Saturday 25 June 2016

Ngumpulake Balung Pisah dan Format Pertemuan yang lebih Cair

Pernahkah Anda bepergian ke tempat yang jauh lalu di dalam perjalanan atau di tempat tujuan bertemu orang dari desa atau kampung halaman yang sama? Jika pernah, bagaimana rasanya? Walau ketika masih tinggal di desa yang sama, kecamatan yang sama, kabupaten yang sama tidak saling kenal, tiba-tiba seperti bertemu dengan keluarga sendiri. Suatu waktu saya harus berada di Ambon untuk beberapa hari. Melalui seorang karib, saya dapat tambahan sangu berupa nomor kontak seorang warga Trenggalek yang bertugas/dinas di Kodam Pattimura, Ambon: Pak Imam Bisri. Saya telepon Pak Imam beberapa hari sebelum berangkat, dan tanpa mengkonfirmasi bagaimana bentuk wajah saya melalui pesan bergambar, misalnya, kami langsung bertemu muka beberapa jam setelah saya mnjakkan kaki di Ambon. Dan disambut sebagai seorang saudara yang lama tidak bertemu (padahal memang: tidak/belum pernah bertemu sebelumnya). Lalu dijamu makan minum, ditawari untuk menginap pula jika perlu selama saya harus tinggal di Ambon. Tetapi, tawaran menginap itu tidak saya ambil karena lembaga yang mengundang saya sudah menyiapkan penginapan, dan saya harus sering begadang untuk menyelesaikan tulisan ”kejar tayang.” Malam itu pula, Pak Imam menyerahkan sebuah sepeda motornya untuk saya pakai selama saya di Ambon (sekitar sepekan), dan saya terima dengan penuh suka-cita.

Itu sebuah pengalaman yang indah dan sangat berkesan. Tetapi, saya yakin ada banyak kisah keindahan seperti, serupa, atau semacam pengalaman saya itu, yang terjadi dalam suasana ”ketemune balung pisah.” Oleh karena itu, saya sangat antusias menerima ajakan kawan-kawan nggalek.co untuk menggelar sebuah acara ”Ngumpulake Balung Pisah”, atau, jika diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih gaul barangkali adalah: Menyambung Silaturahmi. Apalagi, momentum pelaksanaannya dipilih di sekitar Hari Raya Idul Fitri.

Zaman sudah sedemikian maju, teknologi komunikasi sudah sedemikian canggihnya, sehingga pertemuan, sarasehan, dapat dibangun tanpa tatap muka secara langsung. Tetapi, masing-masing model pertemuan itu pasti berbeda nuansanya. Jangankan yang berbeda media, yang maya dengan yang nyata, antara jenis pertemuan yang sama-sama memakai model tatap muka lagsung saja bisa jauh berbeda nuansanya jika penataan tempat duduk dan/atau isi acaranya tidak sama. Kita sudah terbiasa mengikuti pertemuan halal bil halal dalam format di dalam ruangan/gedung, dengan aneka makanan dan minuman ditata di salah satu tempat yang mudah dijangkau, meja/kursi hadirin ditata seperti bangku kelas di sekolah-sekolah, menghadap papan identitas acara dan panggung yang di salah satu sudutnya terdapat mimbar untuk berpidato. Kita membutuhkan forum silaturahmi pada momentum lebaran itu dengan format yang lebih cair.

Nah, Ngumpulne Balung Pisah atau Ngumpulake Balung Pisah yang digagas oleh kawan-kawan ini nanti semoga saja bisa memenuhi kebutuhan itu, atau setidaknya: dapat menjadi langkah awal atau pemicu yang bagus untuk gerakan bersama, bahu-membahu, gotong-royong, untuk kejayaan Trenggalek. [*]

Ejaan dan Pengembangan Bahasa Jawa

Upaya pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa, seperti halnya upaya pelestarian dan pengambangan bahasa-bahasa daerah lain yang ada di Indonesia, mesti dimaknai sebagai upaya menjaga dan merayakan keanekaragaman yang pada akhirnya bermuara pada: demi kejayaan Indonesia yang ”Bhineka tunggal ika,” dan bukannya sebagai menambah potensi keberjarakan antara satu etnis dengan etnis lain. UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan pun telah memberikan ruang yang cukup untuk upaya-upaya itu. Banyak orang, komunitas, lembaga, menyadari betapa angka kematian bahasa-bahasa daerah (: bahasa ibu) terus melaju nyaris tanpa kendali. Dalam hal bahasa Jawa, para pemangku kepentingan pun bergerak, mengeluarkan segenap kemampuan, tenaga, pikiran, uang, untuk upaya mulia: mempertahankan/melestarikan dan mengembangkan bahasa ibu mereka.

Sanggar-sanggar bahasa dan Sastra Jawa dibangun, pertemuan-pertemuan para pecinta bahasa dan sastra Jawa diadakan, dari yang informal hingga yang formal, dari yang bersekala kelompok kecil (5 – 10 orang) hingga yang melibatkan ratusan orang, dari yang beranggaran sejuta-dua juta rupiah hingga yang menghabiskan dana milyaran rupiah. Panggung bahasa/sastra Jawa digelar, buku-buku (berbahasa Jawa) diterbitkan (oleh komunitas maupun perorangan), sarasehan, seminar, kongres pun diselenggarakan. Gerak para pemangku kepentingan bahasa dan sastra Jawa itu pun mendapat acungan jempol dari etnis pemilik bahasa ibu lain. Tetapi, mengapa gegap-gempitanya gerak para pemangku kepentingan itu seoalah tidak melahirkan kabar gembira yang signifikan? Jawaban yang pertama-tama dapat saya kemukakan untuk pertanyaan demikian adalah: ”Sebab, selama ini kita abai terhadap hal paling penting dalam pemakaian bahasa Jawa, terutama pada ragam tulisan, yaitu: ejaan (baca: penulisan bahasa Jawa dengan huruf latin).

Persoalan ejaan, sekilas memang tampak sederhana, tetapi sesungguhnya sangat mendasar, terutama berkaitan dengan penggunaan bahasa Jawa di dalam tulisan. Sebutlah contoh kata wedi (takut) harus dibedakan dengan wedhi (pasir), tutuk (mulut) harus dibedhakan dengan thuthuk (pukul). Kata cara (cara) mesti dibedakan dengan coro (kecoak), teka (datang) berbeda dengan teko (tempat air minum). Jika kita melihat teks lagu-lagu campursari berbahasa Jawa di dalam VCD yang dibuat oleh hampir semua perusahaan rekaman, tampaklah bahwa persoalan mendasar itu samasekali tidak dipedulikan. Kekacauan penulisan ejaan ini sering pula dilakukan oleh instansi pemerintah melalui baliho atau spanduk yang dibuat untuk, misalnya, iklan layanan masyarakat.

Kekacauan ejaan dan bahkan penggunaan istilah juga dapat kita saksikan melalui media daring, dan terkonyol adalah ketika ada yang membuat grup di sebuah situs jejaring sosial: ”Pengurit Boso Jowo”. Bukankah penggurit (penyair) itu seharusnya paham banget mengenai bahasa yang digunakan sebagai media ekspresinya? Kabar gembiranya adalah: Google bakal menggandeng UGM untuk layanan bahasa Jawa di telepon selular. Tetapi, di laman-nya sendiri, dan apalagi di layanan Google Translate, jika sedikit saja anda paham bahasa Jawa, itulah salah satu alamat untuk bergelak-tawa.

Buku Tatabahasa Baku Bahasa Jawa sudah dibuat oleh seorang peneliti senior di Badan Bahasa, Sri Satriya Tjatur Wisnu Sasongko. Pedoman Pemakaian Ejaan Bahasa Jawa yang sudah disinkronisasikan dengan Pedoman Pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan juga sudah diterbitkan (dibagikan gratis kepada peserta Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya, 2011). Kamus Pepak (lengkap) Basa Jawa pun sudah diterbitkan. Yang sangat kurang adalah sosialisasinya. Media pelopor yang dapat dijadikan rujukan atau untuk sementara bolehlah dianggap sebagai ”panutan” juga ada, Panjebar Semangat, Jaya Baya (keduanya terbit di Surabaya), dan Djaka Lodang (Yogyakarta), ditambah lagi Tabloid Bro! (Surabaya). Beberapa koran berbahasa Indonesia juga menyediakan ruang untuk tulisan: opini, cerpen, dan/atau puisi berbahasa Jawa: Solopos (Solo), Suara Merdeka (Semarang), dan di bawah Grup Jawa Pos ada Radar Bojonegoro. Andai bisa disosialisasikan dan diperkuat dengan penandatanganan bersama tekad untuk penggunaan kode aksara yang seragam antarkomunitas pemakai bahasa Jawa (ragam tulisan) dari komunitas orang Jawa yang ada di: Jawa, Sumatera, Kalimantan … dan setersnya, Malaysia, Suriname, Belanda, Kaledonia Baru, dan seterusnya, alangkah bagusnya. Jika ada pihak yang memiliki kepedulian dalam hal ini dan kemudian mengundang para pemilik laman pribadi untuk menekan tingkat kekacauan dalam hal penggunaan ejaan bahasa Jawa, pasti hasilnya akan sangat signifikan.

Melalui acara seminar atau rapat koordinasi yang saya ikuti, sering saya mengemukakan usulan agar para penyanyi lagu-lagu Jawa, termasuk dari jenis campursari, pengarang lirik lagu Jawa, dan para produser atau pemilik perusahaan rekaman dikumpulkan untuk diajak berbicara mengenai pemakaian ejaan dalam lirik-lirik lagu berbahasa Jawa, agar pada suatu hari nanti tidak lahir lagu yang mengandung lirik seperti ini, ”Yen mangan ra diator wetengmu mesthi loro.” (Terjemahan yang benar: Jika makan mesin pendingin, perutmu pasti dua). Padahal, yang dimaksudkan oleh penulis lirik adalah: ”Jika makan tidak diatur, perutmu pasti sakit,” yang dalam bahasa Jawa seharusnya dituliskan, ”Yen mangan ra diatur, wetengmu mesthi lara.”

Dalam kaitannya dengan ejaan, anak-anak muda sekarang pada umumnya tumbuh dengan lidah yang sudah sangat ”Indonesia”, sehingga kurang atau bahkan tidak lagi dapat melafalkan bunyi yang dalam bahasa Jawa (huruf latin) dilambangkan dengan [d] seperti pada kata: dadi, durung, udel, sada. Bahasa Jawa memiliki bunyi [d] dan [dh]: bedhug, dhadhung, kudhung, wudhar. Perhatikan para penyiar televisi pada siaran berbahasa Jawa, dan yang sering muncul adalah pada lomba baca guritan (puisi Jawa) yang diikuti oleh para pelajar. Kita akan menemukan huruf [d] yang diucapkan sebagai [dh]. Pada kasus seperti ini, kita tidak bisa beralibi dengan soal dialek, aksen, atau apa, sebab pergeseran bunyi dari [d] ke [dh] atau sebaliknya itu jelas-jelas mempengaruhi makna.

Itulah persoalan sangat strategis yang sejauh ini belum mendapatkan perhatian memadai dari para pemangku kepentingan. Bahkan, di hajatan intelektual berskala internasional yang melibatkan semua elemen: para pakar, guru bahasa (Jawa) hingga pesindhen dan pelajar yang menelan rupiah bermilyar-milyar, tampaknya orang masih lebih suka mengulang-ulang pembicaraan mengenai petatah-petitih Jawa, kandungan moral serat anu, kepemipinan ideal menurut kitab anu, dan seterusnya. Dan jangan lupa, mereka yang bergelar pakar itu medhar sabda-nya menggunakan bahasa lain, bukan bahasa Jawa!

Dengan ejaan yang seragam kita dapat membayangkan bahasa Jawa akan menjadi bahasa informal yang mendunia, karena tidak ada lagi kendala perbedaan kode aksara, misalnya satu pihak menggunakan ejaan ”ho-no-co-ro-ko” sedangkan pihak lain menggunakan ejaan ”ha-na-ca-ra-ka.” Jika misalnya orang Surabaya mau bersikukuh menuliskan ’piro’ (berapa) tidak mau menuliskannya dengan ejaan yang benar: ’pira’, sebaiknya memroklamasikan saja bahasa Jawa dialek (atau malahan subdialek) Surabaya sebagai bahasa tersendiri –seperti yang beberapawaktu lalu menghangat di Banyuwangi dengan dialek (subdialek?) Osing. Lalu, mengganti nomenklatur Surabaya menjadi Suroboyo. Tak usah dipikir berapa duit diperlukan untuk urusan administrasi berikut thethek-bengek-nya. [*]

Pernah dimuat Jawa Pos edisi Minggu