Saturday, 16 August 2008

AGUSTUSAN*

Seorang kawan melalui chatt-room, semalam, mengirimkankan naskah semacam memoar pendek mengenai Agustusan. Tulisan itu bagus sekali, segar sekali, seksi banget. Penulisnya mengatakan bahwa itu tulisan mengenai pengalaman masa kecil yang ’memalukan.’

Naskah itu, benar-benar bagus bin segar, dan memiliki kadar ke-nylekit-an yang sebenarnya bisa dipandang sebagai semacam kabar bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, penulisnya bisa menjadi kolumnis yang disegani (bukan dalam pengertian –bahasa Jawa, disuguhi sega, lho ya!).

Ia, Sang Penulis, bertutur tentang masa lalunya berkaitan dengan Agustusan alias Pitulasan, yakni (hiruk-pikuk) sekitar dan pas (tanggal 17 Agustus) Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. ’’Dari tahun ke tahun jalannya peringatan kemerdekaan masihlah sama. Sewaktu saya masih SD dulu, upacara penaikan dan penurunan bendera yang terlalu lama itu selalu membuat saya pingsan di menit terakhirnya. Dan karena mengikuti upacara bendera di tanggal 17 Agustus adalah suatu rutinitas dan keharusan, itu berarti juga rutinitas kesengsaraan saya karena harus mengulang pingsan di setiap tahunnya pada waktu yang sama,’’ demikian tulisnya.

Bicara soal Agustusan, ini mungkin adalah kabar lain. Rukun Tetangga di ligkungan saya, menghabiskan dana satu juta sekian rupiah untuk Peringatan Hari Kemerdekaan, termasuk mengadakan lomba balap karung dan membuat (dengan cat) garis tepi jalan. Kampung saya itu pastilah tidak tergolong kampung yang kaya. Letaknya pun di pinggiran kota. Bayangkanlah sekarang, berapa duit yang dihabiskan untuk kemeriahan Agustusan di kampung-kampung elite, di kota-kota besar. Kadang Panitia Agustusan menarik uang ke warga dengan semacam sindiran (kalau Zaman Orba dulu bisa jadi malah berupa atau akan segera terasa sebagai ancaman) bahwa uang iuran itu terlalu kecil (walau banyak warga merasa keberatan) dibandingkan dengan pengorbanan para pahlawan kemerdekaan.

Maka, kita bisa mengangan-angan, berapa lingkungan RT yang seperti RT saya itu dan yang lebih meriah pesta Agustusannya, di Indonesia Raya, lalu itung berapa juta rupiah yang ternyata hanya terbayar oleh kemeriahan sesaat dan cenderung gagal menanamkan rasa bangga sebagai bagian dari bangsa Indonesia, bahkan hanya semakin membuat kita lupa bahwa kita belum sepenuhnya merdeka. Bahkan baru 50% merdeka –meminjam judul puisi Bung Heri Latief.

Kalau uang Agustusan itu diimpun, dan kemudian digunakan untuk menyemangati orang-orang miskin seperti sebuah program yang pernah ditayangkan JTV, mengentas perempuan tua pengemis menjadi penjual jamu di kawasan Alun-alun Sidoarjo, Jawa Timur, berapa banyak orang bakal terentas, dan ratusan ribu orang akan kita buat terhenyak,menyadari betapa indahnya kesalehan sosial itu.

Tetapi, tampaknya kita masih lebih senang membakar mercon, melepaskan balon, dan menggelar lomba balap karung. ’’Balap karung itu sangat filosofis, lho! Dengan balap karung itu kita bisa mengingat dan merenungkan betapa mahal dan pentingnya sebuah kemerdekaan. Baru kedua kaki saja yang tidak merdeka kita bisa jatuh bangun seperti itu, apalagi kalau segenap jiwa raga kita yang tidak merdeka!’’ seorang Panitia berceramah. Dan segera tampak bahwa ia termasuk golongan orang-orang yang tidak, atau setidaknya: kurang merdeka jiwanya. Kurang merdeka pikirannya, sehingga yang ia elus-elus adalah cara-cara memeriahkan Hari Kemerdekaan dengan balap karung, yang bisa jadi hanya akan menyenangkan bangsa penjajah, dan membuat kita makin minder dan tetap saja bermental inlander (orang jajahan) di era global ini. Lha, memang inlander? Masya-Allah!

*)Ditulis untuk Tabloid Intermezo edisi Agustus 2008

0 urun rembug: