Monday 25 February 2008

KRITIKUS SASTRA KITA YANG KEBINGUNGAN

Oleh : R Giryadi

Apa yang diungkapkan oleh Emmanuel Subangun terhadap kondisi sastra di Jawa Timur, di Temu Sastra Nusantara 25 November 2006 di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) lalu, sebagaimana terungkap juga dalam tulisan Tjahjono Widarmanto (Kompas, 9-12-2006), memang bisa memancing perdebatan. Menurut Emmanuel, di Jawa Timur, tidak ada lagi sastrawan. Kalaupun ada, menurut Emmanuel, mereka membuat karya sastra hanya untuk klangenan, iseng, tidak ada maknanya, dan membingungkan.


Masalah utama dalam ungkapan Emmanuel Subangun ini adalah, parameter untuk menyebut sastrawan dan bukan sastrawan. Dari cara mengungkapkannya parameter yang digunakan Emmanuel adalah parameter ‘Jakarta’ yang dalam pengertian ini adalah sastra/sastrawan yang sudah men-Jakarta. Atau paling tidak karya-karyanya sudah dimuat di media massa Jakarta.

Dengan menggunakan parameter ini, tentu Emmanuel tidak (akan) sempat melihat geliat perkembangan sastra di Jawa Timur, sebagaimana telah diungkapkan dalam esai Tjahjono Widarmanto. Dengan menggunakan parameter Jakarta sebagai ‘stempel’ seorang (bisa) dikatakan sastrawan, tentu akan mengacaukan perkembangan sekaligus sejarah sastra itu sendiri. Apalagi, bila data yang dibaca Emmanuel hanya berdasarkan koran terbitan Jakarta saja, tentu akan bertambah kacau dalam memandang sastra yang berkembang di daerah tidak hanya di Jawa Timur tetapi juga daerah-daerah lain seperti Padang, Riau, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogjakarta, Jawa Timur termasuk Madura, Bali, dan lain sebagainya, yang selama ini kondisi sastra dan sastrawannya bergeliat dengan caranya sendiri.

Dalam kasus ini, tentu Emmanuel tidak melihat kenyataan yang terjadi di Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sumenep, Mojokerto, Madiun, Ngawi, Malang, dan Surabaya, yang kehidupan sastrannya akhir-akhir ini menggeliat dalam komunitas-komunitas dan kampus-kampus. Mereka memang tidak bergerak dalam koran-koran, baik nasional maupun local, tetapi lebih memilih menerbitkan secara indelable yang didanai oleh dewan kesenian, komunitas, maupun dana pribadi.

Ungkapan Emmanuel yang menyatakan tidak ada sastrawan di Jawa Timur pasca Budi Darma tentu ungkapan yang membingungkan. Dengan menggunakan Budi Darma atau Umar Kayam –seperti yang disebutkan Emmanuel- sebagai tolok ukur, tentu orang yang namanya, Ratna Indraswari Ibrahim, Beni Setia, Soya Herawati, Shoim Anwar, Herry Lamongan, Aming Aminudin, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, HU Mardiluhung, Anas Yusuf, W Haryanto, S Yoga, Sony Karsono, Mashuri, Indra Tjahyadi, Imam Muhtarom, Lan Fang, Puput Amiranti, Widodo Basuki, Bonari Nabonenar, dan lain sebagainya tidak tercatat dalam peta sastra kita.

Padahal, mereka yang saya sebut adalah generasi terbaru penulis sastra di Jawa Timur yang cukup mewarnai perkembangan sastra nasional maupun local. Mereka juga kerap mengisi kolom-kolom sastra di koran-koran nasional. Bahkan dalam berbagai lomba penulisan sastra dan kritik sastra nasional, penulis sastra semacam Soya Herawati, Shoim Anwar, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, HU Mardiluhung kerap meraih kejuaraan. Tentu ini bukan salah satu parameter untuk mengatakan bahwa dia seorang sastrawan atau bukan. Namun, melihat sepak terjang mereka tentu kita patut menilainya sebagai penulis sastra, generasi pasca Budi Darma.

Sementara itu orang-orang semacam Herry Lamongan, Aming Aminudin, W Haryanto, Bonari Nabonenar adalah orang-orang yang getol menghidupkan komunitas, dan berusaha mencari generasi-generasi baru, penulis sastra di lingkungannya sendiri, dengan caranya sendiri. Herry Lamongan bersama penulis sastra Lamongan menghidupkan Kostela. Aming Aminudin bergerak dengan Malam Sastra Surabaya, W Haryanto aktif dikomunitas sekitar kampus Unair, dan Bonari Nabonenar aktif di perkumpulan sastrawan Jawa. Kehidupan sastra di Jawa Timur tidak hanya hidup di ruang-ruang sastra koran, tetapi juga dalam komunitas, dan juga penerbitan buku-buku. Dari ketiga kondisi inilah kita bisa membaca -paling tidak- dengan baik, kondisi sastra saat ini di Jawa Timur.

Tentu melahirkan sastrawan sebesar Umar Kayam atau Budi Darma, tidaklah mudah. Namun, menilai Jawa Timur tidak ada generasi baru adalah sebuah kesalahan besar. Apalagi, bila penilaian itu hanya berdasarkan teks sastra koran yang mungkin hanya sempat dibaca (terbaca) oleh Emmanuel. Sebagai salah satu peneliti tentu apa yang diungkapkan Emmanuel hanya asumsi belaka. Meskipun hal itu sangat gegabah.

Kegegabahan ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, pada kritik sastra kita dalam hal ini kritikus sastra. Sejauh mana mereka mengamati perkembangan sastra baik nasional maupun local? Apakah mereka benar-benar memahami fluktuasi sastra yang tidak hanya terjadi di koran-koran tetapi juga di komunitas-komunitas bahkan dalam dunia cyber?. Apakah sebuah sastra harus diterbitkan di koran-koran (nasional) untuk disebut sastra ataupun sastrawan?

Berpangkal dari pernyataan Emmanuel tentu kita masih patut mempertanyakan tentang kondisi kritik sastra kita sampai hari ini, sampai lahirnya istilah baru tentang sastra seperti, sastra wangi (sastra lendir), teen lit, cikn lit, cybersastra, dan lain sebagainya. Jangan-jangan kita tidak punya kritikus sastra, seperti HB Jassin, Subagio Sastrowardoyo, Suripan Sadihutomo (hanya sekedar menyebut contoh, pen), yang utun mengamati sastra beserta dokumentasinya? Atau jangan-jangan, kritikus sastra kita frustasi melihat perkembangan sastra yang membuncah dan tak terkendali pasca Orde Baru minggir dari kekuasaan? Ayo, siapa bisa menjawab?

R.Giryadi
Penulis sastra tinggal di Sidoarjo

DIKOPAS DARI SINI

0 urun rembug: