Wednesday 27 February 2008

MASIH BANYAK PENJAJAH DI SEKITAR KITA

Oleh: Darling Wirastri

Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia kembali disambut dengan berbagai-macam kesibukan. Ada yang buru-buru mengecat pagar dan rumah, ada yang memangkasi pohon-pohon ditepi jalan agar kerimbunan daun-daunnya tak menenggelamkan kemeriahan berbagai umbul-umbul, rontek (bendera kecil), dan lampu warna-warni yang akan segera dipasang. Para ibu muda yang tergabung dalam organisasi PKK (jangan dipanjangakan jadi :perempuan kurang kerjaan) pun sibuk berlatih paduan suara. Para remaja karang taruna tak ketinggalan pula. Pokoknya semua tambah sibuk. Yang tua maupun yang muda, baik yang di kota maupun di pelosok-pelosok desa.


Untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke -54 Kemerdekaan Republik Indonesia, di penghujung milenium ke-2 ini, seperti halnya pada peringatan-peringatan sebelumnya, diadakanlah beraneka-macam perlombaan, dari lomba balap karung hingga lomba karaoke, pertandingan olah raga, dan seperti biasanya pula, pada puncaknya adalah pagelaran kesenian: ada sandiwara, ada tari-tarian, ada sulapan, musik, lagu-lagu, dan lain-lain. Pokoknya, pada puncaknya adalah pesta. Tak kurang, tak lebih. Pesta kemenangan. Konon, karena “kita” telah menang melawan penjajah. Kita telah berhasil merebut kemerdekaan, dengan perjuangan, dengan keringat, dengan darah. Dengan nyawa. Maka jangan sekali-kali berkeberatan jika untuk peringatan semacam ini ditarik iuran seribu-dua ribu rupiah!

Begitulah. Memang, untuk berbagai-macam kegiatan dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan itu dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kalau rata-rata tiap keluarga ditarik lima ribu rupiah saja, berapa besar dana yang tersedot di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kotamadya, provonsi, dan akhirnya jumlah total untuk seluruh negeri ini? Belum lagi kalau ditambah dana sumbangan dari instansi-instansi swasta yang selama ini jadi langganan tetap Panitia 17-an. Kalau ada yang sedikit nggrundel, ngedumel, mencoba mengungkapkan keberatannya atas besarnya patokan iuran minimal yang harus dibayarnya, maka Sang Panitia akan bersabda, “Dahulu, para pahlawan itu tak pernah menawar, ketika mereka harus terluka, bahkan gugur sebagai kusuma bangsa! Kamu baru dimintai sekian saja sudah banyak alasan!”

Seperti tak boleh ada dialog.

“Pokoknya, kamu orang harus bayar!”

Bahwa para pendahulu bangsa, para pahlawan --baik yang secara nyata memperoleh gelar pahlawan maupun yang dikenal namanyapun tidak (pahlawan tak dikenal?) walaupun sesungguhnya lebih pahlawan-- telah mengorbankan jiwa-raga mereka demi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah satu hal yang tak dapat diingkari. Tetapi bahwa sampai sekarang masih banyak saudara-saudara kita yang pada hakekatnya belum dapat menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya, adalah satu hal lainnya yang juga tak boleh diingkari begitu saja. Mereka masih dijajah oleh kemiskinan, oleh kebodohan, oleh ketersisihan. Dan celakanya, mereka tak mungkin angkat senjata. Penjajah itu bukan lagi merupakan sosok yang jelas. Ia maya. Seperti dhemit. Mereka hanya dapat berteriak, dengan teriakan yang makin lama makin tak bertenaga.

Bagaimana halnya sehingga kemiskinan dan kebodohan menjajah mereka? Bukankah sudah menjadi kodratnya, bahwa di dunia ini ada pria ada wanita, ada si kaya dan ada si miskin pula? Itu juga mengandung kebenaran. Tetapi di dalam hal ini, persoalannya tak sesederhana itu, jika benar --lepas dari persoalan apakah dapat dibuktikan dengan hukum positif atau tidak-- ada serigala, ada tikus, ada drakula, dalam tatanan politik dan ekonomi kita. Jadi, ada oknum, tangan manusia lain, yang membuat mereka miskin, bodoh, dan tersingkir. Singkatnya, penjajah itu bisa saja tampil sebagai sosok bangsa sendiri, saudara-saudara sendiri, yang tampangnya boleh jadi mirip-mirip dengan Sang Panitia 17 Agustus-an, yang hanya punya satu kalimat: “Pokoknya harus bayar!” itu.

Jangan lupakan satu lagi alasan mengapa kita tak selayaknya larut dalam pesta dan kemeriahan Peringatan Hari Ulang tahun Kemerdekaan kali ini. Ingatlah saudara-saudara kita di Ambon, di Aceh, dan di beberapa tempat lain yang sedang dirundung derita. Mereka harus terusir dari kampung halaman sendiri, mengungsi ke tempat yang tak pasti, dengan lapar, dengan luka makin menganga. Sekian banyak anak terpaksa putus sekolah, bahkan mati karena lapar. Betapa mewahnya sebuah Kemerdekaan itu bagi mereka.

Maka, siapakah yang paling patriotis, yang paling nasionalis di antara kita? Mereka yang tak rela membayar iuran Agustus-an, lebih-lebih mereka yang sesungguhnya memang tak punya uang lebih untuk pengeluaran ekstra semacam itu, ataukah kita, yang makin larut dalam Pesta Kemerdekaan, makin teler, dan makin picik: Indonesia dalam bayangan kita adalah hanya seluas kelurahan, desa, atau bahkan hanya seluas wilayah RT tempat tinggal kita! Kepicikan kita membuat kita tidak dapat memandang bahwa Ambon, Aceh, Sambas, adalah Indonesia juga. Jika memang benar kita tak pernah mau mempedulikan mereka, untuk apa kita mengecam mereka yang ingin merebut “kemerdekaan” mereka dengan istilah-istilah gerakan pengacau liar, gerakan pengacau keamanan, separatisme, dan sebagainya itu? Lebih lucu lagi, pada saat yang sama kita tenang-tenang saja membiarkan para penjajah semakin asyik memeras keringat kita, menjarah hutan kita, mengeksploitasi habis-habisan kekayaan kita untuk menggelembungkan perut mereka sendiri.

Alangkah baiknya jika kita bisa menyisihkan seribu atau dua ribu rupiah misalnya, untuk membantu saudara-saudara kita yang sangat menderita itu, dan bukan untuk sekedar berkaraoke, menyelenggarakan lomba konyol-konyolan (: para pria berpakaian wanita dan bertanding sepak bola) atau jenis pesta-pora yang hanya membikin kita semakin mabuk. Hidup perlu kesenian. Perlu rekreasi, Perlu berolah raga. Itu juga benar. Tetapi betapa konyolnya jika kita masih berekreasi dan berolahraga sambil menghambur-hamburkan uang yang mestinya dapat digunakan untuk membantu saudara-saudara kita yang tengah mati-matian berjuang untuk hidup itu?

Cobalah untuk sedikit kreatif. Kumpulkan para remaja, kalau perlu ibu-ibu dan bapak-bapak pula. Dengan sapu dan keranjang, ajak menyusuri jalan sebagai pasukan kebersihan. Kalau ingin berlomba, biar semakin bersemangat, bagilah mereka menjadi beberapa kelompok dengan wilayahnya masing-masing. Tentu beberapa orang harus bersedia bertindak sebagai juri. Nilailah hasilnya! Itulah olah raga yang tak hanya menyehatkan tubuh pelakunya, tetapi juga menyehatkan lingkungan. Kurang heboh? Terjunlah ke kali. Atau setidak-tidaknya parit, selokan, got, bersihkanlah beramai-ramai, sebab sekian banyak penyakit dari situlah awalnya.

Terutama di kota-kota, kegiatan semacam itu akan sangat berarti. Tetapi rupanya lebih banyak yang memilih bikin panggung hiburan yang mahal, sehingga banyak jalan, gang, menjadi buntu, dan banyak pemakai jalan marah dan memaki-maki, walau hanya berhenti di dalam hati. Saudara-saudara kita di desa-desa demikian pula. Selain membuat panggung hiburan, perlombaan panjat pinang hampir tak pernah terlupakan. Yang kita lupakan adalah bahwa sesungguhnya kita telah bermental penjajah dengan kegembiraan kita tatkala menyaksikan anak-anak itu berebut memanjat pinang, harus belepotan minyak, oli, dan lemak sapi, hanya untuk mendapatkan secarik kain, atau sepotong baju murahan. Kita bermental penjajah justru pada saat kita harus merenung dan mencamkan: apa arti sebuah kemerdekaan.

Kita memeringati Hari Kemerdekaan, tetapi sesungguhnya kita masih lupa.*

Bumi Kebraon, Agustus 1999

0 urun rembug: