Friday 8 August 2008

Ada Apa dengan Perempuan (AAdP)?

Puisi Air Mata Inul

Ketika Bintang-bintang jatuh dari langit
Dan manakala orang kecil datang menghampiri
Tak ada yang mengerti bahasa sejati
Kenapa semua mesti terjadi?
Takdir, ya karunia tak pernah hadir dengan sendiri
Seperti jiwa yang tak pernah sadar harus menerima semua
Perjalanan tiada pernah berhenti sampai di sini
Hati terlalui dengan banyak peristiwa
Tiada henti ada dan harapan pepohonan
Agar sosok seorang perempuan kecil tersenyum kembali
Menggapai cita-cita

Inul Daratista
Studio Persari Ciganjur
Selasa malam, 24 April 2003
(KCM, 1 Mei 2003, 9:33 WIB)


Prolog

Puisi yang ditulis Ratu Ngebor Inul Daratista di atas, ditulis disela-sela menunggu pentas program tayangan langsung “Pasar Rakyat 76” yang disiarkan TPI. Inul memang memutuskan untuk sementara waktu tidak tampil di depan kamera TV, setelah ia didera polemik soal goyangannya dengan kubu H. Oma Irama.

Namun berhentinya Inul tak bisa meredakan semangat Inul-mania. Puncak karir Inul Daratista semakin melangit pada pertengahan tahun 2003. Dalam tempo tidak lebih 4 minggu berturut-turut, Inul telah menyabet 3 penghargaan dalam SCTV Award 2003 dan serangkaian penghargaan lain dalam AMI Award 20031. Prestasi yang tidak tertandingi oleh penyanyi mana pun. Apalagi Inul Daratista, si pendatang asal Pasuruan Jatim, baru muncul ke permukaan pada pertengahan tahun 2002 lalu.

Tapi itulah perjalanan hidup, sulit menduga. Bermula dari gadis dusun2 yang tumbuh berkembang dari undangan pentas di kampung-kampung, sampai tiba-tiba melejit dalam percaturan nasional. Bahkan sempat ikut terseret dalam komoditas politik usai penampilan dialog TV-7 (Senin, 10 Februari 2003). Inul yang terangkat dari kelas dangdut kampung, sekejap sudah menjadi milik nasional.3 Penonton dan pemirsa terkesima, tersihir dengan goyangannya. Majalah TIME volume 161 no 11 (Showbiz, 24 March 2003) menulisnya dengan judul “Inul’s Rules”.

Media telah mengangkat Inul dalam pentas dunia4. Bahkan media pulalah yang membiarkannya sendirian di puncak ketenaran. Sementara wabah Inul-mania pun akhirnya mulai terasa jenuh, bersiap menghempaskan Inul kembali ke dunia aslinya. Inul telah jadi objek media. Melambungkannya dalam titian buih dalam gelombang pasang surut tertinggi. Puncak yang dalam sekejap mampu pula menenggelamkannya pada surut terendah.

Suka atau tidak suka, Inul sudah terjebak dalam perangkap patriarki media massa. Inul telah menjadi korban provokasi budaya pop. Peng-absahan media dengan julukan “Si Ratu nge-Bor”, menjadi sebutan yang (sebenarnya) melenakan. Apalagi setelah belasan acara info-tainment di stasiun-stasiun TV swasta menambahinya dengan bumbu dan gosip penyegar.


Tabel 1. Program Infotainment Soal Inul antara 1 Agustus - 31 Desember 2002
NO NAMA PROGRAM CHAN WAKTU TVRI Shr
HARI TANGGAL JAM % %
1 CEK & RICEK RCTI Fri 27/12/2002 15:57-16:31 4.4 33.4
2 OTISTA (OBROLAN ARTIS DALAM BERITA) SCTV Mon 30/12/2002 10:57-11:26 4.1 24.6
3 KABAR KABARI RCTI Mon 30/12/2002 16:00-16:33 4.1 32.2
4 HALO SELEBRITI SCTV Tue 31/12/2002 10:54-11:27 3.9 23.2
5 BULETIN SINETRON RCTI Wed 18/12/2002 15:58-16:27 3.7 30.5
6 CEK & RICEK SABTU RCTI Sat 28/12/2002 16:04-16:35 3.7 30.5
7 BULETIN SINETRON SPECIAL RCTI Wed 25/12/2002 15:59-16:28 3.5 22.8
8 KABAR KABARI SPECIAL RCTI Thu 26/12/2002 16:01-16:32 3.4 25
9 KABAR KABARI MINGGU RCTI Sun 29/12/2002 15:58-16:30 3.2 29
10 HOT SHOT SCTV Sun 29/12/2002 08:59-09:28 3.1 17.8
11 KISS PLUS IVM Sat 28/12/2002 09:30-10:23 3 18.9
12 BIBIR PLUS SCTV Tue 31/12/2002 15:25-15:58 2.6 22.3
13 EKO NGEGOSIP TRANS Sun 29/12/2002 17:29-18:31 2.4 11.7
14 POSTER (POTRET SELEBRITI TERKINI SCTV Mon 30/12/2002 15:29-16:00 2.3 20.9
15 PORTAL (POTRET ORANG TERKENAL) SCTV Sat 28/12/2002 16:50-17:22 1.9 16.5
16 GO SHOW TPI Tue 31/12/2002 14:29-15:00 1.9 11.5
17 TERAJANA TPI Thu 19/12/2002 12:02-12:32 1.8 12.6
18 KISS (KISAH SEPUTAR SELEBRITIS) IVM Mon 30/12/2002 07:28-07:58 1.5 15.4
19 KROSCEK TRANS Tue 31/12/2002 12:29-13:26 1.4 12.7
20 CITRA (CERITA SEHARI ARTIS TERNAMA) TV7 Fri 27/12/2002 15:02-15:32 0.9 5.2
21 KLISE (KABAR LINTAS SELEBRITIS) TV7 Mon 30/12/2002 14:59-15:30 0.8 7.2
22 SELEBRITA TPI Mon 30/12/2002 14:30-15:00 0.7 5.4
23 BETIS (BERITA SELEBRITIS) ANTV Mon 30/12/2002 10:28-10:59 0.6 3.9
Sumber: ACNIelsen Telescope, All People, All Station. 5 CITIES


Dalam jam-jam entertainment (yang sebenarnya berhimpitan dengan jam-jam anak-anak), rating & share tayangan soal Inul menunjukkan angka tinggi. Selain itu, hampir semua staisun TV memasang Inul sebagai headlines untuk tayangan entertainmentnya.

Ketenaran Inul bisa dipakai sebagai barometer, betapa media massa memiliki kekuatan dahsyat untuk mengorbitkan seseorang dalam sekejap.


Perempuan dan Komoditi TV

Fenomena Inul hanyalah salah satu di antara sejuta kiat media untuk berlomba-lomba mendongkrak tiras, iklan, rating dan persentase kepemirsaan/kepembacaan-nya. Inul-mania hanyalah satu di antara fenomena puluhan pemanfaatan perempuan untuk kepentingan komersial.

Kalau kita berpijak pada rating sebagai alat bagi stasiun TV untuk mengeruk uang, maka hampir semua program tayangan TV berbasis Inul telah merangsek naik sejak awal Agustus 2002.

Tabel 2. Program Dialog Soal Inul antara 1 Januari 2003 - 13 September 2003
NO NAMA PROGRAM CHAN WAKTU TVR SHR
HARI TANGGAL JAM % %
1 DEBAT MI:INUL BERGOYANG INUL B SCTV Wed 30/04/2003 24:00-24:25 6.5 47.2
2 DK:HEBOH GOYANG INUL PERTANDA SCTV Wed 07/05/03 24:00-24:13 3.3 29.3
3 INULTAINMENT TPI Fri 12/09/03 21:31-21:59 3.1 9.6
4 JAYA SHOW INUL TVRI1 Mon 31/03/2003 21:29-22:26 2.3 8.8
5 INULTAINMENT (R) TPI Fri 12/09/03 09:01-09:28 1.6 12.7
Sumber: ACNielsen Indonesia Telescope, All people, All station, 5 CITIES

