Monday 24 June 2013

Menghasilkan Kisah yang Mengasyikkan

Semua orang yang menulis (baca: mengarang) tahu bahwa dalam sebuah cerita terkandung unsur: latar, tokoh, alur –baik dengan pengetahuan yang disadari atau pun tidak disadari. Kesadaran yang terlalu kuat mengenai unsur-unsur tersebut sering justru membuat sebuah cerita tidak padu dan tidak/atau kurang menarik. Saat anda menulis/mengarang, sebaiknya memang semua pengetahuan (baca: teori) tentang tulisan/cerita/fiksi sudah mengendap secara sempurna di bawah kesadaran anda Begitulah, ketika anda mengendarai mobil, justru akan ribet ketika ketrampilan dan pengetahuan anda tentang: mengubah arah (berbelok, berbalik, maju, mundur), mengerem, mengoper gigi persneling, membunyikan klakson, menyalakan lampu, dan lain-lain masih terapung di atas kesadaran. Proses, sebaiknya berjalan spontan. Budi Darma malah mengistilahkan proses kreatifnya sebagai semacam kesurupan. Semuanya berjalan otomatis, dan hasilnya benar-benar bagus.
Apakah dengan proses yang mengalir otomatis itu cerita tidak justru melantur tak karuan, atau tak jelas jluntrungnya? Bisa jadi demikian, jika seorang pencerita memulai pekerjaannya bukan karena dorongan dari dalam, jika ia menulis kejar target, diuber deadline, atau karena desakan-desakan dari luar lainnya. Ketika magma kreativitas itu sudah benar-benar mendidih dan waktunya meledak, maka meledaklah ia sebagai karya baru yang benar-benar segar.
Latar bisa berupa tempat dan/atau waktu yang dilukiskan sedemikian rupa sehingga pembaca bisa menangkap suasana, bahkan seolah ikut merasakan detak jantung, desah nafas, dan berbagai macam perasaan yang berkecamuk pada diri para tokoh yang diceritakan. Karena itu dengan sedikit ketelitian, pembaca akan segera merasakan pula, apakah deskripsi mengenai sebuah tempat, gambaran mengenai cuaca, dan semacamnya hanya sekadar tempelan yang seolah sengaja ditampilkan pengarang untuk mempermanis atau mengulur-ulur kisah ataukah memang tepat sebagai gambaran yang padu dengan bangunan cerita secara keseluruhan.

Penulis pemula biasanya mengawali kisahnya dengan membuat latar dengan deskripsi bertele-tele. Malam dengan bulan penuh bertabur bintang, suara jengkerik, atau pagi hari dengan semburat cahaya dari matahari yang sedang terbit serta kokok ayam sangat disukai banyak penulis, tambah lagi dalam menggambarkannya digunakan kalimat yang liris, tak peduli klise, dan lebih celaka lagi, bisa jadi justru berlawanan atau destruktif terhadap alur cerita selanjutnya. Pernahkah anda membayangkan sebuah cerita yang diawali dengan penggambaran latar cerita bernuansa merdu, riang, kemudian dilanjutkan dengan menampilkan sosok tokoh yang sedang mengalami kesusahan?

Juri dalam sebuah perlombaan (menulis) boleh saja memandang kekarut-marutan cerita seperti disebut dalam paragraf sebelum ini sebagai hasil dari ketidakcermatan penulis/pengarang. Tetapi, persoalan sesungguhnya adalah pada sejauh mana penulis/pengarang menghayati sambil mengendapkan bangunan kisah yang hendak dilahirkannya dalam bentuk tulisan. Maka, sesungguhnya istilah teknis yang lebih tepat adalah penghayatan, pengendapan, dan bukan ”pencermatan.” Ketika pengarang telah berada di puncak penghayatan itu, tidak jadi urusan lagi apakah dia cermat atau tidak cermat. Kembali meminjam istilah Budi Darma, bahkan, pengarang boleh (seperti) kesurupan!

Jika anda membaca cerita-cerita Iwan Simatupang, sebutlah novelnya: Merahnya Merah, Kering, atau Koong, misalnya, anda akan menemukan pula bagaimana tokoh-tokoh yang sedemikian kuat karakternya seperti meledak-ledak membangun ceritanya sendiri. Pada titik ini urusan alur, kronologi, benar-benar tidak penting lagi. Cerita mengalir dengan gaya spiral, kadang melompat ke belakang bagai ninja, kadang berdegup-degup sambil tampak seperti berlari padahal ia masih saja ada di tempat semula. Guru Bahasa Indonesia yang kurang bijak bisa saja memberi nilai rendah untuk garapan alur/plot cerita-cerita Iwan Simatupang. Padahal, pembaca yang berhasil masyuk di dalamnya, akan tidak lagi mempersoalkan plotnya. Sebab dia akan terlalu asyik!
Salah satu yang paling menarik dari Iwan Simatupang adalah: tanpa basa-basi, tanpa pengantar apalagi bertele-tele. Seperti seseorang yang tiba-tiba menggigit bokongmu, selanjutnya mengalir seperti tanpa perlu direncanakan, memaki, atau adu mulut dengan mesra. Kalau ia berkata tentang malam yang gelap, atau siang yang terik itu adalah bagian yang seperti tak bisa ditawar, memang harus dikatakan seperti itu, dan tidak bisa diganti, misalnya dengan "malam remang-remang" atau "siang yang bolong." Jika anda membaca novel Rafilus karya Budi Darma, anda akan menemukan kalimat pertamanya yang tidak hanya begitu menggoda, melainkan sangat mengejutkan, ”Rafilus mati dua kali.” [Kang Ndemun]

Rumah sebagai Barang Konsumsi atau Modal

Kebutuhan dasar setelah sandang dan pangan adalah papan. Yang disebut dengan papan adalah tempat (berkeluarga, beristirahat, berteduh, dan tak jarang juga: berusaha). Itulah rumah. Jika kita mendapatkan sejumlah uang yang sekiranya cukup untuk membangun atau membeli sebuah rumah, pun walau hanya dari jenis yang biasa disebut rumah sederhana, kita bisa membelanjakannya sebagai modal atau sebagai konsumsi. Sama-sama membangun/membeli rumah, ada dua jalurnya: jalur modal dan jalur konsumsi. Banyak orang merantau demi mendapatkan pekerjaan yang layak, lalu memanfaatkan uang perolehannya untuk membangun rumahnya di desa. Ratusan juta rupiah dihabiskan untuk pembangunan rumah itu, dank arena lokasinya yang tidak strategis (jawa: ora madoli) nilainya pun seolah tak pernah bergerak naik dari jumlah yang dihabiskan itu. Kalau disebut tidak pernah naik pasti salah. Persoalannya adalah, apakah kenaikan itu signifikan? Dalam kasus seperti inilah kita bisa menyebut uang telah dibelanjakan untuk barang (rumah konsumsi) dan bukannya sebagai modal.
Berbeda halnya jika rumah yang dibangun itu berada di lokasi yang strategis, atau sekalian membeli dari pengembang (yang membangun perumahan di pusat atau pinggiran kota). Kalau tiga bulan lalu rumah itu dibeli seharga Rp100 juta, misalnya, sekarang bisa saja sudah bisa dijual dengan harga Rp125 juta atau bahkan Rp150 juta. Jangankan berbilang bulan, tak jarang baru beberapa hari saja seseorang membeli rumah (di lokasi yang bagus) orang lain sudah menawarnya dengan selisih harga (lebih mahal) yang sangat menggiurkan.

Di sebuah pinggiran kota Malang, misalnya, sebuah perumahan dibangun menempel dengan kawasan perumahan lama. Harga yang ditawarkan melalui baliho yang dipasang di pintu masuknya adalah Rp160 juta/unit untuk rumah bertipe 36 dengan luas tanah 72 m2. Belum genap setahun, baliho itu masih bagus dan tampak dilubangi untuk menghapus angka yang mengabarkan nilai jualnya, karena ternyata sudah berganti harga (dalam brosur terbaru yang dicetak oleh perusahaan pengembang) menjadi Rp210 juta! Rumah seperti inilah yang dapat kita miliki sebagai barang modal. Artinya, sewaktu-waktu dapat diuangkan/dijual dengan nilai yang lebih tinggi. Potensi keuntungannya cukup menggiurkan. Dan karena itulah banyak orang berinvestasi di bidang properti, memiliki rumah bukan untuk ditempati sendiri, melainkan sebagai barang dagangan.

Kini menjamur perumahan-perumahan baru di tengah-tengah atau pinggiran kota-kota kabupaten. BMI-HK pun tampaknya tak sedikit yang telah menyadari dan memanfaatkan peluang bisnis bidang properti ini. Semoga, termasuk Anda. Salam sadar investasi!*

Donyane Wong Kakehan Omong

Kalungguhane basa Jawa ing bebrayan Jawa bakal tansaya santosa sauger: (1) digunakake ing bebrayan, (2) diwulangake ing bangku pasinaon, (3) ana pakulinan nulis/maca kanthi bukti anane kalawarti kang seger-kuwarasan sarta akeh buku kang kababar. Nanging, Rapat Koordinasi Implementasi Hasil Kongres Bahasa Jawa V di Jawa Timur bersama Masyarakat dan Dunia Pendidikan (Hotel Inna Tretes, 12-14 Juni 2013) kaya-kaya mung dhapur nanggapi bakal tumapake Kurikulum 2013 kang ngiwakake (yen ora entuk diarani: muthes) basa ’daerah’ kalebu basa Jawa ing pamulangan. Apa nanggapi Kurikulum 2013 iku ora penting? Wangsulane: penting banget. Ayo digatekake unine Pasal: 42 ayat 1 UU RI No 24 Taun 2009 ngenani: Gendera, Basa, lan Lambang Negara, sarta Lagu Kebangsaan: "Pemerintah Daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia," kang banjur disusul ayat (2): ”Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan.”

Ing perangan ’penjelasan’ dijlentrehake mengkene: ”Yang dimaksud dengan ’pembinaan bahasa’ adalah upaya meningkatkan mutu penggunaan bahasa melalui pembelajaran bahasa di semua jenis dan jenjang pendidikan serta pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat.”

Kanthi mangkono, satemene UU No 24/2009 iku wis aweh pangayoman kanthi nibakake kuwajiban marang pamarentah (daerah) supaya bahasa daerah kalebu basa Jawa diwulangake ing: semua jenis dan jenjang pendidikan. Yen UU iku ditrapake kanthi bener, kahanane bakal luwih becik tinimbang kang gumelar saiki. Mula, yen nganti pelajaran basa Jawa disuwak saka pamulangan, masyarakat bisa kelah, gugat, lumantar jalur pengadilan kang sumadhiya. Ajamaneh kok nganti nyuwak, yen ana peraturan pemerintah (daerah) utawa naskah kurikulum kang pratela, ”Mulok (muatan lokal) dapat diisi dengan mata pelajaran bahasa daerah,” iku wis kena diarani cengkah karo UU amarga wus ngowahi saka ’wajib’ dadi ’oleh’ (oleh iya oleh ora) utawa: kok iseni basa Jawa karepmu, ora ya karepmu!

Yen pasamuan ing Tretes iku ngasilake rekomendasi kang prasasat 100% sinurung dening para paraga ing donyaning pendidikan formal (guru lan dhosen) bisa ketemu nalar. Keh-kehane sing rawuh pancen guru lan dhosen. Tur maneh, momentum-e ya pas karo swasana rada ’panas’ ngadhepi tumapake Kurikulum 2013 kang dianggep ngiwakake utawa malah nyuthat basa daerah (klebu basa Jawa) saka pamulangan. Rekomendasi saka ’Pasamuan Tretes’ satemene mung dhapur ngambali utawa mbengokake maneh saperangan rekomendasine KBJ V, supaya Pemerintah Provinsi Jawa Timur enggal mangun bebadan kang sinebut Dewan Bahasa Jawa, supaya enggal digawe perda ngenani basa daerah. Kanthi mangkono, senajan Kurikulum 2013 panggah muni: ”Basa daerah kuwi kok wulangke karepmu, ora ya karepmu,” para guru basa Jawa ora prelu kuwatir amarga basa Jawa isih kudu (wajib) diwulangake ing bangku pasinaon, kayadene kang wus lumaku ing Jawa Tengah alelandhesan perda (apa SK Gubernur?). Jawa Barat uga dikabarake wus luwih dhisik yasa lan duwe perda basa daerah (Sunda).

Ancas ngetrapake Kurikulum 2013 tan wurunga ndadekake donyane pendidikan gonjing. Para guru basa Jawa padha protes, lan Mendikbud disemprot saka kana-kene. Senajan wusanane ana pangayem-ayem manawa basa daerah, klebu basa Jawa ora disuwak warasan kanthi (bakal) tumapake Kurikulum 2013, ada-ada gawe kurikulum anyar iki nyata wus nuwuhake padudon kang mesthine ngentekake wragad ora sethithik. Aja dikira yen saben-saben rapat para penggedhe (klebu para gemedhe) ing Jakarta kuwi cukup diwaregi lan diwenehi sangu mbecak.

Tansaya ora produktif, nalika para guru (basa Jawa) banjur padha umyeg merga rumangsa bakal kelangan ”jam pelajaran” ibarate wong tani kelangan sawah lan tegalane. Ora produktif jalaran sabubare KBJ V kang mesthine ngrembug ayahan apa wae kang becik enggal katindakake ing sekolahan apadene ing sanjabane sekolahan, malah sangsaya nglantur olehe padha udreg prekara kurikulum. Mula ing ”Pasamuan Tretes” kuwi Pak Parto (Suparto Brata) kawetu pangunandikane, ”Wis ta, cekake aku ora sah rekomendasi apa-apa, ora sah perda, angger isih diparingi waras-wiris dening Gustiallah mesthi terus taktindakake ayahanku. Apa ayahanku kuwi? Nulis lan gawe buku.”

Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan (Unesa) lan Drs, Amir Mahmud, MPd. (Kepala Balai Bahasa Jawa Timur) wis ngakoni manawa durung ana langkah nyata kang mitayani saka KBJ V. Satemene, luwih nunjem maneh manawa diarani: saka KBJ kang wus dianakake kaping 5 kuwi. KBJ kuwi rak isine wong adu rembug. Yen adu rembug-adu rembug sabanjure kang diarani rapat koordinasi, sarasehan, lan sapiturute kuwi diarani ”tindak lanjut” mesthine dadi hak-e masyarakat, aktivis basa lan sastra Jawa, mitakonake: Banjur olehe tekan ngenggon kapan? Mangga, sinten ingkang badhe paring wangsulan, sadurunge ana usul supaya Pak Suparto Brata mbabar maneh novel Donyane Wong Culika kanthi ngowahi irah-irahane dadi: Donyane Wong Kakehan Omong. (Bonari Nabonenar)