Wednesday 27 February 2008

MASIH BANYAK PENJAJAH DI SEKITAR KITA

Oleh: Darling Wirastri

Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia kembali disambut dengan berbagai-macam kesibukan. Ada yang buru-buru mengecat pagar dan rumah, ada yang memangkasi pohon-pohon ditepi jalan agar kerimbunan daun-daunnya tak menenggelamkan kemeriahan berbagai umbul-umbul, rontek (bendera kecil), dan lampu warna-warni yang akan segera dipasang. Para ibu muda yang tergabung dalam organisasi PKK (jangan dipanjangakan jadi :perempuan kurang kerjaan) pun sibuk berlatih paduan suara. Para remaja karang taruna tak ketinggalan pula. Pokoknya semua tambah sibuk. Yang tua maupun yang muda, baik yang di kota maupun di pelosok-pelosok desa.


Untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke -54 Kemerdekaan Republik Indonesia, di penghujung milenium ke-2 ini, seperti halnya pada peringatan-peringatan sebelumnya, diadakanlah beraneka-macam perlombaan, dari lomba balap karung hingga lomba karaoke, pertandingan olah raga, dan seperti biasanya pula, pada puncaknya adalah pagelaran kesenian: ada sandiwara, ada tari-tarian, ada sulapan, musik, lagu-lagu, dan lain-lain. Pokoknya, pada puncaknya adalah pesta. Tak kurang, tak lebih. Pesta kemenangan. Konon, karena “kita” telah menang melawan penjajah. Kita telah berhasil merebut kemerdekaan, dengan perjuangan, dengan keringat, dengan darah. Dengan nyawa. Maka jangan sekali-kali berkeberatan jika untuk peringatan semacam ini ditarik iuran seribu-dua ribu rupiah!

Begitulah. Memang, untuk berbagai-macam kegiatan dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan itu dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kalau rata-rata tiap keluarga ditarik lima ribu rupiah saja, berapa besar dana yang tersedot di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kotamadya, provonsi, dan akhirnya jumlah total untuk seluruh negeri ini? Belum lagi kalau ditambah dana sumbangan dari instansi-instansi swasta yang selama ini jadi langganan tetap Panitia 17-an. Kalau ada yang sedikit nggrundel, ngedumel, mencoba mengungkapkan keberatannya atas besarnya patokan iuran minimal yang harus dibayarnya, maka Sang Panitia akan bersabda, “Dahulu, para pahlawan itu tak pernah menawar, ketika mereka harus terluka, bahkan gugur sebagai kusuma bangsa! Kamu baru dimintai sekian saja sudah banyak alasan!”

Seperti tak boleh ada dialog.

“Pokoknya, kamu orang harus bayar!”

Bahwa para pendahulu bangsa, para pahlawan --baik yang secara nyata memperoleh gelar pahlawan maupun yang dikenal namanyapun tidak (pahlawan tak dikenal?) walaupun sesungguhnya lebih pahlawan-- telah mengorbankan jiwa-raga mereka demi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah satu hal yang tak dapat diingkari. Tetapi bahwa sampai sekarang masih banyak saudara-saudara kita yang pada hakekatnya belum dapat menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya, adalah satu hal lainnya yang juga tak boleh diingkari begitu saja. Mereka masih dijajah oleh kemiskinan, oleh kebodohan, oleh ketersisihan. Dan celakanya, mereka tak mungkin angkat senjata. Penjajah itu bukan lagi merupakan sosok yang jelas. Ia maya. Seperti dhemit. Mereka hanya dapat berteriak, dengan teriakan yang makin lama makin tak bertenaga.

Bagaimana halnya sehingga kemiskinan dan kebodohan menjajah mereka? Bukankah sudah menjadi kodratnya, bahwa di dunia ini ada pria ada wanita, ada si kaya dan ada si miskin pula? Itu juga mengandung kebenaran. Tetapi di dalam hal ini, persoalannya tak sesederhana itu, jika benar --lepas dari persoalan apakah dapat dibuktikan dengan hukum positif atau tidak-- ada serigala, ada tikus, ada drakula, dalam tatanan politik dan ekonomi kita. Jadi, ada oknum, tangan manusia lain, yang membuat mereka miskin, bodoh, dan tersingkir. Singkatnya, penjajah itu bisa saja tampil sebagai sosok bangsa sendiri, saudara-saudara sendiri, yang tampangnya boleh jadi mirip-mirip dengan Sang Panitia 17 Agustus-an, yang hanya punya satu kalimat: “Pokoknya harus bayar!” itu.

Jangan lupakan satu lagi alasan mengapa kita tak selayaknya larut dalam pesta dan kemeriahan Peringatan Hari Ulang tahun Kemerdekaan kali ini. Ingatlah saudara-saudara kita di Ambon, di Aceh, dan di beberapa tempat lain yang sedang dirundung derita. Mereka harus terusir dari kampung halaman sendiri, mengungsi ke tempat yang tak pasti, dengan lapar, dengan luka makin menganga. Sekian banyak anak terpaksa putus sekolah, bahkan mati karena lapar. Betapa mewahnya sebuah Kemerdekaan itu bagi mereka.

Maka, siapakah yang paling patriotis, yang paling nasionalis di antara kita? Mereka yang tak rela membayar iuran Agustus-an, lebih-lebih mereka yang sesungguhnya memang tak punya uang lebih untuk pengeluaran ekstra semacam itu, ataukah kita, yang makin larut dalam Pesta Kemerdekaan, makin teler, dan makin picik: Indonesia dalam bayangan kita adalah hanya seluas kelurahan, desa, atau bahkan hanya seluas wilayah RT tempat tinggal kita! Kepicikan kita membuat kita tidak dapat memandang bahwa Ambon, Aceh, Sambas, adalah Indonesia juga. Jika memang benar kita tak pernah mau mempedulikan mereka, untuk apa kita mengecam mereka yang ingin merebut “kemerdekaan” mereka dengan istilah-istilah gerakan pengacau liar, gerakan pengacau keamanan, separatisme, dan sebagainya itu? Lebih lucu lagi, pada saat yang sama kita tenang-tenang saja membiarkan para penjajah semakin asyik memeras keringat kita, menjarah hutan kita, mengeksploitasi habis-habisan kekayaan kita untuk menggelembungkan perut mereka sendiri.

Alangkah baiknya jika kita bisa menyisihkan seribu atau dua ribu rupiah misalnya, untuk membantu saudara-saudara kita yang sangat menderita itu, dan bukan untuk sekedar berkaraoke, menyelenggarakan lomba konyol-konyolan (: para pria berpakaian wanita dan bertanding sepak bola) atau jenis pesta-pora yang hanya membikin kita semakin mabuk. Hidup perlu kesenian. Perlu rekreasi, Perlu berolah raga. Itu juga benar. Tetapi betapa konyolnya jika kita masih berekreasi dan berolahraga sambil menghambur-hamburkan uang yang mestinya dapat digunakan untuk membantu saudara-saudara kita yang tengah mati-matian berjuang untuk hidup itu?

Cobalah untuk sedikit kreatif. Kumpulkan para remaja, kalau perlu ibu-ibu dan bapak-bapak pula. Dengan sapu dan keranjang, ajak menyusuri jalan sebagai pasukan kebersihan. Kalau ingin berlomba, biar semakin bersemangat, bagilah mereka menjadi beberapa kelompok dengan wilayahnya masing-masing. Tentu beberapa orang harus bersedia bertindak sebagai juri. Nilailah hasilnya! Itulah olah raga yang tak hanya menyehatkan tubuh pelakunya, tetapi juga menyehatkan lingkungan. Kurang heboh? Terjunlah ke kali. Atau setidak-tidaknya parit, selokan, got, bersihkanlah beramai-ramai, sebab sekian banyak penyakit dari situlah awalnya.

Terutama di kota-kota, kegiatan semacam itu akan sangat berarti. Tetapi rupanya lebih banyak yang memilih bikin panggung hiburan yang mahal, sehingga banyak jalan, gang, menjadi buntu, dan banyak pemakai jalan marah dan memaki-maki, walau hanya berhenti di dalam hati. Saudara-saudara kita di desa-desa demikian pula. Selain membuat panggung hiburan, perlombaan panjat pinang hampir tak pernah terlupakan. Yang kita lupakan adalah bahwa sesungguhnya kita telah bermental penjajah dengan kegembiraan kita tatkala menyaksikan anak-anak itu berebut memanjat pinang, harus belepotan minyak, oli, dan lemak sapi, hanya untuk mendapatkan secarik kain, atau sepotong baju murahan. Kita bermental penjajah justru pada saat kita harus merenung dan mencamkan: apa arti sebuah kemerdekaan.

Kita memeringati Hari Kemerdekaan, tetapi sesungguhnya kita masih lupa.*

Bumi Kebraon, Agustus 1999

Fungsi Straregis Sastra Siber

Catatan Kecil dari PSN XII, Singapura, 13-14 September 2003


Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XII digelar di Hotel Meritus Oriental Singapura, 13 – 14 September 2003. Para sastrawan yang menulis dengan bahasa Melayu, dari Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan tuan rumah Singapura hadir dalam acara tersebut. Dari Indonesia ada Dr Taufik Ismail, Jamal D Rahman, Viddy AD Daery, Dr Suminto A Sayuti (sebagai pembicara), Hamid Jabbar, Helvi Tiana Rossa, Hamdy Salad, Agus R Sarjono, dan utusan dari Dewan Kesenian Jawa Timur, selain Viddy AD Daery ialah M Shoim Anwar, Bagus Putu Parto, Bonari Nabonenar, Aming Aminoedhin, dan Meimura (sebagai peserta).


PSN XII yang bertemakan Sastera Melayu Warisan Jati Diri dan Jagat ini betapapun samarnya masih mengesankan inferioritas dan kegamangan sastrawan Melayu menghadapi globalisasi. Maka, Hj Hamzah Hamdani, Pengarah Dewan Bahasa dan Pustaka Cawangan, Sarawak sekaligus Ahli Jawatankuasa Kerja GAPENA (Gabungan Persatuan Penulis Nsional Malaysia) pun berpesan, “Yang penting ialah bagaimana untuk menyedarkan pihak pemimpin atasan di rantau Nusantara ini mengenai keperluan penyatuan sikap dan hasrat agar Melayu menjadi bangsa yang besar, yang tidak melupai warisannya yang gemilang pada zaman silam, dan yakin terhadap masa depan yang cemerlng kerana bangsa Melayu Nusantara adalah bangsa yang bijaksana, harmoni, dan dinamik.”

Sementara Dr Zainal Kling, guru besar antropologi dan sosiologi dari Universitas Malaya mengatakan, “Manusia moden Melayu adalah juga manusia tempurung lama yang tak dapat memutar-balikkan tempurung itu dari dalam keluar untuk melihat isinya dengan kefahaman dan kritis. Watak lemah inilah yang amat perlu diteroka secara kritis dalam kreativiti sasterawan untuk memahami betapa selama puluhan abad kita tetap tersungkur di dalam pergolakan dan interaksi ganas antarbangsa dan kekal sedemikian meskipun kita telah moden kini – berakal, bebas, dan mandiri.”

Di dalam salah satu sesi tanya-jawab terlontar pula keluhan betapa seretnya penjualan buku-buku karya sastra di Singapura. Ada semacam kesedihan yang seolah sebegitu susah dicari obatnya, dan bahkan kesedihan itu semakin menggilas batin manakala diingat kejayaan Melayu pada Zaman Sriwijaya, Zaman Samudera Pasai, Zaman Majapahit. Dan simaklah ajakan Dr Abdul Rahman Napiah dari Institut Pendidikan Nasional Universiti Teknologi Nanyang Singapura ini: “Melayu harus kuat superegonya, teguh dan berupaya dalam membina real untuk masuk ke tatanan tamadun baru. … Sebagaimana sejarawan akhir abad 20, menyeru kembali ke sejarah dan tradisinya lalu membangunkan Eropah dan berjaya menjadi pemegang kunci kemajuan dunia, maka untuk maju: marilah kita berseru “masuk ke Melayu”…. Sekiranya sebuah karya sastera itu hendak mencapai tahap tertinggi, bahasa mestilah penuh kuasa dan luar biasa.”

Ada tugas yang cukup berat bagi para sastrawan Melayu, yakni mendekonstruksi tradisi untuk mengabadikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Maka, diskusi pun memanas ketika Shoim Anwar menyerukan bahwa kebudayaan memiliki kekuatannya sendiri untuk berkembang atau bertahan. Shoim sempat mengutip teori fisika yang mengatakan bahwa energi tidak bisa hilang, melainkan hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Sayangnya, karena perbandingan antara jumlah pemakalah dengan waktu yang tersedia tidak seimbang, kesempatan untuk berdiskusi sangat terbatas.

Di antara 25 kertas kerja yang dipaparkan dalam PSN XII ini paling menarik adalah yang dibuat oleh Mawar Shafei, kandidat Doktor bidang Kesusasteraan Bandingan dari Universiti Teknologi Nanyang Singapura, yakni tentang sastra (Melayu) siber di www.pustakamaya.net. Sayangnya, Mawar lebih banyak hanya mendeskripsikan jatidiri situs pustakamaya.net itu sendiri, dan tidak bicara banyak soal fungsi strategis sastra siber di era kesejagatan ini. Lebih eman-nya lagi, seperti pada sesi lainnya, diskusi seputar sastra siber yang tampak akan seru bin hangat itu terpaksa disudahi setelah memberikan tanggapan singkat atas komentar Hamid Jabbar. Penyair yang suka membacakan sajak sambil bermain genderang itu menyatakan bahwa siber dengan potensi multimedianya memerikan kelonggaran untuk mengoptimalkan ekspresi kesusasteraan, misalnya dengan tampilan background, illustrasi suara, gambar, animasi, bahkan film, dan tidak sekedar menayangkan teks di layar komputer. Potensi itu menurut Hamid Jabbar belum dimanfaatkan dengan baik dalam berbagai situs sastra berbahasa Melayu, termasuk bahasa Indonesia.

Mawar memaparkan 5 tujuan dibangunnya situs pustakamaya.net, 2 di antaranya ialah: (1) menyediakan peluang dan ruang yang lebih luas kepada penulis untuk menerbitkan karya di jarngan, dan (5) mengetengahkan hasil karya penulis ke perinkat antarbangsa selaras dengan gagasan dunia tanpa sempadan. Pada tujuan ke-5 itulah sebenarnya tersirat pula peluang strategis sastra Melayu untuk semakin merebut posisinya sebagai salah satu warga sastra dunia. Walau tuntutan teknis seperti dilontarkan Hamid Jabbar bukan hal yang berat untuk dilakukan sekarang, tetapi sebenarnya yang selayaknya menjadi skala prioritas adalah menggelontor sebanyak-anyaknya karya Melayu yang dinilai berkualitas tinggi ke dalam dunia siber itu. Tentu akan timbul persoalan teknis pada tahap ini, misalnya menyangkut pembayaran honor atau royalty atas hak cipta pengarang/penyair. Tetapi jika fungsi strategis itu disadari, tentu ada jalan keluarnya. Termasuk di dalamnya, menerjemahkan sebanyak-banyaknya karya sastra Melayu berkualitas tinggi ke dalam bahasa-bahasa yang lebih luas jumpah pemakainya, misalnya ke dalam bahasa Inggris.

Dengan begitu, sekali kita menggebrak dunia siber, sekian banyak titik strategis kita kuasai. Jangan hanya sibuk mempercantik penampilan di depan kaca-maya (layar komputer), tetapi ujung-ujungnya wajah kita (Melayu) itu hanya akan memantul ke dalam bola mata kita sendiri, dan sedikit pun tidak mengundang dunia untuk meliriknya. Begitulah pendapat saya. []

Lebih dari Sekadar Ciuman

Judul: Gallery of Kisses
Penerbit: Eksotika Karmawibangga Indonesia (EKI)
Penulis: Seno Gumira Adjidarma…
Tebal: 153 halaman

Tergolong unik, seperti judulnya, Gallery of Kisses (GK) kumpulan cerita pendek tentang ciuman. GK memang galeri (cerpen) ciuman. Tetapi beberapa di antaranya juga bercerita tentang ciuman “dan selanjutnya”. Misalnya yang terdapat pada cerpen Tommy F Awuy berjudul Ciuman di Arnhem. Simak kutipannya ini: “Tapi, soalnya sekarang Marianne memintaku untuk melakukannya bukan hanya sekedar adegan teater. Nah, dia sudah menanggalkan bajunya sehingga kulit tubuhnya yang lembut tak pelak lagi merangsang gairahku. Seperti tadi malam bersama Anne, aku tak punya kuasa untuk menahan. Laki-laki normal mana yang bisa menahannya? Hayo!”


Para penulis cerpen dalam GK adalah para kampiun di dunia sastra Indonesia (Seno Gumira Adjidarma, Tommy F Awuy, Jujur Prananto, Yanusa Nugroho, Reda Gaudiamo, Veven Sp Wardhana, Putu Wijaya, dan Sapardi Djoko Damono). Namun, kecuali cerpen Seno berjudul mmmwwwhhh, cerpen-cerpen yang terkumpul dalam GK ini tergolong renyah, dan tak jarang terasa jenaka, menggelitik, tanpa mengurangi bobot sastrawinya. Simak pula misalnya, cerpen Putu Wijaya berjudul Ngok yang bercerita tentang seorang gadis yang menangis, mengunci diri di dalam kamarnya, yang membuat ibunya gerah bukan main karena menyangka putrinya itu telah hamil. Eh, ternyata si gadis itu pusing karena keinginan pacarnya untuk menciumnya. Mengapa mesti menangis sebegitu parah kalau hanya mau dicium saja? Inilah jawabannya:

Karena pacar saya tidak hanya ingin mencium saya di hidung dengan hidungnya seperti Bapak dan Ibu lakukan dulu waktu muda. Tak hanya ingin mencium bibir saya dengan mulutnya, sambil mengulum-ngulum lidah saya. Tetapi ia ingin mencium saya di sini, kata Ami sambil menurunkan tangan dan menunjuk ke bawah perutnya. ’’Dia ingin menjilat ini.’’

Tak kalah menggelitiknya adalah cerpen berbingkai Sapardi Djoko Damono berjudul Ratapan Anak Tiri. Seorang anak tiri yang ingin tak pernah kebagian cium ibu maupun ayah tirinya, karena mereka sibuk berciuman sendiri. Di sekolah, ketika guru bahasanya menugasinya mengarang, ditulislah, ’’Hasan ingin mencium pipi Tumi, Tumi ingin mencium pipi Hadi, Hadi ingin mencium pipi Yanti, Yanti ingin mencium pipi Marno…..” Dan perhatikan, betapa bernasnya kalimat Sapardi ini, “… ia tahu benar betapa beratnya keinginan untuk dicium di pipi dan mencium pipi orang. Kalau ibu tiri dan ayahnya saja tidak pernah mencium pipinya atau menyediakan pipi mereka untuk dicium, apa ia harus mencium pipinya sendiri? Mana bisa, kan?”

GK tergolong menarik, walaupun terasa agak bombas komentar Farhan (presenter), “Seperti membaca ensiklopedi CIUMAN, lengkap dengan kesaksian sejarah pelakunya.” nab

Gubernur untuk Rakyat

Ini bukan analisis politik, tetapi hanya sekadar uneg-uneg seorang warga masyarakat Jawa Timur yang merasa geregetan untuk ikut mengajukan pendapat seputar Pilgub Jatim. Maka, jika banyak yang terasa ganjil, jangan diolok-olok. Jika kelak ada yang sudi meluruskannya dengan ’’bahasa rakyat’’ pastilah saya akan sangat berterima kasih.

Pilgub Jatim yang kini baru pada tahap pendaftaran balon sudah terasa sebegitu seru. Buktinya, di Jawa Pos saja, sekian banyak artikel muncul, belum lagi yang di media lain. Opini, berita, silih muncul. Bahkan, tulisan-tulisan itu sejak awal sudah menguarkan aroma kekhawatiran, Pilgub Jatim nanti bakal berlangsung terlalu seru, terlebih dengan bakal bertarungnya Sekdaprov dengan Wagub Jatim, Soekarwo dengan Soenarjo.
Hal pertama yang terasa mengganggu ’’pikiran-rakyat’’ saya adalah diharuskannya para bakal calon itu menumpang kendaraan politik yang namanya ’partai’. Mereka harus mendaftar lewat partai.

’’Lha, memang hukumnya bilang begitu, kok! Adanya pemerintahan itu kan ditandai dengan adanya hukum!’’ sengak komentar sahabat saya yang masih manget-manget keluar dari kawah Jurusan Hukum Tatanegara.

Nah, itulah soalnya! Pikiran saya ini agaknya memang perlu di-update, atau jangan-jangan malah perlu di-scan antivirus! Soalnya, bilangnya begini:
Pertama, sebagai kendaraan, partai politik itu pastilah boros bahan bakar.

Kedua, kendaraan itu sering melaju terlalu kencang, terlalu jauh meninggalkan rakyat. Padahal, bukankah adalah rakyat pemilik kekuasaan yang sejati di dalam tatapemerintahan yang mengagungkan sistem demokrasi? [Maaf, ini bukan berteori, melainkan hanya sedang kemaruk mengingat pelajaran sekolah dasar].

Ketiga, tampaknya partai –sebesar apa pun ia-- juga bukan alamat yang tepat untuk me-numplek-kan [menumpahkan] segenap cinta. Mau bukti? Lihatlah baik-baik Wakil Rakyat dari partai-partai itu, kadang mereka juga tergagap-gagap mengartikulasikan aspirasi pihak yang diwakilinya [baca: aspirasi rakyat].

Saya juga selalu risih dengan istilah ’wakil’ itu. Sebab, lazimnya eksistensi pihak yang diwakili lebih penting daripada yang mewakili. Derajat wakil lazimnya berada di bawah yang diwakili. Begitu pengertian yang tertanam dalam tatapikir saya, sehingga saya menerima istilah wakil presiden, wakil tuan rumah, wakil wali, dan sebagainya. Yang namanya wakil presiden, di mana-mana derajatnya ya di bawah presiden-nya. Lha, ini kok nyleneh, yang diwakili saja makan nasi thiwul kok yang mewakili malah makan pizza di Roma, kencing di Amerika, dan bercinta di hotel bintang lima. Mbok ya Pusat Bahasa sudi mengevaluasi ulang istilah yang satu ini.

Ada contoh yang cukup menarik pula, kenyataan yang bisa kita baca di Banyuwangi. Ratna Ani Lestari bisa melenggang ke kursi Banyuwangi Satu, padahal sebagian besar Wakil Rakyat Banyuwangi menyeteruinya. Menurut saya, kejadian seperti yang muncul di Banyuwangi dimana Bupati dengan DPRD-nya bagaikan [nuwun sewu] kucing dengan kirik, adalah sangat menarik dikaji untuk memperkaya materi kuliah ilmu politik di perguruan tinggi.

’’Itulah gara-gara money politic. Banyak orang menang dalam pemilihan karena membeli suara rakyat!’’ sahut Togog dangan nada tanpa rasa berdosa.

Politik uang? Rakyat dibayar untuk menjatuhkan pilihannya kepada seorang calon? Nah, ini dia! Teori politik pastilah mengharamkannya. Tetapi, sebegitu besarkah kadar dosa seorang rakyat yang terpaksa menjual suaranya untuk barang sepekan dua pekan mengganti thiwul-nya dengan uncet [nasi beras] syukur-syukur bisa beli lauk walau hanya berupa ikan asin?

Jika demokrasi dimaknai sebagai kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, andai pun ia mau menjual diri, siapa berhak melarangnya? Dan apalagi kalau hanya menjual suaranya!

Panitia Pengawas, Komisi Pemilihan, Pakar Politik, mahasiswa, mereka akan antre atau serentak ’menghukum’ rakyat yang menjual suaranya itu. Tetapi, sungguh menyedihkan, mereka tak pernah bicara ketika justru rakyatlah yang terjual, ketika rakyat hanya bisa merintih [tak lagi punya energi untuk berteriak]. Pernahkah Anda melihat wajah rakyat yang telah terjual? Dan bagaimana perasaan Anda?

Begitulah riak tatapikir saya. Dan saya jadi semakin tersinggung ketika suatu saat mendengar kalimat semacam ini, ’’Janganlah memilih seseorang [calon gubernur] yang hanya akan melupakan partai!’’ Sebab, dalam pengertian yang sebegitu dalam menancap di dalam ’’pikiran-rakyat’’ saya, begitu seorang pemimpin menyejahterakan, menenteramkan, dan membahagiakan rakyatnya, lunaslah segenap kewajibannya. Lha, emang partai itu berjuang untuk siapa? Untuk dirinya sendirikah?

Saya masih pula ingat kata-kata almarhum kakek, ’’Jangan pikir tidak ada perempuan yang lebih jantan daripada laki-laki!’’ Analoginya, jika kita bicara dikotomis soal partai dan nonpartai, pastilah, ada kalanya orang partai lebih bijaksana daripada orang nonpartai, ada kalanya orang nonpartai lebih julig daripada orang partai. Tetapi, kalau belum-belum sudah teriak-teriak, ’’Jadikanlah saya pemimpin untuk membesarkan partai!’’ walah nggih no way mawon-lah! Yang kita mau, setidaknya di Jawa Timur kita, adalah gubernur untuk rakyat, sebab partai-partai sudah punya gubernur, menteri, dan bahkan sudah pula punya presidennya sendiri! [PURWO SANTOSA]

Dari: Jawa Pos Radar Tulungagung

Cacingen


Cacingen, adalah istilah Jawa yang kadang diindonesiakan menjadi cacingan. Maksudnya adalah jika di dalam tubuh manusia atau pun binatang terdapat cacing parasit yang mengganggu kesehatan. (Eh, apa cacing juga bisa cacingen, ya?) Orang, biasanya anak kecil, jika cacingen dan tak segera diatasi, badannya akan menjadi kurus dan perutnya membuncit. Hi, mengerikan!

Tapi, ini cerita tentang seorang perempuan, hitam, tinggi-besar, nyaris mirip Layla Ali, perempuan petinju putri kesayangan Mohammad Ali, yang didakwa cacingen.
Sejak bis bergerak dari Terminal Purabaya alias Bungurasih menuju Malang, perempuan hitam, tinggi-besar itu, terlibat pembicaraan yang cukup gayeng --dalam rasa pahit-getir-lucu campur-aduk-- bersama 2 orang laki-laki, dan 3 perempuan lainnya. Dari pembicaraan mereka, kemudian saya tahu bahwa 2 orang laki-laki itu adalah penjemput mereka.

Penumpang lainnya tenang, bahkan ada yang mulai terelap. Memang, sudah pukul 23.00 waktu Surabaya dan sekitarnya. Saya juga tenang, tubuh saya. Ya, tubuh saya memang tenang, tetapi batin saya, angan-angan saya, bagaikan buih yang terayun-ayun, hanyut, dan kadang terombang-ambing oleh pembicaraan empat perempuan belia (rata-rata 20-an tahun usia mereka) dan dua orang laki-laki masing-masing 45-an dan 50-an tahun.

Oh, ya! Si ’Layla Ali’ yang oleh salah seorang rekan perempuannya disapa ’Mbak Titin’ itu telah didakwa cacingen oleh majikan (kini telah menjadi mantan majikan)-nya sewaktu di Hong Kong. Padahal ia baru 2 pekan bekerja. Sebelumnya, ia menunggu di penampungan selama lebih dari 6 bulan.

’’Mungkin memang karena tidak suka saja, lha wong sewaktu masih di sini (maksudnya sebelum berangkat, Bon.) dites juga gak apa-apa kok. Dinyatakan sehat wal afiat, kok!’’ kata Titin.

’’Lha, kalau nggak suka kok dipilih? Kita ini kan hanya punya hak untuk manut saja. Digiring ke sana, ditarik ke sini, ngikut saja! Apakah kita yang memilih majikan? Bukan, kan? Majikan kan, yang memilih kita? Enak aja, belum genap sebulan sudah menginterminit dengan menuduh cacingan,’’ sahut salah seorang temannya dalam bahasa Jawa yang sangat medhok.

Pembicaraan makin seru. Dan tahulah saya, bahwa mereka akan menuju sebuah kampung di wilayah Kabupaten Blitar. Saya juga bertanya-tanya di dalam hati, apa Titin benar menderita cacingen. Lha wong badannya gempal begitu kok cacingen.
Keempat perempuan itu memang senasib, sama-sama diinterminit, tetapi dengan alasan yang berbeda-beda. Alasan yang bisa jadi memang pantas, dan bisa jadi hanya mengada-ada. Tetapi, diam-diam pikiran dan perasaan saya jadi ikut keranta-ranta, getir, e, penyakit saja kok ya cacingen! Tahu, kan? Walau dinilai sebagai bukan penyakit mematikan, namanya cacingen itu benar-benar gak ’kelas’ blas!

Lebih keranta-ranta lagi, ketika mendengar curhat Titin dalam kalimat kurang lebih ini, ’’Entahlah Kang, paspor dan surat-suratku juga ditahan oleh pe-te. Aku tak peduli. Aku disuruh tinggal di pe-te lagi memang gak mau. Aku hanya pengin pulang. Pokoknya pulang. Walau, sebenarnya aku juga malu. Orangtua sudah kehilangan banyak, utang pun belum sempat terbayar, malah kini aku kembali dengan tangan hampa.’’
’’Tidak perlu malu, Tin. Kamu kan tidak melakukan kejahatan. Hanya nasib saja yang tak berpihak padamu. Mungkin juga ini bukan jalanmu. Percayalah, semua akan ada hikmahnya. Kamu sudah berusaha. Dan harus terus berusaha. Kini kamu boleh bersedih, tetapi jangan berlarut-larut, karena hidup tak hanya berhenti di sini.’’

Oh, kalimat-kalimat itu, betapa bijaknya! Diam-diam saya memuji kematangan orang kampung yang semula tak pernah saya duga akan memiliki kalimat-kalimat sebernas itu!

Tiba-tiba terdengar suara berderit. Orang-orang terkejut. Dan bis berhenti mendadak. Ban kipasnya lepas dan tidak bisa dipasangkan lagi. Masih di Pandaan. Sudah tengah malam. Orang-orang menggerutu. Ada yang menyoba minta kembali uang karcis seluruh atau sebagian untuk dipakai naik bison. Tetapi, kondektur bersikukuh bahwa bis berikutnya akan segera tiba.

Sudah terbilang dinihari ketika kami dapat dioperkan ke bis berikutnya. Hari itu memang tidak begitu indah. Tetapi, hari ini adalah hari yang lain. []

SUPRIHATIN

Mungkin, orangtua itu berharap agar anaknya kelak jadi orang yang tabah, tegar, kuat lahir-batin, termasuk kuat menghadapi situasi kritis. Kuwat nandhang prihatin.

Prihatin itu sendiri bisa bermakna kondisi batin karena menghadapi sesuatu hal (yang tidak baik), tetapi dapat pula berarti lelaku. Tirakat, seperti yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, misalnya dengan mbrokoh (berpantang makan nasi dan lauk pauk), hanya memakan sayuran, memakan pala atau buah, atau umbi yang termasuk dalam kategori: pala gemandhul (menggantung), pala kependhem (di dalam tanah), dan pala kesampar (di atas permukaan tanah), adalah laku prihatin juga.

Orang Jawa, dengan demikian menilai kualitas seseorang juga dari kekuatanya dalam lelaku prihatin. Maka, orangtua yang bijak itu, walaupun mererka hanyalah petani miskin di sebuah sudut desa Krajan, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, lalu menamakan anaknya: Suprihatin.

Lalu, kita tahu bahwa Suprihatin telah mencatatatkan dirinya sebagai sosok yang begitu kuatnya menghadapi cobaan hidup, penderitaan raga-jiwa. Bahkan hanya maut yang mengalahkannya. Sedangkan, kita tahu pula, jika sudah berurusan dengan maut, jangankan menteri, presiden, raja, bahkan Firaun yang mengaku sebagai tuhan pun pada akhirnya tunduk di hadapan maut.

Tetapi kita harus tahu pula, bahwa tampaknya ada sistem, di luar persoalan majikan yang kejam di luar batas perikemanusiaan, yakni sistem yang mengatur pola hubungan antara PJTKI – Agensi – TKI – Majikan. Apapun namanya sistem itu, seperti yang dapat kita tangkap dari penuturan Rini Widyawati (Catatan Harian Seorang Pramuwisma, JP-BOOKS, 2005), banyak ketidakadilan menimpa para BMI atau TKI terutama pada masa kontrak pertama mereka. Yakni jatah libur yang kadang tidak diberikan, pengupahan di bawah standar (underpay), potong gaji (untuk mengganti biaya administrasi, pengurusan passport dan visa, pembelian tiket pesawat, dan sebagainya.

Padahal menurut buku Pedoman Praktis untuk Pramuwisma Asing… yang diterbitkan Pemerintah Hongkong (Labour Departement), pihak majikanlah yang wajib mengganti ongkos atau biaya pengurusan/pengolahan dokumen, uang makan dan biaya perjalanan ke Hongkong dari negeri asal pramuwisma.

Tetapi, yang terjadi kemudian, beban biaya itu dibebankan kepada BMI dengan cara pemotongan gaji oleh agensi. Inilah yang kemudian membuat banyak BMI bertahan sampai mati, walau majikan kejam di luar perikemanusiaan, karena malu dan takut jika sampai di-PHK dan harus mengembalikan seluruh biaya perjalanannya ke Hongkong yang dibukukan sebagai utangnya.
Nah, bisakah dicegah agar tidak jatuh korban berikutnya?


*) Ditulis sebagai editorial tabloid HeLPER edisi ke-2

Saputangan Gambar Naga: Potret Keliaran Imaji Suparto Brata

(1)

Keberadaan saya di sini, sekarang ini, bisa jadi akan terasa sebagai sebuah penghormatan jika saya telanjur besar kepala, tetapi sesungguhnya tak kurang dan tak lebih adalah sebuah ’penganiayaan’. Bayangkan, seorang Bonari yang secara usia layak jadi cucu, dan secara kekaryaan --dalam jagad kepengarangan— tak akan lebih dari seorang cicit-cuit Suparto Brata (SPTBT) tiba-tiba didapuk untuk berbicara, berkomentar, tentang karya SPTBT, Saputangan Bergambar Naga (SGN).


Tetapi saya pikir-pikir, keadaan ’teraniaya’ ini bisa jadi bagian dari proses kreatif juga. Maka, saya berterima kasih kepada panitia, kepada Bu Adi, yang telah dengan begitu ’dingin’ menganiaya saya. Dan keberanian saya makin menjadi tatkala saya tahu bahwa di sebelah saya ada yang siap berbicara tentang SGN secara intelek, membedahnya dengan pisau teori yang berkilat-kilat, saking tajamnya. Jadi, saya cukup membumbuinya dengan glenyengan-glenyengan yang mungkin juga tak akan jelas ke mana jluntrung-nya.


(2)

Pada awal tahun 1980-an, harian sore Surabaya Post menurunkan komentar Budi Darma bahwa, seingat saya, dengan kata-kata saya, SPTBT adalah pengarang yang lebih sebagai seorang tukang cerita daripada seorang sastrawan. Pada gilirannya angkat biacara –yang kemudian juga dimuat harian sore Surabaya Post-- SPTBT tidak sedikit pun mengelak dari ’tuduhan’ Budi Darma itu. ’’Saya tidak mendapatkan julukan sebagai sastrawan juga tidak apa-apa. Disebut sebagai tukang cerita, pengrajin dongeng, atau apa sajalah orang mau menyebutnya, saya juga tidak apa-apa.’’ Kurang lebih seperti itulah jawaban SPTBT, sekali lagi, memakai kalimat-kalimat saya.

Secara harfiah, susastra berarti bahasa yang indah. Karya cipta yang menggunakan bahasa yang indah itu bisa berupa puisi, prosa, atau juga drama (teks). Maka, dengan sejenak melupakan teori yang kelewat ndakik-ndakik itu, konsep keindahan dalam karya sastra pun sebenarnya mengalami dinamika seperti dalam dunia mode.

Maka, marilah kita menghindar dari perdebatan mengenai tren, dan mari pula keluar dari mashab-mashab yang membelenggu kita dalam fanatisme berlebihan. Daripada berdebat tanpa ujung-pangkal, misalnya mengenai ’keterlibatan’ sastra, mengenai ideologi dalam sastra, mengapa tidak kita gunakan saja pendekatan secara glenyengan, misalnya, tetapi yang lebih damai dan bermanfaat daripada sekadar cakar-cakaran layaknya politikus berebut dingklik?

Apakah kita masih juga mau berdebat, misalnya mana karya yang lebih berguna, karya-karya yang dengan begitu kentalnya mengusung isme tertentu tetapi susah dipahami banyak orang, atau karya-karya yang oleh sebagian orang disebut sebagai karya kerajinan, yang hanya menyenangkan atau bersifat menghibur saja? Jika karya hiburan itu berhasil membantu seseorang atau sekian banyak orang untuk keluar dari depresi, dari stress, bukankah itu berarti lebih berkhasiat daripada karya-karya yang diberi label ’sastra tinggi’?

Maka, saya lalu teringat kepada kata-kata Cak Kandar, bahwa beliau lebih menghargai karya kerajinan jika hasilnya adalah sebuah ukiran kayu Jepara, daripada lukisan cekeremes yang dibuat oleh seniman yang hanya kemaruk mendapatkan pengakuan sebagai pelukis.

(3)

SPTBT telah mengabdikan dirinya kepada kesusasteraan, dan membuktikan bahwa ia tidak tangung-tanggung dalam pengabdiannya. SPTBT yang masuk ke dalam daftar Five Thousand Personalities of the World (1998) antara lain sebagai seorang penulis, penulis cerita dan wartawan freelance, sudah mempublikasikan tulisan-tulisannya berupa: berita, features, artikel, dan cerita fiksi sejak tahun 1951 dan masih trengginas dalam berkarya hingga tahun 2005 ini. Sudah 56 tahun! Dalam masa itu SPTBT tetap menjaga konsistensinya, menegakkan dedikasinya kepada kesusastraan: Sastra Indonesia dan Sastra Jawa sekaligus. Tak banyak penulis yang bisa menjaga stamina dan konsistensi seperti itu.

SPTBT pada awalnya adalah seorang kutubuku. Ketika bahan bacaan di sekitarnya habis dia baca, maka buku bacaan berbahasa Inggris pun dicoba dilahapnya. Mula-mula ya grathul-grathul, tetapi lama-kelamaan lancar dengan sendirinya.

Karena telah banyak membaca itulah maka kemudian SPTBT akhirnya terdorong juga untuk menulis, dan kemudian terbuktilah bahwa dia adalah orang yang sukses sebagai penulis. Suatu ketika, ia bepergian ke luar kota yang jauh dari tempat tinggalnya (Surabaya). Ketika berkenalan dengan seseorang yang baru ditemuinya dan orang itu mengaku telah sangat akrap dengan nama SPTBT melalui karangan-karangannya yang dipublikasikan melalui majalah berbahasa Jawa, SPTBT merasa senang. Itulah parameter utama untuk mengukur kesuksesan seorang penulis; karyanya dibaca orang. Karya-karya SPTBT adalah karya-karya yang banyak dibaca, sebab jika tidak demikian halnya, tidak mungkin penerbit seperti Grasindo mau menerbitkan lagi, menerbitkan lagi, dan menerbitkan lagi karya-karya SPTBT.

(4)

SGN adalah cerita yang mengasyikkan. Sebagian besar tokoh-tokohnya berada dalam dua setting waktu sekaligus, yakni waktu lampau (Zaman Kerajaan Kediri, 1289) dan waktu kini (sekitar tahun 1993). Saputangan ’pusaka’ bergambar naga menjadi barang sentral, yang menjadi alasan, alat, bagi pengarang untuk menggerakkan ceritanya, untuk mengaduk masa lalu dan masa kini menjadi adonan yang padu, berpilin-pilin, dan mengalir lancar. Tokoh-tokoh dalam SGN mengalami de ja vu. Keadaan de ja vu itu sedemikian hebatnya, sampai seperti kesurupan. Tokoh-tokoh mengalami disorientasi baik terhadap waktu maupun terhadap diri sendiri, yang dengan demikian justru memaklumi pemilinan antara kelampauan dan kekinian, memaklumi diri sebagai orang-orang ’sekarang’ yang sekaligus juga adalah tokoh-tokoh ’masa lalu’.

Orang Jawa biasanya juga sangat akrab dengan dunia wayang, baik yang bersumber pada kisah Ramayana maupun Mahabarata. Kisah tentang reinkarnasi, kelahiran kembali, bukan hal baru bagi orang Jawa. Banyak pula film Mandarin yang memanfaatkan bahan-bahan cerita seputar reinkarnasi. Lalu, fiksi modern Barat pun menyuguhkan kisah-kisah mengenai orang-orang yang terseret atau bahkan sengaja berkelana ke masa lalu dengan mesin waktu.

SGN sangat fantastis, tetapi tidak ngayawara, karena ia juga dilandaskan pada peristiwa-peristiwa sejarah.

(5)

Di mata saya, SPTBT yang telah menyelesaikan hampir 200 naskah cerita panjang adalah seorang pendekar di dalam dunia persilatan sastra Indonesia, dan lebih pendekar lagi dalam dunia persilatan sastra Jawa. SPTBT telah dua kali mendapatkan hadiah sastra Rancage masing-masing untuk buku kumpulan cerpen-nya Trem, dan sebagai tokoh yang berjasa (yang telah mengalami jatuh bangun bersama Sastra Jawa, pernah menggadaikan sepeda motornya untuk membiayai sebuah acara Sarasehan Sastra Jawa).

