Saturday 2 February 2008

Ketika BMI-HK Menulis Sastra


Belakangan ini muncul istilah yang tampaknya akan semakin sering disebut-sebut: sastra buruh migran (Indonesia). Semula, saya sudah dikagetkan oleh sebuah nama: Rini Widyawati yang setelah dua tahun bekerja sebagai domestic helper di Hongkong pulang membawa semacam catatan harian yang kemudian diterbitkan JP-BOOKS (Mei 2005) dengan judul Catatan Harian Seorang Pramuwisma.

Rini memang boleh disebut istimewa. Pertama, karena pendidikan formalnya hanya mentok di setingkat SMP. Pelajaran menulis, tampaknya lebih didapatkan dari praktik atau ’kuliah’ lapangan dengan menjadi juruketik seorang pengarang kenamaan: Ratna Indraswari Ibrahim. Saya benar-benar terperanjat ketika menerima naskah Rini (saat itu saya menjadi editor di JP-BOOKS) yang menurut saya benar-benar luar biasa. Maka, tidaklah berlebihan jika untuk pengantar buku Catatan Harian Seorang Pramuwisma itu Ratna Indraswari Ibrahim menuliskan, ’’Saya merasa gembira sekali, ada orang yang bisa menuliskan tentang TKI (Tenaga Kerja Indonesia, Bon). Ini adalah sejarah kita, sejarah kehidupan anak manusia, yang perlu dicatat dan dibaca oleh generasi sekarang dan berikutnya.’’

Dari pengalaman menyunting buku Rini Widyawati itulah saya lalu berkenalan (atas bantuan Lan Fang) dengan seorang wartawati Berita Indonesia (salah satu koran berbahasa Indonesia yang beredar di Hongkong) bernama Ida Permatasari yang lebih senang memakai nama Arsusi Ahmad Sama’in dalam tulisan-tulisan (kebanyakan berupa cerpen)-nya. Perempuan asal Blitar, Jawa Timur, itulah ternyata yang sangat bersemangat memprovokatori kawan-kawan perempuan buruh migran asal Indonesia di Hongkong untuk: menulis, menulis, dan menulis!

Ida pun membangun sebuah komunitas BMI (buruh migran asal Indonesia) di Hongkong untuk saling asah dan saling asuh demi meningkatkan kualitas tulisan-tulisan mereka. Dan kekaguman saya pun makin menjadi-jadi tatkala memasuki milis-group mereka. Banyak mutiara terpendam di sana. Jika saja kita tekun dan sedikit sabar memolesnya, pastilah mutiara-mutiara itu bakal berkilauan, menyemarakkan Taman Sastra Indonesia.

Bagi kawan-kawan BMI, menulis ibarat jadi pedang bermata banyak. Dengan memanfaatkan waktu luang dan waktu libur untuk menulis, mereka akan terhindar dari godaan untuk mencebur ke dalam hal-hal atau kegiatan-kegiatan yang bersifat negatif, misalnya seks bebas.

Dengan menulis, para BMI juga bisa melakukan semacam terapi diri, menyalurkan ’’hawa buruk’’ berupa rasa rendah diri, frustrasi karena majikan terlalu cerewet, bahkan mungkin juga kasar, jahat, dan lain-lain ke dalam tulisan.
Dengan menulis, kawan-kawan BMI juga bisa menyuarakan aspirasi, menentang secara cerdas tindakan-tindakan pihak lain: birokrasi, majikan, bahkan pemerintah, yang tidak adil terhadap mereka. Dalam kata lain, dengan menulis para BMI menolak untuk hanya dicatat sebagai-angka-angka, sebab dengan menulis mereka menjadi subjek yang berkuasa penuh atas apa yang hendak mereka goreskan.

Dengan menulis, para BMI yang oleh pandangan masyarakat awam diperosokkan ke dalam golongan ’hina’, babu, budak, menarik diri dan melompat ke dalam ’kasta’ paling tinggi yang bisa dicapai seorang manusia.
Kita patut bangga karena sekarang ini di Hongkong, setidaknya telah ada tiga komunitas BMI yang aktif di bidang penulisan. Mereka pun telah membuktikan keandalan dengan bersaing secara bebas dengan penulis-penulis lain dari berbagai kalangan. Karya-karya mereka mulai bermunculan di media-media cetak (di dalam maupun di luar negeri). Tiga komunitas itu masing-masing menamakan diri: Forum Lingkar Pena (FLP) Hongkong, Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara), dan Café de Kosta yang dikomandani Ida Permatasari.

Pada tanggal 10 Juli 2005 ini, Café de Kosta bahkan mengadakan Workshop Penulisan bagi BMI-Hongkong, yang akan diikuti sekitar 200 orang BMI. Dua orang penulis asal Jawa Timur pun mereka undang sebagai narasumber.

Selain Ida Permatasari, beberapa nama sudah saatnya diperhitungkan namanya di dalam dunia persilatan Sastra Indonesia: Lik Kismawati (asal Surabaya), Wina Karnie, Etik Juwita (Blitar), Tania Roos, Mega Vristian (Malang), hartanti (Ponorogo), Dian Litasari (Banyuwangi), Tarini Sorrita (Cirebon), Suci Hanggraini (Madiun), Atik Sugihati (Kediri).

Pemerintah dan instansi terkait sudah selayaknya merasa tersanjung dan bangga dengan kiprah anak-anak muda itu, kecuali memilih memandang mereka dengan curiga, karena melalui tulisan-tulisan mereka, cepat atau lambat, akan terdedahlah ketidakadilan yang selama ini secara sengaja atau tidak ditimpakan kepada mereka.

Apakah Anda tidak merasakan kejutan indah oleh berita ini: Seorang pramuwisma asal Cirebon yang kini bekerja di Hongkong telah menerbitkan buku kumpulan tulisan reflektifnya berjudul Big Question, Don’t Look Dawn at Domestic Helper. Tarini Sorrita, begitulah nama pena pramuwisma ini, langsung menulis dengan bahasa Ingris, dan atas bantuan temannya yang berkebangsaan Swis, buku itu berhasil diterbitkan. Sayangnya tidak di Indonesia.

(Bonari Nabonenar, Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, bersama Kuswinarto akan menjadi narasumber pada Workshop Penulisan bagi BMI-H (Hongkong University, Kowloon, 10 Juli 2005).

Jawa Pos, Minggu, 10 Juli 2005

3 urun rembug:

Wah...bagus2 banget Mas tulisannya yg di blognya Mas. Mbok yao saya di ajari untuk bikin blog yang lebih bagus, hehe... Ini id saya di YM, gladys_biru. dan ini email saya : gladys_biru@yahoo.com Makasih banyak ya sebelumnya.

terima kasih pula. dan mohon maaf telah memasang fotomu di pembacapeduli.blogspot.com. kalau keberatan bisa dicabut. tetapi smoga tak keberatan. lhah, kalau soal bikin blog, aku belajarnya malah ke teman2 di hk suer deh,

atik sugiarti, belum pantes dikatakan sebagai penulis ! belum ada yg menonjol dari dia ! tulisannya biasa biasa aja !! masih ada, susie utomo, adepunk, karin, risty, aliyah purwati, termasuk uly [hehehehe....]