Sunday 31 August 2008

Peluncuran Novel Singkar Isi Pelantikan Pengurus PPSJS

Surabaya - Pelantikan pengurus Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) akan diisi dengan peluncuran ulang novel berjudul "Singkar" karya Siti Aminah dari Yogyakarta.

"Pelantikan pengurus dan peluncuran novel itu akan dilaksanakan setelah lebaran sehingga sekaligus acara halal bihalal," kata Ketua Umum PPSJS, Bonari Nabonenar kepada ANTARA di Surabaya, Sabtu.

Ia mengemukakan, sebetulnya novel dengan seting cerita di kawasan Singkar, Bantul, Yogyakarta itu sudah diluncurkan di kampung Seni Lerep, Semarang, 28 Agustus 2008, namun PPSJS perlu memperkenal karya tersebut untuk masyarakat Jawa Timur.

Menurut dia, novel yang diterbitkan Griya Jawi Unes bekerjasama dengan Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) itu bercerita mengenai masalah politik, pergerakan mahasiswa serta masalah rumah tangga.

"Kami menyambut gembira terbitnya novel itu karena akan menambah buku-buku untuk menumbuhkan minat masyarakat pada karya sastra Bahasa Jawa," kata penulis sejumlah "cerita cekak" atau cerpen itu.

Selain meluncurkan kembali novel tersebut, PPSJS dalam waktu dekat juga akan menerbitkan novel berjudul "Carang-carang Garing" karya Tiwiek SA asal Tulungagung, Jatim hasil kerjasama antara Komunitas Cantrik Tulungagung, PPSJS, Sanggar Triwida dan OPSJ.

"Novel itu pernah dimuat bersambung di majalah Jaya Baya dan pernah disinetronkan di TVRI Surabaya. Novel itu juga bercerita masalah-masalah sosial," kata alumni IKIP Negeri Surabaya yang kini menjadi Unesa itu.

Mengenai program lain, Bonari mengemukakan, pihaknya belum merancang karena masih akan melakukan konsolidasi para pengurus PPSJS periode 2008-2012.

Bonari memimpin PPSJS periode kedua setelah melalui musyawarah anggota akhir Juli 2008. Pengurus lain yang mendampingi adalah, R. Djaka Prakosa (wakil ketua), Mashuri (sekretaris) dan bendahara dipegang oleh Debora Indri Swari. [ANTARA-Jatim/Masuki M Astro, 30 Agustus 2008]

Singkar, Basane Jawa Tenan


Acara kepyakan buku novel basa Jawa anggitane Siti Aminah, Singkar, ing Kampung Seni Lerep, Ungaran, Jawa Tengah (28 Agustus 2008) dadi udan pangalembana. Sing kudanan, sapa maneh yen dudu si pengarange, Siti Aminah. Penyair ’’Sihir Cinta’’ Timur Sinar Suprabana sing kedhapuk medharake ular-ular ngenani Singkar kuwi ngandhakake manawa basa Jawa kang digunakake ing novel kang uga diarani filmis iki dudu basa Jawa kang mung dhapur jarwan saka (pikiran) basa Indonesia, nanging krasa tenan yen mrenthul saka pikiran abasa Jawa. []

Saturday 23 August 2008

Tanggal Cantik, Standar Ganda

Seorang ibu muda, Susanti (25), melahirkan anak pertamanya di RS TNI AU dr Soemitro melalui operasi caesar pada waktu yang disebut banyak orang sebagai tanggal cantik (08-08-08). Seperti diberitakan Jawa Pos (9/8) tanggal cantik itu dipilih agar sang anak beruntung.

Mungkin mitos peruntungan berkaitan dengan bilangan (yang dilambangkan dengan angka) itu diciptakan orang bersamaan dengan ditemukannya sistem penanggalan (kalender) atau bahkan sejak orang mengenal bilangan dan menciptakan angka itu sendiri. Maka, kemudian berkembanglah ’ilmu’ mengenai bilangan, angka, nomor, yang dikenal dengan istilah numerologi.

Maka, seorang teman sedemikian bangganya ketika mendapatkan kartu telepon dengan nomor yang dianggapnya cantik, empat angka paling belakangnya adalah: 5758. Itu disebutnya angka cantik yang akan meningkatkan peruntungannya karena kalau dibaca akronimnya (dalam bahasa Indonesia) jadi: maju (lima tujuh) mapan (lima delapan). Padahal, kalau angka 5758 itu diakronimkan dalam bahasa Jawa akan jadi ’’matu malu’’ (lima pitu lima wolu), yang jika ditulis dengan aksara Jawa nglegena --tanpa sandhangan untuk menentukan (bunyi) vokalnya—jadi: mata mala (mata = mata, mala = penyakit)! Nah, inilah ngelmu gathuk, atau othak-athik-mathuk. Kalau belum mathuk (cocok) ya di-othak (bongkar) lagi!

Salah satu ranting numerologi, barangkali, adalah yang di dalam budaya Jawa disebut sebagai neptu, yakni (nilai/angka) untuk hari, bulan, tahun, dan seterusnya.

Neptu dina (hitungan hari) paling populer di dalam kehidupan orang Jawa untuk urusan perjodohan, walaupun orang Jawa yang masih taat dengan kebiasaan hidup yang diwarisinya secara turun-temurun akan memakai pertimbangan neptu untuk hampir di segala urusan, termasuk membuat atau memindahkan kandang kambing.

Dari urusan neptu dina itu pula terlihat betapa akomodatifnya budaya Jawa menerima pengaruh asing. Orang Jawa memiliki penanggalan dengan 5 hari dalam sepekan (pancawara): Kliwon (8), Legi (5), Pahing (9), Pon (7), Wage (4). Lalu menerima penanggalan/kalender masehi dengan 7 hari dalam sepekan (saptawara): Minggu (5), Senin (4), Selasa (3), Rabu (7), Kamis (8), Jumat (6), Sabtu (9). Maka, untuk orang yang lahir Rabu-Kliwon, neptunya adalah 7 + 8 = 15. Angka 15 itulah yang kemudian digunakan untuk, misalnya, membaca karakter atau menilai apakah ia cocok/berjodoh dengan seseorang.

Seiring dengan menguatnya pengaruh budaya Barat, ketertarikan orang (Jawa) terhadap neptu dina semakin terdesak pula oleh ’perhitungan’ perbintangan (astrologi, bukan astronomi). Malahan budaya Timur (China) yang belakangan makin disukai adalah perhitungan berdasarkan shio. Sejauh ini saya belum menemukan ’kearifan’ orang Jawa menyerap pengaruh China/Barat itu seperti halnya nenek moyang dahulu begitu ’pinternya’ mengawinkan pancawara dengan saptawara, walaupun di dalam praktik ’pernujumannya, orang bisa saja mendasarkan perhitungannya secara ’interdisipliner’.

Kembali ke persoalan menentukan hari kelahiran untuk menepatkannya dengan ’tanggal cantik’ tadi, terlihatlah betapa masyarakat kita yang mengaku semakin modern ini justru semakin kuat meyakini gugon-tuhon alias tahayul –kalau boleh disebut begitu. Orang-orang dahulu mendasarkan perhitungan weton atau kelahiran dan lain-lain itu berdasarkan sistem yang jelas, berdasarkan hubungan timbal-balik antara mikrokosmos dengan makrokosmos, antara manusia dengan alam yang ’harmonis.’ Dengan ’memaksakan’ kelahiran melalui Caesar untuk mendapatkan bilangan hari kelahiran yang ’cantik’ berarti orang telah mengagungkan egoismenya dan seakaligus merusak ’keharmonisan’ hubungan mikrokosmos dengan makrokosmos itu.

Maka, dengan tulisan pendek ini, sebenarnya saya hanya ingin mengatakan bahwa dengan nomor (HP) cantik, tanggal (kelahiran) cantik, dan semacamnya itu kita yang mengaku sebagai masyarakat modern ini ternyata lebih nglenik daripada nenek moyang kita. Lebih dari itu, standar ganda pun diterapkan: mengakui ada kekuatan di luar diri yang menentukan peruntungan/nasib berkaitan dengan tanggal kelahiran, misalnya, tetapi tidak mau memasrahkan kapan anak-anak kita harus lahir kepada kehendak Sang Penentu Nasib itu sendiri. Operasi Caesar sebagai langkah darurat untuk menghindari risiko pada bayi maupun ibu yang melahirkan adalah tindakan yang bagus. Tetapi, kalau dilakukan hanya untuk memilih tangal cantik, menurut saya itu bukan tindakan yang cantik! [BN]

Sunday 17 August 2008

Bonari Nabonenar Kembali Pimpin PPSJS


Surabaya - Bonari Nabonenar kembali memimpin Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) setelah tim formatur memilihnya untuk jabatan periode 2008 - 2012. Lulusan Sastra Indonesia IKIP Negeri Surabaya (Unesa) itu di Surabaya, Sabtu menjelaskan, ia terpilih kembali dalam rapat tim formatur yang berunding selama sekitar tiga pekan sebagai kelanjutan dari musyawarah anggota beberapa waktu lalu.

"Jabatan wakil ketua dipegang oleh R Djaka Prakosa, MSn, sastrawan Jawa yang juga dosen di Sekolah Tinggi Karawitan Wilwatikta Surabaya, Sekretaris dijabat Mashuri dari Balai Bahasa Surabaya serta Bendahara oleh Debora Indri Swari," katanya.

Sebelumnya Bonari pernah mengungkapkan bahwa sebetulnya ia sudah memutuskan untuk tidak lagi mengurus PPSJS karena berbagai kesibukannya. Namun para sesepuh dan anggota pengarang sastra Jawa terus mendesaknya.

Ia mengemukakan, dirinya harus berfikir antara memimpin PPSJS yang mensyaratkan adanya sikap "kompromi" agar bisa bekerjasama dengan berbagai pihak, namun di sisi lain ia ingin tetap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah.

"Di PPSJS saya dan teman-teman pengurus dituntut untuk mampu bekerjasama dengan berbagai pihak. Sementara selama ini saya memang tidak bisa diam jika melihat kebijakan yang tidak mendukung hidupnya seni budaya etnik," kata pria kelahiran Trenggalek, Jatim, tahun 1964 itu, Jumat.

Karenanya, kata penggerak sastra buruh migran di Hongkong itu, kalau dirinya dipaksa agar tidak lagi bersikap kritis, maka ia lebih memilih tidak lagi menjabat ketua PPSJS periode 2008 - 2012.

Dia lebih baik berkiprah di tempat lain jika dituntut harus selalu "manut" pada kehendak pihak lain tersebut.

Alumni SPG di Trenggalek tahun 1982 dan penulis cerita cekak (cerita pendek berbahasa Jawa) itu mengemukakan bahwa kalau boleh memilih, dirinya akan berkonsentrasi pada kegiatan menulis sastra.

"Tapi mau bagaimana lagi, saya harus mengikuti teman-teman untuk menghidupkan sastra Jawa," kata penulis kumpulan cerpen berbahasa Indonesia , Cinta Merah Jambu (2005) dan Semar Super (2006) yang pernah "oposisi" pada Kongres Bahasa Jawa IV tahun 2006 di Semarang dengan menggelar Kongres Sastra Jawa itu.


Masuki M. Astro

Antara [Biro Jatim] 16 Aug 2008 07:48:30

Saturday 16 August 2008

AGUSTUSAN*

Seorang kawan melalui chatt-room, semalam, mengirimkankan naskah semacam memoar pendek mengenai Agustusan. Tulisan itu bagus sekali, segar sekali, seksi banget. Penulisnya mengatakan bahwa itu tulisan mengenai pengalaman masa kecil yang ’memalukan.’

Naskah itu, benar-benar bagus bin segar, dan memiliki kadar ke-nylekit-an yang sebenarnya bisa dipandang sebagai semacam kabar bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, penulisnya bisa menjadi kolumnis yang disegani (bukan dalam pengertian –bahasa Jawa, disuguhi sega, lho ya!).

Ia, Sang Penulis, bertutur tentang masa lalunya berkaitan dengan Agustusan alias Pitulasan, yakni (hiruk-pikuk) sekitar dan pas (tanggal 17 Agustus) Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. ’’Dari tahun ke tahun jalannya peringatan kemerdekaan masihlah sama. Sewaktu saya masih SD dulu, upacara penaikan dan penurunan bendera yang terlalu lama itu selalu membuat saya pingsan di menit terakhirnya. Dan karena mengikuti upacara bendera di tanggal 17 Agustus adalah suatu rutinitas dan keharusan, itu berarti juga rutinitas kesengsaraan saya karena harus mengulang pingsan di setiap tahunnya pada waktu yang sama,’’ demikian tulisnya.

Bicara soal Agustusan, ini mungkin adalah kabar lain. Rukun Tetangga di ligkungan saya, menghabiskan dana satu juta sekian rupiah untuk Peringatan Hari Kemerdekaan, termasuk mengadakan lomba balap karung dan membuat (dengan cat) garis tepi jalan. Kampung saya itu pastilah tidak tergolong kampung yang kaya. Letaknya pun di pinggiran kota. Bayangkanlah sekarang, berapa duit yang dihabiskan untuk kemeriahan Agustusan di kampung-kampung elite, di kota-kota besar. Kadang Panitia Agustusan menarik uang ke warga dengan semacam sindiran (kalau Zaman Orba dulu bisa jadi malah berupa atau akan segera terasa sebagai ancaman) bahwa uang iuran itu terlalu kecil (walau banyak warga merasa keberatan) dibandingkan dengan pengorbanan para pahlawan kemerdekaan.

Maka, kita bisa mengangan-angan, berapa lingkungan RT yang seperti RT saya itu dan yang lebih meriah pesta Agustusannya, di Indonesia Raya, lalu itung berapa juta rupiah yang ternyata hanya terbayar oleh kemeriahan sesaat dan cenderung gagal menanamkan rasa bangga sebagai bagian dari bangsa Indonesia, bahkan hanya semakin membuat kita lupa bahwa kita belum sepenuhnya merdeka. Bahkan baru 50% merdeka –meminjam judul puisi Bung Heri Latief.

Kalau uang Agustusan itu diimpun, dan kemudian digunakan untuk menyemangati orang-orang miskin seperti sebuah program yang pernah ditayangkan JTV, mengentas perempuan tua pengemis menjadi penjual jamu di kawasan Alun-alun Sidoarjo, Jawa Timur, berapa banyak orang bakal terentas, dan ratusan ribu orang akan kita buat terhenyak,menyadari betapa indahnya kesalehan sosial itu.

Tetapi, tampaknya kita masih lebih senang membakar mercon, melepaskan balon, dan menggelar lomba balap karung. ’’Balap karung itu sangat filosofis, lho! Dengan balap karung itu kita bisa mengingat dan merenungkan betapa mahal dan pentingnya sebuah kemerdekaan. Baru kedua kaki saja yang tidak merdeka kita bisa jatuh bangun seperti itu, apalagi kalau segenap jiwa raga kita yang tidak merdeka!’’ seorang Panitia berceramah. Dan segera tampak bahwa ia termasuk golongan orang-orang yang tidak, atau setidaknya: kurang merdeka jiwanya. Kurang merdeka pikirannya, sehingga yang ia elus-elus adalah cara-cara memeriahkan Hari Kemerdekaan dengan balap karung, yang bisa jadi hanya akan menyenangkan bangsa penjajah, dan membuat kita makin minder dan tetap saja bermental inlander (orang jajahan) di era global ini. Lha, memang inlander? Masya-Allah!

*)Ditulis untuk Tabloid Intermezo edisi Agustus 2008

Thursday 14 August 2008

Dilema Bonari Nabonenar di PPSJS

Surabaya - Tokoh pengarang sastra Jawa, Bonari Nabonenar kini menghadapi situasi yang dilematis dalam berususan dengan organisasi yang didirikannya, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS).

Ketua PPSJS periode 2004 - 2008 itu dihadapkan pada pilihan antara meneruskan "jabatan" di organisasi yang tidak banyak diminati orang itu dengan tetap bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah dalam kaitan seni budaya tradisi.

"Di PPSJS itu saya dan teman-teman pengurus dituntut untuk mampu bekerjasama dengan berbagai pihak. Sementara selama ini saya memang tidak bisa diam jika melihat kebijakan yang tidak mendukung hidupnya seni budaya etnik," kata pria kelahiran Trenggalek, Jatim, tahun 1964 itu.

Karenanya, kata penggerak sastra buruh migran di Hongkong itu, kalau dirinya dipaksa agar tidak lagi bersikap kritis, maka ia lebih memilih tidak lagi menjabat ketua PPSJS periode 2008 - 2012. ia lebih baik berkiprah di tempat lain jika dituntut harus selalu "manut" pada kehendak pihak lain tersebut.

Alumni SPG di Trenggalek tahun 1982 dan Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Negeri Surabaya, kini Unesa itu mengemukakan, dalam musyawarah PPSJS beberapa waktu lalu dirinya kembali didaulat untuk memimpin PPSJS.

Penulis cerita cekak (cerita pendek berbahasa Jawa) itu mengemukakan bahwa dirinya sebetulnya sudah menyatakan mundur untuk menjadi pengurus PPSJS, namun para sepuh pengarang sastra Jawa tetap menghendaki dirinya.

"Mau bagaimana lagi, saya harus mengikuti mereka, tapi kalau nantinya dituntut untuk tidak kritis, saya memilih mundur saja," kata penulis kumpulan cerpen berbahasa Indonesia , Cinta Merah Jambu (2005) dan Semar Super (2006) yang pernah menjadi "oposan" pada Kongres Bahasa Jawa IV tahun 2006 di Semarang dengan menggelar Kongres Sastra Jawa itu.

Hingga kini kepengurusan PPSJS belum terbentuk, termasuk siapa ketuanya. Tim formatur yang salah satunya ada Bonari sedang menyusun kepengurusan, termasuk memilih ketua.


Masuki M. Astro

Antara Jatim, 08 Aug 2008 07:26:33

Saturday 9 August 2008

Sastra, Olahraga, dan Penghargaan

Oleh Beni Setia

SEBAGAI orang yang pernah mendapatkan Anugerah Seniman Jawa Timur dan sekaligus bekerja di dua ranah kesusastraan, Indonesia dan (etnik) Sunda, rasanya saya cukup pantas untuk menanggapi tulisan terkarib, Bonari Nabonenar --lihat ''Menyoal Sastra Satu Kamar'' (JP, 27/7/08). Sebuah tulisan yang menandaskan bahwa kesejahteraan para pekerja sastra di ranah (bahasa) Indonesia lebih tinggi dari pekerja sastra di ranah (bahasa) Jawa. Benarkah begitu?


Belum lama ini saya menerima e-mail dari kawan yang kebetulan bekerja sebagai redaktur di sebuah harian di luar Jawa, yang mengatakan korannya menyediakan tiga halaman untuk karya sastra dan seni-budaya, tapi tak seperti koran-koran di Jawa yang menyediakan honor lumayan, korannya cuma mampu menyediakan honor Rp 50.000 untuk puisi, cerpen atau esei dan artikel termuat --meski berkali-kali dia minta agar ada peningkatan honor. Sebuah permintaan maaf agak nJawani.

Tapi, apa kita menulis untuk honor semata? Ada kalanya kita ingin berpendapat dan butuh orang yang mau mendengar pendapat kita, lalu berbagi pendapat dalam diskusi terbuka di media massa atau yang terselubung via e-mail atau HP. Ada hal-hal mendesak yang harus dikatakan dan butuh tempat untuk berkata. Persis seperti petani gunung yang berjalan ke sana-kemari sambil membawa timba dan gentong untuk mencari sumur dan air. Sekaligus kita terkadang menulis karena terlalu banyak membaca --dan bacaan tak pernah ada putusnya di internet-- dan karena itu banyak kawan yang lalu memilih membuat blog pribadi agar senantiasa bisa menampung unek-unek dan ada yang membacanya.

