KEMARAU tinggallah nama. Hujan berhari-hari telah menjungkirkannya. Hujan semakin gila. Lebih gila daripada musimnya. Angin ribut. Petir. Banjir. Mereka seperti telah sepakat, menikam kemarau dari belakang. Barangkali memang alam telah sedemikian rusaknya. Hampir tak ada yang dapat dipercaya. Cuaca juga. Pagi-pagi misalnya, matahari muncul dengan segenap keceriaannya. Tetapi belum sampai separoh perjalanan mendung hitam datang menghadang. Terang jadi gelap. Jadi hujan. Jadi banjir. Dan Petir. Dan angin ribut. Membuat tambah kacau. Mereka telah bersekongkol menjarah kemarau.
Rumah saya pun jadi kacau. Antena televisi jadi patah. Disambar petir. Pesawatnya meledak. Berantakan. Yang tak kalah kacaunya, adalah pikiran saya. Kadang-kadang saya jadi begitu khawatir kalau-kalau kiamat akan segera tiba. Makin banyak tabungan dosa saya. Tuhan Maha Kuasa. Tetapi siapakah sebenarnya yang mempercepat proses kehancuran dunia?
Saya terus bertanya. Juga mempertanyakan, mengapa saya tak dapat berhenti bertanya. Sepenggalpun tak saya temukan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan saya berkembang. Jadi semacam protes. Semacam gugatan, tak jelas alamatnya. Dan saya semakin merasakan bahwa pikiran saya semakin kacau.
Maka kemudian saya tinggalkan rumah saya. Tinggalkan keluarga saya, istri dan anak-anak saya. Saya tinggalkan kota dengan segenap isinya. Saya masuk hutan. Naik gunung seperti naik tangga menuju balik langit-langit untuk menemukan genting yang bocor.
Mungkin benar kata orang. Langit telah berlubang. Telah jebol. Maka hujanpun tak kenal musim. Tetapi tak mungkin saya naik ke langit. Yang mungkin adalah masuk hutan. Naik gunung. Mungkin saya memang harus ke hutan. Harus ke gunung bila benar kata salah seorang kawan penyair bahwa sekelompok orang telah bikin makar bergerombol-gerombol. Di hutan-hutan. Memanah matahari. Memanah rembulan. Memanah bintang-bintang. Lihatlah langit telah berlubang.
Mungkin anak-anak sudah terlelap. Mungkin masih terasa hangat bila ibunya masih mencinta mendekap. Mungkin juga mereka sedang asik berdiskusi tentang antena yang patah. Tentang pesawat televisi yang meledak. Tentang suami yang pergidan tak segera kembali pulang. Tentang mimpi-mimpi yang membuat mereka larut dalam irama ketakutan.
Di hutan. Tidaka ada gerombolan. Atau mungkin tidak saya temukan. Sepi. Melintas di jejak badai. Pohon-pohon tumbang. Malang melintang. Ai! Bintang! Telah hilang gemerlapannya. Telah hilang cahayanya. Pudar, kusam, saya pungut dan saya timang-timang. Ai! Seseorang! Atau lebih tepatnya manusia. Saya terkejut, tetapi dia begitu tenang.
’’Sampeyan siapa?’’
Pertanyaan itu mula-mula saya maksudkan untuk menguasai keadaan. Saya tak ingin dia yang lebih dulu menguasainya.Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Sayang perhitungan saya terlalu mentah. Saya tahu pada saat sudah terlambat. Justru dengan pertanyaan itu saya telah menampakkan bulat-bulat betapa tipisnya nyali saya. Saya mulai goyah. Saya tak bisa tenang seperti dia. Jangkrik!
’’Untuk apa bertanya begitu? Nama? Saya sendiri sudah lupa siapa nama saya sebenarnya. Kalaupun bisa saya sebut sebuah nama, untuk apa? Toh di sini kita cuma berdua.’’
Diam-diam saya mengaku kalah, ah, betapa cepatnya saya menyerah. Hanya dengan beberapa kalimat yang diucapkannya tanpa emosi, dia telah melemparkan saya ke tempat yang sangat jauh. Jauh dan asing. Saya benar-benar tak berdaya. Dan dalam ketakberdayaan seperti itulah, saya kembali bertanya.
’’Mengapa sampeyan di sini?’’
’’Bertanyalah begitu pada diri sendiri. Atau, mari ikut! Sebab terlalu sulit menjelaskan semua ini dengan kata-kata.’’
Kalah lagi! Lagi-lagi kalah. Saya mengikutinya dengan semangat seorang antropolog yang tiba-tiba menguasai bahasa orang dari suku terasing yang sedang diteliti.
Seperti sebuah petualangan yang sangat menantang. Kadang saya bertanya-tanya, benarkah ia seorang manusia. Matanya yang tajam tatapnya menggetar perasaan. Tubuhnya kekar. Rambutnya panjang. Pakaiannya kumal, sudah tak jelas warna aslinya.
Gerakannya amat cepat. Langkah-langkahnya mantap. Seluruh keberadaannya selalu memancarkan kesan keperkasaan. Medan macam apapun rasanya tak akan pernah mampu menggoyahkan keperkasaannya. Dialah lelaki jantan. Lepas dari persoalan, apakah dia benar seorang manusia atau bukan.
Saya terus mengikutinya. Ternyata dia membawa saya kedalam sebuah gua. Fantastis! Dalam tempo yang sangat singkat saya telah menyimpulkan, dan yakin pada kesimpulan ini, bahwa gua inilah rumahnya. Tempat tinggalnya. Nah! Benarkah ia tak kurang dan tak lebih adalah seorang manusia? Kalau manusia, maka manusia macam apakah dia? Sulit untuk dapat dengan cepat saya pahami. Saya yang terlempar ke dalam zaman prasejarah, ataukah dia yang terpelanting dari peradaban modern.
Setelah menyalakan perapian di serambi gua dia menuntut saya ke dalam. Ai! Dia punya lampu senter! Dan saya semakin yakin, dia bukan manusia prasejarah. Sebelum ini, saya juga sudah yakin bahwa benar dia adalah seorang manusia. Saya yakin dia adalah manusia produk modern seperti saya. Bahasanya sama dengan bahasa saya. Bahkan saya mengaku kalah dalam hal mempermainkan kata-kata. Lebih mengejutkan lagi, ternyata dia tak hanya punya lampu senter. Dia juga punya persediaan lilin. Punya radio transistor.
Tiba-tiba prasangka buruk menyelinap di balik angan-angan saya. Jangan-jangan dia adalah ketua gerombolan! Nah! Ya, kan? Ketika saya iseng, saya mendapati sebuah bilik yang berfungsi sebagai gudang senjata. Sekaligus gudang peluru. Bermacam-macam jenis dan ukuran. Tetapi sepertinya telah menjadi fosil. Tak terawat.
Rusak. Berkarat. Mungkin kalau ada, hanya satu dua yang masih dapat dipergunakan.
’’Saya mau berburu. Kita butuh makan. Ikut nggak?!’’
Pikir saya, ini tawaran yang baik. Menantang dan menyenangkan.
’’Ya! Ikut!’’
“Ambilah senjata di dalam. Pilih yang masih baik. Yang masih dapat digunakan. Jangan lupa mencocokkan dengan jenis pelurunya. Bisa menembak, kan?”
“Ya. Sedikit-sedikit.”
Dia semakin cair. Makin bersikap bersahabat. Rasanya dia sudah tak lagi bernafsu memojokkan saya dengan kata-katanya.
’’Bisa menembak, belajar dari mana?’’
’’Dari perang.’’
’’O, juga pernah terlihat perang….’’
’’Sampeyan?’’
’’Ya’’
’’Perang Kemerdekaan?’’
’’Perang Membela Tanah Air?’’
’’!!!!!!’’
’’Apa?’’
’’Mungkin sampeyan orang yang saya cari-cari selama ini!’’
’’Untuk apa?’’
’’Nah, kalau benar, sesungguhnya bukan hanya saya yang mencari-cari sampean. Siapa sebenarnya nama sampean?!’’
’’Sudah saya katakan. Saya sendiri sudah lupa siapa nama saya. Ah. Sekian lamanya saya tak pernah pusing, dan tak pernah mencoba memusingkan soal nama. Tapi tiba-tiba kau datang seolah hanya untuk menemukan sebuah nama. Hm. Zaman sudah terlalu gila. Lebih orang-orangnya. Nama sudah lebih penting daripada bendanya.’’
’’Ya. Tapi, pada zaman perang dulu sampean jadi pemimpin para pejuang, kan?!’’
’’Juga tak pernah terpikir. Berjuang apakah memberontak.’’
’’Tetapi membela Tanah Air, kan?’’
’’Ya.’’
’’Nah! Itu namanya berjuang!’’
’’Bedanya dengan memberontak?’’
’’Ah, sampeyan jangan berbelit-belit, sampean jadi pemimpin kan?’’
’’Semua orang adalah pemimpin.’’
’’Tetapi bukanlah sampean, yang mengorganisasikan dan menggerakkan mereka untuk maju, mempertaruhkan jiwa dan raga?’’
’’Rasanya bukan. Bukan saya.’’
’’????’’
’’Penderitaan telah menyatukan dan menggerakkan mereka.’’
’’Ya. Ya. Lalu mengapa sampean mengasingkan diri seperti ini? Mengapa tidak kembali ke masyarakat ramai?’’
“Siapa bilang! Walau gua ini telah jadi seperti rumah saya, lebih banyak saya berada di luar. Di Masyarakat, menurut istilahmu.”
’’Nah! Bagaimana orang-orang memanggil sampean, kalau sampean tak punya nama?!’’
’’Lha! Kau kembali ribut soal nama. Saya adalah manusia dari jenis yang tak perlu dipanggil. Tak perlu nama. Justru itulah antara lain yang menyebabkan saya dapat dengan mudah larut di dalamnya. Di dalam masyarakat.’’
’’Tetapi mengapa sampean selalu pura-pura tidak tahu, apa benar mereka mencari saya. Yang lebih tidak saya ketahui, untuk apa saya dicari, kalau memang benar saya yang mereka cari untuk apa?’’
’’Sampeyan adalah pejuang. Mereka yang tidak turut berjuang pun ikut menikmati hasil perjuangan itu. Mengapa sampeyan tidak?’’
’’Mengapa tidak?! Siapa bilang saya tidak menikmati…..!’’
’’Tapi…..’’
’’Saya harus ke tengah-tengah masyarakat sambil meneriakkan sebuah nama? Kemudian ikut duduk di atas kursi sambil menikmati gemuruh suara orang-orang yang mengelu-elukan nama saya sebagai seorang pahlawan? Itulah yang saya takutkan. Jangan. Saya tidak mau terjebak. Seperti mereka. Seperti kebanyakan mereka, yang terjebak pada gelar dan namanya. Biarlah saya menikmati kesendirian dan kesepian ini. Di tengah-tengah masyarakat saya tak perlu terlihat. Jika memang tidak terlihat. Itulah yang saya inginkan. Maka, namapun tak lagi saya perlukan. Sebab hanya yang bersih yang dapat menyatu dengan udara….’’
Saya semakin tidak mengerti. Saya sedang berhadapan dengan seorang manusia ataukah dengan seorang dewa. Hanya yang bersih yang dapat menyatu dengan udara. Apakah yang dimaksudkannya?[]
Sala, Desember 1992
Sastra Pedalaman
Cerpen ini pernah dimuat Harian Karya Darma yang terbit di Surabaya
0 urun rembug:
Post a Comment