Wednesday, 27 February 2008

SUPRIHATIN

Mungkin, orangtua itu berharap agar anaknya kelak jadi orang yang tabah, tegar, kuat lahir-batin, termasuk kuat menghadapi situasi kritis. Kuwat nandhang prihatin.

Prihatin itu sendiri bisa bermakna kondisi batin karena menghadapi sesuatu hal (yang tidak baik), tetapi dapat pula berarti lelaku. Tirakat, seperti yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, misalnya dengan mbrokoh (berpantang makan nasi dan lauk pauk), hanya memakan sayuran, memakan pala atau buah, atau umbi yang termasuk dalam kategori: pala gemandhul (menggantung), pala kependhem (di dalam tanah), dan pala kesampar (di atas permukaan tanah), adalah laku prihatin juga.

Orang Jawa, dengan demikian menilai kualitas seseorang juga dari kekuatanya dalam lelaku prihatin. Maka, orangtua yang bijak itu, walaupun mererka hanyalah petani miskin di sebuah sudut desa Krajan, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, lalu menamakan anaknya: Suprihatin.

Lalu, kita tahu bahwa Suprihatin telah mencatatatkan dirinya sebagai sosok yang begitu kuatnya menghadapi cobaan hidup, penderitaan raga-jiwa. Bahkan hanya maut yang mengalahkannya. Sedangkan, kita tahu pula, jika sudah berurusan dengan maut, jangankan menteri, presiden, raja, bahkan Firaun yang mengaku sebagai tuhan pun pada akhirnya tunduk di hadapan maut.

Tetapi kita harus tahu pula, bahwa tampaknya ada sistem, di luar persoalan majikan yang kejam di luar batas perikemanusiaan, yakni sistem yang mengatur pola hubungan antara PJTKI – Agensi – TKI – Majikan. Apapun namanya sistem itu, seperti yang dapat kita tangkap dari penuturan Rini Widyawati (Catatan Harian Seorang Pramuwisma, JP-BOOKS, 2005), banyak ketidakadilan menimpa para BMI atau TKI terutama pada masa kontrak pertama mereka. Yakni jatah libur yang kadang tidak diberikan, pengupahan di bawah standar (underpay), potong gaji (untuk mengganti biaya administrasi, pengurusan passport dan visa, pembelian tiket pesawat, dan sebagainya.

Padahal menurut buku Pedoman Praktis untuk Pramuwisma Asing… yang diterbitkan Pemerintah Hongkong (Labour Departement), pihak majikanlah yang wajib mengganti ongkos atau biaya pengurusan/pengolahan dokumen, uang makan dan biaya perjalanan ke Hongkong dari negeri asal pramuwisma.

Tetapi, yang terjadi kemudian, beban biaya itu dibebankan kepada BMI dengan cara pemotongan gaji oleh agensi. Inilah yang kemudian membuat banyak BMI bertahan sampai mati, walau majikan kejam di luar perikemanusiaan, karena malu dan takut jika sampai di-PHK dan harus mengembalikan seluruh biaya perjalanannya ke Hongkong yang dibukukan sebagai utangnya.
Nah, bisakah dicegah agar tidak jatuh korban berikutnya?


*) Ditulis sebagai editorial tabloid HeLPER edisi ke-2

0 urun rembug: