Thursday 5 July 2012

Sebuah Perjalanan bersama Mbah Kakung

Tokoh Mbah Kakung di dalam kisah ini adalah ayah nenek saya –dari ibu. Atau, buyut saya. Dia salah seorang tokoh idola saya, dan yang saya rasa cukup banyak mengalir ’darah’-nya di tubuh saya. Ia laki-laki beruntung, bukan hanya karena mendapatkan Mbah Putri yang hingga usia 90-an masih mengabarkan kecantikannya, tetapi juga karena masih segar ketika anak saya lahir. Jika saya adalah cicitnya, saya belum menemukan padanan kata yang menggambarkan posisi dalam garis keturunan di bawahnya. Untunglah, orang Jawa masih punya sebutan: canggah. Saya sudah menulis beberapa cerpen sambil mengenang Mbah Kakung (almarhum), bahkan sejak ia masih hidup.

Mbah Kakunglah, yang setelah saya kelas tinggi di sekolah dasar baru mengetahui bahwa nama aslinya adalah Jamun (nama muda) dan ketika beranjak tua menambahkan ”Karsareja” sehingga lengkapnya menjadi: Karsareja Jamun, orang pertama yang memperkenalkan saya kepada hutan, sungai, jalan. Ketika masih di kelas rendah sekolah dasar, saya sudah diajaknya berjalan kaki dari Karangan (Pinggirsari) hingga Sumberbening (menginap) dan keesokan harinya melanjutkan perjalanan sampai di rumah (Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek). Total jarak tempuh kami sekitar 40-an km. Itu pun bukan berjalan kaki biasa, melainkan masih dibebani kelobot. Saya harus memikul kelobot, calon persediaan untuk rokok ting-we (nglinting dhewe) alias melinting sendiri-nya Mbah Kakung. Walau beratnya tak sampai 10 kg, saya kira itu luar biasa untuk ukuran bocah segede/seusia saya dengan jarak tempuh belasan kilometer yang sejak Suruh hingga Puncak Banjar tak pernah lepas dari tanjakan itu. MbahKakung juga memikul: jagung untuk dijadikan benih.

Dari Pinggirsari (rumah mertua paman saya) kami berangkat sekitar pukul sembilan pagi, melangkah di atas jalan raya Trenggalek – Panggul yang belum beraspal dengan kaki masing-masing tanpa awang-awangen (rasa enggan). Ya, kami berjalan kaki, karena jalan yang konon dibangun pada masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels (Zaman Belanda) itu memang sangat jarang dilintasi kendaraan. Atau, Mbah Kakung tidak punya cukup uang untuk ongkos kendaraan, saya tidak ingat pasti.

Kendaraan yang melintasi jalur kami memang bisa dihitung dengan jari dalam sehari. Itu pun pada umumnya adalah truk pengangkut barang. Pada awal tahun 70-an itu belum ada kendaraan umum khusus angkutan penumpang (orang) untuk jalur Trenggalek – Panggul. Kalau orang mau bepergian jauh, ya truk pengangkut barang itulah yang dapat ditumpangi. Itu pun, setahu saya, orang harus mendatangi pemilik truk itu beberapa hari sebelumnya untuk mendapatkan tempat, dan memastikan jadwal keberangkatannya. Tanpa begitu, bisa saja keberangkatan harus ditunda setelah seharian tidak mendapatkan tumpangan, karena satu-dua kendaraan barang yang lewat sudah dipenuhi pula penumpang manusia, bahkan beberapa orang harus duduk di atas selebor ban depan.

Demikianlah hidup di zaman saya masih bocah. Hidup tanpa listrik, tanpa sepeda motor, bahkan pergi jauh pun sering harus berjalan kaki, tanpa ponsel, tanpa televisi. Tetapi, jarang kudengar orang mengeluh, apalagi mengabarkan kehidupan yang kurang berbahagia. Bisa juga memang, sebagai bocah saya bukanlah alamat yang tepat untuk keluhan-keluhan orang dewasa. Tetapi, sebagai bocah pun, saya merasa sudah sangat luar biasa senangnya, misalnya jika diajak ke pasar dan bisa minum dawet (tanpa es tentunya, karena es batu pun belum ada).

Di Suruh, kami berhenti. Dari arah Karangan sebelum tanjakan ada jembatan dan setelah jembatan itu ada gang masuk ke kanan. Beberapa puluh meter dari mulut gang, ada sebuah rumah. Dan ke situlah kami mampir. Sebelum berangkat Mbah Kakung sudah mengatakan, bahwa nanti harus mampir Suruh. Di dalam rumah itu ada Mbah Djadi. Hingga sekarang saya tidak tahu nama lengkapnya. Ketika Mbah kakung sudah tiada, aku justru baru menanyakan seperti apa hubungan kekerabatan antara kami, keluarga besar Mbah Kakung dengan keluarga Mbah Djadi kepada nenek. Jawabnya, tidak ada hubungan darah. Orang-orang desa menyebutnya sebagai sedulur janji, yang walau tidak ada kaitan silsilah atau hubungan darah kekeluargaan, antara keluarga Mbah Kakung dengan keluarga Mbah Djadi tidak boleh terjadi pernikahan. Beberapa tahun kemudian, kadang-kadang ada cucu Mbah Djadi yang berkunjung ke rumah Mbah Kakung pada saat lebaran.

Lazimnya dua orang karip, bahkan ini menyaudara (melalui ikatan janji) pertemuan itu sangat gayeng. Kami tidak hanya disuguhi minuman, teh dan kopi, melainkan juga makan, sarapan kedua, karena memang belum pantas waktunya untuk disebut sebagai makan siang, kira-kira pukul 10.00 waktu itu. Masih terkenang di dalam ingatan saya, menunya ada 2 pilihan: nasi jagung dan nasi beras.

Dalam kondisi perut terasa mendhol-mendhol (kekenyangan) kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Sepanjang Suruh – Sumberbening kami dua kali memintas jalan. Mbah Kakung bercerita, bahwa jalan pintas itulah dahulu jalan utamanya. Karena Belanda membangun jalan untuk dilewati kendaraan, barulah dibuka jalur baru yang tidak terlalu berat tanjakannya, dan itulah yang kini jadi jalur utama.

Keringat membasahi tubuh saya, tetapi rasa lelah hampir tidak ada artinya dibandingkan dengan pengalaman baru, pemandangan baru. Apalagi menyaksikan Gunung Lingga yang sangat seksi itu (sebutan saya sekarang tentu) sungguh fantasi saya serasa berdenyar-denyar. Berulang-ulang Mbah kakung bertanya, ”Lelah? Kalau lelah kita beristirahat.” Dan kami memang perlu beberapa kali beristirahat. Pundak saya pun terasa agak ngilu, walau kelobot itu, sekali lagi, sebenarnya tidaklah terlalu berat bagi saya yang setiap hari memikul rumput atau dedaunan makanan kambing dari hutan dengan berat beberapa kali lipatnya. Persoalannya, adalah jarak tempuh yang kali ini berpuluh kali lipat dibandingkan yang biasa saya tempuh dari hutan. Tambahan lagi, saya hanya dapat memikul di pundak kanan, berbeda dengan kebanyakan orang yang bisa alihan, kalau capai pundak kanan, pikulan dioper ke pundak kiri atau sebaliknya, sambil terus berjalan.

Walau belum beraspal, saya dapat mengatakan bahwa jalan raya yang kami lalui (kecuali yang saya sebut sebagai jalan pintas tadi) adalah jalan yang bagian tambalannya lebih banyak. Bagaimana saya dapat mengatakan demikian? Ada bagian-bagian jalan, yang disebut-sebut sebagai masih asli seperti pada Zaman belanda, dan saya pun meyakininya. Tamnpilannya berupa tatanan batu kecil (sebesar ibu jari kaki) yang sangat rapi dan sangat padat. Permukaan batu-batu kecil itu pun sudah halus, seperti dipoles, karena sering terinjak kaki manusia maupun ban kendaraan. Keadaannya sungguh sangat njomplang dibandingkan dengan bagian-bagian yang ditambal, dengan batu yang tidak racak besarnya dan seperti ditata secara asal-asalan. Dan bagian tambalan itu tampaknya harus sering ditambal lagi dan ditambal lagi.

Ada juga buk atau gorong-gorong yang sangat kokoh. Saya sempat menyaksikan, bahwa gorong-gorong itu masih tetap dalam kondisi bagus ketika harus dibongkar, karena saluran mesti diperbesar dan badan jalan mesti diperlebar.

Ketika jalan raya itu sudah beraspal dan persoalan kerusakan serta keluhan masyarakat penggunanya seperti makin nyaring dari hari ke hari, kini, saya hanya punya satu usul: adakan lagi petugas yang dulu disebut sebagai mandor dan kuli ratan. Mereka sangat berjasa memantau, menyiangi rumput dan semak di pinggiran, serta memperbaiki saluran pada kondisi darurat, misalnya ada sumbatan saat hujan deras. Sungguh mengherankan, negara ini bisa menggaji wakil menteri, tetapi keberatan menggaji kuli ratan yang kerjanya langsung dipantau dan hasilnya langsung dapat dinikmati masyarakat: r a k y at !

Sampai di Sumberbening hari sudah sore. Matahari sudah berada di balik Gunung Sengunglung. Dan sudah sangat ramai suara cenggeretnong. Itu paduan suara yang kadang-kadang saya rindukan, sekarang, dan merasa senang jika menemukannya.
Malam itu kami menginap di rumah nenek di Sumberbening. Lalu, keesokan harinya melanjutkan perjalanan pulang.

Malang, 6 Juli 2012

Sunday 1 July 2012

BEREBUT SUARA

Seorang warga Kampung Pojok beberapa kali melancarkan protes kepada penjual Es Klinthing –disebut Es Klinthing, karena setiap penjual itu menyusuri jalan dan gang-gang di Kampung Pojok, suara ”klinthing-klinthing”-nya tak pernah tertinggal, kecuali dagangannya sudah habis. ”Pak, sampeyan selalu membuat saya kecele. Saya kira suara delman. Saya butuh delman untuk berjalan menyusuri kampong bersama anak-anak saya, dan tidak butuh Es Klinthing!” demikian protesnya.

Karena penjual Es Klinthing tak kunjung mengganti suara yang dijadikannya tanda bahwa ia sedang melintas itu dengan suara lain, suara badai salju misalnya, warga kampong yang mulai geram itu pergi ke tukang delman dan mengadu. Tukang delman itu pun naik pitam, dan segera mendatangi lenjual es. Mereka terlibat adu mulut.

”Suara klinthing-klinthing seperti yang kamu pakai itu adalah cirri khas suara klinthingan delman. Di mana-mana delman ya begitu suaranya saat dijalankan. Mengapa kamu pakai dan sampai membuat pelanggan saya kecele?”

”Itu kan suka-suka saya, mau jualan es pakai suara delman kek, suara bus kereta api kek….! Mengapa kamu sewot wahai tukang delman? Sudahkah kamu mematenkan suara delmanmu itu?”

Tukang delman terkejut. Benar juga, pikirnya, dia tidak dapat begitu saja memrotes si Penjual Es Klinthing karena dia belum mematenkan suara delmannya. Tapi dia masih sempat bersungut, ”Apakah kurang suara lain yang lebih menarik?” sambil ngeloyor meninggalkan Tukang Es Klinthing.

Kabar terkini, Tukang Delman itu sudah menjual kuda dan bahkan delmannya untuk biaya pengurusan Hak Paten yang hingga kini belum didapatnya. [GLODHAG]

Baku Kunjung sambil Unjuk Karya

Kang Sigit, demikianlah biasanya secara akrap laki-laki asal Kendal yang menetap di Swiss ini disapa, sungguh gemati terhadap buku karya-nya sendiri. Ia rela terbang dari satu benua ke benua lain, dari satu kota ke kota lain, untuk membicarakan bukunya, satu hal yang tak banyak dilakukan penulis lain.

Ini pelajaran menarik, patut dicontoh oleh BMI yang telah melahirkan buku, yang, jumlahnya makin membengkak itu. Saya pernah mengikuti acara diskusi buku karya Maria Bo Niok, Rini Widyawati, Wina Karnie, Eni Kusuma, Tarini Sorita, dan entah BMI siapa lagi, ya? Buku cerpen Penari Naga Kecil karya Tarini Sorita sempat diluncurkan di Taman Budaya Jawa Timur, lalu di Toko Buku Togamas Yogyakarta. Eni Kusuma malahan tidak sekadar meluncurkan dan mendiskusikan bukunya, ia tampil pula di televisi (JTV) dan radio, sebelum kemudian diundang sebagai pembicara di berbagai kota.

Apakah pada awalnya pihak radio dan televisi yang mengundang Eni Kusuma, melainkan dari pihak Eni-lah datangnya inisiatif itu. Pada titik itu kita dapat melihat ada upaya lebih gigih dari seorang Eni Kusuma. Maka akan lebih konyol lagi jika ada pertanyaan, ”Apakah Eni Kusuma dibayar untuk tampil diwawancarai di televisi itu?” Ouw, saya ingin mengatakan, justru akan terasa lebih wajar jika Eni yang keluar uang untuk mempromosikan dirinya –pada saat itu!

Melalui Grup Pembaca Majalah Peduli (Facebook) saya tahu banyak BMI Hong Kong yang sudah dan akan memiliki rumah makan atau café. Seharusnya, itu menjadi tempat pilihan pertama untuk menggelar diskusi buku karya-karya BMI/mantan BMI, bukan hanya BMI Hong Kong tentunya. Dengan demikian terjadilah apa yang di-pepatah-kan sebagai, ”Sekali merengkuh dayung, dua, tiga pulau terlampaui.” Kalau BMI/Mantan BMI bertemu, dalam acara yang bertajuk ”peluncuran” atau ”bedah buku” sekalipun, pastilah banyak hal lain bisa jadi pembicaraan. Untuk topik-topik di luar konteks acaranya, tentulah tidak diobrolkan di forum resminya, melainkan bisa dilakukan pada saart istirahat, sebelum dan sesudah acara intinya.

Maka, selain tali persaudaraan makin dipererat, soal-soal kesenian, bisnis, dan bahkan gerakan melawan kesewenang-wenangan pun dapat dibicarakan dan di galang dalam kesempatan-kesempatan yang sangat baik itu. Apalagi jika kegiatan seperti itu bisa ditradisikan, berpindah tempat dari satu kota ke kota lainnya, hingga baku kunjung untuk mempererat tali persaudaraan pun akan semakin menemukan maknanya.

Kalau pun harus dijlentrehkan keuntungan apa yang dapat dipetik para pihak, ya ini: pemilik buku akan mendapatkan ruang untuk mempromosikan buku (tentu sekaligus juga pengarang/penulisnya), pemilik café/rumah makan juga akan mendapatkan kesempatan untuk menarik pelanggan lebih banyak, sekaligus mempromosikan usahanya –apalagi jika kemudian ada wartawan datang meliput. Sedangkan para peserta, tentu mendapat tambahan wawasan dari acara diskusinya, bertambah teman, jaringan, dan tidak tertutup kemungkinan mendapatkan kesepakatan-kesepakatan dalam hal bisnis.

Jika saya harus membuat kesimpulan, menggelar, menghadiri, atau terlibat dalam acara-acara semacam saya uraikan tadi: ”Itu investasi juga.” Itu pun sejauh kita menganggap bahwa ”nilai” tidak hanya tertulis di lembaran atau kepingan uang! *