Saturday, 2 February 2008
Trenggalek, Dulu dan Sekarang
Saya tidak pernah merasa malu, walau juga susah mencari alasan untuk membanggakannya, karena lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak saya di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek (salah satu desa termiskin di kabupaten termiskin di Jawa Timur).
Begitulah, Trenggalek sering disebut-sebut sebagai (termasuk) kabupaten termiskin di Jawa Timur, dan Desa Cakul termasuk desa termiskin di Kabupaten Trenggalek. Secara geografis Desa Cakul terletak di lintasan jalur Trenggalek – Panggul – Pacitan, lebih kurang 10 km setelah ibukota Kecamatan-nya (Dongko). Lebih kurang 10 km pula sebelum Kecamatan Panggul, lebih kurang 40 km dari ibukota Kabupaten Trenggalek. Seperti sebagian besar wilayah Trenggalek lainnya, wilayah Desa Cakul adalah pegunungan yang tandus, sebagian besar tanahnya jenis lempung, atau berbatu-batu. Jika musim kemarau memanjang, jangankan air bersih, air keruh pun sangat susah didapat. Sudah begitu sejak dulu, sejak saya kecil, barangkali juga sejak kakek saya masih kanak-kanak. Apalagi sekarang, ketika hutan sudah pada gundhul tholo-tholo.
Berdasar kisah yang dituturkan kakek buyut saya, pada tahun 1950-an banyak orang dari wilayah kabupaten lain (sebut saja: Pacitan dan Ponorogo) berdatangan ke desa ini, untuk ngenger, sekadar agar bisa melewati musim paceklik dengan selamat. Menariknya, satu keluarga bisa berangkat bersama untuk ngenger di sebuah keluarga, di Desa Cakul, numpang tidur dan numpang makan dengan imbalan: mereka membantu segala macam pekerjaan tuan rumah yang bisa mereka lakukan.
Entah apalah yang telah terjadi, saya hanya bisa mengingat Trenggalek benar-benar terasa bangkit pada Zaman Bupati Soetran (1970-an), seiring dengan menguarnya keharuman bunga cengkih yang segera jadi tanaman favorit. Bahkan banyak sawah yang dientaskan untuk ditanami cengkih. Banyak petani jadi orang kaya baru (setidaknya untuk standar orang desa). Tetapi, zaman keemasan itu tak berlangsung lama. Sekitar tahun 1990-an lahir BPPC (Badan Penyangga Perdagangan Cengkih) yang kenyataannya justru memorak-porandakan harga cengkih, tak ubahnya tengkulak dengan wajah baru. Ndilalah, pada saat yang sama muncul dan mengganas pula BPKC (Bakteri Penggerek Kayu Cengkih) yang hanya bisa dibasmi bersamaan dengan seluruh pohon (cengkih)-nya, yakni dengan cara dibakar. Sempurnalah penderitaan petani cengkih.
Pak Soetran dengan segenap prestasinya ketika itu, lalu diganjar jabatan yang lebih tinggi, menjadi Gubernur Papua yang sedang bernama Irian Jaya. Bupati silih berganti, tetapi agaknya belum ada sosok yang memiliki gebragan sedahsyat Pak Soetran (almarhum), untuk menggairahkan Trenggalek.
Jika pada tahun 1950-an banyak orang dari Kabupaten Ponorogo dan Pacitan cari ngengeran di Trenggalek, agaknya kini terjadi kebalikannya. Di segala lini, tampaknya Trenggalek kini telah disalip habis-habisan oleh Ponorogo maupun Pacitan. Padahal, betapapun tanahnya tandus, konon Trenggalek menyimpan potensi sumber daya alam yang luar biasa. Sebutlah marmer, konon kualitas marmer Panggul hanya kalah dari Italia. Mengapa kemudian justru Wajak (Tulungagung) yang tampil di depan di bidang per-marmer-an?
Sejak era Orde Baru, banyak dana digelontor ke desa Cakul (Trenggalek), misalnya untuk proyek bantuan bibit ternak, sapi, kambing, proyek tanaman terasering, kredit untuk rakyat kecil, dan lain-lain. Tetapi, semua itu seolah menguap tanpa bekas. Proyek-proyek itu tampak sangat mulia tujuannya, tetapi agaknya ada persoalan pada tataran teknisnya. Sehingga, penggelontoran dana bantuan dengan pola yang sama, jika tidak didasarkan pada kajian terhadap kegagalan-kegagalan proyek-proyek sebelumnya, pastilah akan mengulang-ulang kegagalan saja. Begitu pula halnya dengan pola bantuan yang belakangan populer dengan istilah PAM DKB (Program Antisipasi Mengenai Dampak Kenaikan BBM) yang pada hakikatnya adalah program pengentasan kemiskinan.
Pendekatan kutural berkaitan dengan peng-update-an pila pikir rakyat, dan tidak kalah pentingnya pula pola pikir pejabat, sangatlah perlu. Bupati kreatif seperti yang dimiliki Sragen (Jawa Tengah) yang terkenal dengan revolusi layanan publik yang kini jadi murah, cepat (online), kita harap menginspirasi pemimpin-pemimpin kabupaten/kota lainnya di seluruh Indonesia, khususnya di Jawa Timur.
Jangan lagi ada alasan, ’’Trenggalek itu secara geografis terpencil,’’ sebab di era online ini semua titik di muka bumi bisa menjadi ’pusat’ dunia. []
Dimuat: Jawa Pos [Radar Tulungagung]
0 urun rembug:
Post a Comment