Oleh: Nde Moon
Apa jawaban Anda jika tiba-tiba seseorang menyodorkan pertanyaan yang harus terjawab dalam dua detik pertama ini, ’’Benarkah uang suka menimbulkan masalah dan memecahbelah dan memutus tali persaudaraan?’’
Jika Anda orang yang sangat peduli pada kejadian-kejadian faktual yang ada di sekitar Anda, yang secara akmulatif menyita sebagian besar ruang memori Anda, jawaban tercepat yang akan Anda kemukakan adalah, ’’Benar.’’
Betapa banyak orang merasa tidak aman, apalagi nyaman di dalam hidupnya, karena persoalan yang berkutat di seputar uang: anak yang dikejar-kejar pihak sekolah karena telat bayar SPP, waktunya nyicil buku dan baju seragam, listik yang terancam diputus karena telah melewati tengat waktu pembayaran bulanan, teman yang menghlangan jejak padahal belum melunasi utangnya. Di atas sana orang-orang gedhe, orang-orang gedongan –kate orang Jakarte, banyak terseret ke balik jeruji besi, jadi tahanan, hidup di dalam bui, ’’badannya dikurung, makannya nasi jagung,’’ (ah, apa iya?)… karena kasus korupsi, atau memanipulasi harta kekayaan negara. Karena uang juga, ta? Dan masih bisa diperpanjang lagi. Semuanya, musababnya, boleh dibilang adalah: uang. Jadi, benarkah uamg adalah sumber masalah?
Walah! Pertanyaan, ’’Benarkan uang adalah sumber masalah?’’ ternyata justru menimbulkan pertanyaan berikutnya yang cukup mengejutkan. Sudah tahu, pertanyaan yang manakah itu? Ini: ’’Untuk apa orang bersusah payah, banting tulang, siang dibikin malam, malam dibikin siang, dan yang lebih parah lagi, siang malam digabung jadi siang semuanya, untuk memburu uang? Betapa konyolnya kita jika demikian: memburu sumber alias penyebab berbagai biang persoalan?
Maka, sekali lagi, benarkah kita menghabiskan sebagian banyak waktu kita hanya untuk mencari sumber masalah (baca: uang)? Kalau kita diberi kesempatan lebih dari dua detik untuk menjawab pertanyaan seperti dikemukakan di awal tulisan ini, sangat mungkin jawaban kita adalah, ’’Salah.’’ Adalah salah bahwa uang merupakan sumber (banyak) persoalan. Ketika kita melihat sekian orang bersaudara berantem, bahkan sampai ke meja hijau, gara-gara warisan, alias perebutan harta = uang warisan tersebut, bukankah sebenarnya itu hanya tampak sekilas-nya saja?
Kalau kita mau lebih kritis dalam menganalisis, ternyata sumber masalahnya adalah karena para peserta alias mereka yang terlibat dalam pertikaian memerebutkan harta warisan itu adalah orang-orang yang tidak punya atau kekurangan uang. Kalau mereka sudah merasa cukup (punya uang) untuk membuat hidup terasa aman dan nyaman (kalau ngomong soal kurang, kalau belum kehilangan nyawanya, manusia itu cenderung merasa kurang, ta?) maka mereka pasti akan berpikir, ’’Untuk apa mengorbankan tali persaudaraan hanya untuk uang yng bisa kita cari di tempat dan kesempatan lainnya?’’
Lebih gamblangnya beginilah, mari kita simak pertanyaan-pertanyaan ini. Berapakah nilai harta/uang yang diperebutkan sekian, anggap saja 5 orang bersaudara itu? Sebutlah saja, misal: Rp 1 milyar. Jika harus dibagi rata, setelah melalui proses pengadilan perdata yang rumit, masing-masing akan mendapatkan Rp 250 juta, atau malah kurang dari itu, setelah dipotong untuk ongkos mengurus perkara tersebut.
Maka, marilah kita sekarang berandai-andai. Mereka yang terlibat pertikaian memerebutkan harta warisan itu pastilah memiliki banyak kebutuhan mendesak atau keinginan-keinginan/ambisi yang tak bisa dipenuhi dengan penghasilan-penghasilan reguler mereka. Kalau saya adalah salah seorang di antara mereka, dan memiliki nilai kekayaan sepuluh milyar rupiah, misal, pastilah saya tidak mau terseret pertikaian yang potensial memecah-belah serta memutuskan ikatan persaudaraan itu, dan saya malah akan merasa bangga jika bisa mengikhlaskan yang seharusnya menjadi bagian saya kepada saudara yang jauh lebih rendah kekayaannya dibandingkan kekayaan saya. Saudara saya yang lain, yang kekayaannya bahkan lebih dari sepuluh milyar, tntu juga tak akan mau pusing-pusing bertikai untuk mendapatkan hanya dua ratus lima puluh juta rupiah. Bukankah waktu yang akan dihabiskan untuk memenuhi undangan pengadilan (bersidang) bisa digunakan untuk mencari order pekerjaan atau melakukan legiatan bisnis yang bisa jadi nilai keuntungannya lebih tinggi dari sekadar 250 juta rupiah?
Itu hanya sekadar ilustrasi atau gambaran, untuk mengantarkan kita pada simpulan: bukanlah uang yang menjadi masalah, melainkan ketidakhadirannya, alias tidak punya, atau karena kekurangan uang itulah, maka banyak perkara muncul. Maka, marilah kita buat uang masuk dan keluar secara baik di: kita. Berburu uang, atau nggolek dhuwit, oleh karenanya adalah tugas kita, yang bahkan bisa bernilai ibadah, dan bukannya mencari biang sekian banyak persoalan. Jadi, nggolek dhuwit, ora nggolek masalah. Nggoleka dhuwit, aja nggoleki masalah! Bagaimana simpulan Anda? [dari: Peduli edisi Agustus 2008]
0 urun rembug:
Post a Comment