Monday 25 February 2008

Budaya Jawa Dianggap 'Tak Layak Pakai'

Budaya Jawa, sebagai ladang persemaian nilai-nilai Timur, kini mulai mengering. Bahkan, ekspresi-ekspresi seni pun kini mulai sulit tumbuh di wilayah komunitas budaya Jawa. Seni-seni Jawa, baik seni rakyat maupun seni keraton, kini makin terpinggirkan oleh berbagai bentuk seni modern yang lebih mampu menarik minat publik.

Lebih dari itu, menurut beberapa pengamat budaya Jawa, saat ini bahkan terjadi semacam dekadensi nilai moral, etika dan budi pekerti yang sangat akut di kalangan generasi muda Jawa. Masyarakat Jawa sendiri kini justru menganggap nilai-nilai budaya Jawa sudah 'tak layak pakai'. Setidaknya, itulah yang Sarasehan Jawi mengemuka dalam yang digelar di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bangsa, Tulungagung, Jawa Timur, belum lama ini.

Sarasehan yang sekaligus wisuda tujuh anggota Persatuan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani) itu diikuti sekitar 400 orang sastrawan, guru, wartawan, dan masyarakat peduli sastra Jawa. Mereka secara khusus membahas masalah budi pekerti dan nasib sastra Jawa, yang kini nyaris mati.

Para pembicara umumnya melihat bahwa terpinggirnya sastra Jawa, dan seni-seni Jawa lainnya, adalah akibat kuatnya desakan arus globalisasi. Arus budaya global yang masuk ke Jawa makin membesar sejak kran informasi dibuka dalam era reformasi. Kondisi menjadi parah, karena masyarakat Jawa, khususnya kaum tua, kurang memiliki filter yang ampuh untuk menepis pengaruh negatif budaya Barat itu.

Ironisnya lagi, generasi muda Jawa begitu kegenitan dan gandrung mengadopsinya, dengan alasan sederhana: lebih modern. Sedangkan budaya Jawa dianggap tidak laik dilakoni lagi dan harus masuk 'museum', karena dinilai sudah kadaluwarsa. ''Inilah kecenderungan sikap yang terjadi pada masyarakat Jawa sekarang,'' kata Ema Kusmadi, pengamat budaya Jawa dan salah seorang pembicara dalam sarasehan itu.

Celakanya, menurut mantan Kepala Museum Mpu Tantular Surabaya ini, rasa gandrung terhadap budaya Barat tersebut tanpa dipilih secara selektif. Mereka asal mengadopsi saja. Tidak memilih mana yang layak dan mana yang tak layak ditiru. ''Kalau kecanggihan dan kemodernan ilmu pengetahuannya harus kita serap, tapi tingkah laku negatifnya jangan,'' kata Ema.

Namun yang terjadi, lanjutnya, tingkah laku orang Barat --yang kurang sesuai dengan etika Timur-- juga ikut diterapkan dalam keseharian generasi muda Jawa. Anak muda Jawa, misalnya, sekarang rata-rata tidak hormat pada orang tua. ''Itu belum lagi budaya seks bebas yang kini menggejala di tengah masyarakat kita,'' ujarnya prihatin.

Diakui atau tidak, tambahnya, pengaruh kuat yang menyokong itu semua adalah media massa, terutama televisi. ''Lihatlah siaran televisi swasta kita, sejak kran kebebasan dibuka, didominasi film-film yang kurang mendidik,'' katanya.

Sementara itu, media sastra Jawa, yang lebih mengedepankan nilai-nilai adilihung dengan penuh warna ketimuran dan religi, kini sudah nyaris punah. Banyak penerbitan bahasa Jawa yang gulung tikar. Kini, tinggal beberapa media Jawa yang masih hidup, yakni Majalah Jayabaya, Penyebar Semangat, dan Mekarsari.

Ketiga media Jawa itu pun, menurut Ema, hidup kembang-kempis<. Oplahnya tidak lebih dari 10.000 eksemplar. Oplah yang minim ini pula yang membuat tak jarang media Jawa terpaksa harus mengubah diri menjadi media berbahasa Indonesia, misalnya Darma Nyata.

Sastra Jawa makin merana ketika para sastrawan Jawa ramai-ramai hijrah ke sastra Indonesia, misalnya Bambang Sadono, Arswendo Atmolito, Jayus Pete, Bonari Nabonenar, dan Bagus Putu Parto. ''Mereka semua itu berangkat dari sastra Jawa,'' kata Narko Budiman, ketua Sanggar Sastra Triwida Tulungagung -- sebuah sanggar sastra Jawa yang di Tulungagung.

Bila tidak segera 'hijrah' ke sastra Indonesia, tambah Narko, periuk kehidupan sastrawan Jawa memang tidak bisa mengepul. ''Kalau media Jawa sudah tak bisa diharapkan, lalu ke mana lagi kita harus bertopang hidup. Mau tak mau kita harus hijrah ke sastra Indonesia,'' papar Narko.

Meski banyak sastrawan Jawa 'melacurkan diri' ke media sastra Indonesia, paparnya, bukan bebarti mereka benar-benar berhenti dalam berkarya sastra Jawa. Mereka tidak sedikit yang merumput di sastra Indonesia, tetapi penghasilannya dibuat untuk melestarikan dan menghidupkan sastra Jawa.

Untuk tetap menghidupkan sastra Jawa, almarhum Tamsir AS (pendiri Sanggar Sastra Triwida) sampai harus berjualan tebu. ''Itu karena sikap kuatnya memegang idealisme. Dia lebih suka bersusah berjualan tebu daripada harus melacurkan diri dengan mencari uang di wilayah sastra Indonesia,'' kata Tiwi SA, sastrawan Jawa gaek.

Pada tahun 1980-an, Tiwi memang pernah mengucapkan 'Sumpah Palapa Tiwi SA'. Seumur hidup ia akan tetap berkarya dalam sastra Jawa. Sumpah itu diucapkannya setelah Arswendo Atmolito menyatakan sastra Jawa akan tinggal nama. ''Sumpah itu kami cetuskan karena kami menganggap sastra Jawa akan selalu eksis. Rupanya anggapan saya keliru, dan Arswendo yang benar,'' kata Tiwi yang kini juga merambah sastra Indonesia.

Ada beberapa alasan mengapa sastrawan Jawa meninggalkan bahasa daerahnya dan menulis dalam bahasa Indonesia. Selain karena media sastra Jawa sudah sekarat, pengarang juga tidak terbiasa lagi mempergunakan bahasa Jawa. Untuk menulis sastra Jawa, pengarang harus membiasakan diri pada cara berbahasa sastra yang sedang berkembang serta membaca karya-karya yang merupakan puncak-puncak pencapaian penulisan sastra Jawa. Kalau tidak, mereka akan tertinggal zaman dan sulit menghasilkan karangan yang dapat menunjang pertumbuhan sastra Jawa.

Kecuali itu, kata Tiwi SA, mereka juga perlu memahami alam pikiran masyarakat Jawa. Seperti kepercayaan, mistik, pedalangan, dengan berbagai istilah dan pengertian yang tepat. Mereka harus menghadapi istilah-istilah dan ungkapan yang bertalian dengan dunia pewayangan, seni tari, tatanan pedesaan, tatacara pergaulan, dan alam kebatinan.

Namun, menurut Tiwi, pilar-pilar itu tidak dimiliki lagi oleh sastarawan Jawa sekarang, khususnya pemula. Maka jalan pintas yang mereka lakukan adalah hijrah ke sastra Indonesia. Apalagi ladang sastra Jawa kini sudah tak lagi subur untuk mendulang penghasilan. n sunarwoto

Tinggal Menunggu Saat Mati

''Kongres sastra Jawa sudah beberapa kali digelar, namun nasib sastra Jawa masih seperti ini. Tidak ada perubahan. Malah sekarang sastra Jawa tinggal menunggu hari kematiannya,'' kata Ketua Sanggar Triwida Tulungagung Narko Budiman kepada >Republika belum lama ini.
Sinyalemen tersebut bisa dilihat dari perkembangan media sastra Jawa sekarang. Kini tinggal tiga media cetak berbahasa Jawa yang masih hidup, yakni Majalah Jayabaya, Penyebar Semangat, dan Mekarsari. Yang lainnya sudah gulung tikar.

Menurut Narko, agar sastra Jawa tetap eksis tidak bisa semata berharap dari pengarangnya semata, tapi juga seluruh komunitas Jawa, termasuk pemerintah daerah. ''Karena itu, kami di Tulungagung mendesak agar pemerintah daerah memasukkan sastra Jawa ke kurukulum muatan lokal sejak SD hingga SMU,'' katanya.

Selain itu, Narko juga mengusulkan agar semua instansi pemerintah di lingkungan Pemkab Tulungagung berlangganan media sastra Jawa. Minimal satu kantor satu majalah, apapun majalahnya. ''Dengan begitu penerbitan sastra Jawa, yang mewadahi karya satra Jawa, bisa tetap berdiri dengan sehat,'' ujarnya.

Karena oplahnya kecil, pengelola majalah sastra Jawa tidak bisa memberi imbalan yang layak. Imbalan untuk sebuah cerkak (cerpen), misalnya, maksimal hanya Rp 50 ribu. Malah ada yang Rp 15 ribu hingga Rp 25 ribu per cerkak. Sedangkan media sastra Indonesia untuk sebuah cerpen Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu. ''Tentu saja banyak pengarang yang lari ke ladang sastra Indonesia,'' ujar Narko.

Sementara itu, Bupati Tulungagung Ir Heru Tjahjono MM berjanji akan ikut berupaya mengembangkan sastra Jawa di daerahnya, seperti memasukkan sastra Jawa ke dalam kurikulum muatan lokal di SD hingga SMU. ''Semoga ini akan ditiru oleh pemda-pemda di seluruh Jawa, agar kehidupan sastra Jawa bisa … (ilang, Bon)
()
REPUBLIKA ONLINE
Minggu, 09 Nopember 2003

DIKOPAS DARI SINI

0 urun rembug: