Friday, 1 February 2008

Menulis untuk Apa?


Eni Yuniar, yang saat masih aktif sebagai Sekjen IMWU sempat berbicara di sebuah forum PBB (New York, 2006) ketika didaulat jadi salah satu narasumber diskusi bertajuk Bagaimana BMI HK Nulis (Kampus STKIP PGRI Ponorogo, 17 Januari 2008) sempat mengutip pepatah,’’Tulisan itu bisa lebih tajam daripada pedang.’’

Lalu, berceritalah Eni, bagaimana mula-mula ia tak begitu tertarik dengan dunia tulis-menulis, dan pada suatu saat ia harus membuat newsletter untuk kepentingan penyadaran hukum bagi teman-temannya sesama BMI di HK kala itu. Sempat pula dituturkan bagaimana ia mendapatkan dan membaca sebuah novel Perempuan di Titik Nol (Nawa el Sadawi) yang menyadarkannya, betapa sebuah tulisan bisa menjadi ’pedang’ untuk sebuah perjuangan.
Maka, kemudian, semakin yakinlah Eni akan pesan yang disebar melalui pepatah ’’Tulisan bisa lebih tajam daripada pedang,’’ itu, dan itu pulalah antara lain yang kemudian ditularkannya kepada para peserta diskusi yang sebagian besar adalah para mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo itu.

Memang banyak motivasi, mengapa kemudian seseorang menulis. Motivasi itu pulalah antara lain yang kelak menjadikan seseorang terus menekuninya, atau jadi penulis dhat-nyeng (kadang lama tak menulis tapi sesekali muncul tulisannya) atau malah balik kucing atau tak mau lagi menulis.

Apa saja sih, jelasnya, motivasi menulis itu? Tentu ada dua macam, yakni motivasi dari luar, bisa berupa tugas matapelajaran/matakuliah, tugas kantor, dan lain-lain. Lalu motivasi dari dalam (diri si penulis) antara lain: uang, popularitas, keinginan menularkan pengetahuan, mengekspresikan gejolak rasa seni, mengungkapkan penemuan, memaparkan hasil penelitian swakarsa, atau menyebarkan nilai-nilai tertentu. Maka dari itu, menulis bisa dipandang sebagai tindakan ekonomis, didaktis, dan bahkan ibadah, tergantung motivasinya.

Dalam sebuah tulisannya (Solilokui, 82?) Budi Darma sempat menyindir para pembaca sastra yang kemudian diam-diam meningalkan dunia sastra (tak suka membaca lagi) setelah gagal menjadi penulis/sastrawan. Budi Darma mengistilahkannya sebagai para penonton yang bernafsu besar untuk menjadi pemain. Mereka menyukai sepakbola karena bercita-cita menjadi pemain sepak bola. Begitu pada waktu tertentu menyadari bahwa tidak mungkin lagi berharap jadi pemain, maka mereka tak lagi mau nongol di pertandingan-pertandingan yang paling berkualitas sekalipun! Sindiran semacam itu tampaknya mengena pula di antara penulis kita (dari kalangan BMI-HK). Sebab, sekarang pun kita bisa mulai melihat, siapa yang putus asa, yang sekali dua kali cerpennya nongol di koran, misalnya, lalu blas tak nongol lagi setelah sekian lama. Mungkin seorang dua orang di antara mereka akan kembali menulis di suatu saat nanti, bahkan dengan karya yang menghebohkan. Tetapi, yakinlah, golongan terbesar tampaknya adalah mereka yang tak akan nongol lagi. Kalau mereka hanya mundur dari daftar penulis, tetapi masih suka membaca, itu masih jempol. Tetapi, kalau kemudian membaca pun jadi tak mau lagi, ketahuanlah, motivasi mana yang dulu pernah membuatnya jadi penulis. Tak pelak lagi, pastilah nafsu untuk menjadi ’pesepakbola’ ngetop.

Apakah mengejar nama alias popularitas dengan menulis adalah sesuatu yang tercela? Oh, tidak! Persoalannya adalah, bagaimana cara meraih tujuan itu. Jika dengan menghalalkan segala cara, termasuk membajak karya orang lain, pastilah alam akan cenderung menyingkirkannya. Memang ada sastrawan besar yang pernah dituduh membajak karya orang lain dan seolah tak pernah mengurangi kebesaran namanya, kehebatan karya otentiknya. Tetapi, hanya sosok yang benar-benar pilih tanding, yang benar-benar luar biasa, yang dapat seperti itu. Mungkin, mereka, beberapa nama itu, adalah anak-anak nakal (walau kelewatan) tetapi pada dasarnya memiliki kualitas jauh di atas rata-rata. Maka, jika hanya bermodal sedikit kepitaran di atas rata-rata, ibarat pemain sepakbola, janganlah coba-coba bermain curang. Dua kartu kuning sudah cukup mengusir Anda dari tengah lapangan.

Pun menulis untuk uang. Kalau seorang bertanya kepada Anda, ’’Untuk sebuah tulisan di koran Penuh Cinta anda dibayar berapa ya?’’ segera tahulah kita bahwa si penanya itu adalah (jika benar penulis) cenderung menulis demi uang. Apakah yang begini tidak baik? Oh, siapa bilang? Bukankah ia cenderung realistis? Tipe penulis seperti ini, walau kadang diolok, sesungguhnya telah melakukan tindakan bagus tak hanya demi dirinya sendiri, tetapi juga bagi penulis-penulis lain. Sering juga olok-olok ditimpakan kepada ghost-writer (orang yang berprofesi membuat tulisan atas nama orang lain yang membayarnya), kadang dengan istilah yang yang sangat mengiris, ’’melacurkan diri.’’ Mengapa kita tidak coba berpikir, ’’Inilah penulis yang sudah menang melawan dirinya sendiri, yang tahu bahwa kehebatan tulisannya tidak berkurang hanya karena diatasnamakan orang yang tidak ngetop dan bahkan dimuat pula di media yang tidak bertaraf nasional. Inilah penulis yang sudah sangat memahami makna pepatah, ’’Terimalah pesan-pesan untuk menuju kebaikan, kebijakan, walau ia muncul melalui orang-orang yang belum dilabeli ’’baik.’’ Atau, ’’Sebutir permata, akan tetap jadi permata walau ia terhanyut di selokan yang letheg-nya minta ampun!’’

Maka, untuk apa sebenarnya kita menulis? Kalaupun kita tidak memberitahukannya, kelak, yakinlah, orang lain pun akan tahu. [BN]

Intermezo, Januari 2008

0 urun rembug: