Friday 18 October 2013

ULAH MANUSIA!

Dulu waktu masih kanak-kanak, masuklah ke dalam rekaman ingatan ini sekian banyak pernyataan dari sekian banyak orang di desa bahwa burung cendet/pentet sangat pandai meniru suara burung lain, bahkan suara ayam dan kucing. Yang dimaksudkan dalam setiap percakapan itu adalah burung cendet liar, yang secara alamiah (suka) meniru-niru suara-suara …lain itu. Sekarang, di kalangan para penggemar burung dikenal istilah master, memaster, pemasteran, burung master, untuk menyebut hal-hal berkaita dengan upaya memperkaya varian suara burung kesayangan dengan memakai ”jasa” burung lain yang dijadikan sebagai master (untuk ditiru suaranya). Burung prenjak, lovebird, burger, cililin, pelatuk, dan banyak lagi jenis burung yang dapat dijadikan master.

Pertanyaan iseng: kalau kita dapat memelihara seekor burung dengan suara semua burung yang ada di hutan/kebun binatang, buat apa kita punya beberapa ekor burung, kecuali untuk diperdagangkan? Lebih ganjil lagi, para juri lomba burung berkicau menilai keragaman suara seekor burung dan member nilai tinggi pada burung yang dapat menirukan suara burung jenis lain secara (hampir) persis dengan kicau burung aslinya. Pertanyaan iseng: Mengapa juri memberikan nilai lebih untuk peniru/plagiat, dan justru memberikan nilai rendah kepada burung yang (kreatif) mengadaptasi kicauan burung masternya?

Demikianlah, para penyayang binatang, dalam hal ini –yang mengaku sebagai-- penyayang burung, telah membuat banyak burung kehilangan jatidiri mereka, membuat para burung tercerabut dari ”akar kultural”-nya. Dan kita hepi-hepi saja?*