Kalau orang menyebut-nyebut nama R Intojo sebagai Bapak Soneta dalam Sastra Jawa, dan St Iesmaniasita sebagai salah seorang pelopor sajak bebas-nya, maka orang tidak bisa bicara tentang cerita-cerita detektif dalam sastra Jawa tanpa menyebut nama SPTBT.

SPTBT adalah pengarang hebat dengan stamina yang hebat. Maka, barangkali SPTBT tidak memerlukan lagi sebuah karya puncak, sebab semua karyanya adalah puncak. Ungkapan ini, menyitir Chairil, ’’sekali berarti, sudah itu mati,’’ tidak perlu berlaku bagi SPTBT yang berkali-kali berarti dan tak akan pernah mati. Bukankah seniman sejati tak akan pernah mati?

Sebagai pengarang, SPTBT tidak fanatik, dan bahkan tidak pernah berniat untuk mengusung isme tertentu di dalam karya-karyanya: kiriisme, kananisme, tengahisme, ruwetisme, libidoisme, dan seterusnya. Corak karya-karya SPTBT sangat beragam. Karena tidak adanya isme tertentu yang tampak kental pada karya-karyanya itulah tampaknya yang kemudian membuat orang melihat dan menilai SPTBT tak kurang dan tak lebih hanyalah sebabagi tukang bercerita. Dan SPTBT merasa tidak ada urusan dengan pandangan seperti itu. SPTBT juga tidak perlu membela diri, misalnya dengan menyerukan agar susastra dibersihkan dari kepentingan-kepentingan permukaan dan dikembalikan ke dalam dunia batin manusia yang paling dalam. Walah! (Bonari Nabonenar)



Surabaya, 18 Januari 2005

Tulisan ini dibuat sebagai pengantar diskusi buku novel Saputangan Gambar Naga karya Suparto Brata (Grasindo, 2003)

Belajar dari Munyuk

Pagi itu, Minggu (1/8) di Pendapa Taman Budaya Jawa Timur berlangsung Festival Tandhak Bedhes. Ada puluhan monyet diadu ketrampilan, kelucuan, dan ketangkasannya. Dengan iringan musik ketipung tabuh: thung-thung-thung-trung-thung-dhung, si bedhes alias monyet yang dipacaki seperti manusia, pakai baju dan celana, bahkan dilengkapi rumbai-rumbai, menari-nari. Pemiliknya yang sekaligus bertindak sebagai ’’sutradara’’ pun memberikan komando, kadang cukup dengan kata-kata, ’’Unyil pergi ke pasar…!’’ atau langsung menyodorkan peralatan atraksi yang harus dilakukan si bedhes seperti: model barbel, payung, pancing.

Para penonton yang sebagian adalah anak-anak dan ibu-ibu mereka pun larut dalam suasana ceria. Tak jarang, anak-anak itu mendekati sang tandhak alias si bedhes untuk mengelusnya, mengajaknya berjabat tangan, dan bercanda. Sebuah komunikasi yang penuh empati, akrap, antara dua jenis makhluk: hewan dan manusia.

Sebuah keharuan menyeruak tak bisa ditahan-tahan saat menyaksikan adegan seperti itu. Di satu sisi terlihat hubungan yang begitu “harmonis” antara hewan peliharaan dengan pemeliharanya. Bayangkan pula, betapa seekor binatang dapat membantu seseorang, sebuah keluarga untuk njejegake kendhil, untuk mempertahankan kelangsungan asap dapur, berjuang untuk hidup di zaman yang semakin serba susah ini.

Manusia, apalagi yang masih muda, masih berada dalam puncak usia produktif tetapi lebih suka bermalas-malasan, tak mau benar-benar bekerja dan haya menunggu ijasahnya ’laku’, diangkat menjadi karyawan swasta atau pegawai negeri, seharusnya tersindir oleh “etos kerja” para tandhak bedhes itu. Lha iya, ingatase binatang saja mau bekerja mencari nafkah untuk membantu manusia (walau sebenarnya juga terpaksa karena ’ketidakberdayaannya’ sebagai binatang di hadapan sang juragan, lha kok manusianya malah malas bekerja. Kan, begitu.

Di sisi lain terlihat pula semacam tindakan mengeksploitasi binatang peliharaan, dalam hal ini monyet. Gerakan-gerakan yang dilakukan tandhak bedhes itu: koprol, salto, atau menggeret ’gerobak’ dengan kedua tangannya, adalah gerakan yang sangat manusiawi, dan oleh karenanya mengingkari kebinatangannya.

Anak-anak senang melihat atraksi tandhak bedhes itu. Memang. Tetapi, begitukah cara terbaik mengajarkan kepada mereka: bagaimana menyayangi binatang? Agaknya, kita baru benar-benar bijaksana jika bersedia belajar kepada kera, bukannya justru mengajari mereka untuk mengingkari kebinatangan mereka sendiri.

Atau kita memang pengin sesekali bertukar, membuat bedhes jadi manusiawi, dan sebaliknya….* bonari nabonenar (bonarine@yahoo.com)


Ini kolom di tabloid Selebriti Campursari edisi 5, 19 agust – 2 sept 2004

Menulis Itu Pekerjaan Mulia

Pada tahun 1990 saya menghadiri Pestival Penyair Jawa dan Seminar Nasional Puisi Jawa di Gedong O IKIP Ketintang Surabaya. Begitu saya datang, beberapa teman yang datang lebih dulu memberi tahu saya bahwa saya dicari Pak Suripan. Saya bertanya-tanya, ada apakah gerangan seorang Suripan mencari saya, yang, waktu itu sebagai penggurit pun saya masih tergolong pemula?

Benar, ketika melihat saya, Pak Suripan melambaikan tangannya, memanggil saya. “Ke sini!” hanya itu yang diucapkannya, sambil bergegas ke tempat duduknya, di barisan paling depan di ruangan cukup luas yang sudah hampir penuh dengan para peserta seminar itu. Berjalan di belakang Doktor kentrung itu, saya merasa hampir semua mata memandang ke arah saya, dan kepala saya pun terasa membesar. Pak Suripan segera mengambil sebuah majalah Horison dan memberikannya kepada saya. ’’Ini, bawalah! Ada cerpenmu di sini.’’

Begitulah seorang Suripan membanggakan mahasiswanya yang ’berhasil’ menulis. Menulis, menulis, dan menulislah! Itulah ’ajaran’ yang yang selalu dipompakan kepada para mahasiswanya, betapapun dia sadar bahwa tak ada ’sekolahan’ yang bisa mengubah seseorang menjadi penulis atau pengarang.

Suripan juga sadar bahwa penulis di Indonesia pada umumnya miskin. Tetapi menulis itu, katanya, pekerjaan mulia. Bahkan, katanya pula, seandainya sekarang masih ada sistem kasta, maka penulis akan tergolong ke dalam kasta brahmana, kasta paling tinggi derajatnya. Begitulah. Maka, IKIP Surabaya, ketika itu, mungkin tergolong paling banyak melahirkan penulis/pengarang dibandingkan dengan IKIP yang lain.

Mungkin juga, seandainya Suripan dibebaskan menciptakan mata kuliah sendiri, dia akan memilih mata kuliah mengarang. Ada kisah yang cukup seru mengenai hal itu. Ketika itu Pak Suripan mengadakan ujian semester untuk mata kuliah kritik sastra. Karena dia dosen yang sangat berwibawa, sangat disegani, sudah barang tentu para mahasiswa mempersiapkan diri dengan sunguh-sungguh, menghafal teori-teori, rumus-rumus, dan, bahkan, beberapa mahasiswa juga mempersiapkan jurus menyontek paling mutakhir. Pasalnya, selain dosennya sangat disegani, mata kuliah teori sastra juga tergolong mata kuliah yang berat. (Catatan: Jadi, waktu itu di Jurusan pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Surabaya ada dua mata kuliah ’berwibawa’ yang dipegang oleh dua dosen berwibawa. Satu, mata kuliah Sintaksis atau Tatabahasa III yang dipegang Gatot Susilo Sumowidjojo yang terkenal dengan bahasa baku-nya itu, sampai-sampai ia memberi contoh menulis cerpen dan bahkan puisi dengan bahasa baku. Kedua, ya Pak Suripan dengan mata kuliah Teori dan Kritik Sastra-nya itu). Nah, singkat cerita, pagi itu para mahasiswa sudah siap di tempat duduk masing-masing. Seingat saya, di antara mahasiswa yang tegang saat itu ada Mbak Ardiana, isteri Dr Leo Ida Ardiana, dan Bu Hari Astuti, isteri Pak Suripan. Soal pun dibagikan. Hah! Isinya hanya sebuah puisi dengan perintah untuk membuat tulisan kritik mengenai puisi itu. Itu, tentu sangat meleset dengan dugaan mahasiswa yang pada era 80-an itu masih biasa dicekoki soal ujian model jawaban singkat atau bahkan pilihan ganda. Tidak ditunggui secara ketat, memang. Tapi, mau apa? Seandainya dibebaskan menyontek pun, mau menyontek apa? Maka ketika itu umpatan gaya Surabaya pun berhamburan, diiringi tawa yang tertahan-tahan. Tawa, yang, aromanya begitu kecut. Para mahasiswa yang tak biasa menulis, mengarang, atau yang menerima tugas mengarang sebagai kutukan, tentu merasa sangat kesal.

Keras dan tekun dalam bekerja, kuat memegang prinsip, dan sangat perhatian kepada para mahasiswanya. Itulah Suripan. Banyak yang heran, karena orang sekaliber Suripan masih sempat-sempatnya dan mau-maunya menulis dalam bahasa Jawa. Pertimbangan honor, jelas tak masuk akal. Pertimbangan publikasi yang luas, tentu juga tidak, mengingat pembaca media berbahasa Jawa jumlahnya sangat sedikit. Pertimbangan popularitas, malah makin tidak masuk akal. Kecintaannya kepada sastra Jawa. Itulah! Maka pada pertemuan di rumahnya tanggal 4 Februari kemarin ia menegur Anggarpati, penyair wanita asal Tuban yang dilihatnya tidak lagi produktif menulis dengan bahasa Jawa. ’’Tapi saya masih menulis tentang sastra Jawa, Pak. Tetapi dengan bahasa Indonesia.’’ Apa komentar Suripan? ’’Asalmu kuwi saka Jawa!’’ (=Kamu itu berasal dari Jawa!)

Kecintaannya kepada buku melengkapi ketekunan dan kegigihannya untuk menjadikannya seorang dokumentator handal, sehingga Suparto Brata menjulukinya sebagai HB Jassin-nya sastra Jawa. Setiap pulang dari luar negeri Suripan suka memamerkan oleh-olehnya berupa buku, kepada rekan dosen maupun kepada para mahasiswanya. Karena kecintaannya kepada buku pulalah, tampaknya, seorang Suripan akan merasa bangga jika berhasil menerbitkan bukunya, seperti orang lain bangga ketika punya mobil baru. Sayang, disertasinya: Sarahwulan: Cerita Kentrung dari Tuban itu masih diproses oleh Yayasan Bentang Yogyakarta untuk dijadikan buku ketika Suripan tutup usia.

Selamat jalan, Pak Suripan.*

Pernah dimuat Jawa Pos

TELEVISI

Cerpen Bonari Nabonenar


Bulan tua. Bintang-bintang tak secerah biasanya. Malam yang gelap itu pun menggerayangi Desa Pagerwatu. Juga, dinginnya angin malam musim kemarau. Aroma daun-daun kering tersebar ke mana-mana. Kembang cengkih, harumnya semakin menyesakkan dada.


Anak-anak, para remaja, bahkan yang tua-tua, seperti berebut meninggalkan surau Kiai Kosim yang ada di salah satu pojok Desa Pagerwatu, begitu salat isyak usai. Beberapa anak berlari dengan obor atau lampu senter, seperti berlomba untuk segera sampai di rumah Pak Mardi. Mereka lalu berebut tempat paling strategis untuk menyaksikan akting pendekar kesayangan di televisi.

''Wah, sayang. Dieselnya mati! Akinya juga tinggal satu. Itu pun setrumnya tinggal sedikit, untuk lampu,'' Pak Mardi menjelaskan.

Mereke kecewa berat. Pak Mardi dan Bu Mardi tahu itu, dan semakin kecewa. Kecewa karena tidak akan dapat mengikuti perjalanan nasib pendekar gagah berani pada malam itu, juga karena tahu bahwa orang-orang itu merasa sangat kecewa. Mereka sering membantu. Pekerjaan mengambil bunga cengkih dari gagangnya jika musim panen tiba akan mereka lakukan dengan sukacita sambil menonton televisi. Padahal tanpa bantuan mereka, pekerjaan itu akan sangat banyak menyita
waktu dan tenaga.

''Kok masih sepi?'' tanya Pak Lurah yang baru datang.

''Dieselnya mati, Pak!'' jawab seseorang.

''Padahal nanti ada sepak bola, lho''

''O, Pak Lurah. Mari, Pak masuk'' Pak Mardi mempersilakan.

''Aku tadi juga kehabisan setrum, maka ke sini. Mau ke rumah Benu, malas jauhnya.''

''Sepeda motor itu, bisa dipakai, Pak''

''Ah, tidak usah, bagaimana kalau kita pinjam aki surau?''

''Apa boleh, Pak?''

''Keterlaluan sekali kalau tidak boleh. Itu dulu sumbangan dari desa.''

''Kalau begitu, mumpung masih banyak orang, Pak''

Pardi dan Sunar, dua orang yang mendapat tugas menemui Kiai Kosim untuk meminjam aki surau segera berangkat dengan suka cita. Tetapi sebagian calon pemirsa yang malam itu hanya ingin menyaksikan akting pendekar kesayangan mereka kebanyakan adalah para wanita dan anak-anak mereka memilih pulang. Film yang mereka tunggu-tunggu tentu sudah akan usai ketika aki itu datang. Sesaat, tempat kosong yang mereka tinggalkan jadi rebutan. Tikar yang kusut segera mereka tata kembali, setelah suasana menjadi tenang.

Aki dari surau tak segera datang. Pak Lurah pun tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.

''Kok lama, ya?''

''Mungkin tidak segera bertemu dengan Kiai Kosim, Pak.''

''Tapi, tadi ada, ya?''

''Ada, Pak.''


Atas perintah Pak Lurah, dua orang lagi sudah hendak berangkat menyusul ketika yang mereka tunggu-tunggu datang. Pardi dan Sunar datang dengan dua buah aki besar-besar, dengan napas besar-besar.

''Wah, hampir jatuh di jembatan, Pak'' kata Sunar mengadu kepada Pak Lurah.

''Mengapa sampai dua?''

''Yang satu ini setrumnya sudah habis Pak. Oleh Kiai Kosim disuruh menitipkan untuk diseterek''

''Masukkan ke dalam Colt sekalian kalau begitu, biar esok tidak tertinggal karena lupa,'' perintah Pak Mardi.


Mereka masih sempat menonton bagian akhir siaran Dunia dalam Berita. Tetapi setelah itu, saluran tidak segera dipindahkan ke stasiun yang akan menayangkan secara langsung pertandingan sepak bola di luar negeri. Padahal yang dapat melakukannya hanya Benu, pemilik parabola yang murah hati mau membocorkannya itu.


''Kalau kita tunggu seperempat jam tetap tidak dipindahkan, ini nanti harus ada yang datang ke rumah Benu.''

''Ya, Pak,'' beberapa orang menjawab serentak.

''Mungkin Mas Benu tidak tahu kalau ada tayangan langsung sepak bola. Padahal, dia juga pecandu berat''

''Tetapi, kalau istrinya belum tidur, dia bisa kalah oleh istrinya''
Untunglah, setelah sesaat berpindah-pindah dari satu saluran ke saluran lain, akhirnya berhenti di saluran sepak bola.

''Nah, ini dia''

Dan, dengan khusuk mereka menyaksikannya, sekali-kali muncul komentar dari mereka. Bahkan kadang berkembang menjadi debat, lalu ada yang memperingatkannya dengan bunyi ''Sssttt''. Tetapi tak lama kemudian muncul komentar lagi. Lalu debat lagi. Pardi dan Sunar termasuk yang paling bersemangat. Mereka menjagokan tim yang sama. Suasana semakin hangat, dan akhirnya mereka sepakat bertaruh. Pardi dan Sunar, jika tim yang mereka jagokan kalah, harus bersedia mengembalikan aku yang mereka pinjam. Siapa yang meminjam wajib mengembalikan. Tetapi , Sunar dan Pardi wajib mengembalikan aki itu karena mereka kalah dalam taruhan.

Seusai tayangan sepak bola itu, ternyata pada saluran lain ada acara yang tidak kalah menariknya, yaitu pergelaran wayang kulit. Semuanya sepakat menontonnya sampai usai. Ternyata hingga menjelang subuh belum juga usai.

''Siapa yang akan mengembalikan aki tadi? Ini sudah hampir subuh'' Pak Lurah mengingatkan.

''Ya. Toh, kita sudah tahu bagaimana akhir ceritanya nanti,'' sambung Pak Mardi.

Mereka segera bubar. Pardi dan Sunar kembali menggotong aki ke surau. Sumpah-serapah atas kesialan mereka tercecer sepanjang jalan. Kesialan terus memburu mereka. Mungkin karena kurang berhati-hati atau karena mengantuk, atau semata-mata karena mereka sedng bernasib sial, Sunar yang berada di depan tergelincir ketika sampai di jembatan bambu, hanya beberapa puluh meter sebelum sampai di surau. Aki yang mereka gotong terjatuh dan membentur batu di bawah
jembatan bambu itu. Sunar meringis kesakitan. Kakinya terkilir. Pardi segera merangkak ke kolong jembatan. Dengan lampu senternya, dia mencari-cari aki itu.

''Pecah, Nar,'' teriak Pardi, membuat Sunar semakin meringis. Sambil menahan sakitnya, Sunar bangkit untuk membantu Pardi mengangkat aki itu dari bawah jembatan. Dengan susah payah, aki itu dapat mereka ambil, dan mereka gotong lagi sampai surau.

Pardi segera berlari ke rumah Kiai Kosim, ingin membangunkan Kiai itu dan kemudian melaporkan semuanya, Sunar menunggu di surau, sambil memijiti kakinya.

Kiai Kosim sudah bangun sebelum Pardi datang. Kiai paling kharismatik di seluruh Desa Pagerwatu itu hanya mengangguk-angguk ketika Pardi menyampaikan laporannya.

''Syukurlah, bukan kalian yang tersungkur ke kolong jembatan. Nah, segeralah ke surau, pukul beduk keras-keras. Aku akan segera menyusul.''

''Ya, Kiai.''

Ketika berjalan kembali ke surau, Pardi menimbang-nimbang dalam pikirannya sendiri, manakah yang paling menyebabkan dia harus memukul beduk keras-keras pagi itu: jembatan bambu yang seharusnya sudah diganti beton, ataukah televisi kebanggaan bersama milik tetangga. Sunar, barangkali juga sedang memikirkan hal yang sama.[]


Surabaya, Agustus 1995

Monday 25 February 2008

Budaya Jawa Dianggap 'Tak Layak Pakai'

Budaya Jawa, sebagai ladang persemaian nilai-nilai Timur, kini mulai mengering. Bahkan, ekspresi-ekspresi seni pun kini mulai sulit tumbuh di wilayah komunitas budaya Jawa. Seni-seni Jawa, baik seni rakyat maupun seni keraton, kini makin terpinggirkan oleh berbagai bentuk seni modern yang lebih mampu menarik minat publik.

Lebih dari itu, menurut beberapa pengamat budaya Jawa, saat ini bahkan terjadi semacam dekadensi nilai moral, etika dan budi pekerti yang sangat akut di kalangan generasi muda Jawa. Masyarakat Jawa sendiri kini justru menganggap nilai-nilai budaya Jawa sudah 'tak layak pakai'. Setidaknya, itulah yang Sarasehan Jawi mengemuka dalam yang digelar di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bangsa, Tulungagung, Jawa Timur, belum lama ini.

Sarasehan yang sekaligus wisuda tujuh anggota Persatuan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani) itu diikuti sekitar 400 orang sastrawan, guru, wartawan, dan masyarakat peduli sastra Jawa. Mereka secara khusus membahas masalah budi pekerti dan nasib sastra Jawa, yang kini nyaris mati.

Para pembicara umumnya melihat bahwa terpinggirnya sastra Jawa, dan seni-seni Jawa lainnya, adalah akibat kuatnya desakan arus globalisasi. Arus budaya global yang masuk ke Jawa makin membesar sejak kran informasi dibuka dalam era reformasi. Kondisi menjadi parah, karena masyarakat Jawa, khususnya kaum tua, kurang memiliki filter yang ampuh untuk menepis pengaruh negatif budaya Barat itu.

Ironisnya lagi, generasi muda Jawa begitu kegenitan dan gandrung mengadopsinya, dengan alasan sederhana: lebih modern. Sedangkan budaya Jawa dianggap tidak laik dilakoni lagi dan harus masuk 'museum', karena dinilai sudah kadaluwarsa. ''Inilah kecenderungan sikap yang terjadi pada masyarakat Jawa sekarang,'' kata Ema Kusmadi, pengamat budaya Jawa dan salah seorang pembicara dalam sarasehan itu.

Celakanya, menurut mantan Kepala Museum Mpu Tantular Surabaya ini, rasa gandrung terhadap budaya Barat tersebut tanpa dipilih secara selektif. Mereka asal mengadopsi saja. Tidak memilih mana yang layak dan mana yang tak layak ditiru. ''Kalau kecanggihan dan kemodernan ilmu pengetahuannya harus kita serap, tapi tingkah laku negatifnya jangan,'' kata Ema.

Namun yang terjadi, lanjutnya, tingkah laku orang Barat --yang kurang sesuai dengan etika Timur-- juga ikut diterapkan dalam keseharian generasi muda Jawa. Anak muda Jawa, misalnya, sekarang rata-rata tidak hormat pada orang tua. ''Itu belum lagi budaya seks bebas yang kini menggejala di tengah masyarakat kita,'' ujarnya prihatin.

Diakui atau tidak, tambahnya, pengaruh kuat yang menyokong itu semua adalah media massa, terutama televisi. ''Lihatlah siaran televisi swasta kita, sejak kran kebebasan dibuka, didominasi film-film yang kurang mendidik,'' katanya.

Sementara itu, media sastra Jawa, yang lebih mengedepankan nilai-nilai adilihung dengan penuh warna ketimuran dan religi, kini sudah nyaris punah. Banyak penerbitan bahasa Jawa yang gulung tikar. Kini, tinggal beberapa media Jawa yang masih hidup, yakni Majalah Jayabaya, Penyebar Semangat, dan Mekarsari.

Ketiga media Jawa itu pun, menurut Ema, hidup kembang-kempis<. Oplahnya tidak lebih dari 10.000 eksemplar. Oplah yang minim ini pula yang membuat tak jarang media Jawa terpaksa harus mengubah diri menjadi media berbahasa Indonesia, misalnya Darma Nyata.

Sastra Jawa makin merana ketika para sastrawan Jawa ramai-ramai hijrah ke sastra Indonesia, misalnya Bambang Sadono, Arswendo Atmolito, Jayus Pete, Bonari Nabonenar, dan Bagus Putu Parto. ''Mereka semua itu berangkat dari sastra Jawa,'' kata Narko Budiman, ketua Sanggar Sastra Triwida Tulungagung -- sebuah sanggar sastra Jawa yang di Tulungagung.

Bila tidak segera 'hijrah' ke sastra Indonesia, tambah Narko, periuk kehidupan sastrawan Jawa memang tidak bisa mengepul. ''Kalau media Jawa sudah tak bisa diharapkan, lalu ke mana lagi kita harus bertopang hidup. Mau tak mau kita harus hijrah ke sastra Indonesia,'' papar Narko.

Meski banyak sastrawan Jawa 'melacurkan diri' ke media sastra Indonesia, paparnya, bukan bebarti mereka benar-benar berhenti dalam berkarya sastra Jawa. Mereka tidak sedikit yang merumput di sastra Indonesia, tetapi penghasilannya dibuat untuk melestarikan dan menghidupkan sastra Jawa.

Untuk tetap menghidupkan sastra Jawa, almarhum Tamsir AS (pendiri Sanggar Sastra Triwida) sampai harus berjualan tebu. ''Itu karena sikap kuatnya memegang idealisme. Dia lebih suka bersusah berjualan tebu daripada harus melacurkan diri dengan mencari uang di wilayah sastra Indonesia,'' kata Tiwi SA, sastrawan Jawa gaek.

Pada tahun 1980-an, Tiwi memang pernah mengucapkan 'Sumpah Palapa Tiwi SA'. Seumur hidup ia akan tetap berkarya dalam sastra Jawa. Sumpah itu diucapkannya setelah Arswendo Atmolito menyatakan sastra Jawa akan tinggal nama. ''Sumpah itu kami cetuskan karena kami menganggap sastra Jawa akan selalu eksis. Rupanya anggapan saya keliru, dan Arswendo yang benar,'' kata Tiwi yang kini juga merambah sastra Indonesia.

Ada beberapa alasan mengapa sastrawan Jawa meninggalkan bahasa daerahnya dan menulis dalam bahasa Indonesia. Selain karena media sastra Jawa sudah sekarat, pengarang juga tidak terbiasa lagi mempergunakan bahasa Jawa. Untuk menulis sastra Jawa, pengarang harus membiasakan diri pada cara berbahasa sastra yang sedang berkembang serta membaca karya-karya yang merupakan puncak-puncak pencapaian penulisan sastra Jawa. Kalau tidak, mereka akan tertinggal zaman dan sulit menghasilkan karangan yang dapat menunjang pertumbuhan sastra Jawa.

Kecuali itu, kata Tiwi SA, mereka juga perlu memahami alam pikiran masyarakat Jawa. Seperti kepercayaan, mistik, pedalangan, dengan berbagai istilah dan pengertian yang tepat. Mereka harus menghadapi istilah-istilah dan ungkapan yang bertalian dengan dunia pewayangan, seni tari, tatanan pedesaan, tatacara pergaulan, dan alam kebatinan.

Namun, menurut Tiwi, pilar-pilar itu tidak dimiliki lagi oleh sastarawan Jawa sekarang, khususnya pemula. Maka jalan pintas yang mereka lakukan adalah hijrah ke sastra Indonesia. Apalagi ladang sastra Jawa kini sudah tak lagi subur untuk mendulang penghasilan. n sunarwoto

Tinggal Menunggu Saat Mati

''Kongres sastra Jawa sudah beberapa kali digelar, namun nasib sastra Jawa masih seperti ini. Tidak ada perubahan. Malah sekarang sastra Jawa tinggal menunggu hari kematiannya,'' kata Ketua Sanggar Triwida Tulungagung Narko Budiman kepada >Republika belum lama ini.
Sinyalemen tersebut bisa dilihat dari perkembangan media sastra Jawa sekarang. Kini tinggal tiga media cetak berbahasa Jawa yang masih hidup, yakni Majalah Jayabaya, Penyebar Semangat, dan Mekarsari. Yang lainnya sudah gulung tikar.

Menurut Narko, agar sastra Jawa tetap eksis tidak bisa semata berharap dari pengarangnya semata, tapi juga seluruh komunitas Jawa, termasuk pemerintah daerah. ''Karena itu, kami di Tulungagung mendesak agar pemerintah daerah memasukkan sastra Jawa ke kurukulum muatan lokal sejak SD hingga SMU,'' katanya.

Selain itu, Narko juga mengusulkan agar semua instansi pemerintah di lingkungan Pemkab Tulungagung berlangganan media sastra Jawa. Minimal satu kantor satu majalah, apapun majalahnya. ''Dengan begitu penerbitan sastra Jawa, yang mewadahi karya satra Jawa, bisa tetap berdiri dengan sehat,'' ujarnya.

Karena oplahnya kecil, pengelola majalah sastra Jawa tidak bisa memberi imbalan yang layak. Imbalan untuk sebuah cerkak (cerpen), misalnya, maksimal hanya Rp 50 ribu. Malah ada yang Rp 15 ribu hingga Rp 25 ribu per cerkak. Sedangkan media sastra Indonesia untuk sebuah cerpen Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu. ''Tentu saja banyak pengarang yang lari ke ladang sastra Indonesia,'' ujar Narko.

Sementara itu, Bupati Tulungagung Ir Heru Tjahjono MM berjanji akan ikut berupaya mengembangkan sastra Jawa di daerahnya, seperti memasukkan sastra Jawa ke dalam kurikulum muatan lokal di SD hingga SMU. ''Semoga ini akan ditiru oleh pemda-pemda di seluruh Jawa, agar kehidupan sastra Jawa bisa … (ilang, Bon)
()
REPUBLIKA ONLINE
Minggu, 09 Nopember 2003

DIKOPAS DARI SINI

KRITIKUS SASTRA KITA YANG KEBINGUNGAN

Oleh : R Giryadi

Apa yang diungkapkan oleh Emmanuel Subangun terhadap kondisi sastra di Jawa Timur, di Temu Sastra Nusantara 25 November 2006 di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) lalu, sebagaimana terungkap juga dalam tulisan Tjahjono Widarmanto (Kompas, 9-12-2006), memang bisa memancing perdebatan. Menurut Emmanuel, di Jawa Timur, tidak ada lagi sastrawan. Kalaupun ada, menurut Emmanuel, mereka membuat karya sastra hanya untuk klangenan, iseng, tidak ada maknanya, dan membingungkan.


Masalah utama dalam ungkapan Emmanuel Subangun ini adalah, parameter untuk menyebut sastrawan dan bukan sastrawan. Dari cara mengungkapkannya parameter yang digunakan Emmanuel adalah parameter ‘Jakarta’ yang dalam pengertian ini adalah sastra/sastrawan yang sudah men-Jakarta. Atau paling tidak karya-karyanya sudah dimuat di media massa Jakarta.

Dengan menggunakan parameter ini, tentu Emmanuel tidak (akan) sempat melihat geliat perkembangan sastra di Jawa Timur, sebagaimana telah diungkapkan dalam esai Tjahjono Widarmanto. Dengan menggunakan parameter Jakarta sebagai ‘stempel’ seorang (bisa) dikatakan sastrawan, tentu akan mengacaukan perkembangan sekaligus sejarah sastra itu sendiri. Apalagi, bila data yang dibaca Emmanuel hanya berdasarkan koran terbitan Jakarta saja, tentu akan bertambah kacau dalam memandang sastra yang berkembang di daerah tidak hanya di Jawa Timur tetapi juga daerah-daerah lain seperti Padang, Riau, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogjakarta, Jawa Timur termasuk Madura, Bali, dan lain sebagainya, yang selama ini kondisi sastra dan sastrawannya bergeliat dengan caranya sendiri.

Dalam kasus ini, tentu Emmanuel tidak melihat kenyataan yang terjadi di Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sumenep, Mojokerto, Madiun, Ngawi, Malang, dan Surabaya, yang kehidupan sastrannya akhir-akhir ini menggeliat dalam komunitas-komunitas dan kampus-kampus. Mereka memang tidak bergerak dalam koran-koran, baik nasional maupun local, tetapi lebih memilih menerbitkan secara indelable yang didanai oleh dewan kesenian, komunitas, maupun dana pribadi.

Ungkapan Emmanuel yang menyatakan tidak ada sastrawan di Jawa Timur pasca Budi Darma tentu ungkapan yang membingungkan. Dengan menggunakan Budi Darma atau Umar Kayam –seperti yang disebutkan Emmanuel- sebagai tolok ukur, tentu orang yang namanya, Ratna Indraswari Ibrahim, Beni Setia, Soya Herawati, Shoim Anwar, Herry Lamongan, Aming Aminudin, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, HU Mardiluhung, Anas Yusuf, W Haryanto, S Yoga, Sony Karsono, Mashuri, Indra Tjahyadi, Imam Muhtarom, Lan Fang, Puput Amiranti, Widodo Basuki, Bonari Nabonenar, dan lain sebagainya tidak tercatat dalam peta sastra kita.

Padahal, mereka yang saya sebut adalah generasi terbaru penulis sastra di Jawa Timur yang cukup mewarnai perkembangan sastra nasional maupun local. Mereka juga kerap mengisi kolom-kolom sastra di koran-koran nasional. Bahkan dalam berbagai lomba penulisan sastra dan kritik sastra nasional, penulis sastra semacam Soya Herawati, Shoim Anwar, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, HU Mardiluhung kerap meraih kejuaraan. Tentu ini bukan salah satu parameter untuk mengatakan bahwa dia seorang sastrawan atau bukan. Namun, melihat sepak terjang mereka tentu kita patut menilainya sebagai penulis sastra, generasi pasca Budi Darma.

Sementara itu orang-orang semacam Herry Lamongan, Aming Aminudin, W Haryanto, Bonari Nabonenar adalah orang-orang yang getol menghidupkan komunitas, dan berusaha mencari generasi-generasi baru, penulis sastra di lingkungannya sendiri, dengan caranya sendiri. Herry Lamongan bersama penulis sastra Lamongan menghidupkan Kostela. Aming Aminudin bergerak dengan Malam Sastra Surabaya, W Haryanto aktif dikomunitas sekitar kampus Unair, dan Bonari Nabonenar aktif di perkumpulan sastrawan Jawa. Kehidupan sastra di Jawa Timur tidak hanya hidup di ruang-ruang sastra koran, tetapi juga dalam komunitas, dan juga penerbitan buku-buku. Dari ketiga kondisi inilah kita bisa membaca -paling tidak- dengan baik, kondisi sastra saat ini di Jawa Timur.

Tentu melahirkan sastrawan sebesar Umar Kayam atau Budi Darma, tidaklah mudah. Namun, menilai Jawa Timur tidak ada generasi baru adalah sebuah kesalahan besar. Apalagi, bila penilaian itu hanya berdasarkan teks sastra koran yang mungkin hanya sempat dibaca (terbaca) oleh Emmanuel. Sebagai salah satu peneliti tentu apa yang diungkapkan Emmanuel hanya asumsi belaka. Meskipun hal itu sangat gegabah.

Kegegabahan ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, pada kritik sastra kita dalam hal ini kritikus sastra. Sejauh mana mereka mengamati perkembangan sastra baik nasional maupun local? Apakah mereka benar-benar memahami fluktuasi sastra yang tidak hanya terjadi di koran-koran tetapi juga di komunitas-komunitas bahkan dalam dunia cyber?. Apakah sebuah sastra harus diterbitkan di koran-koran (nasional) untuk disebut sastra ataupun sastrawan?

Berpangkal dari pernyataan Emmanuel tentu kita masih patut mempertanyakan tentang kondisi kritik sastra kita sampai hari ini, sampai lahirnya istilah baru tentang sastra seperti, sastra wangi (sastra lendir), teen lit, cikn lit, cybersastra, dan lain sebagainya. Jangan-jangan kita tidak punya kritikus sastra, seperti HB Jassin, Subagio Sastrowardoyo, Suripan Sadihutomo (hanya sekedar menyebut contoh, pen), yang utun mengamati sastra beserta dokumentasinya? Atau jangan-jangan, kritikus sastra kita frustasi melihat perkembangan sastra yang membuncah dan tak terkendali pasca Orde Baru minggir dari kekuasaan? Ayo, siapa bisa menjawab?

R.Giryadi
Penulis sastra tinggal di Sidoarjo

DIKOPAS DARI SINI

Friday 22 February 2008

TERMINAL ADALAH WAJAH KITA JUGA


’’Upaya penataan alur bus kota di Terminal Purabaya sempat diwarnai kisruh. Kamis malam (21/2), Friske Wirawan, seorang kondektur bus kota trayek F, dikeroyok petugas terminal. Akibatnya, selain matanya lebam dan ulu hatinya sakit, iga kiri Miko-sapaan Friske-retak. Menurut kesaksian sejumlah saksi mata, Kepala UPTD Terminal Purabaya Eddi turut terlibat baku hantam.’’ Demikian paragraf pertama sebuah berita di halaman Metropolis Jawa Pos hari ini, Sabtu 23 Februari 2008 yang dijuduli Kondektur Melapor Dikeroyok Petugas Terminal.

Paragraf akhirnya makin mengejutkan, begini:

’’Di sisi lain, Eddi mengakui pihaknya tak segan-segan untuk menempeleng kondektur dan sopir yang nakal. Hal ini dilakukan untuk menegakkan aturan yang telah disepakati. --Masalahnya, saya berurusan dengan kondektur. Hal-hal seperti itu sangat mungkin sering terjadi, katanya’’

Eddi yang disebut-sebut itu ialah Kepala UPTD Terminal Purbaya atau yang juga dikenal sebagai Terminal Bungurasih.

Apakah aneh apakah bodoh, ya? Apakah sebuah terminal sedemikian potensialnya membuat seseorang, bahkan pejabat yang di awal pengangkatannya sebagai PNS pun sudah terima kursus prajabatan itu menjadi preman? Tindakan kampleng-mengampleng, dalam kasus pelanggaran disiplin oleh awak bis seperti diberitakan Jawa Pos itu? Mengapa mesti pakai kekerasan seperti itu?

Panggillah pihak manajemen perusahaan jasa angkutan tempat kondektur itu bekerja, pakailah foto (sekarang kamera didital kan bukan barang mahal untuk petugas terminal sebesar Purabaya, bahkan HP murah pun sudah pakai kamera pula) atau rekaman CCTV untuk menunjukkan bahwa kondektur itu benar melanggar. Lalu, kasih ultimatum itu perusahaan, jika tidak bisa menindak karyawannya. Kalau pihak Terminal punya mekanisme penegakan disiplin dan tatatertib, apakah ada prosedur tempelengan macam yang terjadi itu? Jika tidak, kita akan melihat, apakah Kepala UPTD Terminal Bungurasih itu akan menerima sanksi, hukuman, dari atasannya. Kita tunggu beritanya. Atau, kita malah akan mendapatkan berita tentang kekerasan yang lain lagi sebagai penyempurna kesan umum bahwa terminal kita sedemikian bobroknya, bahwa kadang yang menterang hanya bangunan fisiknya.

Termial adalah wajah kita juga. Wajah bangsa Indonesia! []

Baca beritanya di sini

Wednesday 20 February 2008

ULANGTAHUN SASTRAWAN INDONESIA

[001] A.A. Navis Padang Panjang, 17 November 1924
[002] Abdoel Moeis (Solok, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 - Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959)
[003] Acep Zamzam Noor (lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960)
[004] Achdiat Kartamihardja (lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, 6 Maret 1911.
[005] Adinegoro (lahir 14 Agustus 1904 di Talawi, Sumatera Barat, meninggal 8 Januari 1967 di Jakarta

[006] Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948)

[007] Tengku Amir Hamzah adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Amir Hamzah bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur pada tanggal 28 Februari 1911.

[008] Arifin Chairin Noer (10 Maret 1941 - 28 Mei 1995), lebih dikenal sebagai Arifin C. Noer,

[009] Arswendo Atmowiloto (lahir Solo, 26 November 1948) mempunyai nama asli Sarwendo

[010] Armijn Pane (18 Agustus 1908, Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara - 16 Februari 1970, Jakarta)

[011] Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926, meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004)

[012] Justina Ayu Utami adalah aktivis jurnalis dan novelis Indonesia, ia lahir di Bogor, 21 November 1968,

[013] Binhad Nurrohmat, lahir di pedalaman Lampung, 1 Januari 1976

[014] Bondan Winarno (Lahir: Surabaya, 29 April 1950)

[015] Abdul Hadi Widji Muthari. Ia dilahirkan di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1948
[016] Ahmadun Yosi Herfanda atau juga ditulis Ahmadun Y. Herfanda atau Ahmadun YH (lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958)

[017] Ari Setya Ardhi (Jakarta, 31 Mei 1967–Jambi, 17 Februari 2006) adalah sastrawan Indonesia

[018] A.S. Dharta (lahir di Cibeber, Cianjur, 7 Maret 1924, meninggal di Cibeber, Cianjur, 7 Februari 2007) adalah sastrawan Indonesia. Nama sebenarnya Adi Sidharta, tetapi biasa disingkat A.S. Dharta. Nama aliasnya bejibun. Yang sering dipakai adalah Klara Akustia. Lainnya: Kelana Asmara, Jogaswara, Rodji, Barmara Poetra, dan masih banyak lagi.

[019] Asep S. Sambodja (lahir di Solo, 15 September 1967) adalah sastrawan Indonesia.

[020] Ayatrohaedi (Jatiwangi, Majalengka, 5 Desember 1939–Sukabumi, 18 Februari 2006) adalah seorang sastrawan Indonesia yang banyak menghasilkan karya dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda.

[021] Bondan Winarno (Lahir: Surabaya, 29 April 1950) adalah seorang penulis dan wartawan Indonesia

[022] Bastian Tito (23 Agustus 1945–2 Januari 2006) adalah seorang penulis cerita silat asal Indonesia. Karyanya yang paling terkenal adalah Wiro Sableng.

[023] Budi P. Hatees (lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, 3 Juni 1972) adalah seorang sastrawan Indonesia

[024] Chairil Anwar (Medan, 26 Juli 1922 — Jakarta, 28 April 1949)

[025] Dami Ndandu Toda, (Pongkor, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, 20 September 1942 - Leezen, Jerman, 10 November 2006), adalah kritikus sastra Indonesia.

[026] Danarto lahir di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940.

[027] Dewi Lestari Simangunsong (akrab dipanggil Dee; lahir pada 20 Januari 1976 di Bandung) adalah seorang penulis dan penyanyi asal Indonesia

[028] Dina Oktaviani (lahir di Tanjungkarang, (Bandar Lampung, 11 Oktober 1985)

[029] Djamil Suherman (lahir di Surabaya, 24 April 1924, meninggal di Bandung, 30 November 1985)

[030] Djenar Maesa Ayu, Ibu dari Banyu Bening dan Btari Maharani ini lahir di Jakarta, 14 Januari 1973.

[031] Dorothea Rosa Herliany (lahir 20 Oktober 1963 di Magelang)

[032] Dwiana Jati Setiaji (Lahir di Banjarnegara, 21 April 1986)dikenal sebagai Jati

[034] D Zawawi Imron (lahir di Batang-batang, Sumenep, Madura, 1945, tidak diketahui tanggal dan bulannya

[035] Eka Kurniawan (lahir di Tasikmalaya pada 28 November 1975)

[036] Emha Ainun Nadjib (Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953)

[037] Goenawan Soesatyo Mohamad (Karangasem, Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941)

[038] Habiburrahman el-Shirazy, lahir di Semarang pada hari Kamis, 30 September 1976.

[039] Haji Abdul Malik Karim Amrullah (atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan namanya), lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981, Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek,

[040] Hamsad Rangkuti (lahir di Medan, 7 Mei 1943)

[041] Hersri Setiawan (lahir 3 Mei 1936 di Yogyakarta) adalah seorang sastrawan Indonesia yang pernah lama ditahan di Pulau Buru karena keterlibatannya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada tahun 1950-an

[042] Ibnu Wahyudi (lahir di Ampel, Boyolali, 24 Juni 1958)

[043] Idrus (Padang, 21 September 1921 - Padang, 18 Mei 1979, Sumatera Barat

[044] Iswadi Pratama, lahir 8 April 1971 di Yogyakarta.

[045] Iwan Martua Dongan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatera Utara tanggal 18 Januari 1928.

[046] Prof. Dr. Kuntowijoyo (juga dieja Kuntowidjojo; Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943–22 Februari 2005) adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia

[047] Mansur Samin (lahir di Batangtoru, Sumatra Utara, 29 April 1930)

[048] Marah Roesli atau sering kali dieja Marah Rusli (lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Agustus 1889, meninggal di Bandung, 17 Januari 1968

[049] Marga Tjoa (lahir 1943), yang lebih dikenal dengan nama Marga T., adalah salah seorang pengarang Indonesia yang paling produktif. Namanya mulai dikenal pada tahun 1971 lewat cerita bersambungnya, Karmila yang kemudian dibukukan dan difilmkan.

[050] Henriette Marianne Katoppo (Tomohon Sulawesi Utara, 9 Juni 1943 - Bogor, 12 Oktober 2007) adalah anak bungsu pasangan Elvianus Katoppo dan Agnes Rumokoij.

[051] Medijanti Loekito (lebih dikenal dengan nama Medy Loekito; lahir di Surabaya pada 21 Juli 1962) adalah seorang penyair Indonesia yang telah mulai menulis sejak tahun 1978.

[052] Mochtar Lubis (dilahirkan tanggal 7 Maret 1922 di Padang, meninggal tanggal 2 Juli 2004 di Jakarta) adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia.

[053] Motinggo Busye, lahir di Kupangkota, Lampung, 21 November 1937, meninggal di Jakarta, 18 Juni 1999.

[054] Ngarto Februana (lahir di Batu, Malang, 4 Februari 1967) adalah seorang novelis Indonesia.

[055] Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936) atau lebih dikenal dengan nama NH Dini adalah sastrawan, novelis, dan feminis Indonesia.

[056] Nova Riyanti Yusuf (lahir di Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia pada 27 November 1977) merupakan seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia.

[057] Nugroho Notosusanto (Rembang, 15 Juli 1930 - Jakarta, 3 Juni 1985) adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1985).

[058] Nur Sutan Iskandar (Sungai Batang, Sumatera Barat 3 November 1893 - Jakarta 28 November 1975) adalah sastrawan Angkatan Balai Pustaka.

[059] Oyos Saroso H.N. dilahirkan di Banyuurip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, 16 Maret 1969.

[060] Pendidikan Panji Utama, lahir di Tanjungkarang, Lampung, 25 Agustus 1970

[061] Pramoedya Ananta Toer (Blora, Jawa Tengah 6 Februari 1925 – Jakarta 30 April 2006)

[062] Primadonna Angela Mertoyono adalah seorang penulis asal Indonesia yang lahir di Rumbai pada tanggal 7 Oktober 1976.

[063] Putu Wijaya (bernama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya) adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944.

[064] Radhar Panca Dahana (lahir di Jakarta, 26 Maret 1965) adalah sastrawan Indonesia. Ia menyelesaikan Program S1 Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Indonesia

[065] Ramadhan K.H. yang nama lengkapnya adalah Ramadhan Karta

[066] Hadimadja, dilahirkan di Bandung pada 16 Maret 1927, dan meninggal di rumahnya di Cape Town, Afrika Selatan pada 16 Maret 2006 setelah menderita kanker prostat selama ±3 bulan.

[067] Ratih Kumala (1980-), lahir di Jakarta, 4 Juni 1980. Ia memperoleh pendidikan dari Fakultas Sastra Inggris Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

[068] Remy Sylado (Makassar, 12 Juli 1945) ialah salah satu sastrawan Indonesia. Nama sebenarnya adalah Yapi Panda Abdiel Tambayong (ER: Japi Tambajong). Ia menghabiskan masa kecil dan remaja di Semarang dan Solo. Ia memiliki sejumlah nama samaran seperti Dova Zila, Alif Danya Munsyi, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel, dsb di balik kegiatannya di bidang musik, seni rupa, teater, film, dsb dan menguasai sejumlah bahasa.

[069] Rieke Diah Pitaloka Intan Permatasari (lahir di Garut, 8 Januari 1974) adalah seorang penulis buku, presenter, dan pemain sinetron.

[070] Sapardi Djoko Damono (lahir 20 Maret 1940 di Surakarta) adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Karya-karyanya antara lain puisi Hujan Bulan Juni dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Pada tahun 1986 ia memenangkan penghargaan SEA Write Award. Ia kini mengajar bidang sastra di Universitas Indonesia

[071] Seno Gumira Ajidarma (lahir 19 Juni 1958 di Boston) adalah penulis dari generasi baru di sastra Indonesia. Beberapa buku karyanya adalah Atas Nama Malam, Wisanggeni—Sang Buronan, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola tak berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja.

[072] Dr. Gabriel Possenti Sindhunata. SJ, atau yang lebih dikenal sekadar sebagai Romo Sindu saja adalah seorang imam Katolik, anggota Yesuit, redaktur majalah kebudayaan "Basis"". Ia dilahirkan pada 12 Mei 1952 di Kampung Hendrik, Batu, Malang. Sejak masa kecilnya hingga tamat SMA ia hidup di kampung itu, di kaki Bukit Panderman.

[074] Sitor Situmorang (lahir 24 Oktober 1924 di Harianboho, Samosir, Sumatera Utara)dengan nama Raja Usu adalah wartawan, sastrawan, dan penyair Indonesia. Ayahnya adalah Ompu Babiat Situmorang yang pernah berjuang melawan tentara kolonial Belanda bersama Sisingamangaraja XII.

[075] Syahmardan, (lahir di Medan, 2 Februari 1932, meninggal di Jakarta, 26 November 2006), adalah sastrawan dan tokoh Betawi. Dia dikenal sebagai penyair, cerpenis, novelis, esais, dan penulis drama. Kebangkitan lenong, topeng Betawi, dan lain-lain tidak lepas dari tangannya.

[076] Sobron Aidit (Tanjung Pandan, Belitung, 2 Juni 1934 - Paris, 10 Februari 2007) adalah penulis dan penyair

[077] Subagio Sastrowardoyo (Madiun, 1 Februari 1924 – 18 Juli 1995) adalah penyair, penulis cerita pendek dan esei, serta kritikus sastra

[078] Suparto Brata merupakan salah satu sastrawan berbahasa Jawa dan juga Indonesia. Lelaki kelahiran Surabaya, 23 Februari 1932

[079] Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 - Jakarta, 17 Juli 1994), adalah sastrawan Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).

[080] Sutardji Calzoum Bachri (lahir 1941 di Riau) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji

[081] Tajuddin Noor Ganie, S.Pd., M.Pd. (TNG) dilahirkan di kota Banjarmasin Kalimantan Selatan, pada tanggal 1 Juli 1958.

[082] Taufiq Ismail (lahir 25 Juni 1935) ialah seorang sastrawan Indonesia.

[083] Titis Basino, dilahirkan pada 17 Januari 1939 di Magelang dengan nama lengkap Titis Retnoningrum Basino

[084] Toto Sudarto Bachtiar (Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929, meninggal karena serangan jantung di Cisaga, Banjar, Jawa Barat 9 Oktober 2007) adalah penyair Indonesia yang seangkatan dengan W.S. Rendra. Penyair angkatan 1950-1960-an ini dikenal masyarakat luas dengan puisinya, antara lain Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, dan Tentang Kemerdekaan.

[085] Umar Junus dilahirkan pada 2 Mei 1934 di Silungkang, Sumatera Barat, Indonesia. Beliau memperoleh ijazah Sarjana Sastera dari Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 1959 dan Ijazah Doktor Falsafah dari Universiti Malaya pada tahun 1983.

[086] Umar Kayam (Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 - Jakarta, 16 Maret 2002) merupakan seorang sosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan berkebangsaan Indonesia.
Umbu Landu Paranggi (lahir 10 Agustus 1943 di Sumba) adalah seorang penyair Indonesia yang sering disebut sebagai tokoh misterius

[087] Usmar Ismail lahir pada tahun 1921 di Bukittinggi, Sumatera Barat.

[088] Utuy Tatang Sontani (Cianjur, 1 Mei 1920 - Moskwa, 17 September 1979) adalah seorang sastrawan Angkatan 45 terkemuka.

[089] Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967

[090] Widji Thukul, bernama asli Widji Widodo, lahir di kampung Sorogenen Solo, 26 Agustus 1963 dari keluarga tukang becak. Mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP.

[091] Yonathan Rahardjo (Bojonegoro, Jawa Timur 17 Januari 1969) adalah sastrawan Indonesia yang lebih dikenal sebagai penyair yang telah memberi warna baru bagi perkembangan dunia sastra Indonesia.

[092] Y. Wibowo lahir di Lampung, 3 Desember 1974. Menulis
Zainal Afif (lahir di Lhok Sukon, Aceh Utara pada 25 April 1936, meninggal dunia di Huddinge, daerah sekitar 15 kilometer di luar Stockholm, Swedia, pada tanggal 28 Oktober 2004) adalah seorang penyair Aceh.

[093] Zainuddin Tamir Koto (lahir di Tanjung Mutiara, Sumatera Barat, 14 Desember 1941) adalah sastrawan Indonesia. Zainuddin Tamir Koto lebih dikenal dengan panggilan Zatako.

[094] Jose Rizal Manua (lahir di Padang, 14 September 1954) adalah seorang pujangga, sekaligus pendiri teater anak-anak, Teater Tanah Air, yang meraih juara pertama pada Festival Teater Anak-anak Dunia ke-9 di Lingen, Jerman, pada tanggal 14-22 Juli 2006[1].

[095] Sam Haidy (Lahir di Ciamis, Jawa Barat, 3 Februari 1984) adalah penyair dan aktivis media maya. Ia adalah penggagas genre "Puisi Pop", yaitu puisi yang berorientasi pada makna yang relevan dengan pemahaman masyarakat luas, ruang lingkupnya bukan untuk kalangan eksklusif sastra saja.

[096] HASAN ASPAHANI, Lahir di Sei Raden, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim, 9 Maret 1971 pada sebuah keluarga sederhana petani kelapa

[097] Udo Z. Karzi (lahir 12 Juni 1970 di Liwa, Lampung Barat) adalah seorang sastrawan Indonesia. Ia lulusan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (1996).

[098] Usmar Ismail lahir pada tahun 1921 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Karirnya dumulai sebagai asisten sutradara di Perfini yang diidrikan pada tahun 1950. Pada tahun 1952 - 1953 melanjutkan studi di Universitas Los Angeles jurusan film dan mendapatkan gelar Bachelor of Arts. Beliau meninggal dunia pada tahun 1971.

[099] Helvy Tiana Rosa lahir di Medan, 2 April 1970 adalah sastrawan, motivator menulis, editor dan dosen. Helvy memperoleh gelar sarjana sastra dari Fakultas Sastra UI. Gelar magister diperolehnya dari Jurusan Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.

[100] Djamil Suherman (lahir di Surabaya, 24 April 1924, meninggal di Bandung, 30 November 1985) adalah sastrawan Indonesia

[101] Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (Ambarawa, Kabupaten Semarang 6 Mei 1929 - Jakarta 10 Februari 1999), dikenal sebagai budayawan, arsitek, penulis, rohaniwan, aktivis dan pembela 'wong cilik'. Anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah.

[102] Abdul Hadi Widji Muthari. Ia dilahirkan di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1948 adalah salah satu sastrawan Indonesia. Sejak kecil ia telah mencintai puisi. Penulisannya dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar, ditambah dengan dorongan orangtua, kawan dan gurunya

[103] Dami Ndandu Toda, (Pongkor, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, 20 September 1942 - Leezen, Jerman, 10 November 2006), adalah kritikus sastra Indonesia
Tulis Sutan Sati (Bukittinggi, Sumatra Barat, 1898 - 1942) adalah penyair dan sastrawan Indonesia Angkatan Balai Pustaka.

[104] Ebiet G. Ade (lahir 21 April 1954[1]) ialah penyanyi dan penulis lagu yang akrab dengan alam dan duka derita kelompok tersisih. Lewat lagu-lagunya, pada awal karirnya, ia 'memotret' suasana kehidupan Indonesia di akhir tahun 1970-an hingga sekarang. Tema lagunya beragam, tidak hanya tentang cinta, tetap ada juga lagu-lagu bertemakan alam, sosial-politik, bencana, religius, keluarga, dll. Sentuhan musiknya sempat mendorong pembaruan pada dunia musik pop Indonesia. Semua lagu ditulisnya sendiri, ia tidak pernah menyanyikan lagu yang diciptakan orang lain.

[105] Umbu Landu Paranggi (lahir 10 Agustus 1943 di Sumba

[106] H. Rosihan Anwar (lahir di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922; umur 85 tahun)

[107] Sjuman Djaya (lahir Jakarta, 5 Agustus 1934 - meninggal Jakarta, 19 Juli 1985)

[108] Eka Darmaputera (Mertoyudan, Magelang, 16 November 1942 - Jakarta, 29 Juni 2005

[109] Rio Haminoto (lahir: Jakarta, 15 Oktober 1973) adalah seorang penulis novel di Indonesia

[110] Herlinatiens (nama asli: Herlina Tien Suhesti; lahir di Ngawi, 26 April 1982)

[111] Ramadhan Karta Hadimadja, dilahirkan di Bandung pada 16 Maret 1927,

[112] Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo (juga dieja Kho Ping Ho) adalah penulis cersil (cerita silat) yang sangat populer di Indonesia. Peranakan Tionghoa ini lahir di Sragen, tanggal 17 Agustus 1926. Beliau meninggal pada tanggal 22 Juli 1994 karena serangan jantung.

[113] Liem Khing Hoo (Wlingi, Blitar, 25 Juli 1905 - Nongkojajar, 4 April 1945) adalah seorang penulis Tionghoa-Indonesia.

[114] Moammar Emka (lahir di Tuban, Jawa Timur, 13 Februari 1974) dikenal sebagai penulis buku kontroversial, "Jakarta Undercover" (Sex in The City).

[115] S.H. Mintardja atau Singgih Hadi Mintardja (Yogyakarta, 26 Januari 1933 – Yogyakarta, 18 Januari 1999) adalah seorang pionir cerita silat dari Yogyakarta.

[116] Deliar Noer (Medan 9 Februari 1926), adalah seorang dosen, pemikir, peneliti dan penulis buku. Biografi Bung Hatta merupakan hasil karya tulisnya (buku : Mohammad Hatta Biografi Politik)

[117] Agus Hadi Sudjiwo (Jember, Jawa Timur, 31 Agustus 1962) atau lebih dikenal dengan nama Sujiwo Tejo adalah seorang budayawan Indonesia. Ia adalah lulusan dari ITB. Sempat menjadi wartawan di harian Kompas selama 8 tahun lalu berubah arah menjadi seorang penulis. []



nemu di sini

Sastra Jawa Tidak Lagi Agraris

MALANG, MINGGU – Kwalitas dan kwantitas karya cerita pendek dan puisi berbahasa Jawa, "cerita cekak" dan "geguritan" sudah cukup banyak mengalami perubahan, sebagaimana tampak pada naskah yang masuk pada sayembara yang diselenggarakan Yayasan Karmel, pengelola sekolah Katolik di Jawa Timur. Hasil sayembara ini diumumkan Minggu hari (27/1) yang dihadiri sekitar 200 orang guru dan peminat sastra Jawa di Jawa Timur dan beberapa kota lain di tanah air.

Sebanyak 13 juara "cerita cekak" (cerkak) dan 13 juara "geguritan" terpilih pada sayembara yang dilaksanakan untuk memperingati HUT ke-82 Yayasan Karmel, oleh tiga juri Tengsoe Cahyono, Bonari Nabonenar dan Basuki Widodo. Hadiah berupa uang tunai Rp 1 juta untuk juara pertama, diberikan Ketua Yayasan Karmel Romo Hudijono Pr.

“Karya sastra Jawa sudah makin berani keluar dari kultur agrarisnya,” kata Dr Henricus Supriyanto, pemimpin lembaga kebudayaan Yayasan Tantular.

Basuki Widodo menegaskan, cukup banyak karya-karya sastra yang memilih tema yang amat mutakhir bagi wilayah kebudayaan Jawa saat ini, seperti tema single parent, yang isinya seputar keputusan karakter perempuan dalam "cerita cekak" itu, untuk hidup sendiri sebagai orang tua tunggal.

“Ini jelas diluar tema-tema domestik, atau hubungan keluarga besar, dan romantisme masa lalu yang seringkali muncul dalam karya-karya cerita pendek berbahasa Jawa selama ini. Tegasnya karya-karya terbaru ini tidak lagi monoton,” kata Basuki Widodo, redaktur majalah Jaya Baya, salah satu dari hanya dua media yang masih menampung dan menyediakan ruang bagi karya sastra Jawa, selain Panjebar Semangat.

Karya tersebut muncul sebagai juara pertama, Ijen Ing Omah (Sendirian di Rumah) karya Ekapati Lenda Aneta (Surabaya). Panitia memilih tiga orang juara, dan sepuluh orang juara harapan, dari 89 naskah cerkak yang masuk ke meja panitia. Naskah "geguritan" mencapai lebih dari 100 naskah yang diikutkan lomba. Juara II lomba cerkak berjudul Tamarin oleh Nunung Widyaningtyas (Tulungagung) dan juara III Kadho Desember oleh ES Sulistyarini (Blitar).

Karya "geguritan" yang mendapat juara pertama malah memotret fenomena panggung dangdut yang semarak akhir-akhir di media televisi dan di tempat hiburan umum. Pengarangnya, Sri Purnanto, guru SMA di Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek menjelaskan, dirinya hanya memotret, bukan hendak menghakimi fenomena joget dalam karyanya Panggung Kembang Jingkrak.

Bait akhir puisnya /Ing pangggung kembang jingkrak, kena ngguyu nanging ojo nguloni idu/ Ing panggung kembang jingkrak, entuk ngedan nanging ojo nyalahne zaman/ Ing panggung kembang jingkrak, nadyan mung semu melua surak (Di panggung bunga berjingkrak, boleh tertawa tapi jangan menelan ludah/ ..., boleh menjadi gila, tetapi jangan mengutuk zaman/ ..., sekalipun hanya semu boleh ikut bersorak.

Doddy Wisnu Pribadi [Kompas-Jatim, Minggu, 27 Januari 2008 | 20:51 WIB]

Tuesday 19 February 2008

Pengantin Baru, Nyamuk, Surat!


Pengantin Baru


Senja, bagi para sastrawan, terutama penyair, sering dilukiskan dengan sedemikian indahnya. Betapapun, ia adalah batas waktu antara siang dengan malam. Betapapun, ia, senja itu, adalah pula kabar buruk, segera berlalunya waktu terang dan akan segera tibanya waktu gelap. Sepasang pengantin baru, tampaknya akan lebih memandang senja sebagaimana penyair memandangnya: senja begitu indahnya! Maka, bayangkanlah, sepasang pengantin baru sedang memandang dan menikmati senja di serambi sambil berbalas sajak cinta!

dingin pun menunduk
di hadapan hatiku
yang menghangat berkat cahaya cintamu

Begitu puisi Pengantin Perempuan, yang segera disauti Si Pengantin Laki-laki:

cintaku seperti cinta rama pada sinta
yang memijar menegakkan bunga layu

Lalu, sahut Pengantin Perempuan pula:

cintaku seperti cinta sawitri
yang mengidupkan kembali
setiawan pujaan hati


Nyamuk

Lalu datang seekor nyamuk. Hap! Lalu ditangkap? Oh, tidak. Ini bukan lagu Cicak-cicak di Dinding. Ini cerita tentang nyamuk yang hinggap di pipi perempuan pengantin baru. Si Pengantin Laki-laki yang lebih dahulu mengetahuinya langsung melayangkan telapak tangannya, dan, ’’Plak…!’’ Telapak tangan itu mendarat di hamparan pipi yang sedang ranum-ranumnya, persis di bagian yang di-cipok nyamuk. Karuan saja, nyamuk itu tewas seketika, bahkan bentuknya pun sudah tak bisa dikenali. Sungguh tragis. Dan membuat lakon senja itu sedemikian komplit: ada unsur romantisnya dan ada pula unsur tragedinya.

Pengantin perempuan itu terkejut. Dalam sepersekian detik, ia hanya membatin begini, ’’Oh, betapa keras tamparan suamiku. Betapa sakitnya! Oh, ya, ia bermaksud membelaku dari serangan nyamuk yang boleh jadi tak sekadar mengambil sedikit darahku, melainkan menularkan penyakit pula, demam berdarah misalnya. Tetapi, ketika sedang mesra-mesranya saja ia bisa menampar sekeras ini, betapa nanti kalau ia sedang marah karena kesalahanku, atau hanya karena kesalahpahaman di antara kami? Betapa….!

Keindahan senja pun seolah ikut tercoreng. Bahkan, ia, senja itu, seolah menjadi utuh sebagai kabar buruk.
’’Oh, maafkan kakanda Dhiajeng, ya? Kakanda tidaklah bermaksud menyakitimu!’’ Pengantin Laki-laki memohon dengan sangat.

Pengantin Perempuan keburu menangis. Pipinya basah. Bahkan linangan air matanya melunturi warna darah dari pipinya sendiri. Itu benar-benar darah dan air mata! Dan ia seperti sudah tak mampu berkata-kata. Dan sebentar kemudian tangisnya telah menjadi isak.

Mertua yang sempat berkelebat di balik pintu sempat memergoki, tetapi ia tak mau terlalu menyampuri. Tetapi, sesuatu yang berat menindih pikirannya, ’’Lha, masih pengantin baru, masih belum punya anak, masih belum harus mikir merawat dan beli susu saja sudah tangis-tangisan begitu. Apalagi nanti ya….?

Hati Pengantin Laki-laki menjadi semakin gundah. Apalagi setelah menyadari bahwa permintaan maafnya tak mendapatkan tanggapan yang positif. Perasaan bersalahnya kini telah lewat, berlalu dengan cepat. Keadaannya kini berbalik, ia merasa jadi korban berikutnya, ’’Orang berniat baik, dan telah melakukan niat baiknya itu, kok dianggap salah!’’ begitu kata pikirannya.


Surat

Nah, sampailah kita pada persoalan surat. Ini bukan surat cinta yang mengantar sepasang pengantin itu ke pelaminan, dan kemudian ke kelaminan, lho! Tetapi, Surat Edaran 2258 made in KJRI-HK. Adakah hubungan antara SE 2258 dengan pengantin baru dan nyamuk? Bisa ada bisa tidak. Ada esensi persoalan yang mirip-mirip, walau ada yang berbeda.

Miripnya, antar lain, di dalam hal kesalahpahaman, di dalam hal kegagalan berkomunikasi. Surat Edaran KJRI-HK NO. 2258/IA/XII/2007 itu telah memancing gelombang protes dari berbagai organisasi BMI-HK. Bahkan, ’’Kami nggak akan berhenti bikin aksi di Hong Kong sampai SE itu dicabut. Biar orang Hong Kong tahu bagaimana Pemerintah Indonesia mengurus TKW-nya di luar negeri,’’ kata Eni Lestari, Ketua ATKI-HK yang juga Jurubicara PILAR (Persatuan BMI Anti Overcharging).
Sedangkan dalam penjelasan (tertangal 5 Februari) atas SE 2258 itu KJRI menyatakan bahwa pada prinsipnya SE 2258 diterbitkan untuk melindungi BMI-HK. Kalau kita memandang dari sudut ini, pastilah kita lalu bertanya, ’’Lha, bagaimana ta BMI-HK itu, dilindungi kok malah mencak-mencak?’’

Tetapi, tunggu dulu. Apa yang dirasakan dan dipikirkan BMI-HK (setidaknya melalui sekian banyak organisasi yang secara terang-terangan dan bahkan dengan berdemonstrasi menolak SE 2258 itu) bertolak belakang dengan yang dimaksudkan oleh KJRI-HK.

Lalu, ada lagi pernyataan dari pihak KJRI (baca beritanya di halaman lain Intermezo edisi ini) bahwa KJRI-HK selalu membuka diri untuk berdialog, termasuk mengenai SE 2258 itu. Padahal, gelombang demonstrasi sudah terjadi dan semakin membesar, bahkan menurut sebuah posting di milis buruh-migran, mahasiswa di Jakarta pun turun berdemo mendukung gerakan menolak SE 2258 itu. Kita tahu, demonstrasi itu merupakan salah satu saluran aspirasi yang hukumnya ’dibolehkan’ dalam sistem demokrasi. Tetapi, seyogyanya dipatuhi syarat dan ’rukun’-nya. Syaratnya, misalnya, tidak boleh anarkhis. Lha, rukun-nya, jangan dibalik: demo dulu dialog kemudian, melainkan dialog dahulu, baru kemudian (kalau jalan dialog tidak membuahkan hasil yang memuaskan kedua pihak) berdemo-lah. Bukankah begitu?

Beginilah jadinya kalau sebuah peraturan, perundang-undangan, dikeluarkan tanpa sosialisasi yang bagus terlebih dahulu, yang menurut kalimat Pakde Karwo (Sekretaris Daerah yang menyalonkan untuk jadi Gubernur Jatim), ’’Kita itu sering membuat undang-undang atau peraturan-peraturan dimana ’’calon korban’’ tidak diajak bicara terlebih dahulu. Begitulah, ketika kemudian Pakde Karwo bicara soal produk hukum yang sering disebut-sebut sebagai ’’Macan Kertas’’ yang bagus di dalam perumusannya, tetapi ’memble’ di tataran implementasi atau pelaksanaannya.

Pengantin Laki-laki yang malang itu, agaknya memang tidak punya cukup waktu untuk terlebih dahulu berbicara begini, ’’Dhiajeng-ku sayang, ada seekor nyamuk mendahuluiku me-nyipok pipimu. Izinkanlah aku menghukumnya dengan menamparkan telapak tanganku….’’ Lha, kalau harus memakai kalimat sepanjang itu, keburu kenyang itu nyamuk! Tetapi, mestinya tidak demikian halnya dengan proses penerbitan SE 2258 itu. Atau, kalau meminjam istilah Pakde Karwo: Apakah sebelum surat (Nomor 2258) itu diedarkan para ’’calon korban-nya’’ (dalam hal ini BMI-HK) sudah diajak berbicara? [Intermezo edisi Februari 2008].


FOTO OLEH: STEVEN RIO