah daripada rasa hormat Pemerintah Australia terhadap para sapinya? Duh Gusti…!*