Wednesday 27 February 2008

Saputangan Gambar Naga: Potret Keliaran Imaji Suparto Brata

(1)

Keberadaan saya di sini, sekarang ini, bisa jadi akan terasa sebagai sebuah penghormatan jika saya telanjur besar kepala, tetapi sesungguhnya tak kurang dan tak lebih adalah sebuah ’penganiayaan’. Bayangkan, seorang Bonari yang secara usia layak jadi cucu, dan secara kekaryaan --dalam jagad kepengarangan— tak akan lebih dari seorang cicit-cuit Suparto Brata (SPTBT) tiba-tiba didapuk untuk berbicara, berkomentar, tentang karya SPTBT, Saputangan Bergambar Naga (SGN).


Tetapi saya pikir-pikir, keadaan ’teraniaya’ ini bisa jadi bagian dari proses kreatif juga. Maka, saya berterima kasih kepada panitia, kepada Bu Adi, yang telah dengan begitu ’dingin’ menganiaya saya. Dan keberanian saya makin menjadi tatkala saya tahu bahwa di sebelah saya ada yang siap berbicara tentang SGN secara intelek, membedahnya dengan pisau teori yang berkilat-kilat, saking tajamnya. Jadi, saya cukup membumbuinya dengan glenyengan-glenyengan yang mungkin juga tak akan jelas ke mana jluntrung-nya.


(2)

Pada awal tahun 1980-an, harian sore Surabaya Post menurunkan komentar Budi Darma bahwa, seingat saya, dengan kata-kata saya, SPTBT adalah pengarang yang lebih sebagai seorang tukang cerita daripada seorang sastrawan. Pada gilirannya angkat biacara –yang kemudian juga dimuat harian sore Surabaya Post-- SPTBT tidak sedikit pun mengelak dari ’tuduhan’ Budi Darma itu. ’’Saya tidak mendapatkan julukan sebagai sastrawan juga tidak apa-apa. Disebut sebagai tukang cerita, pengrajin dongeng, atau apa sajalah orang mau menyebutnya, saya juga tidak apa-apa.’’ Kurang lebih seperti itulah jawaban SPTBT, sekali lagi, memakai kalimat-kalimat saya.

Secara harfiah, susastra berarti bahasa yang indah. Karya cipta yang menggunakan bahasa yang indah itu bisa berupa puisi, prosa, atau juga drama (teks). Maka, dengan sejenak melupakan teori yang kelewat ndakik-ndakik itu, konsep keindahan dalam karya sastra pun sebenarnya mengalami dinamika seperti dalam dunia mode.

Maka, marilah kita menghindar dari perdebatan mengenai tren, dan mari pula keluar dari mashab-mashab yang membelenggu kita dalam fanatisme berlebihan. Daripada berdebat tanpa ujung-pangkal, misalnya mengenai ’keterlibatan’ sastra, mengenai ideologi dalam sastra, mengapa tidak kita gunakan saja pendekatan secara glenyengan, misalnya, tetapi yang lebih damai dan bermanfaat daripada sekadar cakar-cakaran layaknya politikus berebut dingklik?

Apakah kita masih juga mau berdebat, misalnya mana karya yang lebih berguna, karya-karya yang dengan begitu kentalnya mengusung isme tertentu tetapi susah dipahami banyak orang, atau karya-karya yang oleh sebagian orang disebut sebagai karya kerajinan, yang hanya menyenangkan atau bersifat menghibur saja? Jika karya hiburan itu berhasil membantu seseorang atau sekian banyak orang untuk keluar dari depresi, dari stress, bukankah itu berarti lebih berkhasiat daripada karya-karya yang diberi label ’sastra tinggi’?

Maka, saya lalu teringat kepada kata-kata Cak Kandar, bahwa beliau lebih menghargai karya kerajinan jika hasilnya adalah sebuah ukiran kayu Jepara, daripada lukisan cekeremes yang dibuat oleh seniman yang hanya kemaruk mendapatkan pengakuan sebagai pelukis.

(3)

SPTBT telah mengabdikan dirinya kepada kesusasteraan, dan membuktikan bahwa ia tidak tangung-tanggung dalam pengabdiannya. SPTBT yang masuk ke dalam daftar Five Thousand Personalities of the World (1998) antara lain sebagai seorang penulis, penulis cerita dan wartawan freelance, sudah mempublikasikan tulisan-tulisannya berupa: berita, features, artikel, dan cerita fiksi sejak tahun 1951 dan masih trengginas dalam berkarya hingga tahun 2005 ini. Sudah 56 tahun! Dalam masa itu SPTBT tetap menjaga konsistensinya, menegakkan dedikasinya kepada kesusastraan: Sastra Indonesia dan Sastra Jawa sekaligus. Tak banyak penulis yang bisa menjaga stamina dan konsistensi seperti itu.

SPTBT pada awalnya adalah seorang kutubuku. Ketika bahan bacaan di sekitarnya habis dia baca, maka buku bacaan berbahasa Inggris pun dicoba dilahapnya. Mula-mula ya grathul-grathul, tetapi lama-kelamaan lancar dengan sendirinya.

Karena telah banyak membaca itulah maka kemudian SPTBT akhirnya terdorong juga untuk menulis, dan kemudian terbuktilah bahwa dia adalah orang yang sukses sebagai penulis. Suatu ketika, ia bepergian ke luar kota yang jauh dari tempat tinggalnya (Surabaya). Ketika berkenalan dengan seseorang yang baru ditemuinya dan orang itu mengaku telah sangat akrap dengan nama SPTBT melalui karangan-karangannya yang dipublikasikan melalui majalah berbahasa Jawa, SPTBT merasa senang. Itulah parameter utama untuk mengukur kesuksesan seorang penulis; karyanya dibaca orang. Karya-karya SPTBT adalah karya-karya yang banyak dibaca, sebab jika tidak demikian halnya, tidak mungkin penerbit seperti Grasindo mau menerbitkan lagi, menerbitkan lagi, dan menerbitkan lagi karya-karya SPTBT.

(4)

SGN adalah cerita yang mengasyikkan. Sebagian besar tokoh-tokohnya berada dalam dua setting waktu sekaligus, yakni waktu lampau (Zaman Kerajaan Kediri, 1289) dan waktu kini (sekitar tahun 1993). Saputangan ’pusaka’ bergambar naga menjadi barang sentral, yang menjadi alasan, alat, bagi pengarang untuk menggerakkan ceritanya, untuk mengaduk masa lalu dan masa kini menjadi adonan yang padu, berpilin-pilin, dan mengalir lancar. Tokoh-tokoh dalam SGN mengalami de ja vu. Keadaan de ja vu itu sedemikian hebatnya, sampai seperti kesurupan. Tokoh-tokoh mengalami disorientasi baik terhadap waktu maupun terhadap diri sendiri, yang dengan demikian justru memaklumi pemilinan antara kelampauan dan kekinian, memaklumi diri sebagai orang-orang ’sekarang’ yang sekaligus juga adalah tokoh-tokoh ’masa lalu’.

Orang Jawa biasanya juga sangat akrab dengan dunia wayang, baik yang bersumber pada kisah Ramayana maupun Mahabarata. Kisah tentang reinkarnasi, kelahiran kembali, bukan hal baru bagi orang Jawa. Banyak pula film Mandarin yang memanfaatkan bahan-bahan cerita seputar reinkarnasi. Lalu, fiksi modern Barat pun menyuguhkan kisah-kisah mengenai orang-orang yang terseret atau bahkan sengaja berkelana ke masa lalu dengan mesin waktu.

SGN sangat fantastis, tetapi tidak ngayawara, karena ia juga dilandaskan pada peristiwa-peristiwa sejarah.

(5)

Di mata saya, SPTBT yang telah menyelesaikan hampir 200 naskah cerita panjang adalah seorang pendekar di dalam dunia persilatan sastra Indonesia, dan lebih pendekar lagi dalam dunia persilatan sastra Jawa. SPTBT telah dua kali mendapatkan hadiah sastra Rancage masing-masing untuk buku kumpulan cerpen-nya Trem, dan sebagai tokoh yang berjasa (yang telah mengalami jatuh bangun bersama Sastra Jawa, pernah menggadaikan sepeda motornya untuk membiayai sebuah acara Sarasehan Sastra Jawa).

Kalau orang menyebut-nyebut nama R Intojo sebagai Bapak Soneta dalam Sastra Jawa, dan St Iesmaniasita sebagai salah seorang pelopor sajak bebas-nya, maka orang tidak bisa bicara tentang cerita-cerita detektif dalam sastra Jawa tanpa menyebut nama SPTBT.

SPTBT adalah pengarang hebat dengan stamina yang hebat. Maka, barangkali SPTBT tidak memerlukan lagi sebuah karya puncak, sebab semua karyanya adalah puncak. Ungkapan ini, menyitir Chairil, ’’sekali berarti, sudah itu mati,’’ tidak perlu berlaku bagi SPTBT yang berkali-kali berarti dan tak akan pernah mati. Bukankah seniman sejati tak akan pernah mati?

Sebagai pengarang, SPTBT tidak fanatik, dan bahkan tidak pernah berniat untuk mengusung isme tertentu di dalam karya-karyanya: kiriisme, kananisme, tengahisme, ruwetisme, libidoisme, dan seterusnya. Corak karya-karya SPTBT sangat beragam. Karena tidak adanya isme tertentu yang tampak kental pada karya-karyanya itulah tampaknya yang kemudian membuat orang melihat dan menilai SPTBT tak kurang dan tak lebih hanyalah sebabagi tukang bercerita. Dan SPTBT merasa tidak ada urusan dengan pandangan seperti itu. SPTBT juga tidak perlu membela diri, misalnya dengan menyerukan agar susastra dibersihkan dari kepentingan-kepentingan permukaan dan dikembalikan ke dalam dunia batin manusia yang paling dalam. Walah! (Bonari Nabonenar)



Surabaya, 18 Januari 2005

Tulisan ini dibuat sebagai pengantar diskusi buku novel Saputangan Gambar Naga karya Suparto Brata (Grasindo, 2003)

0 urun rembug: