Catatan Kecil dari PSN XII, Singapura, 13-14 September 2003
Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XII digelar di Hotel Meritus Oriental Singapura, 13 – 14 September 2003. Para sastrawan yang menulis dengan bahasa Melayu, dari Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan tuan rumah Singapura hadir dalam acara tersebut. Dari Indonesia ada Dr Taufik Ismail, Jamal D Rahman, Viddy AD Daery, Dr Suminto A Sayuti (sebagai pembicara), Hamid Jabbar, Helvi Tiana Rossa, Hamdy Salad, Agus R Sarjono, dan utusan dari Dewan Kesenian Jawa Timur, selain Viddy AD Daery ialah M Shoim Anwar, Bagus Putu Parto, Bonari Nabonenar, Aming Aminoedhin, dan Meimura (sebagai peserta).
PSN XII yang bertemakan Sastera Melayu Warisan Jati Diri dan Jagat ini betapapun samarnya masih mengesankan inferioritas dan kegamangan sastrawan Melayu menghadapi globalisasi. Maka, Hj Hamzah Hamdani, Pengarah Dewan Bahasa dan Pustaka Cawangan, Sarawak sekaligus Ahli Jawatankuasa Kerja GAPENA (Gabungan Persatuan Penulis Nsional Malaysia) pun berpesan, “Yang penting ialah bagaimana untuk menyedarkan pihak pemimpin atasan di rantau Nusantara ini mengenai keperluan penyatuan sikap dan hasrat agar Melayu menjadi bangsa yang besar, yang tidak melupai warisannya yang gemilang pada zaman silam, dan yakin terhadap masa depan yang cemerlng kerana bangsa Melayu Nusantara adalah bangsa yang bijaksana, harmoni, dan dinamik.”
Sementara Dr Zainal Kling, guru besar antropologi dan sosiologi dari Universitas Malaya mengatakan, “Manusia moden Melayu adalah juga manusia tempurung lama yang tak dapat memutar-balikkan tempurung itu dari dalam keluar untuk melihat isinya dengan kefahaman dan kritis. Watak lemah inilah yang amat perlu diteroka secara kritis dalam kreativiti sasterawan untuk memahami betapa selama puluhan abad kita tetap tersungkur di dalam pergolakan dan interaksi ganas antarbangsa dan kekal sedemikian meskipun kita telah moden kini – berakal, bebas, dan mandiri.”
Di dalam salah satu sesi tanya-jawab terlontar pula keluhan betapa seretnya penjualan buku-buku karya sastra di Singapura. Ada semacam kesedihan yang seolah sebegitu susah dicari obatnya, dan bahkan kesedihan itu semakin menggilas batin manakala diingat kejayaan Melayu pada Zaman Sriwijaya, Zaman Samudera Pasai, Zaman Majapahit. Dan simaklah ajakan Dr Abdul Rahman Napiah dari Institut Pendidikan Nasional Universiti Teknologi Nanyang Singapura ini: “Melayu harus kuat superegonya, teguh dan berupaya dalam membina real untuk masuk ke tatanan tamadun baru. … Sebagaimana sejarawan akhir abad 20, menyeru kembali ke sejarah dan tradisinya lalu membangunkan Eropah dan berjaya menjadi pemegang kunci kemajuan dunia, maka untuk maju: marilah kita berseru “masuk ke Melayu”…. Sekiranya sebuah karya sastera itu hendak mencapai tahap tertinggi, bahasa mestilah penuh kuasa dan luar biasa.”
Ada tugas yang cukup berat bagi para sastrawan Melayu, yakni mendekonstruksi tradisi untuk mengabadikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Maka, diskusi pun memanas ketika Shoim Anwar menyerukan bahwa kebudayaan memiliki kekuatannya sendiri untuk berkembang atau bertahan. Shoim sempat mengutip teori fisika yang mengatakan bahwa energi tidak bisa hilang, melainkan hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Sayangnya, karena perbandingan antara jumlah pemakalah dengan waktu yang tersedia tidak seimbang, kesempatan untuk berdiskusi sangat terbatas.
Di antara 25 kertas kerja yang dipaparkan dalam PSN XII ini paling menarik adalah yang dibuat oleh Mawar Shafei, kandidat Doktor bidang Kesusasteraan Bandingan dari Universiti Teknologi Nanyang Singapura, yakni tentang sastra (Melayu) siber di www.pustakamaya.net. Sayangnya, Mawar lebih banyak hanya mendeskripsikan jatidiri situs pustakamaya.net itu sendiri, dan tidak bicara banyak soal fungsi strategis sastra siber di era kesejagatan ini. Lebih eman-nya lagi, seperti pada sesi lainnya, diskusi seputar sastra siber yang tampak akan seru bin hangat itu terpaksa disudahi setelah memberikan tanggapan singkat atas komentar Hamid Jabbar. Penyair yang suka membacakan sajak sambil bermain genderang itu menyatakan bahwa siber dengan potensi multimedianya memerikan kelonggaran untuk mengoptimalkan ekspresi kesusasteraan, misalnya dengan tampilan background, illustrasi suara, gambar, animasi, bahkan film, dan tidak sekedar menayangkan teks di layar komputer. Potensi itu menurut Hamid Jabbar belum dimanfaatkan dengan baik dalam berbagai situs sastra berbahasa Melayu, termasuk bahasa Indonesia.
Mawar memaparkan 5 tujuan dibangunnya situs pustakamaya.net, 2 di antaranya ialah: (1) menyediakan peluang dan ruang yang lebih luas kepada penulis untuk menerbitkan karya di jarngan, dan (5) mengetengahkan hasil karya penulis ke perinkat antarbangsa selaras dengan gagasan dunia tanpa sempadan. Pada tujuan ke-5 itulah sebenarnya tersirat pula peluang strategis sastra Melayu untuk semakin merebut posisinya sebagai salah satu warga sastra dunia. Walau tuntutan teknis seperti dilontarkan Hamid Jabbar bukan hal yang berat untuk dilakukan sekarang, tetapi sebenarnya yang selayaknya menjadi skala prioritas adalah menggelontor sebanyak-anyaknya karya Melayu yang dinilai berkualitas tinggi ke dalam dunia siber itu. Tentu akan timbul persoalan teknis pada tahap ini, misalnya menyangkut pembayaran honor atau royalty atas hak cipta pengarang/penyair. Tetapi jika fungsi strategis itu disadari, tentu ada jalan keluarnya. Termasuk di dalamnya, menerjemahkan sebanyak-banyaknya karya sastra Melayu berkualitas tinggi ke dalam bahasa-bahasa yang lebih luas jumpah pemakainya, misalnya ke dalam bahasa Inggris.
Dengan begitu, sekali kita menggebrak dunia siber, sekian banyak titik strategis kita kuasai. Jangan hanya sibuk mempercantik penampilan di depan kaca-maya (layar komputer), tetapi ujung-ujungnya wajah kita (Melayu) itu hanya akan memantul ke dalam bola mata kita sendiri, dan sedikit pun tidak mengundang dunia untuk meliriknya. Begitulah pendapat saya. []
0 urun rembug:
Post a Comment