Tabel 3. Program Spesial Soal Inul, antara 1 Januari 2003 - 13 September 2003
NO NAMA PROGRAM CHAN WAKTU TVR SHR
HARI TANGGAL JAM % %
1 PERJALANAN SI RATU NGEBOR SCTV Sat 10/05/03 18:36-19:29 12.3 34.6
2 PERJALANAN INUL DARATISTA TRANS Sat 03/05/03 18:00-19:13 9.9 29.4
3 BINTANG DANGDUT:PELUNCURAN ALBUM TRANS Sat 05/07/03 21:06-22:35 8.2 27.1
4 INUL GOYANG KROSCEK TRANS Sat 26/04/2003 21:55-22:59 5.8 22.3
5 INUL CAMPURSARI TV7 Sat 28/06/2003 21:53-23:23 2.9 9
6 GEMBAR GEMBOR INUL NGEBOR LATV Tue 06/05/03 18:34-19:09 2.7 7.9


Inul memang fenomenal. Dalam sejarah stasiun TV tidak pernah ada seorang bintang/selebritis bisa laku keras di program entertainment, dialog, variety show, serta sinetron sekaligus. Tayangan “Perjalanan Si Ratu Ngebor” di SCTV menduduki rating yang tidak bisa dianggap remeh, yaitu TVR 12,3% dengan TVS 34,6%

Naiknya rating program dengan label Inul telah membuat pengelola TV memetik hasil lebih. Inul pun akhirnya semakin sering di-eksploitasi. Rata-rata, Inul tidak tampil sekali dalam program stasiun penayangnya. Sementara artikel-artikel di media massa selalu diikuti dengan kenaikan tiras dan pemasangan iklan.

Tabel 4. Acara Yang Banyak Ditonton Pemirsa Kuartal II 2003
NO NAMA PROGRAM CHAN TVR
%
1 DUET MAUT: Inul & Vetty Vera (live) SCTV 16,9
2 DUET MAUT: Inul & Tina Toon (Live) SCTV 15,1
3 Bidadari 2 (Avr 13 episode) RCTI 15,0
4 Kecil-kecil Jadi Manten (Avr 13 episode) RCTI 14,7
5 DUET MAUT: Deni Malik & Ulfa SCTV 14,5
6 Rindu Inul (Avr 2 Program) TRANSTV 14,1
7 Kenapa Harus Inul? SCTV 13,9
8 Juleha (Avr 6 episode) IVM 13,0
9 Julia Anak Gedongan (Avr 13 episode) RCTI 12,9
10 Sang Bintang (Avr 4 episode) SCTV 12,5
Sources: Tabloid Marketing, No 19/III/22 Oktober-4 Nopember 2003

Dalam tabel 4 di atas, rating Inul disejajarkan dengan 20 besar program-program andalan masing-masing stasiun TV. Tampak SCTV (sebagai stasiun yang gencar mengorbitkan Inul bersama TRANSTV) memperoleh rating tinggi untuk tayangan Inul untuk 2 program berturut-turut, yaitu “Duet Maut”. Rating yang sulit dijangkau dengan program-program instan dalam tempo cepat.

Fenomena Inul telah memaksa kita untuk menengok kembali wajah budaya kita. Kehadirannya telah memicu diskusi panjang yang melelahkan, diwarnai dengan boikot dan penggalangan kekuatan. Bermacam-macam angle (sudut pandang) membingkai diskusi-diskusi tersebut, mulai dari seni, etika, moral, agama, politik, kebudayaan, bahkan juga tinjauan ngebor dari sudut ilmu fisika. 5

Fenomena Inul hanyalah salah satu contoh bagaimana media memandang objeknya. Tentu saja hal ini berkaitan dengan banyaknya kepentingan yang bertarung dalam sebuah industri media massa. Dalam dekade terakhir ini, media massa cenderung mulai meng-integrasikan jaringan produksi dan distribusi produk-produk budaya dengan selera pasar (market). Keinginan publik (baca: pasar) menjadi barometer untuk meng-kreasikan sebuah produk broadcast. Boleh disebut selain tayangan Inul, masih ada tayangan seperti cerita legenda, cerita misteri, film-film India, serta musik Dang Dut, sebagai program-program yang diluncurkan untuk mengeruk keuntungan. Itulah pasar!, itulah dunia media kita!

Media massa Indonesia telah terikut arus pada peluang komersialisasi secara besar-besaran. Media bahkan telah dengan sengaja (by desain) mengemas Inul (sebagai produk media) untuk tampil seronok mungkin. Bahkan media sekarang ini memiliki kecenderungan menampilkan perempuan untuk komersialisasi dan komoditas pesona seksual.6 Kemasan program-program tayangan Inul terkesan disusun sebagai fantasi pesona seksual. 7

Mengapa harus perempuan sebagai objek media? Tentu bukan sebuah jawaban mudah. Sebagai sebuah industri bisnis, media secara tanpa disadari telah mem-subordinasikan kepentingan publik di bawah kepentingan komersial.8 Dalam kacamata media, perempuan adalah objek utama; makhluk penggoda yang membuat laki-laki memperkosa dan berbuat jahat; menjadi “milik” (kekayaan) laki-laki sehingga harus menurut apa kata laki-laki apa pun hubungan kekerabatannya, tempat laki-laki ber-fantasi. Tubuh perempuan mempunyai jutaan karakter yang bisa dikomoditaskan: kecantikan, kemolekan tubuh, “goyangan panggul”, dan seks. Karakter yang telah diperalat untuk kepentingan komersial.

Sinetron-sinetron Indonesia menjadi cermin bagaimana media massa menguras kesedihan dan keterpurukan perempuan sebagai sebuah komoditi berselera khalayak. Dalam sinteron Indonesia, perempuan di-casting sebagai makhluk lemah, otak dari konspirasi, penyebab menderitanya wanita lain, menjadi setan perempuan, bingung, tak punya kekuatan, obyek ketertindasan laki-laki, cengeng, cerewet, judes, kurang akal, dan suka buka-bukaan.9

Sensualitas, seks, konsumerism, dan pesan-pesan seksual pun telah memadati iklan-iklan media massa, dan menjadi bagian penting dalam sebuah industri media. 10 Produk-produk media (iklan, sinetron, berita) pun diproduksi (sebagai komoditi massal) yang didesain untuk memenuhi kepentingan bisnis. 11 Bahkan cenderung kurang memberikan pemikiran kritis dalam keberpihakan-nya pada perempuan.

Kesan itu semakin diperparah dengan program-program televisi yang ber-label “Perempuan” dan “Wanita” yang lebih suka bicara soal hebohnya perempuan di ranah domestik, daripada mencoba mengangkat permasalahan perempuan dalam ranah publik. Kalau pun mengangkat ke ranah publik, yang muncul justru masalah perempuan sebagai objek pornografi, sensual, dan seksis.

Catat saja, beberapa program TV seperti “Sensasi Neo Hemaviton” (TRANSTV) “Bantal” (RCTI),”Kelambu (RCTI)”, “Desah Malam” (Lativi), “Angin Malam” (RCTI), “Di Balik lensa” (ANTV), “Love & Live) (Metrotv) Tayangan-tayangan yang memanfaatkan waktu slot late night tersebut, sengaja dikemas dengan pesona fantasi seks untuk menaikkan share dan rating.12

Ketika menjadi komoditi berita, perempuan pun terjebak pada jeratan kasus-kasus yang lebih privat seperti perceraian atau pun gosip. Ketika masuk dalam skala publik, kasus yang diangkat pun akhirnya tetap ber-orientasi perempuan sebagai objek dengan tingkat kasus yang berbeda. Bahkan kadangkala tidak cukup dalam skala kasus individu, namun sudah terintegrasi dalam peristiwa sosial politik skala besar, seperti konflik bersenjata atau kerusuhan sosial.

Jarang sekali ditampilkan kekuatan perempuan sebagai dirinya dalam ruang-ruang publik. Keterlibatan perempuan dalam partai politik dan dalam ekonomi berskala nasional dan Internasional pun bisa dihitung dengan jari. Padahal media massa punya andil besar dalam mensosialisasikan hak dan kepentingan perempuan.

Potret perempuan dalam media akhirnya selalu tipikal. Sehari-hari berkutat di wilayah domestik, mengurus rumah, pesolek dan bercitra konsumtif (pembelanja), tidak memiliki kekuatan untuk memutuskan, selalu bergantung pada laki-laki, pasif, objek seks, dan menjadi setan yang ditakuti. Kalau pun muncul keterlibatan perempuan dalam bidang ekonomi, lebih pada kesuksesan bisnis domestik seperti catering, jahit menjahit, dan sebagainya. Dalam bidang politik, lebih pada pemenuhan kuota perempuan saja bukan pada kekuatan dalam memperjuangkan hak-haknya.

Bisa diduga: perempuan pun akhirnya tidak tampil secara layak di kaca televisi. Entah di program hiburan13, berita, film, sinetron dan bahkan iklan-iklan14. Akibatnya yang muncul “tentang perempuan” adalah sebuah stereotipi, sebuah stigma, diskriminasi, dan sebuah sensasionalitas. Dalam arti kata lain, perempuan tetap saja menjadi “komoditas” media massa, yang ukuran keberhasilan diukur dari keuntungan materi, hiburan, kesenangan, serta sensualitas.

Pencitraan di atas menunjukkan betapa kaum perempuan mengalami berbagai ketertindasan secara sistematis yang dilakukan lingkungan sosialnya. Dan media massa merupakan penyumbang besar ketertindasan perempuan. Perempuan teralineasi dari tubuhnya sendiri, dari jati dirinya, dari orang lain, bahkan dari dunianya sendiri.

Epilog

Melawan gelombang pasang kontroversi Inul bukan sekadar melakukan pencekalan dan perang opini media. Inul telah menjadi realitas mediatik, berubah menjadi ikon budaya massa yang memujanya dalam puncak realitas sosial. Fenomena Inul menjadi tidak lagi menikmati otobiografi gadis kecil kampung dalam sinetron “Mengapa Harus Inul?”, namun sudah berubah wajah menjadi kapitalis yang mendikte kita dalam cita-cita, selera, dan bahkan juga kehidupan bermedia.

Akibatnya, di media massa kita tak ada lagi ruang untuk melirik sedikit pun soal hak perempuan. Hanyut terbawa pada eksploitasi fisik pesona tubuh. Masyarakat sering memaksa perempuan berada pada simpangan pilihan yang memabukkan, menjadikan dirinya sebagai ojek erotis, menawarkan diri sebagai mangsa nafsu laki-laki. Bahkan ketika perempuan menerima penerapan dirinya sebagai objek seksual, perempuan senang membuat dirinya senantiasa nampak cantik.15

Selera masyarakat pun akhirnya menjadi bahan pertaruhan. Media massa beralasan mendesain program karena pasar memintanya. Sementara ukuran pasar berada pada selera masyarakat yang banyak bias faktornya. Selera media yang masih tetap bergantung sepenuhnya pada selera publik. Kapitalisme media telah membuat perempuan berada pada posisi takut tercampakkan.

Sebagai budaya instans, posisi perempuan dalam media memang tergantung pada selera dominan yang diciptakan oleh kekuatan modal. Berharap banyak pada pengelola media untuk lebih santun soal penampilan perempuan, juga tidak sepenuhnya berhasil. Masing-masing media massa punya ukuran sendiri dalam menampilkan program-programnya. Apalagi bila takarannya adalah tiras, rating dan share.

Hanya saja ketika media-media kita lebih banyak berwajah laki-laki (patriakal), maka benarlah hipotesa yang menyebut bahwa hak istimewa laki-laki atas perempuan tidak hanya pada urusan rumah tangga saja, namun sudah merasuk sampai ke segala aspek seperti ekonomi, politik, budaya dan lain-lain.16 Budaya patriakal telah masuk dalam niche (relung hidup) masyarakat. Termasuk di dalamnya, masyarakat media massa itu sendiri.

Toh akhirnya, muaranya kembali lagi kepada para pengelola media sendiri. Mulai dari pemilik media, perencana media/program, unit produksi, sampai kepada personal wartawan dan pengelola media: bisakah membuat produk dengan ukuran sahih yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih menguntungkan.
Puisi Inul di tengah keterpurukan adalah jawaban dari kegalauan itu sendiri. Ia tidak meminta belas kasihan media atas peristiwa-peristiwa yang menderanya. Ia hanya minta satu:

Tiada henti ada dan harapan pepohonan,
Agar sosok seorang perempuan kecil tersenyum kembali
Menggapai cita-cita

Sebagai perempuan, ia telah menunjukkan sebuah cita-cita. Mungkin media saja yang keliru dalam menafsirkannya.

Bahan Bacaan:
Adorno, Theodor. 1990. “Culture Industry Reconsidered”, dalam Jeffrey Alexander dan Steven
Seidman (Ed). Culture and Society: Contemporary Debates. Cambridge: Cambridge University Press.
Beauvoir S. 2003. Second Sex: Kehidupan Perempuan. Terjemahan buku The Second Sex (1989). Penerjemah Tony B. Febriantono dkk. Pustaka Promethea. Cetakan Pertama. Jakarta
Benedict, H. 1992. Virgin or Vamp: How The Press Covers Sex Crimes. Oxford.
Brown, Mary Ellen. 1993. Television and Women’s Culture. Sage Publications. London-Newbury
Park-New Delhi.
Dawn H. Currie & Valerie Raoul (eds)., 1992. The Anatomy of Gender: Women’s Struggle for the Body. (Carleton University Press). p-212
Ibrahim dan Suranto. 1998. “Wanita dan Media”. PT Rosda Karya. Bandung.
Poerwandari, E.; Hidayat,R.S., 2000. “Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Sedang Berubah”. 10 Th Program Studi Kajian Wanita. PSKW UI. PPS-UI, Jakarta.
Siregar, A. dkk (ed). 1999. Media dan Gender. Perspektif Gender atas Industri, Suratkabar Indonesia. LP3Y – The Ford Foundation. Yogyakarta.
Soemandoyo, P. 1999. Wacana Gender dan Layar Televisi. LP3Y – The Ford Foundation. Yogyakarta.
Subono, NI. 2000. Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan. Yayasan Jurnal Perempuan – The Asia Foundation. Jakarta.

1 Dalam SCTV Award 2003, Inul Daratista menyabet 2 Award kategori “Penyanyi Dang Dut Terfavorit”, dan “Artis sinetron terbaik”. Debutnya dalam program “Duet Maut SCTV” mendapatkan Award dalam kategori “Program Terbaik”. Sementara dalam AMI Award 2003, Inul mendapatkan Award dalam kategori “Lagu Dang Dut Terbaik”, “Artis Solo Perempuan Dang Dut Terbaik”, dan “Album Dang Dut Terbaik”. Dalam Anugerah Dang Dut TPI 2003, Inul tidak masuk nominasi karena kasetnya baru muncul Mei 2003. Namun dalam Anugerah Dangdut TPI 2003, Inul terpilih sebagai “Penyanyi Rekaman Lagu Dang Dut Wanita Favorit Pilihan Pemirsa” di tengah-tengah boikot tidak tampilnya beberapa pengisi acara utama.

2Istilah ini dipakai Dr. Dewi Motik Pramono, Msi, saat mengundang Inul dan suaminya Adam, dalam program “Rumah Kita”, TVRI Hari Minggu, pukul 10.00 WIB. Inul sendiri dalam puisi dan wawancara-wawancaranya lebih suka menyebut dirinya sebagai “perempuan kecil”.

3 Perjalanan karir Inul Daratista mencuat ketika pentas Inul di upacara perhelatan temanten diperbanyak oleh sebuah PH di Jatim. VCD Goyangan Ngebor (ada yang menyebut goyang molen) itu pun beredar cepat ke seluruh Indonesia. Sampai kemudian hampir seluruh stasiun TV swasta memberi tempat lebar untuknya. Arswendo merangkum kisah hidupnya dalam sinetron “Mengapa Harus Inul” yang tayang di SCTV pertengahan tahun 2003.

4 Inul beberapa kali diundang tampil di Luar Negeri (salah satunya ke Jepang). Ulasan soal Inul bahkan pernah ditulis TIME Asia Magazine (24 Maret 2003) dengan judul kuat: Inul's Rules

5 Sebuah buku bunga rampai tulisan tentang Inul di media massa, dibukukan dalam judul singkat “Inul” (terbit Juni 2003). Menurut Bonari Nabonenar (dalam Sebuah Pengantar Editor), ia ingin menamai bukunya dengan “Inul: Menggoyang Negeri Dangdut”. Namun diakui, judul itu tidak netral, akhirnya ia hanya menuliskan judul singkat saja “Inul”. Bonari menyebut buku ini sebagai rekaman Inulitas dari beragam sikap: sinisme, kemarahan, keseriusan, dan kelakar.

6 Tamrin Tamagola dalam Subono (2000:106); Ana Nadya Abrar (dalam Pantau, 08/Maret-April 2000, p.71-76; Mattelart, et al. 1993:422.

7 Dalam KOMPAS, Minggu, 9 Februari 2003, Inul ikut berpolemik: Saat bergoyang ngebor, kakinya rapat, tidak mengangkang-sesuatu yang dianggapnya jorok. Goyang bor-nya bukan seksual (maksudnya sensual), namun goyang energik dan sportif. Tapi sesudah gempuran hebat, Inul lebih suka diam.

8 Susanto Pudjomartono (dalam KOMPAS, Selasa, 8 Oktober 2002) menyebut jurnalisme sekarang ini di simpang jalan. Hiperkomersialisasi mengalahkan jurnalisme yang hakiki.

9 Debra Yatim, dalam makalah “Perempuan dan Sinetron dalam Perspektif Jender”, 4 Desember 1999; Aripurnami dalam Ibrahim dan Suranto, 1998:287-301; Veven Sp Wardhana dalam Arivia, G, 2003:p75.

10 Soemandoyo, P dalam Poerwandari, E., dkk, 2000:p347-376

11 McDonald, 1994:30

12 Diambil dari Data Rating & Sharing, AC Nielsen, minggu kedua Oktober 2003 pada saat buku ini ditulis. “Sensasi Neo Hemaviton” rating 1,8%; “Kelambu” (RCTI) 1,6%; “Angin Malam” (RCTI) 1,6%; “Bantal” (RCTI) 0,8%, “Desah malam” (Lativi) 0,8%; dan “Love & Live (MetroTV) 0,3%. RCTI mendominasi tayangan-tayangan pesona seks.

13 Lihat Ibrahim dan Suranto, 1998:107 dan 325; Gupta dan Jain dalam Media Asia, 1998:34; serta Siew dan Kim dalam Media Asia, 1996:75.

14 Debra Yatim, dalam makalahnya pada diskusi “Perempuan dan Sinetron dalam Perspektif Jender”, 4 Desember 1999. Sita Aripurnami (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998: 287-301).

15 Beauvoir S. 2003. Second Sex: Kehidupan Perempuan. Terjemahan buku The Second Sex (1989). Penerjemah Tony B. Febriantono dkk. Pustaka Promethea. Cetakan Pertama. Jakarta

16 Dawn H. Currie & Valerie Raoul (eds)., 1992. The Anatomy of Gender: Women’s Struggle for the Body. (Carleton University Press). p-212

sumber

0 urun rembug: