Cerpen Bonari Nabonenar
Bulan tua. Bintang-bintang tak secerah biasanya. Malam yang gelap itu pun menggerayangi Desa Pagerwatu. Juga, dinginnya angin malam musim kemarau. Aroma daun-daun kering tersebar ke mana-mana. Kembang cengkih, harumnya semakin menyesakkan dada.
Anak-anak, para remaja, bahkan yang tua-tua, seperti berebut meninggalkan surau Kiai Kosim yang ada di salah satu pojok Desa Pagerwatu, begitu salat isyak usai. Beberapa anak berlari dengan obor atau lampu senter, seperti berlomba untuk segera sampai di rumah Pak Mardi. Mereka lalu berebut tempat paling strategis untuk menyaksikan akting pendekar kesayangan di televisi.
''Wah, sayang. Dieselnya mati! Akinya juga tinggal satu. Itu pun setrumnya tinggal sedikit, untuk lampu,'' Pak Mardi menjelaskan.
Mereke kecewa berat. Pak Mardi dan Bu Mardi tahu itu, dan semakin kecewa. Kecewa karena tidak akan dapat mengikuti perjalanan nasib pendekar gagah berani pada malam itu, juga karena tahu bahwa orang-orang itu merasa sangat kecewa. Mereka sering membantu. Pekerjaan mengambil bunga cengkih dari gagangnya jika musim panen tiba akan mereka lakukan dengan sukacita sambil menonton televisi. Padahal tanpa bantuan mereka, pekerjaan itu akan sangat banyak menyita
waktu dan tenaga.
''Kok masih sepi?'' tanya Pak Lurah yang baru datang.
''Dieselnya mati, Pak!'' jawab seseorang.
''Padahal nanti ada sepak bola, lho''
''O, Pak Lurah. Mari, Pak masuk'' Pak Mardi mempersilakan.
''Aku tadi juga kehabisan setrum, maka ke sini. Mau ke rumah Benu, malas jauhnya.''
''Sepeda motor itu, bisa dipakai, Pak''
''Ah, tidak usah, bagaimana kalau kita pinjam aki surau?''
''Apa boleh, Pak?''
''Keterlaluan sekali kalau tidak boleh. Itu dulu sumbangan dari desa.''
''Kalau begitu, mumpung masih banyak orang, Pak''
Pardi dan Sunar, dua orang yang mendapat tugas menemui Kiai Kosim untuk meminjam aki surau segera berangkat dengan suka cita. Tetapi sebagian calon pemirsa yang malam itu hanya ingin menyaksikan akting pendekar kesayangan mereka kebanyakan adalah para wanita dan anak-anak mereka memilih pulang. Film yang mereka tunggu-tunggu tentu sudah akan usai ketika aki itu datang. Sesaat, tempat kosong yang mereka tinggalkan jadi rebutan. Tikar yang kusut segera mereka tata kembali, setelah suasana menjadi tenang.
Aki dari surau tak segera datang. Pak Lurah pun tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
''Kok lama, ya?''
''Mungkin tidak segera bertemu dengan Kiai Kosim, Pak.''
''Tapi, tadi ada, ya?''
''Ada, Pak.''
Atas perintah Pak Lurah, dua orang lagi sudah hendak berangkat menyusul ketika yang mereka tunggu-tunggu datang. Pardi dan Sunar datang dengan dua buah aki besar-besar, dengan napas besar-besar.
''Wah, hampir jatuh di jembatan, Pak'' kata Sunar mengadu kepada Pak Lurah.
''Mengapa sampai dua?''
''Yang satu ini setrumnya sudah habis Pak. Oleh Kiai Kosim disuruh menitipkan untuk diseterek''
''Masukkan ke dalam Colt sekalian kalau begitu, biar esok tidak tertinggal karena lupa,'' perintah Pak Mardi.
Mereka masih sempat menonton bagian akhir siaran Dunia dalam Berita. Tetapi setelah itu, saluran tidak segera dipindahkan ke stasiun yang akan menayangkan secara langsung pertandingan sepak bola di luar negeri. Padahal yang dapat melakukannya hanya Benu, pemilik parabola yang murah hati mau membocorkannya itu.
''Kalau kita tunggu seperempat jam tetap tidak dipindahkan, ini nanti harus ada yang datang ke rumah Benu.''
''Ya, Pak,'' beberapa orang menjawab serentak.
''Mungkin Mas Benu tidak tahu kalau ada tayangan langsung sepak bola. Padahal, dia juga pecandu berat''
''Tetapi, kalau istrinya belum tidur, dia bisa kalah oleh istrinya''
Untunglah, setelah sesaat berpindah-pindah dari satu saluran ke saluran lain, akhirnya berhenti di saluran sepak bola.
''Nah, ini dia''
Dan, dengan khusuk mereka menyaksikannya, sekali-kali muncul komentar dari mereka. Bahkan kadang berkembang menjadi debat, lalu ada yang memperingatkannya dengan bunyi ''Sssttt''. Tetapi tak lama kemudian muncul komentar lagi. Lalu debat lagi. Pardi dan Sunar termasuk yang paling bersemangat. Mereka menjagokan tim yang sama. Suasana semakin hangat, dan akhirnya mereka sepakat bertaruh. Pardi dan Sunar, jika tim yang mereka jagokan kalah, harus bersedia mengembalikan aku yang mereka pinjam. Siapa yang meminjam wajib mengembalikan. Tetapi , Sunar dan Pardi wajib mengembalikan aki itu karena mereka kalah dalam taruhan.
Seusai tayangan sepak bola itu, ternyata pada saluran lain ada acara yang tidak kalah menariknya, yaitu pergelaran wayang kulit. Semuanya sepakat menontonnya sampai usai. Ternyata hingga menjelang subuh belum juga usai.
''Siapa yang akan mengembalikan aki tadi? Ini sudah hampir subuh'' Pak Lurah mengingatkan.
''Ya. Toh, kita sudah tahu bagaimana akhir ceritanya nanti,'' sambung Pak Mardi.
Mereka segera bubar. Pardi dan Sunar kembali menggotong aki ke surau. Sumpah-serapah atas kesialan mereka tercecer sepanjang jalan. Kesialan terus memburu mereka. Mungkin karena kurang berhati-hati atau karena mengantuk, atau semata-mata karena mereka sedng bernasib sial, Sunar yang berada di depan tergelincir ketika sampai di jembatan bambu, hanya beberapa puluh meter sebelum sampai di surau. Aki yang mereka gotong terjatuh dan membentur batu di bawah
jembatan bambu itu. Sunar meringis kesakitan. Kakinya terkilir. Pardi segera merangkak ke kolong jembatan. Dengan lampu senternya, dia mencari-cari aki itu.
''Pecah, Nar,'' teriak Pardi, membuat Sunar semakin meringis. Sambil menahan sakitnya, Sunar bangkit untuk membantu Pardi mengangkat aki itu dari bawah jembatan. Dengan susah payah, aki itu dapat mereka ambil, dan mereka gotong lagi sampai surau.
Pardi segera berlari ke rumah Kiai Kosim, ingin membangunkan Kiai itu dan kemudian melaporkan semuanya, Sunar menunggu di surau, sambil memijiti kakinya.
Kiai Kosim sudah bangun sebelum Pardi datang. Kiai paling kharismatik di seluruh Desa Pagerwatu itu hanya mengangguk-angguk ketika Pardi menyampaikan laporannya.
''Syukurlah, bukan kalian yang tersungkur ke kolong jembatan. Nah, segeralah ke surau, pukul beduk keras-keras. Aku akan segera menyusul.''
''Ya, Kiai.''
Ketika berjalan kembali ke surau, Pardi menimbang-nimbang dalam pikirannya sendiri, manakah yang paling menyebabkan dia harus memukul beduk keras-keras pagi itu: jembatan bambu yang seharusnya sudah diganti beton, ataukah televisi kebanggaan bersama milik tetangga. Sunar, barangkali juga sedang memikirkan hal yang sama.[]
Surabaya, Agustus 1995
0 urun rembug:
Post a Comment