Saturday 2 February 2008

FSB 2007 sebagai Bentuk Apresiasi Suara [Sastra] Buruh

Jika tidak ada aral, 30 April – 01 Mei ini di Blitar akan digelar Festival Sastra Buruh 2007. Pilihan waktu itu cukup bagus mengingat April adalah bulan yang biasanya disemarakkan sebagai Bulan Sastra Indonesia [untuk mengenang meningalnya penyair Chairil Anwar], sedangkan 1 Mei adalah Hari Buruh Sedunia.

Panitia sudah memublikasikan dasar pikiran, tujuan, nama acara, tema, kepanitiaan/penyelenggara, dan bahkan jadwal acara secara agak lancang melalui berbagai milis, email pribadi, blog http://fsb2007.blogspot.com, SMS berantai, dan melalui acara Indonesia Fiesta [Delta FM Surabaya] yang dipancar di 20 kota lain di Indonesia.

Beberapa hal yang mendorong munculnya gagasan untuk menggelar FSB [dasar pikirannya] adalah: [1] Buruh adalah profesi yang punya andil besar terhadap kemajuan bangsa. Termasuk yang bekerja di luar negri [yang dikenal dengan sebutan TKI atau Tenaga Kerja Indonesia] telah secara nyata menyumbang devisa yang tak sedikit jumlahnya [...]. [2] Pemerintah telah melakukan banyak upaya, tetapi para buruh [termasuk TKI] belum merasakan hasil yang signifikan dari upaya-upaya itu. [3] Buruh [karena Nomor 2] akhirnya sering berhadap-hadapan dengan pihak Pemerintah seperti yang dapat disaksikan melalui demonstrasi-demonstrasi, termasuk pada Hari Buruh Sedunia [1 Mei] yang biasa diperingati dengan demonstrasi di mana-mana. [4] Perlu media alternatif sebagai sarana komunikasi/dialog antara pihak-pihak terkait [Pemerintah, pengusaha/majikan, LSM, dan para buruh itu sendiri]. [5] Selama ini kita kenal adanya buruh yang juga bekarya sebagai seniman, sebagai sastrawan. Sering mereka [dengan cara kesenian, dalam hal ini sastra] memberikan kepada kita gambaran mengenai pengalaman, aspirasi, dan obsesi mereka. Informasi-informasi sedetail itu, bahkan tidak bisa kita tangkap secara utuh melalui forum-forum diskusi, seminar, demonstrasi. [6] FSB dapat merupakan bagian dari upaya membangun dialog yang sejuk dan indah, sekaligus memberikan ajang bagi para seniman [sastrawan] ’buruh’ yang selama ini kurang mendapatkan perhatian.

Perlu diketahui, para personal yang terlibat di dalam kepanitiaan adalah orang-orang yang selama ini lebih banyak bergerak di wilayah kesenian [sastra, teater, seni rupa] ketimbang di wilayah perburuhan. Yang mengharukan, justru teman-teman dari kalangan LSM-lah yang pertama-tama menyatakan dukungannya terhadap acara ini. Bahkan, Ketua Migrant Care Wahyu Susilo [Jakarta] langsung kirim email dengan pertanyaan, ’’Apakah saya bisa terlibat dalam acara ini?’’

Sementara itu, reaksi pertama dari kalangan sastrawan dan akademisi sastra adalah pertanyaan: ’’Kok sastra buruh, sih?’’ Lalu, dilanjutkan dengan, ’’Memangnya benar-benar ada, ya, genre Sastra Buruh itu?’’ Maka, ketika pertanyaan yang sama muncul dengan nada yang berbeda ketika saya menjadi tamu acara Indonesia Fiesta yang dipandu Shanaz Haque [Jakarta] dan Gilang Pambudhi [Bandung] itu, dengan tegas saya menjawab, ’’biarlah soal genre-genre-an itu diurusi oleh para akademisi. Saya hanya tahu bahwa banyak teman-teman saya yang berprofesi sebagai buruh di dalam maupun di luar negri yang memiliki kegemaran menulis dan menunjukkan kehebatan potensi mereka melalui tulisan-tulisan itu. Mereka juga mesti kita beri ruang.’’

Tentu kita tak akan melupakan Widji Thukul [semoga ia berada dalam damai di mana pun tempatnya]. Ada pula Jumari HS di Kudus, ada Saiful Bakri di Mojokerto yang konon puisi-puisinya sempat dibacakan Ikranegara di Washington DC, sedangkan Bakri- nya sendiri, mungkin, diundang untuk menyaksikan acara Penghargaan Seniman Jawa Timur [di Surabaya] pun tak pernah. Ada lagi sekian banyak buruh asal Indonesia di Hong Kong yang menulis. Salah seorang di antaranya, Tarini Sorrita [asal Cirebon] kini mempersiapkan buku kumpulan cerpen dan novel berbahasa Inggris untuk dicetak dan diedarkan di Hong Kong. Tarini bahkan sempat pula di-’sosokkan’ di halaman South China Morning Post, ruang yang konon pernah pula memuat profil Sitok Srengenge dan Ayu Utami. Apakah kita, lebih-lebih Pemerintah Republik Indonesia yang diuntungkan oleh hasil cucuran keringat dan air mata [bahkan darah] para buruh hanya mau melihat mereka semata-mata sebagai buruh, dan bukan sebagai manusia yang utuh?

Mungkin kita sering mengeluh dan bahkan kesal ketika lalulintas macet gara-gara buruh berdemo. Mungkin kita juga memandang mereka sebagai telah melakukan sabotase atau pembangkangan ketika mereka beramai-ramai mogok kerja. Lalu, ketika para buruh yang juga penulis itu telah bersuara melalui tulisan-tulisan mereka, apakah kita tidak juga mau mendengarkannya?

Apapun jawabannya, kita akan melihatnya di FSB 2007 nanti. [Bonari Nabonenar, salah seorang penggagas FSB 2007]

Sumber: Jawa Pos

0 urun rembug: