Monday 9 June 2014

Mari Kita Marah!

Tulisan A.S. Laksana, Diselamatkan Burung Kecil di Ruang Putih (JP, Minggu 29/9) mengandung kesalahan ejaan ketika ia mengutip pepatah Jawa, ”tresno jalaran soko kulino,” –pepatah aslinya dan cara penulisan ejaan yang benar, ”Witing tresna jalaran saka kulina.” Selebihnya, saya yakin tulisan tersebut menambah kegeraman para pihak yang berharap banyak –di bidang literasi-- pada pemerintah.

Gerakan baca-tulis begitu marak di tengah-tengah masyarkat belakangan ini. Gejala demikian menawarkan harapan, yang seharusnya diarahkan agar semakin mantap berada di jalur yang tepat dan semakin menginspirasi agar tidak sekadar ramai, hiruk-pikuk seperti di perpolitikan kita, agar tidak banjir buku picisan yang hanya menyibukkan ”dinas ketertiban” seperti terjadi pada era 70-an.

Geliat penerbitan buku di negri ini memang menunjukkan tren yang menggembirakan. Selain banyak buku impor (baca: terjemahan), buku asli karya anak bangsa pun semakin banyak diterbitkan, seiring dengan teknologi penerbitan yang semakin murah dan fleksibel (ada model cetak sejumlah pesanan) dan populasi penulis yang menunjukkan peningkatan luar biasa. Kita hanya perlu membuka media jejaring sosial, Facebook misalnya, dan mencari grup atau halaman: buku, penerbit, penulis, penyair, dan seterusnya untuk mengetahui hal itu. Yang tampak paling menonjol di media sosial itu adalah komunitas penulis dengan penerbitan indie, sampai-sampai seorang Langga Gustanto, S.Kom, mendirikan ”Pusat Informasi Cyber Chrime di Dunia Kepenulisan” dan membuat sebuah grup dengan deskripsi, ”…untuk menjadi informan sebagai langkah pencegahan dan meminimalisir maraknya kasus penipuan di dunia kepenulisan Online. Silakan menyampaikan informasi dengan cepat, tepat dan akurat agar dapat menjadi sarana berbagi informasi kepada yang lain.”

Itu berarti, di luar proyek pemerintah, di tengah-tengah masyarakat telah terjadi pertumbuhan usaha penerbitan buku yang selain menjadi media kreativitas juga melibatkan aspek-aspek ekonomi. Dalam hal penguatan gerakan literasi ini, di pelosok-pelosok bertumbuhan perpustakaan-perpustakaan yang dibiayai perorangan, rumah baca, komunitas penulis/pembaca, sanggar sastra/penulisan, sementara Gerakan Perpustakaan Masuk Desa yang diluncurkan sejak Zaman Soeharto (?) seperti tak ada kabar-beritanya lagi. Lalu, perpustakaan kota/kabupaten pun diperkuat, walau sebagian besar bisa jadi hanya agar daftar isian proyeknya tidak kosong, atau sekadar tamba-isin (mengindari rasa malu) jika sampai tenggelam oleh popularitas perpustakaan-perpustakaan yang dibuka warga masyarakat secara swadaya.

Para pembuat kebijakan di kalangan pemerintahan seolah tak pernah mendengar teriakan STA (Sutan Takdir Alisyahbana) mengenai betapa pentingnya buku untuk mengupayakan kemajuan bangsa sambil menunjuk proyek penerjemahan besar-besaran yang pernah dilakukan Jepang sehingga bangsa yang porak-poranda pada Perang Dunia II itu dengan cepat menata negrinya, dan bangkit menyejajarkan diri dengan beberapa bangsa yang unggul di banyak bidang.

Pikiran pejabat seperti tidak mau memahami kesedihan seorang Taufiq Ismail mengenai minat baca generasi muda bangsa ini. Mereka juga seperti tidak melihat bagaimana seorang Suparto Brata melampiaskan ”kemarahannya” dengan membiayai penerbitan buku-bukunya sendiri, membantu penerbitan buku-buku karya penulis muda di sekitarnya, dan di usianya yang sudah kepala tujuh masih mau blusukan dari sanggar ke sangggar. Pada setiap kesempatan berbicara adalah ”buku” kata yang paling banyak disebut. ”Buku, buku, buku, jika kita menginginkan bangsa ini menjadi lebih maju, tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh jika kita tidak mau menggerakkan warga bangsa untuk membaca dan menulis buku!” Begitulah Pak Parto, pun rela kehilangan berpuluh-puluh juta rupiah untuk gerakan membaca dan menulis buku yang selalu ia dengung-dengungkan itu.

Lain di dalam negri, lain pula di luar negri. Di Hongkong, para pekerja migran asal Indonesia sangat gencar melakukan gerakan literasi. Ada yang setiap hari libur (Minggu) bersusah-payah menyeret koper besar berisi buku-buku bacaan yang didatangkan dari tanah air untuk dipinjamkan secara gratis, ada kelompok-kelompok/komunitas penulis yang saban-saban menyelanggarakan bengkel penulisan dengan mendatangkan narasumber dari tanah air secara swadaya. Adalah FLP-HK yang sudah 3 tahun belakangan secara berturut-turut menyelenggarakan Festival Sastra Migran. Pada festival itu biasanya digelar lomba penulisan fiksi maupun nonfiksi, lomba baca puisi/cerpen, bursa buku, pemutaran film dokumenter, dan pemberian penghargaan terhadap penulis terbaik di kalangan mereka. Ada pula pemilihan dan pemberian penghargaan terhadap buku yang terbit di kalangan mereka.

Dalam satu tahun, puluhan buku lahir dari rahim kreatif para perempuan pekerja migran asal Indonesia di Hongkong. Jika mau mengitung secara serampangan, katakanlah 10 buku dalam setahun itu terbit mewakili pekerja migran kita di Hongkong yang jumlahnya berkisar pada angka 150 ribuan, berarti 1 buku untuk 1.500 orang. Maka, berapa judul buku harus diterbitkan di tanah air (mewakili 240-an juta penduduk) dalam setahun untuk menyamai rekor itu? Jangan kaget, tetapi diam-diam ubahlah cara pandang anda jika selama ini lebih mengenal mereka dengan sebutan TKW dan memasukkan mereka (secara pukul rata) sebagai warga bangsa kelas sekian.

Gerakan literasi (baca-tulis) di kalangan pekerja migran juga ada di negara selain Hongkong, misalnya di Taiwan, Singapura, Malaysia. Tetapi, mereka yang berada di Hongkong masih tampak sebagai yang terdepan dipandang dari kinerja komunitas dan jumlah penerbitan buku/media berkala-nya. Pemerintah, mana pemerintah? Di mana negara?

Cobalah mari kita marah. Melalui tulisan di berbagai media yang ada, mari mengacungkan ”tinju” lalu menunggu reaksi, apakah kita memiliki pemimpin yang bisa membaca atau tidak!

Tuesday 27 May 2014

Memimpikan Rumah Buruh Migran Indonesia

Di hadapan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Malang yang duduk bersama beberapa narasumber pada Sarasehan dalam rangka Peringatan Hari Buruh (Kompleks Dewan Kesenian Kota Malang, 1 Mei 2014) saya menyatakan betapa pentingnya untuk dibangun Rumah Buruh Migran Indonesia di Malang. Sebagai gambaran saya menyebutkan bahwa fasilitas (baca: bangunan fisik) seperti yang dimiliki Dewan Kesenian Kota Malang itu tidaklah terlalu mewah bila dapat diwujudkan untuk Buruh Migran Indonesia (BMI). Menilik apa yang sudah diberikan oleh BMI kepada negara, seharusnya pemerintah bisa keluar dana semilyar dua milyar rupiah seperti mengeluarkan uang receh.

Malang-Kabupaten, Kota, atau Malang Raya (= Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) pantas menjadi pelopor pembangunan Rumah BMI mengingat posisinya di klasemen papan atas dalam jumlah BMI yang berangkat ke luar negri dari wilayah tersebut. Memulai merancang/membangun Rumah BMI di Jawa Timur tahun ini (2014) adalah sangat tepat, mengingat Gubernur Jawa Timur telah mencanangkan Tahun 2914 sebagai Tahun Kebudayaan. Adalah wajib hukumnya, seharusnya, mengurusi BMI dengan pendekatan kebudayaan, bukan semata-mata dengan pendekatan ekonomi-pasar. Lebih dari itu, jika mau disebut mau lebih memanusiakan BMI, Pemerintah Indonesia seharusnya berpikir dan segera melaksanakan pembangunan rumah-rumah BMI di daerah-daerah yang banyak mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negri.

Bayangkanlah sebuah kompleks bangunan yang memiliki fasilitas ruangan untuk seminar/sarasehan, kantor untuk kesekretariatan, pendapa untuk pertunjukan kesenian, pemutaran film, ruang perpustakaan, gudang perkakas, toilet, dan lain-lain, termasuk sambungan internet yang dapat diakses secara nirkabel.

Lalu, seandainya Rumah BMI itu sudah dapat diwujudkan, siapa yang akan menempati dan mengelolanya? Tentu, bangunan dan segala fasilitasnya adalah aset negara, yang pengelolaannya dapat diserahkan kepada/dilakukan oleh lembaga yang benar-benar konsern pada urusan BMI. Tampaknya lembaga baru/organisasi nonpemerintah perlu dibentuk untuk ini. Sementara itu, lembaga-lembaga atau organisasi nonpemerintah yang selama ini sudah terbukti besar sumbangannya pada pengentasan persoalan-persoalan BMI sedapat-dapatnya, jika menginginkan, diakomodasi untuk berkantor di Rumah BMI ini.

Pusat Dokumentasi


Pada umumnya kita lemah dalam hal dokumentasi. Tak terkecuali di bidang per-BMI-an. Banyak film dibuat. Foto-foto, berita, bahkan karya sastra tentang dan/atau oleh BMI sudah banyak terbit sebagai buku. Cobalah kita cari tahu, lembaga Pemerintah Republik Indonesia mana yang memiliki koleksi lengkap buku karya kawan-kawan BMI di Hong Kong? Kemenakertrasn? Kemendikbud? Kemenparekraf? Badan Bahasa? BNP2TKI? Atau, KJRI/KBRI di Negara-negara tempat BMI bekerja?

Siapa pula yang selama ini mengkliping berita-berita yang menyangkut BMI, dan menyimpan/merawatnya dengan baik? Jika kita perlu menggelar foto-foto para almarhum/almarhumah BMI yang telah dihukum mati di luar negri, di mana kita bisa mendapatkannya secara lengkap? Di mana pula kita bisa mendapatkan informasi lengkap mengenai profil usaha sukses yang dijalankan oleh mantan BMI? Dan masih ada sekian banyak pertanyaan sejenis.

Merawat/menyimpan benda-benda informatif itu akan sangat bagus untuk ”melawan lupa.” Bahkan, akan sangat berguna bagi generasi kesekian kita kelak, jika keadilan sosial dan kemakmuran sudah benar-benar dirasakan semua warga negara, ketika pemerintah tidak perlu lagi menjadi eksportir tenaga kerja terutama di sektor informal. Generasi kesekian itu kelak akan belajar, dan menjadi lebih waspada, sebab sudah terbukti ketika salah mengelola kekayaan bangsa, rakyat pun bisa jadi ibarat burung pipit mati di sawah.

Tempat Pelatihan

Rumah BMI juga dapat digunakan sebagai tempat pelatihan/bengkel kerja, termasuk jika instansi pemerintah mengundang mantan BMI untuk diberi pelatihan ketrampilan tertentu.

Rumah BMI dapat menjadi tempat jujugan bagi BMI yang sedang memanfaatkan waktu cutinya di tanahair, sekadar menyambangi atau malah membuat acara, misalnya peragaan busana, pementasan teater, peluncuran buku, dan lain-lain.

Rumah BMI-lah yang sesungguhnya layak menyandang sebutan dan menyatakan sebagai ”Pusat Informasi TKI” atau ”Pusat Informasi BMI” yang sesungguhnya, dan bukan sekadar/hanya menyediakan informasi mengenai lowongan kerja di luar negri.

Dekat Terminal Bus atau Bandara

Tampaknya, lokasi paling strategis untuk Rumah BMI adalah di dekat bandara atau terminal bus. Ketika berada di dekat bandara, bisa jadi jujugan keluarga pengantar/penjemput BMI, untuk sekadar beristirahat atau bahkan menginap. Ketika berada di dekat terminal bus, dijangkau dengan angkutan umum dari berbagai kota akan lebih mudah, mengingat Rumah BMI juga diharapkan menjadi prasarana untuk memperkokoh jaring persaudaraan/solidaritas antar-BMI.

Jika bengkel kerja, pelatihan, pameran, pementasan, sarasehan, dan kegiatan-kegiatan lain terus digelar di Rumah BMI, niscaya agenda kegiatan akan padat, dan peluang untuk melengkapinya dengan kantin yang sekaligus berfungsi sebagai laboratorium usaha bersama pun akan semakin terbuka.

Pembuktian

Orang boleh saja memandang impian seperti ini (membangun Rumah BMI) adalah impian ngayawara atau mengada-ada. Tetapi, bagi saya, bisa terealisasi atau tidak pada akhirnya juga akan menunjukkan kepada kita, apakah pemerintah tulus ketika menyebut BMI sebagai Pahlawan Devisa, atau sekadar sejenis olok-olok.

Lalu, bagaimana jika pemerintah memandang bahwa membangun Rumah BMI itu tidak penting? Itu tidak terlalu penting. Maksudnya, tak begitu jadi soal, sejauh BMI serentak memandangnya sebagai hal yang penting untuk segera diwujudkan. Seharusnya gerakan pengumpulan uang receh bisa dilakukan, lalu kita buktikan, siapa yang bisa mengolok-olok dengan cara yang cukup indah! *

Sunday 20 April 2014

IN MEMORIAM: PUISI

jika kau bertanya apakah politisi itu jabatan yang lebih tinggi daripada perajin pantun atau puisi jawabnya adalah bukan.sebab ketika para politisi berbalas pantun atau puisi kita boleh meragukan apakah pantun dan puisi yang mereka lontarkan adalah karya mereka sendiri.atau, jika pun bikinan mereka sendiri, pastinya mereka sedang tersesat.sebab seandainya mereka penyair yang tidak tergiur kekuasaan.atau uang.dan tepuk tangan.ratu atau raja pun tidak lebih tinggi derajatnya. seburuk-buruknya raja ialah yang membiarkan penyair kelaparan hingga terpaksa meminta-minta.sekotor-kotornya politisi ialah mereka yang membiarkan mulutnya berbusa-busa dan tangannya berlumuran darah: puisi. 2014