Makan tiwul adalah salah satu bagian dari kearifan lokal orang Jawa. Terutama di wilayah-wilayah yang tergolong dan bahkan paling tandus pun, ketela pohon biasanya bisa tumbuh dan menghasilkan ubi. Singkong, ketela, pohung, menyok, adalah beberapa nama untuk menyebut bahan dasar tepung tapioka ini. Dari tepung singkong [gaplek] pulalah orang bisa membuat nasi, nasi gaplek atau yang beken dengan sebutan tiwul.
Apakah makan tiwul itu buruk? Mantan Presiden Soeharto yang melewati masa kecilnya di Wonogiri, konon juga sangat akrap dengan tiwul. Pun Presiden SBY yang mengalami masa kecil di Pacitan yang tergolong kawasan tandus di Jawa Timur, bisa jadi demikian pula halnya: pernah akrap dengan tiwul.
Pada umumnya, tiwul ditanak dan dimakan bersama nasi beras. Kecuali, pada keluarga yang benar-benar miskin, yang tidak punya cukup kemampuan untuk membeli beras. Orang-orang desa mengibaratkan tiwul sebagai solar, sedangkan nasi beras adalah bensin. Artinya, keduanya sama-sama bahan bakar. Truk yang begitu besar pun bisa melaju kencang dengan bahan bakar solar. Tiwul bisa menghasilkan tenaga yang besar, walau ibarat solar ia lambat panas [Ah, apa ya memang begitu?].
Artinya, tiwul itu bukan makanan yang jelek. Yakinlah, jika di desa-desa ada kasus gizi buruk, itu bukan karena tiwul. Bahkan, ada yang percaya bahwa tiwul bisa menyegah maag. Malahan, sebagai antikanker. Wathathatha….! Namanya juga kepercayaan.
Bukan hanya yang berasal dari beras yang disebut nasi. Tiwul pun nasi juga, nasi gaplek. Di kawasan timur, orang makan nasi dari sagu. Kualitas gizi tubuh kita ditentukan oleh ketercukupan berbagai macam vitamin, mineral, dan karbohidrat. Lha, nasi itu sumber utama karbohidrat. Maka, walau kita selalu makan nasi beras, jika tak pernah pakai lauk, tak pernah makan buah, ya buruklah gizi kita.
Jadi, bahwa tiwul adalah makanan yang rendah gengsinya, adalah citra yang dibangun oleh manusia itu sendiri. Untuk memperkuat pernyataan itu, kita bisa kembali ke sosok orang-orang yang sedang dan pernah jadi orang nomor satu di Indonesia, lalu tanyakan, ’’Siapa saja yang pernah makan tiwul, dan siapa yang bebas tiwul.’’ Maka, apakah sampeyan akan tetap bersikukuh bahwa tiwul itu tidak baik bagi kesehatan, membuat pikiran jadi tumpul, dan menyebabkan badan lemah tak bertenaga?
Kepercayaan terhadap citra yang salah itulah antara lain yang membuat bangsa kita tetap dan bahkan semakin miskin, makin menjerit ketika harga beras melambung dan stok nasional menipis, dan pada akhirnya samakin tergantung kepada negara lain. Kita menjadi bangsa yang kerdil hanya karena terlalu yakin bahwa beras adalah satu-satunya bahan pangan yang baik. Lebih lucu lagi –untuk tidak memakai istilah konyol—kita biasa membanggakan diri sebagai negara agraris, tapi lha kok beras pun mesti ngimpor! Wah, wah, wah!
Makan tiwul baik bagi kesehatan, tidak menyebabkan kanker, tidak mengakibatkan serangan jantung [kecuali jika Anda minder banget saat kepergok tetangga pas sedang memakannya], pun tidak menganggu janin di dalam kandungan.
Makan tiwul? So what gitu loh! []
Peduli, Januari 2007
0 urun rembug:
Post a Comment