Wednesday 27 February 2008

Cacingen


Cacingen, adalah istilah Jawa yang kadang diindonesiakan menjadi cacingan. Maksudnya adalah jika di dalam tubuh manusia atau pun binatang terdapat cacing parasit yang mengganggu kesehatan. (Eh, apa cacing juga bisa cacingen, ya?) Orang, biasanya anak kecil, jika cacingen dan tak segera diatasi, badannya akan menjadi kurus dan perutnya membuncit. Hi, mengerikan!

Tapi, ini cerita tentang seorang perempuan, hitam, tinggi-besar, nyaris mirip Layla Ali, perempuan petinju putri kesayangan Mohammad Ali, yang didakwa cacingen.
Sejak bis bergerak dari Terminal Purabaya alias Bungurasih menuju Malang, perempuan hitam, tinggi-besar itu, terlibat pembicaraan yang cukup gayeng --dalam rasa pahit-getir-lucu campur-aduk-- bersama 2 orang laki-laki, dan 3 perempuan lainnya. Dari pembicaraan mereka, kemudian saya tahu bahwa 2 orang laki-laki itu adalah penjemput mereka.

Penumpang lainnya tenang, bahkan ada yang mulai terelap. Memang, sudah pukul 23.00 waktu Surabaya dan sekitarnya. Saya juga tenang, tubuh saya. Ya, tubuh saya memang tenang, tetapi batin saya, angan-angan saya, bagaikan buih yang terayun-ayun, hanyut, dan kadang terombang-ambing oleh pembicaraan empat perempuan belia (rata-rata 20-an tahun usia mereka) dan dua orang laki-laki masing-masing 45-an dan 50-an tahun.

Oh, ya! Si ’Layla Ali’ yang oleh salah seorang rekan perempuannya disapa ’Mbak Titin’ itu telah didakwa cacingen oleh majikan (kini telah menjadi mantan majikan)-nya sewaktu di Hong Kong. Padahal ia baru 2 pekan bekerja. Sebelumnya, ia menunggu di penampungan selama lebih dari 6 bulan.

’’Mungkin memang karena tidak suka saja, lha wong sewaktu masih di sini (maksudnya sebelum berangkat, Bon.) dites juga gak apa-apa kok. Dinyatakan sehat wal afiat, kok!’’ kata Titin.

’’Lha, kalau nggak suka kok dipilih? Kita ini kan hanya punya hak untuk manut saja. Digiring ke sana, ditarik ke sini, ngikut saja! Apakah kita yang memilih majikan? Bukan, kan? Majikan kan, yang memilih kita? Enak aja, belum genap sebulan sudah menginterminit dengan menuduh cacingan,’’ sahut salah seorang temannya dalam bahasa Jawa yang sangat medhok.

Pembicaraan makin seru. Dan tahulah saya, bahwa mereka akan menuju sebuah kampung di wilayah Kabupaten Blitar. Saya juga bertanya-tanya di dalam hati, apa Titin benar menderita cacingen. Lha wong badannya gempal begitu kok cacingen.
Keempat perempuan itu memang senasib, sama-sama diinterminit, tetapi dengan alasan yang berbeda-beda. Alasan yang bisa jadi memang pantas, dan bisa jadi hanya mengada-ada. Tetapi, diam-diam pikiran dan perasaan saya jadi ikut keranta-ranta, getir, e, penyakit saja kok ya cacingen! Tahu, kan? Walau dinilai sebagai bukan penyakit mematikan, namanya cacingen itu benar-benar gak ’kelas’ blas!

Lebih keranta-ranta lagi, ketika mendengar curhat Titin dalam kalimat kurang lebih ini, ’’Entahlah Kang, paspor dan surat-suratku juga ditahan oleh pe-te. Aku tak peduli. Aku disuruh tinggal di pe-te lagi memang gak mau. Aku hanya pengin pulang. Pokoknya pulang. Walau, sebenarnya aku juga malu. Orangtua sudah kehilangan banyak, utang pun belum sempat terbayar, malah kini aku kembali dengan tangan hampa.’’
’’Tidak perlu malu, Tin. Kamu kan tidak melakukan kejahatan. Hanya nasib saja yang tak berpihak padamu. Mungkin juga ini bukan jalanmu. Percayalah, semua akan ada hikmahnya. Kamu sudah berusaha. Dan harus terus berusaha. Kini kamu boleh bersedih, tetapi jangan berlarut-larut, karena hidup tak hanya berhenti di sini.’’

Oh, kalimat-kalimat itu, betapa bijaknya! Diam-diam saya memuji kematangan orang kampung yang semula tak pernah saya duga akan memiliki kalimat-kalimat sebernas itu!

Tiba-tiba terdengar suara berderit. Orang-orang terkejut. Dan bis berhenti mendadak. Ban kipasnya lepas dan tidak bisa dipasangkan lagi. Masih di Pandaan. Sudah tengah malam. Orang-orang menggerutu. Ada yang menyoba minta kembali uang karcis seluruh atau sebagian untuk dipakai naik bison. Tetapi, kondektur bersikukuh bahwa bis berikutnya akan segera tiba.

Sudah terbilang dinihari ketika kami dapat dioperkan ke bis berikutnya. Hari itu memang tidak begitu indah. Tetapi, hari ini adalah hari yang lain. []

0 urun rembug: