Wednesday 27 February 2008

Belajar dari Munyuk

Pagi itu, Minggu (1/8) di Pendapa Taman Budaya Jawa Timur berlangsung Festival Tandhak Bedhes. Ada puluhan monyet diadu ketrampilan, kelucuan, dan ketangkasannya. Dengan iringan musik ketipung tabuh: thung-thung-thung-trung-thung-dhung, si bedhes alias monyet yang dipacaki seperti manusia, pakai baju dan celana, bahkan dilengkapi rumbai-rumbai, menari-nari. Pemiliknya yang sekaligus bertindak sebagai ’’sutradara’’ pun memberikan komando, kadang cukup dengan kata-kata, ’’Unyil pergi ke pasar…!’’ atau langsung menyodorkan peralatan atraksi yang harus dilakukan si bedhes seperti: model barbel, payung, pancing.

Para penonton yang sebagian adalah anak-anak dan ibu-ibu mereka pun larut dalam suasana ceria. Tak jarang, anak-anak itu mendekati sang tandhak alias si bedhes untuk mengelusnya, mengajaknya berjabat tangan, dan bercanda. Sebuah komunikasi yang penuh empati, akrap, antara dua jenis makhluk: hewan dan manusia.

Sebuah keharuan menyeruak tak bisa ditahan-tahan saat menyaksikan adegan seperti itu. Di satu sisi terlihat hubungan yang begitu “harmonis” antara hewan peliharaan dengan pemeliharanya. Bayangkan pula, betapa seekor binatang dapat membantu seseorang, sebuah keluarga untuk njejegake kendhil, untuk mempertahankan kelangsungan asap dapur, berjuang untuk hidup di zaman yang semakin serba susah ini.

Manusia, apalagi yang masih muda, masih berada dalam puncak usia produktif tetapi lebih suka bermalas-malasan, tak mau benar-benar bekerja dan haya menunggu ijasahnya ’laku’, diangkat menjadi karyawan swasta atau pegawai negeri, seharusnya tersindir oleh “etos kerja” para tandhak bedhes itu. Lha iya, ingatase binatang saja mau bekerja mencari nafkah untuk membantu manusia (walau sebenarnya juga terpaksa karena ’ketidakberdayaannya’ sebagai binatang di hadapan sang juragan, lha kok manusianya malah malas bekerja. Kan, begitu.

Di sisi lain terlihat pula semacam tindakan mengeksploitasi binatang peliharaan, dalam hal ini monyet. Gerakan-gerakan yang dilakukan tandhak bedhes itu: koprol, salto, atau menggeret ’gerobak’ dengan kedua tangannya, adalah gerakan yang sangat manusiawi, dan oleh karenanya mengingkari kebinatangannya.

Anak-anak senang melihat atraksi tandhak bedhes itu. Memang. Tetapi, begitukah cara terbaik mengajarkan kepada mereka: bagaimana menyayangi binatang? Agaknya, kita baru benar-benar bijaksana jika bersedia belajar kepada kera, bukannya justru mengajari mereka untuk mengingkari kebinatangan mereka sendiri.

Atau kita memang pengin sesekali bertukar, membuat bedhes jadi manusiawi, dan sebaliknya….* bonari nabonenar (bonarine@yahoo.com)


Ini kolom di tabloid Selebriti Campursari edisi 5, 19 agust – 2 sept 2004

0 urun rembug: