MALANG, MINGGU – Kwalitas dan kwantitas karya cerita pendek dan puisi berbahasa Jawa, "cerita cekak" dan "geguritan" sudah cukup banyak mengalami perubahan, sebagaimana tampak pada naskah yang masuk pada sayembara yang diselenggarakan Yayasan Karmel, pengelola sekolah Katolik di Jawa Timur. Hasil sayembara ini diumumkan Minggu hari (27/1) yang dihadiri sekitar 200 orang guru dan peminat sastra Jawa di Jawa Timur dan beberapa kota lain di tanah air.
Sebanyak 13 juara "cerita cekak" (cerkak) dan 13 juara "geguritan" terpilih pada sayembara yang dilaksanakan untuk memperingati HUT ke-82 Yayasan Karmel, oleh tiga juri Tengsoe Cahyono, Bonari Nabonenar dan Basuki Widodo. Hadiah berupa uang tunai Rp 1 juta untuk juara pertama, diberikan Ketua Yayasan Karmel Romo Hudijono Pr.
“Karya sastra Jawa sudah makin berani keluar dari kultur agrarisnya,” kata Dr Henricus Supriyanto, pemimpin lembaga kebudayaan Yayasan Tantular.
Basuki Widodo menegaskan, cukup banyak karya-karya sastra yang memilih tema yang amat mutakhir bagi wilayah kebudayaan Jawa saat ini, seperti tema single parent, yang isinya seputar keputusan karakter perempuan dalam "cerita cekak" itu, untuk hidup sendiri sebagai orang tua tunggal.
“Ini jelas diluar tema-tema domestik, atau hubungan keluarga besar, dan romantisme masa lalu yang seringkali muncul dalam karya-karya cerita pendek berbahasa Jawa selama ini. Tegasnya karya-karya terbaru ini tidak lagi monoton,” kata Basuki Widodo, redaktur majalah Jaya Baya, salah satu dari hanya dua media yang masih menampung dan menyediakan ruang bagi karya sastra Jawa, selain Panjebar Semangat.
Karya tersebut muncul sebagai juara pertama, Ijen Ing Omah (Sendirian di Rumah) karya Ekapati Lenda Aneta (Surabaya). Panitia memilih tiga orang juara, dan sepuluh orang juara harapan, dari 89 naskah cerkak yang masuk ke meja panitia. Naskah "geguritan" mencapai lebih dari 100 naskah yang diikutkan lomba. Juara II lomba cerkak berjudul Tamarin oleh Nunung Widyaningtyas (Tulungagung) dan juara III Kadho Desember oleh ES Sulistyarini (Blitar).
Karya "geguritan" yang mendapat juara pertama malah memotret fenomena panggung dangdut yang semarak akhir-akhir di media televisi dan di tempat hiburan umum. Pengarangnya, Sri Purnanto, guru SMA di Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek menjelaskan, dirinya hanya memotret, bukan hendak menghakimi fenomena joget dalam karyanya Panggung Kembang Jingkrak.
Bait akhir puisnya /Ing pangggung kembang jingkrak, kena ngguyu nanging ojo nguloni idu/ Ing panggung kembang jingkrak, entuk ngedan nanging ojo nyalahne zaman/ Ing panggung kembang jingkrak, nadyan mung semu melua surak (Di panggung bunga berjingkrak, boleh tertawa tapi jangan menelan ludah/ ..., boleh menjadi gila, tetapi jangan mengutuk zaman/ ..., sekalipun hanya semu boleh ikut bersorak.
Doddy Wisnu Pribadi [Kompas-Jatim, Minggu, 27 Januari 2008 | 20:51 WIB]
0 urun rembug:
Post a Comment