April adalah bulan yang biasanya jadi semarak dengan peringatan Hari Kartini [21 April]. Kartini adalah ikon perjuangan kaum perempuan. Ia yang mengisi hari-hari dalam hidupnya dengan, tampaknya, lebih banyak menangis dan menjerit, memrihatini kondisi kaumnya yang selalu diletakkan di bawah bayang-bayang laki-laki, baik oleh bangunan sistem sosial maupun oleh produk perundang-undangan yang cenderung meminggirkan [untuk tidak menyebutnya: menindas] perempuan.
Kini, Ibu Kartini sudah tidak lagi secara fisik berada di tengah-tengah kita. Tetapi, jiwa dan semangat perjuangannya tak akan pernah padam, apalagi jika kita sebagai generasi penerus bangsa menyadari betapa mulia perjuangan itu.
Dahulu, pada zamannya Ibu Kartini, secara terang-terangan gerak perempuan dibatasi, bukan saja oleh stagen dan kain panjang [jarik] secara fisik, bahkan pikiran perempuan pun dikerangkeng. Di masyarakat dikontruksikan cara pandang bahwa perempuan adalah kanca wingking bagi sang suami alias teman yang hanya berada di belakang [bertugas memasak di dapur dan mengasuh anak] yang dengan kata-kata Jawa bisa dirangkum ke dalam 3-M [masak, macak, manak atau memasak, bersolek, dan beranak].
Pendidikan formal juga mendiskriminasi perempuan. Perempuan tidak diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan formal. Di bidang pekerjaan begitu pula. Dan di semua bidang kehidupan yang lain, perempuan selalu dikalahkan.
Lalu, terbitlah zaman baru, ketika perempuan disebut-sebut telah mendapatkan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Perempuan boleh menikmati pendidikan formal sampai jenjang tertinggi. Di dunia kerja, perempuan juga mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan boleh memutuskan menjadi apa yang diinginkannya. Sejarah pun telah mencatat bahwa kita pernah memiliki perempuan yang meraih kedudukan tertinggi di negri ini, sebagai presiden.
Tetapi, apakah dari ’’penampakan-penampakan’’ seperti itu kita dapat menilai bahwa terkabullah sudah apa yang dahulu dicita-citakan Ibu Kartini? Apakah di dunia kita benar-benar telah keluar dari kegelapan? Apakah kita telah merasa menikmati zaman terang-benderang?
Maka, cobalah mari kita berhitung, berapa banyak keluarga yang kini bisa dipertahankan dengan menempatkan perempuan sebagai tulang punggungnya, sebagai pencari nafkah, dan bahkan juga pengambil keputusan? Kini, di antara kita, ada banyak laki-laki yang mirip-mirip kucing piaraan yang menjadi tambun tetapi semakin tak gesit menghadapi tikus, karena ia tidak terbiasa mengasah cakar dan taringnya. Ia menjadi kucing piaraan yang manja, sementara sang perempuan harus menjadi singa penakluk ganasnya rimba kehidupan.
Lalu, pertanyaan besarnya? Mengapa angka kekerasan di dalam rumahtangga dimana laki-laki adalah pelaku dan perempuan adalah korban masih saja tinggi? Mengapa?
Kita belum berada di zaman terang-benderang, sebab habis gelap masihlah remang-remang![]
Peduli edisi 12
0 urun rembug:
Post a Comment