Keterikatan pada budaya dan bahasa daerah yang mendorong seseorang menulis dalam bahasa ibu dengan intensitas yang sama dengan saat menulis dalam bahasa Indonesia --kadang malah lebih tinggi. Hal yang nilainya bukan pada ukuran besar-kecilnya honorarium yang diterima, tapi pada aura kepuasan bat�n mampu dan masih bisa menggunakan bahasa ibu. Persis seperti yang dirasakan ketika saya menulis sekian sajak Sunda, dimuat, dan mendapatkan honor Rp 15.000 --padahal bila saya tulis dalam bahasa Indonesia bisa dihargai 10�-20 kali lipat. Celakanya, sajak yang selesai tertulis dalam bahasa Sunda tak pernah bisa diterjemahkan, tanpa merusak otentisitas, ke bahasa Indonesia --karena itu bermakna menulis sajak baru.

Lantas apa arti sebuah cerpen dibayar Rp 1.000.000 bila itu ternyata hanya karena terbit di koran A di Jawa dan bukan koran B di luar Jawa yang cuma bisa membayar Rp 50.000. Saya pikir besaran honor tak menceritakan apa-apa, hanya menceritakan kalau koran A, Z, atau Q di Jawa itu sudah sangat mapan dan karenanya mau menghargai karya sastra sesuai margin keuntungannya yang tinggi; dan koran B, W, dan E di luar Jawa ingin melakukan hal yang sama tapi mereka tak punya margin laba yang besar.

Besaran honor tidak identik dengan kualitas karya, pengabdian sastrawan di zona kering dan seterusnya, tapi berkaitan langsung dengan kapitalisasi industri pers. Koran yang sukses secara finansial, yang berpangkal pada besaran kue iklan yang didapat, bisa menghargai karya sastra. Apa ini tak berkaitan dengan snobisme konglomerat sukses macam Rockefeller atau Ford?

Karena itu, soal apakah Anugerah Seniman Jawa Timur akan diteruskan atau tidak, sesungguhynya tak berkaitan dengan siapa yang akan menjadi gubernur pengganti Imam Utomo. Tapi, berhubungan dengan birokrasi yang mengatur agar pos anggaran untuk penghargaan seniman itu tetap tersedia di RAPBD Jawa Timur nanti. Hal itu sekaligus menunjukkan bagaimana para wakil rakyat mau memikirkan kesejahteraan seniman Jawa Timur sehingga berani meloloskan pos anggaran itu pada APBD 2009 tanpa dirangsang dengan uang pansus, panmus, atau gratifikasi.

Akan menarik kalau Pemprov Jawa Timur mau menenggok ke Pemprov Jawa Barat yang berani membuat terobosan dengan menyediakan dana miliaran untuk membeli buku-buku sastra berbahasa Indonesia maupun Sunda untuk melengkapi koleksi perpustakaan-perpustaan di Jawa Barat. Motivasi yang bisa mendinamisasi industri buku (sastra) di Jawa Timur.

Meski terlambat --Jawa Barat baru tiga tahun terakhir memberi anugerah seniman model Jawa Timur-- berani melakukan terobosan yang lebih radikal dan dahsyat. Dan, itu terlihat signifikan dalam lonjakan penerbitan buku sastra berbahasa Indonesia dan Sunda pada 2008. Bersediakah para birokrat Jawa Timur membuat anggaran untuk itu? Beranikah para wakil rakyat membuat terobosan yang tidak populer tapi akan besar artinya bagi dunia sastra di Jatim dengan memasukkan anggaran penghargaan kepada para seniman dalam APBD 2009 nanti?

Pada dasarnya Anugerah Seniman Jawa Timur tak menekankan kualitas karya tapi lebih menggarisbawahi pada daya tahan dan kapasitas kesenimanan seseorang. Tak heran kalau seniman yang bergerak dengan semangat idealistik dan di bidang seni minoritas bisa bersanding dengan seniman pop-hiburan yang berkesenian untuk menyenangkan banyak orang. Seniman wayang klitik berbaur dan dianggap setaraf dengan seniman gambus; pematung yang kering berbaur dengan pelukis populer yang selalu sold out pada setiap pamerannya; pekerja teater berdampingan dengan seniman seni pertunjukan yang berbasis ritual macam reog Ponorogo; dan seterusnya. Tak heran bila kesenimanan seseorang terkadang dikaitkan dengan kemauan untuk membangkitan motivasi kreatif kepada para seniman yang sebenarnya. Dahlan Iskan, meski dibiaskan, mendapat penghargaan dalam level seniman, tapi bukan dari kualitas karya dan intensitas saat berkarya yang total, melainkan dari komitmennya dalam menggerakkan tangan-tangan kreatif para seniman daerah ini.

Lucu juga sebenarnya. Tapi lebih lucu lagi saat dibandingkan dengan para atlet yang dihargai Pemprov Jawa Timur bukan berdasarkan keatletannya tapi dari berapa banyak ia mampu merebut medali emas di PON. Seperti pada PON XVII/2008 Kalimantan Timur kemarin. Ada seorang atlet yang mendapatkan bonus lebih dari Rp 600.000.000 (ENAM RATUS JUTA RUPIAH!). Sebuah ''penghargaan'' yang setara dengan 5 tahun Anugerah Seniman Jawa Timur (yang diberikan kepada 10 seniman terpilih).

Lucu ya! Tapi ars longa vita brevis, karena sampai kini orang masih menyenandungkan tembang Tombo Ati dan memainkan lakon pakem atau sempalan pakem epos Mahabarata. Tak seorang pun yang ingat pada prajurit yang berlari ke Roma untuk mengabarkan kemenangan dalam perang. Dan, kita mengingat William Tell bukan karena jago memanah apel di kepala anaknya, sebagai tantangan pada otoritarian penguasa, tapi karena ia berani melawan kesewenangan aristokrasi dari si feodal. Memang![]

Beni Setia, Pengarang bukan sastrawan, tinggal di Caruban

Sumber: Jawa Pos [Minggu, 10 Agustus 2008 ]

Friday 8 August 2008

INUL….GOYANGNYA DI ILMIAHKAN Dr. KEBAMOTO

Inul daya tariknya luar biasa, buktinya para kolumnis media massa tersedot pikiraannya, tidak kurang dari 26 artikel telah dihimpun. Tangan dingin Bonari Nabonenar seorang-orang Alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Surabaya [kini Unesa]. Artikel yang berserakan di media massa, dan bercitarasa “ Inul” dipungut, dan dikemas menjadi buku, dan diberi judul sangat sederhana, “Inul”, sampul depan juga di kesankan sederhana hanya dipajangi gambar “bor” manual. Terserah khalayak baca yang mengartikannya.

Isi buku itu, menggambarkan gonjang-ganjing pikiran setelah melihat goyang ngebor yang fenomental, tentunya daya tarik tetap berkisar pada pro dan kontra.
Kontroversi kehadiran inul Daratista membuktikan adanya keterbelahan masyarakat terhadap sensualitas dan erotisme.

Terkait dengan fenomena Inul, Dhiman Abror, Direktur Eksekutif Jawa Pos Radar Timur, serta merta memberikan penilaian terhadap ketenaran seorang Inul. Mengadopsi uangkapan Andy Warholl, “Fifteen minutes of fame” [lima belas menit kesohoran], ungkapan ini menuai bukti pada Inul Daratista. Dalam tempo semalam, namanya yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal tiba-tiba menjadi sebutan setiap orang. Setiap ahari ia muncul di televisi. Setiap stasiun berebut untuk menampilkan Inul. Inul menjadi fenomena baru dalam musik dangdut. Ia lahir dari bawah. Lalu meroket ke puncak dan merevolusi dunia musik dangdut. Ini pula yang membuat bara gonjang-ganjing.

Detil buku
JUDUL: INUL!
PENULIS: Bonari Nabonenar
PENERBIT: Bentang Budaya. Jl. Pendega marta 167C. Telp/Faks. 0274-544862
Yogyakarta 55284—Indonesia. E-mail: bentangbudaya@hotmail.com
CETAKAN: Pertama Juni 2003
ISBN:979-3062-94-0
HALAMAN: xi-162 halaman

Jumat, 2008 Juli 25

Selengkapnya di sini>

Ada Apa dengan Perempuan (AAdP)?

Puisi Air Mata Inul

Ketika Bintang-bintang jatuh dari langit
Dan manakala orang kecil datang menghampiri
Tak ada yang mengerti bahasa sejati
Kenapa semua mesti terjadi?
Takdir, ya karunia tak pernah hadir dengan sendiri
Seperti jiwa yang tak pernah sadar harus menerima semua
Perjalanan tiada pernah berhenti sampai di sini
Hati terlalui dengan banyak peristiwa
Tiada henti ada dan harapan pepohonan
Agar sosok seorang perempuan kecil tersenyum kembali
Menggapai cita-cita

Inul Daratista
Studio Persari Ciganjur
Selasa malam, 24 April 2003
(KCM, 1 Mei 2003, 9:33 WIB)


Prolog

Puisi yang ditulis Ratu Ngebor Inul Daratista di atas, ditulis disela-sela menunggu pentas program tayangan langsung “Pasar Rakyat 76” yang disiarkan TPI. Inul memang memutuskan untuk sementara waktu tidak tampil di depan kamera TV, setelah ia didera polemik soal goyangannya dengan kubu H. Oma Irama.

Namun berhentinya Inul tak bisa meredakan semangat Inul-mania. Puncak karir Inul Daratista semakin melangit pada pertengahan tahun 2003. Dalam tempo tidak lebih 4 minggu berturut-turut, Inul telah menyabet 3 penghargaan dalam SCTV Award 2003 dan serangkaian penghargaan lain dalam AMI Award 20031. Prestasi yang tidak tertandingi oleh penyanyi mana pun. Apalagi Inul Daratista, si pendatang asal Pasuruan Jatim, baru muncul ke permukaan pada pertengahan tahun 2002 lalu.

Tapi itulah perjalanan hidup, sulit menduga. Bermula dari gadis dusun2 yang tumbuh berkembang dari undangan pentas di kampung-kampung, sampai tiba-tiba melejit dalam percaturan nasional. Bahkan sempat ikut terseret dalam komoditas politik usai penampilan dialog TV-7 (Senin, 10 Februari 2003). Inul yang terangkat dari kelas dangdut kampung, sekejap sudah menjadi milik nasional.3 Penonton dan pemirsa terkesima, tersihir dengan goyangannya. Majalah TIME volume 161 no 11 (Showbiz, 24 March 2003) menulisnya dengan judul “Inul’s Rules”.

Media telah mengangkat Inul dalam pentas dunia4. Bahkan media pulalah yang membiarkannya sendirian di puncak ketenaran. Sementara wabah Inul-mania pun akhirnya mulai terasa jenuh, bersiap menghempaskan Inul kembali ke dunia aslinya. Inul telah jadi objek media. Melambungkannya dalam titian buih dalam gelombang pasang surut tertinggi. Puncak yang dalam sekejap mampu pula menenggelamkannya pada surut terendah.

Suka atau tidak suka, Inul sudah terjebak dalam perangkap patriarki media massa. Inul telah menjadi korban provokasi budaya pop. Peng-absahan media dengan julukan “Si Ratu nge-Bor”, menjadi sebutan yang (sebenarnya) melenakan. Apalagi setelah belasan acara info-tainment di stasiun-stasiun TV swasta menambahinya dengan bumbu dan gosip penyegar.


Tabel 1. Program Infotainment Soal Inul antara 1 Agustus - 31 Desember 2002
NO NAMA PROGRAM CHAN WAKTU TVRI Shr
HARI TANGGAL JAM % %
1 CEK & RICEK RCTI Fri 27/12/2002 15:57-16:31 4.4 33.4
2 OTISTA (OBROLAN ARTIS DALAM BERITA) SCTV Mon 30/12/2002 10:57-11:26 4.1 24.6
3 KABAR KABARI RCTI Mon 30/12/2002 16:00-16:33 4.1 32.2
4 HALO SELEBRITI SCTV Tue 31/12/2002 10:54-11:27 3.9 23.2
5 BULETIN SINETRON RCTI Wed 18/12/2002 15:58-16:27 3.7 30.5
6 CEK & RICEK SABTU RCTI Sat 28/12/2002 16:04-16:35 3.7 30.5
7 BULETIN SINETRON SPECIAL RCTI Wed 25/12/2002 15:59-16:28 3.5 22.8
8 KABAR KABARI SPECIAL RCTI Thu 26/12/2002 16:01-16:32 3.4 25
9 KABAR KABARI MINGGU RCTI Sun 29/12/2002 15:58-16:30 3.2 29
10 HOT SHOT SCTV Sun 29/12/2002 08:59-09:28 3.1 17.8
11 KISS PLUS IVM Sat 28/12/2002 09:30-10:23 3 18.9
12 BIBIR PLUS SCTV Tue 31/12/2002 15:25-15:58 2.6 22.3
13 EKO NGEGOSIP TRANS Sun 29/12/2002 17:29-18:31 2.4 11.7
14 POSTER (POTRET SELEBRITI TERKINI SCTV Mon 30/12/2002 15:29-16:00 2.3 20.9
15 PORTAL (POTRET ORANG TERKENAL) SCTV Sat 28/12/2002 16:50-17:22 1.9 16.5
16 GO SHOW TPI Tue 31/12/2002 14:29-15:00 1.9 11.5
17 TERAJANA TPI Thu 19/12/2002 12:02-12:32 1.8 12.6
18 KISS (KISAH SEPUTAR SELEBRITIS) IVM Mon 30/12/2002 07:28-07:58 1.5 15.4
19 KROSCEK TRANS Tue 31/12/2002 12:29-13:26 1.4 12.7
20 CITRA (CERITA SEHARI ARTIS TERNAMA) TV7 Fri 27/12/2002 15:02-15:32 0.9 5.2
21 KLISE (KABAR LINTAS SELEBRITIS) TV7 Mon 30/12/2002 14:59-15:30 0.8 7.2
22 SELEBRITA TPI Mon 30/12/2002 14:30-15:00 0.7 5.4
23 BETIS (BERITA SELEBRITIS) ANTV Mon 30/12/2002 10:28-10:59 0.6 3.9
Sumber: ACNIelsen Telescope, All People, All Station. 5 CITIES


Dalam jam-jam entertainment (yang sebenarnya berhimpitan dengan jam-jam anak-anak), rating & share tayangan soal Inul menunjukkan angka tinggi. Selain itu, hampir semua staisun TV memasang Inul sebagai headlines untuk tayangan entertainmentnya.

Ketenaran Inul bisa dipakai sebagai barometer, betapa media massa memiliki kekuatan dahsyat untuk mengorbitkan seseorang dalam sekejap.


Perempuan dan Komoditi TV

Fenomena Inul hanyalah salah satu di antara sejuta kiat media untuk berlomba-lomba mendongkrak tiras, iklan, rating dan persentase kepemirsaan/kepembacaan-nya. Inul-mania hanyalah satu di antara fenomena puluhan pemanfaatan perempuan untuk kepentingan komersial.

Kalau kita berpijak pada rating sebagai alat bagi stasiun TV untuk mengeruk uang, maka hampir semua program tayangan TV berbasis Inul telah merangsek naik sejak awal Agustus 2002.

Tabel 2. Program Dialog Soal Inul antara 1 Januari 2003 - 13 September 2003
NO NAMA PROGRAM CHAN WAKTU TVR SHR
HARI TANGGAL JAM % %
1 DEBAT MI:INUL BERGOYANG INUL B SCTV Wed 30/04/2003 24:00-24:25 6.5 47.2
2 DK:HEBOH GOYANG INUL PERTANDA SCTV Wed 07/05/03 24:00-24:13 3.3 29.3
3 INULTAINMENT TPI Fri 12/09/03 21:31-21:59 3.1 9.6
4 JAYA SHOW INUL TVRI1 Mon 31/03/2003 21:29-22:26 2.3 8.8
5 INULTAINMENT (R) TPI Fri 12/09/03 09:01-09:28 1.6 12.7
Sumber: ACNielsen Indonesia Telescope, All people, All station, 5 CITIES

Tabel 3. Program Spesial Soal Inul, antara 1 Januari 2003 - 13 September 2003
NO NAMA PROGRAM CHAN WAKTU TVR SHR
HARI TANGGAL JAM % %
1 PERJALANAN SI RATU NGEBOR SCTV Sat 10/05/03 18:36-19:29 12.3 34.6
2 PERJALANAN INUL DARATISTA TRANS Sat 03/05/03 18:00-19:13 9.9 29.4
3 BINTANG DANGDUT:PELUNCURAN ALBUM TRANS Sat 05/07/03 21:06-22:35 8.2 27.1
4 INUL GOYANG KROSCEK TRANS Sat 26/04/2003 21:55-22:59 5.8 22.3
5 INUL CAMPURSARI TV7 Sat 28/06/2003 21:53-23:23 2.9 9
6 GEMBAR GEMBOR INUL NGEBOR LATV Tue 06/05/03 18:34-19:09 2.7 7.9


Inul memang fenomenal. Dalam sejarah stasiun TV tidak pernah ada seorang bintang/selebritis bisa laku keras di program entertainment, dialog, variety show, serta sinetron sekaligus. Tayangan “Perjalanan Si Ratu Ngebor” di SCTV menduduki rating yang tidak bisa dianggap remeh, yaitu TVR 12,3% dengan TVS 34,6%

Naiknya rating program dengan label Inul telah membuat pengelola TV memetik hasil lebih. Inul pun akhirnya semakin sering di-eksploitasi. Rata-rata, Inul tidak tampil sekali dalam program stasiun penayangnya. Sementara artikel-artikel di media massa selalu diikuti dengan kenaikan tiras dan pemasangan iklan.

Tabel 4. Acara Yang Banyak Ditonton Pemirsa Kuartal II 2003
NO NAMA PROGRAM CHAN TVR
%
1 DUET MAUT: Inul & Vetty Vera (live) SCTV 16,9
2 DUET MAUT: Inul & Tina Toon (Live) SCTV 15,1
3 Bidadari 2 (Avr 13 episode) RCTI 15,0
4 Kecil-kecil Jadi Manten (Avr 13 episode) RCTI 14,7
5 DUET MAUT: Deni Malik & Ulfa SCTV 14,5
6 Rindu Inul (Avr 2 Program) TRANSTV 14,1
7 Kenapa Harus Inul? SCTV 13,9
8 Juleha (Avr 6 episode) IVM 13,0
9 Julia Anak Gedongan (Avr 13 episode) RCTI 12,9
10 Sang Bintang (Avr 4 episode) SCTV 12,5
Sources: Tabloid Marketing, No 19/III/22 Oktober-4 Nopember 2003

Dalam tabel 4 di atas, rating Inul disejajarkan dengan 20 besar program-program andalan masing-masing stasiun TV. Tampak SCTV (sebagai stasiun yang gencar mengorbitkan Inul bersama TRANSTV) memperoleh rating tinggi untuk tayangan Inul untuk 2 program berturut-turut, yaitu “Duet Maut”. Rating yang sulit dijangkau dengan program-program instan dalam tempo cepat.

Fenomena Inul telah memaksa kita untuk menengok kembali wajah budaya kita. Kehadirannya telah memicu diskusi panjang yang melelahkan, diwarnai dengan boikot dan penggalangan kekuatan. Bermacam-macam angle (sudut pandang) membingkai diskusi-diskusi tersebut, mulai dari seni, etika, moral, agama, politik, kebudayaan, bahkan juga tinjauan ngebor dari sudut ilmu fisika. 5

Fenomena Inul hanyalah salah satu contoh bagaimana media memandang objeknya. Tentu saja hal ini berkaitan dengan banyaknya kepentingan yang bertarung dalam sebuah industri media massa. Dalam dekade terakhir ini, media massa cenderung mulai meng-integrasikan jaringan produksi dan distribusi produk-produk budaya dengan selera pasar (market). Keinginan publik (baca: pasar) menjadi barometer untuk meng-kreasikan sebuah produk broadcast. Boleh disebut selain tayangan Inul, masih ada tayangan seperti cerita legenda, cerita misteri, film-film India, serta musik Dang Dut, sebagai program-program yang diluncurkan untuk mengeruk keuntungan. Itulah pasar!, itulah dunia media kita!

Media massa Indonesia telah terikut arus pada peluang komersialisasi secara besar-besaran. Media bahkan telah dengan sengaja (by desain) mengemas Inul (sebagai produk media) untuk tampil seronok mungkin. Bahkan media sekarang ini memiliki kecenderungan menampilkan perempuan untuk komersialisasi dan komoditas pesona seksual.6 Kemasan program-program tayangan Inul terkesan disusun sebagai fantasi pesona seksual. 7

Mengapa harus perempuan sebagai objek media? Tentu bukan sebuah jawaban mudah. Sebagai sebuah industri bisnis, media secara tanpa disadari telah mem-subordinasikan kepentingan publik di bawah kepentingan komersial.8 Dalam kacamata media, perempuan adalah objek utama; makhluk penggoda yang membuat laki-laki memperkosa dan berbuat jahat; menjadi “milik” (kekayaan) laki-laki sehingga harus menurut apa kata laki-laki apa pun hubungan kekerabatannya, tempat laki-laki ber-fantasi. Tubuh perempuan mempunyai jutaan karakter yang bisa dikomoditaskan: kecantikan, kemolekan tubuh, “goyangan panggul”, dan seks. Karakter yang telah diperalat untuk kepentingan komersial.

Sinetron-sinetron Indonesia menjadi cermin bagaimana media massa menguras kesedihan dan keterpurukan perempuan sebagai sebuah komoditi berselera khalayak. Dalam sinteron Indonesia, perempuan di-casting sebagai makhluk lemah, otak dari konspirasi, penyebab menderitanya wanita lain, menjadi setan perempuan, bingung, tak punya kekuatan, obyek ketertindasan laki-laki, cengeng, cerewet, judes, kurang akal, dan suka buka-bukaan.9

Sensualitas, seks, konsumerism, dan pesan-pesan seksual pun telah memadati iklan-iklan media massa, dan menjadi bagian penting dalam sebuah industri media. 10 Produk-produk media (iklan, sinetron, berita) pun diproduksi (sebagai komoditi massal) yang didesain untuk memenuhi kepentingan bisnis. 11 Bahkan cenderung kurang memberikan pemikiran kritis dalam keberpihakan-nya pada perempuan.

Kesan itu semakin diperparah dengan program-program televisi yang ber-label “Perempuan” dan “Wanita” yang lebih suka bicara soal hebohnya perempuan di ranah domestik, daripada mencoba mengangkat permasalahan perempuan dalam ranah publik. Kalau pun mengangkat ke ranah publik, yang muncul justru masalah perempuan sebagai objek pornografi, sensual, dan seksis.

Catat saja, beberapa program TV seperti “Sensasi Neo Hemaviton” (TRANSTV) “Bantal” (RCTI),”Kelambu (RCTI)”, “Desah Malam” (Lativi), “Angin Malam” (RCTI), “Di Balik lensa” (ANTV), “Love & Live) (Metrotv) Tayangan-tayangan yang memanfaatkan waktu slot late night tersebut, sengaja dikemas dengan pesona fantasi seks untuk menaikkan share dan rating.12

Ketika menjadi komoditi berita, perempuan pun terjebak pada jeratan kasus-kasus yang lebih privat seperti perceraian atau pun gosip. Ketika masuk dalam skala publik, kasus yang diangkat pun akhirnya tetap ber-orientasi perempuan sebagai objek dengan tingkat kasus yang berbeda. Bahkan kadangkala tidak cukup dalam skala kasus individu, namun sudah terintegrasi dalam peristiwa sosial politik skala besar, seperti konflik bersenjata atau kerusuhan sosial.

Jarang sekali ditampilkan kekuatan perempuan sebagai dirinya dalam ruang-ruang publik. Keterlibatan perempuan dalam partai politik dan dalam ekonomi berskala nasional dan Internasional pun bisa dihitung dengan jari. Padahal media massa punya andil besar dalam mensosialisasikan hak dan kepentingan perempuan.

Potret perempuan dalam media akhirnya selalu tipikal. Sehari-hari berkutat di wilayah domestik, mengurus rumah, pesolek dan bercitra konsumtif (pembelanja), tidak memiliki kekuatan untuk memutuskan, selalu bergantung pada laki-laki, pasif, objek seks, dan menjadi setan yang ditakuti. Kalau pun muncul keterlibatan perempuan dalam bidang ekonomi, lebih pada kesuksesan bisnis domestik seperti catering, jahit menjahit, dan sebagainya. Dalam bidang politik, lebih pada pemenuhan kuota perempuan saja bukan pada kekuatan dalam memperjuangkan hak-haknya.

Bisa diduga: perempuan pun akhirnya tidak tampil secara layak di kaca televisi. Entah di program hiburan13, berita, film, sinetron dan bahkan iklan-iklan14. Akibatnya yang muncul “tentang perempuan” adalah sebuah stereotipi, sebuah stigma, diskriminasi, dan sebuah sensasionalitas. Dalam arti kata lain, perempuan tetap saja menjadi “komoditas” media massa, yang ukuran keberhasilan diukur dari keuntungan materi, hiburan, kesenangan, serta sensualitas.

Pencitraan di atas menunjukkan betapa kaum perempuan mengalami berbagai ketertindasan secara sistematis yang dilakukan lingkungan sosialnya. Dan media massa merupakan penyumbang besar ketertindasan perempuan. Perempuan teralineasi dari tubuhnya sendiri, dari jati dirinya, dari orang lain, bahkan dari dunianya sendiri.

Epilog

Melawan gelombang pasang kontroversi Inul bukan sekadar melakukan pencekalan dan perang opini media. Inul telah menjadi realitas mediatik, berubah menjadi ikon budaya massa yang memujanya dalam puncak realitas sosial. Fenomena Inul menjadi tidak lagi menikmati otobiografi gadis kecil kampung dalam sinetron “Mengapa Harus Inul?”, namun sudah berubah wajah menjadi kapitalis yang mendikte kita dalam cita-cita, selera, dan bahkan juga kehidupan bermedia.

Akibatnya, di media massa kita tak ada lagi ruang untuk melirik sedikit pun soal hak perempuan. Hanyut terbawa pada eksploitasi fisik pesona tubuh. Masyarakat sering memaksa perempuan berada pada simpangan pilihan yang memabukkan, menjadikan dirinya sebagai ojek erotis, menawarkan diri sebagai mangsa nafsu laki-laki. Bahkan ketika perempuan menerima penerapan dirinya sebagai objek seksual, perempuan senang membuat dirinya senantiasa nampak cantik.15

Selera masyarakat pun akhirnya menjadi bahan pertaruhan. Media massa beralasan mendesain program karena pasar memintanya. Sementara ukuran pasar berada pada selera masyarakat yang banyak bias faktornya. Selera media yang masih tetap bergantung sepenuhnya pada selera publik. Kapitalisme media telah membuat perempuan berada pada posisi takut tercampakkan.

Sebagai budaya instans, posisi perempuan dalam media memang tergantung pada selera dominan yang diciptakan oleh kekuatan modal. Berharap banyak pada pengelola media untuk lebih santun soal penampilan perempuan, juga tidak sepenuhnya berhasil. Masing-masing media massa punya ukuran sendiri dalam menampilkan program-programnya. Apalagi bila takarannya adalah tiras, rating dan share.

Hanya saja ketika media-media kita lebih banyak berwajah laki-laki (patriakal), maka benarlah hipotesa yang menyebut bahwa hak istimewa laki-laki atas perempuan tidak hanya pada urusan rumah tangga saja, namun sudah merasuk sampai ke segala aspek seperti ekonomi, politik, budaya dan lain-lain.16 Budaya patriakal telah masuk dalam niche (relung hidup) masyarakat. Termasuk di dalamnya, masyarakat media massa itu sendiri.

Toh akhirnya, muaranya kembali lagi kepada para pengelola media sendiri. Mulai dari pemilik media, perencana media/program, unit produksi, sampai kepada personal wartawan dan pengelola media: bisakah membuat produk dengan ukuran sahih yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih menguntungkan.
Puisi Inul di tengah keterpurukan adalah jawaban dari kegalauan itu sendiri. Ia tidak meminta belas kasihan media atas peristiwa-peristiwa yang menderanya. Ia hanya minta satu:

Tiada henti ada dan harapan pepohonan,
Agar sosok seorang perempuan kecil tersenyum kembali
Menggapai cita-cita

Sebagai perempuan, ia telah menunjukkan sebuah cita-cita. Mungkin media saja yang keliru dalam menafsirkannya.

Bahan Bacaan:
Adorno, Theodor. 1990. “Culture Industry Reconsidered”, dalam Jeffrey Alexander dan Steven
Seidman (Ed). Culture and Society: Contemporary Debates. Cambridge: Cambridge University Press.
Beauvoir S. 2003. Second Sex: Kehidupan Perempuan. Terjemahan buku The Second Sex (1989). Penerjemah Tony B. Febriantono dkk. Pustaka Promethea. Cetakan Pertama. Jakarta
Benedict, H. 1992. Virgin or Vamp: How The Press Covers Sex Crimes. Oxford.
Brown, Mary Ellen. 1993. Television and Women’s Culture. Sage Publications. London-Newbury
Park-New Delhi.
Dawn H. Currie & Valerie Raoul (eds)., 1992. The Anatomy of Gender: Women’s Struggle for the Body. (Carleton University Press). p-212
Ibrahim dan Suranto. 1998. “Wanita dan Media”. PT Rosda Karya. Bandung.
Poerwandari, E.; Hidayat,R.S., 2000. “Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Sedang Berubah”. 10 Th Program Studi Kajian Wanita. PSKW UI. PPS-UI, Jakarta.
Siregar, A. dkk (ed). 1999. Media dan Gender. Perspektif Gender atas Industri, Suratkabar Indonesia. LP3Y – The Ford Foundation. Yogyakarta.
Soemandoyo, P. 1999. Wacana Gender dan Layar Televisi. LP3Y – The Ford Foundation. Yogyakarta.
Subono, NI. 2000. Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan. Yayasan Jurnal Perempuan – The Asia Foundation. Jakarta.

1 Dalam SCTV Award 2003, Inul Daratista menyabet 2 Award kategori “Penyanyi Dang Dut Terfavorit”, dan “Artis sinetron terbaik”. Debutnya dalam program “Duet Maut SCTV” mendapatkan Award dalam kategori “Program Terbaik”. Sementara dalam AMI Award 2003, Inul mendapatkan Award dalam kategori “Lagu Dang Dut Terbaik”, “Artis Solo Perempuan Dang Dut Terbaik”, dan “Album Dang Dut Terbaik”. Dalam Anugerah Dang Dut TPI 2003, Inul tidak masuk nominasi karena kasetnya baru muncul Mei 2003. Namun dalam Anugerah Dangdut TPI 2003, Inul terpilih sebagai “Penyanyi Rekaman Lagu Dang Dut Wanita Favorit Pilihan Pemirsa” di tengah-tengah boikot tidak tampilnya beberapa pengisi acara utama.

2Istilah ini dipakai Dr. Dewi Motik Pramono, Msi, saat mengundang Inul dan suaminya Adam, dalam program “Rumah Kita”, TVRI Hari Minggu, pukul 10.00 WIB. Inul sendiri dalam puisi dan wawancara-wawancaranya lebih suka menyebut dirinya sebagai “perempuan kecil”.

3 Perjalanan karir Inul Daratista mencuat ketika pentas Inul di upacara perhelatan temanten diperbanyak oleh sebuah PH di Jatim. VCD Goyangan Ngebor (ada yang menyebut goyang molen) itu pun beredar cepat ke seluruh Indonesia. Sampai kemudian hampir seluruh stasiun TV swasta memberi tempat lebar untuknya. Arswendo merangkum kisah hidupnya dalam sinetron “Mengapa Harus Inul” yang tayang di SCTV pertengahan tahun 2003.

4 Inul beberapa kali diundang tampil di Luar Negeri (salah satunya ke Jepang). Ulasan soal Inul bahkan pernah ditulis TIME Asia Magazine (24 Maret 2003) dengan judul kuat: Inul's Rules

5 Sebuah buku bunga rampai tulisan tentang Inul di media massa, dibukukan dalam judul singkat “Inul” (terbit Juni 2003). Menurut Bonari Nabonenar (dalam Sebuah Pengantar Editor), ia ingin menamai bukunya dengan “Inul: Menggoyang Negeri Dangdut”. Namun diakui, judul itu tidak netral, akhirnya ia hanya menuliskan judul singkat saja “Inul”. Bonari menyebut buku ini sebagai rekaman Inulitas dari beragam sikap: sinisme, kemarahan, keseriusan, dan kelakar.

6 Tamrin Tamagola dalam Subono (2000:106); Ana Nadya Abrar (dalam Pantau, 08/Maret-April 2000, p.71-76; Mattelart, et al. 1993:422.

7 Dalam KOMPAS, Minggu, 9 Februari 2003, Inul ikut berpolemik: Saat bergoyang ngebor, kakinya rapat, tidak mengangkang-sesuatu yang dianggapnya jorok. Goyang bor-nya bukan seksual (maksudnya sensual), namun goyang energik dan sportif. Tapi sesudah gempuran hebat, Inul lebih suka diam.

8 Susanto Pudjomartono (dalam KOMPAS, Selasa, 8 Oktober 2002) menyebut jurnalisme sekarang ini di simpang jalan. Hiperkomersialisasi mengalahkan jurnalisme yang hakiki.

9 Debra Yatim, dalam makalah “Perempuan dan Sinetron dalam Perspektif Jender”, 4 Desember 1999; Aripurnami dalam Ibrahim dan Suranto, 1998:287-301; Veven Sp Wardhana dalam Arivia, G, 2003:p75.

10 Soemandoyo, P dalam Poerwandari, E., dkk, 2000:p347-376

11 McDonald, 1994:30

12 Diambil dari Data Rating & Sharing, AC Nielsen, minggu kedua Oktober 2003 pada saat buku ini ditulis. “Sensasi Neo Hemaviton” rating 1,8%; “Kelambu” (RCTI) 1,6%; “Angin Malam” (RCTI) 1,6%; “Bantal” (RCTI) 0,8%, “Desah malam” (Lativi) 0,8%; dan “Love & Live (MetroTV) 0,3%. RCTI mendominasi tayangan-tayangan pesona seks.

13 Lihat Ibrahim dan Suranto, 1998:107 dan 325; Gupta dan Jain dalam Media Asia, 1998:34; serta Siew dan Kim dalam Media Asia, 1996:75.

14 Debra Yatim, dalam makalahnya pada diskusi “Perempuan dan Sinetron dalam Perspektif Jender”, 4 Desember 1999. Sita Aripurnami (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998: 287-301).

15 Beauvoir S. 2003. Second Sex: Kehidupan Perempuan. Terjemahan buku The Second Sex (1989). Penerjemah Tony B. Febriantono dkk. Pustaka Promethea. Cetakan Pertama. Jakarta

16 Dawn H. Currie & Valerie Raoul (eds)., 1992. The Anatomy of Gender: Women’s Struggle for the Body. (Carleton University Press). p-212

sumber

Nggolek Dhuwit, Ora Nggolek Masalah!

Oleh: Nde Moon


Apa jawaban Anda jika tiba-tiba seseorang menyodorkan pertanyaan yang harus terjawab dalam dua detik pertama ini, ’’Benarkah uang suka menimbulkan masalah dan memecahbelah dan memutus tali persaudaraan?’’


Jika Anda orang yang sangat peduli pada kejadian-kejadian faktual yang ada di sekitar Anda, yang secara akmulatif menyita sebagian besar ruang memori Anda, jawaban tercepat yang akan Anda kemukakan adalah, ’’Benar.’’

Betapa banyak orang merasa tidak aman, apalagi nyaman di dalam hidupnya, karena persoalan yang berkutat di seputar uang: anak yang dikejar-kejar pihak sekolah karena telat bayar SPP, waktunya nyicil buku dan baju seragam, listik yang terancam diputus karena telah melewati tengat waktu pembayaran bulanan, teman yang menghlangan jejak padahal belum melunasi utangnya. Di atas sana orang-orang gedhe, orang-orang gedongan –kate orang Jakarte, banyak terseret ke balik jeruji besi, jadi tahanan, hidup di dalam bui, ’’badannya dikurung, makannya nasi jagung,’’ (ah, apa iya?)… karena kasus korupsi, atau memanipulasi harta kekayaan negara. Karena uang juga, ta? Dan masih bisa diperpanjang lagi. Semuanya, musababnya, boleh dibilang adalah: uang. Jadi, benarkah uamg adalah sumber masalah?

Walah! Pertanyaan, ’’Benarkan uang adalah sumber masalah?’’ ternyata justru menimbulkan pertanyaan berikutnya yang cukup mengejutkan. Sudah tahu, pertanyaan yang manakah itu? Ini: ’’Untuk apa orang bersusah payah, banting tulang, siang dibikin malam, malam dibikin siang, dan yang lebih parah lagi, siang malam digabung jadi siang semuanya, untuk memburu uang? Betapa konyolnya kita jika demikian: memburu sumber alias penyebab berbagai biang persoalan?

Maka, sekali lagi, benarkah kita menghabiskan sebagian banyak waktu kita hanya untuk mencari sumber masalah (baca: uang)? Kalau kita diberi kesempatan lebih dari dua detik untuk menjawab pertanyaan seperti dikemukakan di awal tulisan ini, sangat mungkin jawaban kita adalah, ’’Salah.’’ Adalah salah bahwa uang merupakan sumber (banyak) persoalan. Ketika kita melihat sekian orang bersaudara berantem, bahkan sampai ke meja hijau, gara-gara warisan, alias perebutan harta = uang warisan tersebut, bukankah sebenarnya itu hanya tampak sekilas-nya saja?

Kalau kita mau lebih kritis dalam menganalisis, ternyata sumber masalahnya adalah karena para peserta alias mereka yang terlibat dalam pertikaian memerebutkan harta warisan itu adalah orang-orang yang tidak punya atau kekurangan uang. Kalau mereka sudah merasa cukup (punya uang) untuk membuat hidup terasa aman dan nyaman (kalau ngomong soal kurang, kalau belum kehilangan nyawanya, manusia itu cenderung merasa kurang, ta?) maka mereka pasti akan berpikir, ’’Untuk apa mengorbankan tali persaudaraan hanya untuk uang yng bisa kita cari di tempat dan kesempatan lainnya?’’

Lebih gamblangnya beginilah, mari kita simak pertanyaan-pertanyaan ini. Berapakah nilai harta/uang yang diperebutkan sekian, anggap saja 5 orang bersaudara itu? Sebutlah saja, misal: Rp 1 milyar. Jika harus dibagi rata, setelah melalui proses pengadilan perdata yang rumit, masing-masing akan mendapatkan Rp 250 juta, atau malah kurang dari itu, setelah dipotong untuk ongkos mengurus perkara tersebut.

Maka, marilah kita sekarang berandai-andai. Mereka yang terlibat pertikaian memerebutkan harta warisan itu pastilah memiliki banyak kebutuhan mendesak atau keinginan-keinginan/ambisi yang tak bisa dipenuhi dengan penghasilan-penghasilan reguler mereka. Kalau saya adalah salah seorang di antara mereka, dan memiliki nilai kekayaan sepuluh milyar rupiah, misal, pastilah saya tidak mau terseret pertikaian yang potensial memecah-belah serta memutuskan ikatan persaudaraan itu, dan saya malah akan merasa bangga jika bisa mengikhlaskan yang seharusnya menjadi bagian saya kepada saudara yang jauh lebih rendah kekayaannya dibandingkan kekayaan saya. Saudara saya yang lain, yang kekayaannya bahkan lebih dari sepuluh milyar, tntu juga tak akan mau pusing-pusing bertikai untuk mendapatkan hanya dua ratus lima puluh juta rupiah. Bukankah waktu yang akan dihabiskan untuk memenuhi undangan pengadilan (bersidang) bisa digunakan untuk mencari order pekerjaan atau melakukan legiatan bisnis yang bisa jadi nilai keuntungannya lebih tinggi dari sekadar 250 juta rupiah?

Itu hanya sekadar ilustrasi atau gambaran, untuk mengantarkan kita pada simpulan: bukanlah uang yang menjadi masalah, melainkan ketidakhadirannya, alias tidak punya, atau karena kekurangan uang itulah, maka banyak perkara muncul. Maka, marilah kita buat uang masuk dan keluar secara baik di: kita. Berburu uang, atau nggolek dhuwit, oleh karenanya adalah tugas kita, yang bahkan bisa bernilai ibadah, dan bukannya mencari biang sekian banyak persoalan. Jadi, nggolek dhuwit, ora nggolek masalah. Nggoleka dhuwit, aja nggoleki masalah! Bagaimana simpulan Anda? [dari: Peduli edisi Agustus 2008]

Kemerdekaan Itu...

Ketika majalah ini sudah di tangan Anda, mestinya nuansa kemeriahan Peringatan Hari Kemerdekaan RI, di HK, makin terasa. Ada yang makin giat berlatih sebagai anggota pasukan pengibar bendera, berlatih baca puisi, atau menari, untuk tampil di Panggung Peringatan HUT-RI. Bahkan, mesti ada pula yang masih menikmati kebanggaan setelah memenangkan perlombaan.

Lalu, marilah kita ingat, namanya juga ’peringatan’—bahwa berbagai perlombaan, berbagai pementasan, karnaval, dan sebagainya itu hanyalah sarana. Adalah alat untuk mempertegas ingatan kita bahwa kemerdekaan itu sebegitu bernilai, bahkan lebih bernilai daripada hidup itu sendiri.

Tetapi, kemerdekaan itu tampaknya ada meterannya, ada timbangannya, ada ukurannya. Ehm. Belum lama ini penyair Heri Latief meluncurkan buku puisi 50% Merdeka. Nah, lho! Eh, konon ia juga akan datang ke HK juga untuk meluncurkan buku itu. Jadi kapan kita bisa menikmati kemerdekaan yang 100%?

Datanglah ke Jakarta, dan saksikan para pemilik mobil mewah itu masih juga hanya bisa bermimpi menikmati kemerdekaan (dari kemacetan jalan raya Jakarta). Dengarkanlah pula gerutuan orang, yang pada intinya mengabarkan bahwa mereka tidak merdeka untuk menyalakan lampu atau menghidupkan perangkat elektronik gara-gara pemadaman bergilir yang jadwalnya pun kadang diubah secara sepihak oleh pengelola aliran listrik negara. Televisi masih juga mengabarkan orang pingsan terinjak-injak saat ngantri BLT.

Persoalan kemerdekaan (hanya) sekian prosen ternyata bukan hanya monopoli orang kecil. Iya ta? Apalagi secara ekonomi. Kabar mutakhir bahwa WTO (World Trade Organization) gagal mencapai kesepakatan di Jenewa (Swis) karena kebijakan terkait pemasaran produk-produk pertanian yang didesakkan negara-negara kaya ditentang oleh kelompok negara berkembang seperti: India, China, dan Indonesia.

Semoga, terutama di bidang ekonomi, kita masih punya nyali untuk meneriakkan tuntuan kemerdekaan persen demi persen. Untuk itu diperlukan kesadaran bahwa kita sedang mengalami dan/atau dalam ancaman: penjajahan. [BONARI NABONENAR, untuk Peduli edisi Agustus 2008]

Wednesday 6 August 2008

Perdebatan Alot, Gagal Tentukan Ketua PPSJS

Surabaya – Surabaya Post

Pemilihan pengurus Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) di Balai Bahasa Jatim (BBJ), Sabtu (26/7) gagal diputuskan. Dua orang yang dinilai mampu melanjutkan kiprah PPSJS, Bonari Nabonenar dan Sri Sulistyowati (Trinil), sama-sana “ngotot” tidak mau menjabat ketua dengan alasan masing-masing.


Djoko Prakoso, pengajar di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya yang sanggup menjadi ketua, tidak bisa hadir. Begitu juga staf BBS, Debora Indriswari yang digadang bisa melanjutkan perjalanan PPSJS, juga tidak bisa hadir pada acara pemilihan.

Bonari yang menjadi ketua lama, sibuk dengan kiprahnya di sebuah perusahaan surat kabar dan di komunitas lain. Bahkan, selama menjabat ketua, Bonari mengakui belum bisa mengatomi atau membuat “subur” PPJS tapi malah membuat “kerontang”.

Trini, tidak mau menjabat, karena kesibukannya di kampus dan lainnya. Intinya, kedua calon yang hadir, tidak mau menjabat namun masih akan tetap mendukung penuh perjalanan PPSJS.

Bahkan, Trinil sempat melontarkan bahwa Soeharmono Kasiyun untuk menjabat. Karena, kata Trinil, PPSJS memerlukan seorang figur yang bisa merangkul dan mengayomi semuanya. Namun Harmono, begitu dia akrab disapa, menolak tegas.

“Wah, lha kalau saja menjabat lagi, ya kan tidak ada regenerasi. Saya sudah menjabat PPSJS tidah hanya dua periode tapi beberapa periode. Penrah menjabat, kemudian lengser. Lalu diminta menjabat lagi,” kaya Harmono.

Tiga sesepuh PPSJS atau yang menyebut dirinya “dewan suro”, RM Yunani Prawiranegara, Suparto Brata dan Soeharmo Kasiyun, secara rasan-rasan memilih Trinil sebagai ketua.

“Dia mau alasan apa lagi. Dulu tidak mau karena alasan menyelesaikan doktornya di Malang. Sekarang sudah selesai, mau alasan apa lagi,” ujar Romo Yunani, sapaan akrab jurnalis senior ini.

Namun begitu forum dibuka, Suparto Brata tidak menolak kalau Trinil menjadi ketua. Namun dia juga mengharapkan Bonari mau menjabat lagi. “Apalagi, Mas Bonari kan masih menjabat satu periode. Layaknya jabatan itu dua periode,” jelas pengarang novel Kremil ini.

Kemudian diperkuat juga oleh Kepala BBJ, Drs Amir Mahmud M.Pd. Memang, layaknya jabatan itu diemban dua kali. Apalgi Bonari masih menjabat satu kali. Jadi, masih layak untuk menjabat lagi.

“Namun kalau yang menjabat Mbak Trinil, saya juga mendukung. Saya sarujuk (setuju). Keduanya, sepertinya layak untuk memimpin PPSJS,” jelas Amir.

Karena a lot dan tidak ada titik temu, akhirnya diputuskan membentu formatur. Anggotanya sekitar tujuh orang, termasuk para calon yang dipilih sebagia ketua. Diharapkan, satu minggu sudah ada jawaban siapa yang menjadi ketua.

Pelantikan pengurus, usul Harmono, dikaitakan dengan HUT PPSJ yang ke 31. Tepatnya pada 31 Juli. Namun kalau tidak memungkinkan juga bisa dicarikan hari lainnya.

Redaktur Budaya Jawa Pos, Arif Santoso yang hadir para pertemuan itu, mendukung penuh kiprah PPSJS. Komunitas ini dinilia mempunyai ide dan gagasan yang besar, unik dan menarik. Namun tidak tahu mengapa, gagasan tinggal gagasan. Lewat begitu saja dan tidak terlaksana.

“Mudah-mudahan dengan kepemimpinan baru nanti, gagasan yang pernah terlontar, termasuk rencana menggelar sastra etnik, bisa dilaksanakan,” jelas Arif.

Pada pertemuan kemarin, seperti juga pertemuan sebelumnya. Kurang diminati peserta. Acara yang direncanakan pukul 13.00, molor cukup lama karena minimnya peserta. Saat itu hanya ada Suparto Brata, Romo Yunani, Harmono, Bonari, Trinil dan staf BBJ.

Padahal, panitia sudah mempersiapkan konsumsi sebanyak 30 orang. Namun karena sifatnya ini paguyuban, untuk rapat dan lainnya, tidak harus menunggu banyaknya peserta. “Yang kita guyup begitu saja,” jelas Romo Yunani.(gim)

Surabaya Post, Rabu 28 Juli 2008

Friday 1 August 2008

TKW Hong Kong Bantu Korban Banjir di Ngawi dan Ponorogo

oleh : Masuki M. Astro

Ponorogo, 16/1 (ANTARA) - Sejumlah TKW Indonesia yang bekerja di Hongkong dan tergabung dalam "Nongkrong Bareng Fans" (NBF) mengumpulkan dana untuk membantu korban banjir di Kabupaten Ngawi dan Ponorogo, Jatim.


Tania Roos, salah seorang TKW Hongkong yang bertugas mengantar bantuan itu di Ponorogo, Rabu mengemukakan, bantuan pertama akan disalurkan ke korban banjir di Ponorogo. Pihaknya kini berkoordinasi dengan Satlak PB setempat.

"Jumlahnya memang tidak terlalu banyak, tapi ini merupakan bentuk kepedulian teman-teman TKW di Hongkong untuk meringankan beban saudara-saudara kita. Masing-masing untuk Ponorogo dan Ngawi ada uang Rp2 juta," katanya.

TKW asal Malang Selatan itu mengemukakan bahwa aktivis NBF yang berjumlah sekitar 70 orang "bergerilya" mengumpulkan dana ketika mendengar kabar adanya banjir di sejumlah daerah di Indonesia.

"Ketua NBF, Esti Rahayu meminta saya mengantarkan bantuan ini. Untuk di Ponorogo ini Satlak PB meminta uang tersebut dibelanjakan dalam bentuk kebutuhan pokok saja sebelum disalurkan ke warga yang membutuhkan," katanya.

Sementara untuk mengantar bantuan ke Ngawi pihaknya masih kesulitan karena masih menunggu keluarga TKW yang bisa dimintai bantuan untuk menyalurkan dana tersebut.

TKW yang juga penulis cerpen itu mengemukakan bahwa pengumpulan dana untuk korban bencana merupakan program rutin setiap tahun. Bantuan yang telah disalurkan NBF yang berdiri tahun 2005 itu antara lain ke korban Lapindo, gempa Yogyakarta, penyakit aneh di Magelang dan masyarakat miskin di Ponorogo tahun 2006.

"Selain aksi sosial, NBF juga ikut peduli pada pelestarian budaya atau tradisi yang dimiliki bangsa ini serta juga mengikuti perkembangan seni modern. Kami juga menggelar secara rutin kegiatan rohani, seperti pengajian bersama," katanya.

Sementara Bonari Nabonenar, penggerak sastra buruh migran yang ikut mendampingi Tania mengemukakan, bentuk kepedulian para TKW itu hendaknya menjadi teladan bagi elemen masyarakat lainnya untuk ikut peduli.

"Ini merupakan contoh, bagaimana para pekerja yang jauh dari sanak keluarganya masih bisa dan mau memikirkan penderitaan orang lain. Ini teladan yang sangat baik buat kita semua," katanya. [ANTARA-16 Jan 2008 09:03:49]

Bonari: PPSJS harus Kritis kepada Pemerintah

Surabaya, 1/8 (ANTARA) - Mantan Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Bonari Nabonenar berharap organisasi tersebut tetap kritis terhadap pemerintah yang tidak sepenuhnya mendukung hidup dan berkembangnya sastra Jawa.

"PPSJS ini harus menjadi alat bagi teman-teman untuk mendorong pemerintah agar peduli pada sastra etnis, khususnya Jawa. Lewat organisasi ini kita harus memperkuat posisi tawar," katanya kepada ANTARA di Surabaya, Jumat.

Menurut dia, kalau tidak bersikap kritis, maka hal itu tidak menguntungkan bagi perkembangan sastra yang mulai ditinggalkan anak-anak muda itu. Meskipun demikian, sebetulnya ia enggan "berkonflik" dengan instansi tertentu.

"Tapi kan tidak mungkin kita diam. Paling keras, sikap kritis itu saya wujudkan dengan menulis di media. Seperti itu saja sudah dianggap keras, padahal teman-teman belum pernah melakukan aksi demonstrasi dan semacamnya," katanya.

Ia mengemukakan, ada instansi yang memiliki kepedulian sepenuh hati terhadap perkembangan sastra etnis, yakni Balai Bahasa Jawa Timur yang telah menyediakan fasilitas, seperti tempat untuk pertemuan para pengarang sastra Jawa.

Menurut dia, banyak hal yang harus dikritisi dari kebijakan pemerintah berkenaan dengan perkembangan sastra Jawa itu. Salah satu contohnya pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa yang menelan biaya besar, namun tidak sesuai dengan yang dihasilkan.

"Masak seperti itu kita diamkan. Tidak bisa. Makanya kemudian saya bersama teman-teman di Jawa Tengah pernah menggelar Kongres Sastra Jawa," kata lulusan Sastra Indonesia IKIP Negeri Surabaya yang sekarang menjadi Unesa itu.

Sebelumnya, sesepuh sastra Jawa, Suparto Brata mengemukakan bahwa garapabn PPSJS ke depan adalah bagaimana generasi muda menjadi senang untuk membaca buku-buku sastra Jawa.

"Sekarang sudah banyak karya sastra berbahasa Jawa, tapi pembacanya tetap tidak ada. Kalau ini dibiarkan kan percuma", katanya.

Ia mengemukakan, meskipun tanpa PPSJS, dirinya terus berjuang untuk mengembangkan dan melestarikan bahasa Jawa lewat sastra. Pengembangan bahasa Jawa itu ia lakukan lewat penerbitan buku, tapi persoalannya tidak ada pembacanya.

Menurut dia, dirinya, termasuk PPSJS harus berjuang agar sastra Jawa masuk dalam kurikulum dan siswa diwajibkan membaca karya sastra.[]

oleh : Masuki M. Astro
ANTARA-Jatim, 01 Aug 2008 07:06:20

Sarasehan dan Pemilihan Pengurus Baru PPSJS

Kamis 26/07/2008
Surabaya – Surabaya Post

Masa kepengurusan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) berakhir. Pemilihan kepengurusan baru PPSJS mendatang dilakukan di Balai Bahasa Surabaya (BBS) Jl Siwalan Panji, Buduran, Sidoarjo, Sabtu (26/7) sore ini.


Masa kepengurusan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) berakhir. Pemilihan kepengurusan baru PPSJS mendatang dilakukan di Balai Bahasa Surabaya (BBS) Jl Siwalan Panji, Buduran, Sidoarjo, Sabtu (26/7) sore ini.

Sebelum acara pemilihan, kata Ketua PPSJS, Bonari Nabonenar dalam rilisnya, didahului dengan sarasehan. Sebagai narasumber budayawan yang penulis novel dan cerpen produktif, Suparto Brata dan Bonari Nabonenar sendiri. Pelaksanaannya sekitar pukul 13.30 hingga sekitar pukul 17.00.

Siapa yang bakal menggantikan Bonari? Seorang sumber menyebutkan, nama yang paling kuat adalah dua orang. Satu dari orang BBS dan satu lagi adalah Djoko Prakoso, seorang penata tari yang juga panari serta dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya.

Dua orang ini, kata sumber yang seorang pengurus PPSJS, satu orang yang BBS, waktunya cukup luang. Sementara Djoko Prakoso, pria yang berasal dari Jawa Tengah, dinilai mampu dan kelihatannya masih ada peluang untuk mengurus PPSJS.

Djoko sendiri, kata sumber tadi, ketika ditawari memang tidak menolak dan mengiyakan. Bahkan, dia meminta untuk jebatan lain saja, jangan ketua umum. “Sepertinya, pilihan akhir adalah Djoko Prakoso,” kata sumber tadi.
Djoko ini, jelas sumber tadi, selama kepengurusan yang lalu, juga terlibat cukup aktif. Hampir setiap acara yang digelar PPSJS, dia hampir selalu hadir. Selain dia, Suparto Brata, Trinil, dan beberapa yang lainnya.

Kalau Trinil? Wanita yang juga aktif menulis dan aktif di organesasi ini, sebetulnya juga mampu. Dia bisa ngemong, siapapun baik pengurus yang muda maupun yang sepuh. “Hampir setiap kegiatan, dia banyak terlibat. Namun dia menolak karena kesibukan di kampusnya,” jelas seorang sumber.

Sementara Bonari sendiri, orangnya dinilai terlalu “liar”. Dia, dengan kegiatannya, terkesan sulit dikendalikan. Mobilitasnya tinggi. Kalau ada kegiatan, sering mbleset dari waktu yang ditentukan. Bahkan sering absen. Namun pemikirannya cemerlang dan idenya berhamburan.(gim)

Surabaya Post

PPSJS harus Garap Pembaca Sastra Jawa

Surabaya – Surabaya Post

Sesepuh pengarang sastra Jawa, Suparto Brata menyarankan, pengurus Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) ke depan harus menggarap pembaca. Sementara pengurus, kini sedang menggodok sosok yang bakal cocok menduduki posisi ketua.


"Sekarang sudah banyak karya sastra berbahasa Jawa tapi pembacanya tetap tidak ada. Kalau ini dibiarkan kan percuma", kata Suparto menanggapi calon pembentukan pengurus baru PPSJS di Surabaya, Rabu (30/7).

Beberapa waktu lalu, aktivis sastra Jawa mengadakan musyawarah untuk memilih pengurus baru periode 2008-2012. Pada musyawarah itu, peserta kembali meminta Bonari Nabonenar agar tetap menjadi ketua untuk periode kedua kalinya.

"Sebetulnya tanpa PPSJS saya terus berjuang untuk mengembangkan dan melestarikan bahasa Jawa lewat sastra. Pengembangan bahasa Jawa itu saya lakukan lewat penerbitan buku, tapi persoalannya tidak ada pembacanya", katanyanya mengungkapkan.

Sementara itu Suoarto Brata bilang bahwa PPSJS harus berjuang agar sastra Jawa masuk dalam kurikulum dan siswa diwajibkan membaca karya sastra. Pria kelahiran Surabaya 1932 itu mengemukakan, sebetulnya kepemimpinan Bonari, PPSJS sudah banyak mencanangkan program untuk pengembangan dan pelestarian bahasa dan satra Jawa, namun seringkali terbentur pada masalah dana.

"Sekarang ada pemikiran, agar kepengurusan PPSJS di masa mendatang tidak hanya orang yang aktif menulis sastra Jawa, tapi juga yang berbahasa Indonesia. Hal ini untuk memperluas masukan yang bisa dikerjakan oleh PPSJS", katanya.

"Kalau hanya mengandalkan teman yang menulis sastra Jawa, kan hanya 17 orang dan kalau rapat paling banyak hanya 10 orang. Karena itu teman-teman, termasuk RM Yunani Prawirangera mengusulkan, agar pengarang yang bukan sastra Jawa juga dimasukkan jadi pengurus", katanya menegaskan.

Menurut dia, pada kepengurusan periode mendatang, Bonari masih dikehendaki oleh para aktivis pengarang sastra Jawa, karena dinilai memiliki banyak waktu dan lobi ke berbagai pihak untuk menghidupkan sastra Jawa.(Ntr,gim)

sumber: Surabaya Post