Wednesday, 27 February 2008

Menulis Itu Pekerjaan Mulia

Pada tahun 1990 saya menghadiri Pestival Penyair Jawa dan Seminar Nasional Puisi Jawa di Gedong O IKIP Ketintang Surabaya. Begitu saya datang, beberapa teman yang datang lebih dulu memberi tahu saya bahwa saya dicari Pak Suripan. Saya bertanya-tanya, ada apakah gerangan seorang Suripan mencari saya, yang, waktu itu sebagai penggurit pun saya masih tergolong pemula?

Benar, ketika melihat saya, Pak Suripan melambaikan tangannya, memanggil saya. “Ke sini!” hanya itu yang diucapkannya, sambil bergegas ke tempat duduknya, di barisan paling depan di ruangan cukup luas yang sudah hampir penuh dengan para peserta seminar itu. Berjalan di belakang Doktor kentrung itu, saya merasa hampir semua mata memandang ke arah saya, dan kepala saya pun terasa membesar. Pak Suripan segera mengambil sebuah majalah Horison dan memberikannya kepada saya. ’’Ini, bawalah! Ada cerpenmu di sini.’’

Begitulah seorang Suripan membanggakan mahasiswanya yang ’berhasil’ menulis. Menulis, menulis, dan menulislah! Itulah ’ajaran’ yang yang selalu dipompakan kepada para mahasiswanya, betapapun dia sadar bahwa tak ada ’sekolahan’ yang bisa mengubah seseorang menjadi penulis atau pengarang.

Suripan juga sadar bahwa penulis di Indonesia pada umumnya miskin. Tetapi menulis itu, katanya, pekerjaan mulia. Bahkan, katanya pula, seandainya sekarang masih ada sistem kasta, maka penulis akan tergolong ke dalam kasta brahmana, kasta paling tinggi derajatnya. Begitulah. Maka, IKIP Surabaya, ketika itu, mungkin tergolong paling banyak melahirkan penulis/pengarang dibandingkan dengan IKIP yang lain.

Mungkin juga, seandainya Suripan dibebaskan menciptakan mata kuliah sendiri, dia akan memilih mata kuliah mengarang. Ada kisah yang cukup seru mengenai hal itu. Ketika itu Pak Suripan mengadakan ujian semester untuk mata kuliah kritik sastra. Karena dia dosen yang sangat berwibawa, sangat disegani, sudah barang tentu para mahasiswa mempersiapkan diri dengan sunguh-sungguh, menghafal teori-teori, rumus-rumus, dan, bahkan, beberapa mahasiswa juga mempersiapkan jurus menyontek paling mutakhir. Pasalnya, selain dosennya sangat disegani, mata kuliah teori sastra juga tergolong mata kuliah yang berat. (Catatan: Jadi, waktu itu di Jurusan pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Surabaya ada dua mata kuliah ’berwibawa’ yang dipegang oleh dua dosen berwibawa. Satu, mata kuliah Sintaksis atau Tatabahasa III yang dipegang Gatot Susilo Sumowidjojo yang terkenal dengan bahasa baku-nya itu, sampai-sampai ia memberi contoh menulis cerpen dan bahkan puisi dengan bahasa baku. Kedua, ya Pak Suripan dengan mata kuliah Teori dan Kritik Sastra-nya itu). Nah, singkat cerita, pagi itu para mahasiswa sudah siap di tempat duduk masing-masing. Seingat saya, di antara mahasiswa yang tegang saat itu ada Mbak Ardiana, isteri Dr Leo Ida Ardiana, dan Bu Hari Astuti, isteri Pak Suripan. Soal pun dibagikan. Hah! Isinya hanya sebuah puisi dengan perintah untuk membuat tulisan kritik mengenai puisi itu. Itu, tentu sangat meleset dengan dugaan mahasiswa yang pada era 80-an itu masih biasa dicekoki soal ujian model jawaban singkat atau bahkan pilihan ganda. Tidak ditunggui secara ketat, memang. Tapi, mau apa? Seandainya dibebaskan menyontek pun, mau menyontek apa? Maka ketika itu umpatan gaya Surabaya pun berhamburan, diiringi tawa yang tertahan-tahan. Tawa, yang, aromanya begitu kecut. Para mahasiswa yang tak biasa menulis, mengarang, atau yang menerima tugas mengarang sebagai kutukan, tentu merasa sangat kesal.

Keras dan tekun dalam bekerja, kuat memegang prinsip, dan sangat perhatian kepada para mahasiswanya. Itulah Suripan. Banyak yang heran, karena orang sekaliber Suripan masih sempat-sempatnya dan mau-maunya menulis dalam bahasa Jawa. Pertimbangan honor, jelas tak masuk akal. Pertimbangan publikasi yang luas, tentu juga tidak, mengingat pembaca media berbahasa Jawa jumlahnya sangat sedikit. Pertimbangan popularitas, malah makin tidak masuk akal. Kecintaannya kepada sastra Jawa. Itulah! Maka pada pertemuan di rumahnya tanggal 4 Februari kemarin ia menegur Anggarpati, penyair wanita asal Tuban yang dilihatnya tidak lagi produktif menulis dengan bahasa Jawa. ’’Tapi saya masih menulis tentang sastra Jawa, Pak. Tetapi dengan bahasa Indonesia.’’ Apa komentar Suripan? ’’Asalmu kuwi saka Jawa!’’ (=Kamu itu berasal dari Jawa!)

Kecintaannya kepada buku melengkapi ketekunan dan kegigihannya untuk menjadikannya seorang dokumentator handal, sehingga Suparto Brata menjulukinya sebagai HB Jassin-nya sastra Jawa. Setiap pulang dari luar negeri Suripan suka memamerkan oleh-olehnya berupa buku, kepada rekan dosen maupun kepada para mahasiswanya. Karena kecintaannya kepada buku pulalah, tampaknya, seorang Suripan akan merasa bangga jika berhasil menerbitkan bukunya, seperti orang lain bangga ketika punya mobil baru. Sayang, disertasinya: Sarahwulan: Cerita Kentrung dari Tuban itu masih diproses oleh Yayasan Bentang Yogyakarta untuk dijadikan buku ketika Suripan tutup usia.

Selamat jalan, Pak Suripan.*

Pernah dimuat Jawa Pos

0 urun rembug: