Tuesday 27 December 2011

Kewirausahaan untuk Melindungi TKI

Bonari Nabonenar*

Dalam acara Debat Calon Bupati melalui televisi pada suatu waktu muncul pertanyaan begini: ’’Ponorogo sebagai salah satu kabupaten yang mengirimkan banyak TKI ke luar negri tentu akan menerima kiriman devisa yang banyak pula. Jika anda terpilih menjadi pemimpin di kabupaten ini, apa yang akan anda lakukan untuk menyelematkan devisa itu, dan dengan demikian juga menyelamatkan para TKI itu agar dengan modal yang mereka peroleh mereka bisa mengembangkan usaha di kampung halaman dan tidak perlu terus ulang-alik ke luar negri?’’


Kalimat pertanyaan aslinya tidak persis seperti itu, tetapi begitulah intinya. Dan mari kita simak jawaban para kandidat. Ini pun tidak ditulis persis. Tetapi tidak mengurangi esensinya, dan tidak ada kata yang dilebih-lebihkan dalam kutipan berikut.

Salah seorang kandidat menjawab, ’’Pertama harus kita sepakati dulu bahwa masalah TKI ini adalah masalah pelayanan. Berangkatnya yang susah, ada banyak masalah. Itu yang harus kita selesaikan dulu. Perkara nanti kalau dapat duit, ya tentunya kita akan memfasilitasi agar mereka bisa berusaha. Itu kalau mereka mau. Kalau tidak mau ya biarin aja, wong itu duit-duitnya sendiri….’’

Kandidat berikutnya mengawali kalimatnya dengan beberapa kata yang terasa akan mengarah ke jawaban yang tepat, ’’Soal dana yang didapat para TKI ini kita memang perlu mengarahkan dan membina agar bisa dikembangkan sebagai modal usaha produktif, tidak sekadar membangun rumah mewah, tetapi mari kita investasikan sesuai dengan peluang yang ada di Kabupaten Ponorogo….’’ tetapi, sayangnya, ini jadi semacam kalimat tidak selesai karena disambung dengan kata-kata yang melebar ke perbankan dan peningkatan akses masyarakat umum termasuk selain TKI atau mantan TKI untuk pengembangan kewirausahaan, bukannya menawarkan contoh nyata kebijakan macam apa yang akan ditempuh nanti.

Kandidat ketiga menyatakan bahwa jawaban kandidat sebelumnya sudah bagus. Tetapi, tiba-tiba ia menukik, ’’cuman kalau menurut saya yang tidak bagus yang nanyak itu. Pertanyaan di TKI itu poinnya bukan di situ. Tetapi, perlindungannya dulu. Bagaimana TKI ini berangkatnya baik, bekerja baik, pulangnya baik. Ini koreksi untuk pertanyaannya dulu.’’ Lhadalah! Sungguh, jawaban yang sangat menjengkelkan.

Tulisan Ririn Handayani, Memutus Lingkaran Setan TKI (JP, 27/11) sangat bagus, dan itulah persoalan yang sepertinya kurang disadari para pemangku kepentingan/kuasa TKI selama ini. Urusan TKI adalah urusan manusia, adalah urusan multidimensi, dan karenanya akan terlalu berat jika dibebankan hanya kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan apalagi, maaf, dengan menteri yang ditunjuk hanya (?) karena harus mendapatkan jatah kursi berkat Partainya. Jika semua lembaga yang mengurusi manusia Indonesia berkoordinasi dengan baik mengurusi TKI kita secara sungguh-sungguh, tentulah urusannya tidak serunyam sekarang ini. Mungkin juga tidak diperlukan lembaga-lembaga ekstra macam komisi atau apa.

Tetapi, pertanyaan besarnya adalah: apakah kita, khususnya pejabat pembuat kebijakan kita menyadari bahwa mengirimkan TKI ke luar negri untuk menjadi pekerja industri dan terlebih lagi pekerja rumah tangga adalah kebijakan yang bersifat darurat? Apakah mereka punya target, misal 20 atau 25 tahun ke depan kita akan kokoh sebagai bangsa yang bisa benar-benar mandiri, dan tanpa aturan pelarangan pun tak akan ada lagi warga negara yang tergiur untuk menantang risiko sakit atau bahkan mati di luar negri karena di dalam negri sendiri sudah bisa bekerja dan hidup berkecukupan?

Jika kesadaran seperti itu ada, pastilah, tanpa mengurangi keseriusan penanganan persiapan pemberangkatan dan perlindungan TKI yang masih di luar negri, urusan mempersiapkan mereka menjadi entrepreneur di negri sendiri adalah sangat penting. Pastilah, tidak ada pejabat, apalagi seorang pemimpin yang dengan enteng melontarkan kalimat, ’’itu kan duit-duit mereka sendiri…..!’’

Konsumtif

Datanglah ke kampung-kampung TKI, dan Anda akan menemui pemandanagan yang mengagetkan. Rumah-rumah bagus, tetapi sepi, dan loket penukaran mata uang asing pun bertebaran di kota-kota kecil. Seorang teman di Blitar memberikan saran, ’’Jangan beli motor di Blitar menjelang lebaran,’’ karena biasanya harus inden, rela berlama mengantri. Begitulah, di Blitar, beli motor seperti beli baju saja. Enteng saja pakai motor-baru saat Lebaran. Bahkan, juga mobil, bersliweran di kampung-kampung.

Sebuah bank nasional menawarkan kredit rumah (mewah) seharga ratusan juta rupiah di setengah halaman warna sebuah koran bulanan yang dicetak dan diedarkan untuk komunitas pekerja rumah tangga asal Indonesia di Hong Kong. Industri/ pedagang furniture, motor, dan barang-barang elektronik di tanah air pun menyebarkan brosur penawarannya di Hong Kong. Jadi, para pekerja rumah tangga asal Indonesia di Hong Kong itu bisa bertransaksi jual-beli di Hong Kong, dan tinggal tunggu kabar dari kampung bahwa barang-barang yang dibeli itu sudah terkirim ke rumah. Bukan hanya barang-barang kasatmata berkait kebutuhan rumahtangga sehari-hari. Benda-benda azimat dan bahkan tuyul pun konon diperjualbelikan pula dengan cara transaksi modern seperti itu.

Biasanya TKI pulang kampung dan membeli barang-barang konsumtif dengan penuh nafsu. Akibatnya, mulai enam bulan pertama, satu per satu barang-barang baru pun kembali terjual. Pada ujungnya, tak ada lagi pilihan: kembali lagi ke luar negri. Begitu berulang-ulang, sampai tua. Mereka seperti sisipus yang dikutuk para dewa dalam mitos Yunani Kuno. Pemerintah yang tak hanya memburu kepentingan sesaat harus punya program yang nyata untuk memutus kutukan tersebut.

Sudahkah kita pernah mendengar, misal, sebuah kabupaten menyiapkan kawasan bisnis, membangun ruko-ruko murah untuk dikredit-kan kepada para TKI-nya, menyiapkan bengkel-bengkel kerja (workshop) untuk pelatihan kewirausahaan bagi suami/istri TKI yang ada di desa? Banyak orang keburu berpikir bahwa bantuan untuk para TKI/mantan TKI itu pertama-tama adalah uang dalam bentuk pemberian kredit dari bank. Padahal, pengembangan wawasan dan ketrampilan mereka jauh lebih penting. Kalau bank punya uang yang mau disalurkan, salurkanlah kepada mereka yang belum telanjur berangkat ke luar negri. Dan dampingilah mereka. ILO Jatim dapat menunjukkan beberapa koperasi mantan TKI dan komunitas mantan TKI yang didampingi dan menunjukkan keberhasilan yang menggembirakan di Jawa Timur. Komunitas TKI/Mantan TKI yang sukses didampingi pemerintah, mana?

Inspirasi

Sesungguhnya ada cukup banyak kisah keberhasilan mantan TKI, yang di kampung halamannya sukses mengembangkan usaha. Ada yang menjadi petani sukses sambil menjadi dosen, ada yang menjadi pengusaha bordir dan menyerap cukup banyak tenaga kerja di sekitarnya, ada yang berhasil membangun perusahaan jasa travelling, dan bahkan ada pula yang mendirikan PJTKI. Kisah sukses mereka ini seharusnya dapat digunakan untuk menginspirasi para TKI. Bisa mulai diperkenalkan kepada para calon TKI di barak penampungan/pelatihan sebelum keberangkatan mereka, kepada para TKI di negara tempat mereka bekerja, dan kepada para mantan TKI. Tampaknya hal bagus ini belum dilakukan. Saya pernah menghadiri workshop kewirausahaan yang diselenggarakan Disnaker Jatim, seoraang mantan TKI yang sukses diundang pula. Tetapi, saya melihat upaya ini belum optimal.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pernah pula memberikan penghargaan tahunan kepada para TKI sukses. Tetapi, entah karena apa, kegiatan yang sangat baik itu tidak berlanjut. Jawa Timur sebagai provinsi yang terbanyak mengirim TKI (dari sekitar 130.000 pekerja rumah tangga asal Indonesia di Hong Kong, 80% di antaranya berasal dari jawa Timur) pun sepertinya belum tertarik untuk menyelenggarakannya.

Lagi-lagi, ini momentum yang baik untuk bersama-sama berbuat bagi bangsa, melalui kepedulian terhadap para pejuang ekonomi bangsa yang kita sebut TKI itu. Mari bertindak sekarang juga, atau kita mau kembali kecele, ketika para TKI itu membuktikan, menyodorkan pemandangan nyata ke depan mata kita, bahwa sesungguhnya hanya mereka sendirilah yang bisa berbuat, bahkan untuk kita, sedang kita hanya plonga-plongo saja ketika menyaksikan, misalnya: ratusan juta rupiah mengalir dari keringat para TKI kita (dari Hong Kong saja) untuk para korban bencana Merapi, Lapindo, Gempa Bantul (Yogyakarta), dan lain-lain, ketika melalui komunitas-komunitas penulis di Hong Kong, para TKI kita telah membangun proyek kebudayaan, gerakan literasi, yang, jika diuangkan melalui APBD/APBN bisa bernilai triliunan rupiah! Nah, lho!*

Keterangan Foto: Para Perempuan Pekerja Migran asal Indonesia sedang menikmati hari libur mereka di Victoria Park, Hong Kong

[FOTO: MICHA OBOEDENY]

Monday 26 December 2011

JAWA: PERLU BEBERAPA KONGRES*

Oleh: Bonari Nabonenar**

Ketika Kongres Bahasa Jawa (KBJ V) berlangsung seorang pemilik akun Facebook Edie S Triwida yang juga guru bahasa Jawa di sebuah SMP itu mengunggah ”status” di Grup Sastra Jawa Gagrag Anyar: ”Dhumateng ingkang ndherek KBJV nyuwun tulung titip pesen dipunusulaken supados Jawa Timur kersaa ngawontenaken Kongres Guru Basa Jawa saben 4 taun sepindhah gentosan saben kabupaten. Bab dana kedahipun saking APBD Provinsi lajeng kandhap wonten kabupaten ingkang angsal jatah minangka penyelenggara!” Maksudnya, ia titip usulan agar Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengagendakan Kongres Guru Bahasa Jawa (KGBJ) 4 tahun sekali dengan dana dari APBD Provinsi, dan tempat penyelenggaraannya digilir dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota berikutnya.


Itu usulan yang bagus. Tentu dengan catatan, jangan meniru KBJ yang menyedot dana hingga beberapa miliaran rupiah. Saya membayangkan, dengan modal keinginan untuk melakukan yang terbaik demi profesi guru dan perbaikan sistem serta membahas berbagai problematika pengajaran bahasa Jawa di sekolah, batas tertinggi Rp 1 milyar sudah dapat digunakan untuk menggelar KGBJ. Atau, bahkan, cara berhemat model Konggres Sastra Jawa (KSJ) mungkin bisa dicontoh.

Dalam sebuah obrolan santai di luar forum persidangan, pada hari kedua KBJ V (28/11) muncul pula gagasan untuk menggelar Kongres Budaya Jawa. Ini bukan gagasan baru. Berbarengan dengan acara penganugerahan Hadiah Rancage di Surabaya di awal tahun 2000-an digelar pula Pekan Budaya Jawa, yang dimaksudkan sebagai semacam kegiatan pengantar untuk menuju ”Kongres Budaya Jawa” –yang hingga kini belum pernah terlaksana (?). Wacana mengenai perlunya menggelar Kongres Budaya Jawa antara lain muncul setelah mengetahui sering di dalam Kongres Bahasa Jawa pembicaraan dan bahkan makalah-makalah dibuat untuk lebih mendedah persoalan-persoalan kebudayaan dengan memanfaatkan bahasa sebagai alat bantu analisis, hanya sebagai contoh-contoh. Di dalam KBJ V pun begitu. Mantan Dirjen Kebudayaan Edi Sedyawati dari Universitas Indonesia dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia yang didaulat Panitia untuk menjadi salah seorang pemakalah utama pun membuat makalah berjudul ”Aktualisasi Filsafat Jawa dalam Kehidupan Pascamodern.” Ia berbicara tentang filsafat, dan bukan tentang bahasa Jawa, walau di akhir makalahnya dikutip beberapa contoh ungkapan yang memenunjukkan pedoman perilaku orang Jawa: ”mikul dhuwur mendhem jero, wani ngalah luhur wekasane, alon-alon waton kelakon, jer basuki mawa beya.” Kita pasti sepakat, makalah-makalah jenis ini pastilah sangat tepat ditampilkan di dalam Kongres Budaya, dan bukan pada Kongres Bahasa Jawa.

Sebagian besar makalah KBJ V pun lebih terasa ditulis dengan penyudutpandangan yang keliru, misal, mendedah nilai-nilai: sopan santun, kebajikan, etos, yang terkandung di dalam naskah-naskah sastra) Jawa klasik. Makalah-makalah seperti itu pasti lebih terkesan dibuat untuk meyakinkan bahwa sekarang masih penting untuk menginternalisasi nilai-nilai budaya Jawa seperti yang diwariskan para leluhur dan mengaktualisasikannnya di dalam praktik kehidupan sehari-hari. Karena itu jangan heran jika kadang muncul pula celetukan, ”Bukanlah bahasanya yang terpenting, melainkan adalah bagaimana kita, orang Jawa, berperilaku layaknya orang Jawa.” Pikiran seperti tecermin pada pernyataan seperti itulah tampaknya yang kemudian memunculkan gejala ”krama-nisasi” dalam pemakaian bahasa Indonesia. Pasti lucu bukan, jika Kongres Bahasa Jawa justru melahirkan rekomendasi yang hakikatnya adalah justru membunuh Bahasa Jawa itu sendiri? Nah, lho!

Untunglah, di luar makalah yang ditampilkan/dibahas di dalam persidangan-persidangan, Panitia KBJ V memberi oleh-oleh bagi para peserta berupa buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang Disempurnakan terbitan Balai Bahasa Yogyakarta, dua keping CD (Program Alih Aksara Jawa dan Dasa Nama/Sinonim) yang diproduksi Dinas Kebudayaan Provinsi DIY, serta mendapatkan buku antologi cerpen dan puisi Jawa berjudul Pasewakan (Konggres Sastra Jawa III bersama Elma Tera) serta novel berbahasa Jawa karya Suparto Brata berjudul Donyane Wong Culika.

Memusatkan pembahasan hanya pada persoalan-persoalan bahasa Jawa dan tidak melebar ke persoalan kebudayaan, pastilah juga akan menjadi salah satu variabel untuk menekan biaya penyelenggaraan. Jumlah peserta bisa lebih dirampingkan, misalnya hanya 200 hingga 300 orang. Tempat penyelenggaraannya tidak di hotel bintang 5, dan makalah yang ditampilkan sebanyak-banyaknya 20 atau 25 saja.

Di era sekarang ini, bahasa Jawa memiliki beberapa persoalan, antara lain: [1] kesenjangan antara ragam tutur dan ragam tulisan, seperti tecermin pada kesulitan yang dihadapi banyak orang ketika harus membedakan, kapan menuliskan ”cara” dan kapan harus menuliskan ”coro”, kapan harus menuliskan ”wedi” dan kapan harus menuliskan ”wedhi.” [2] semakin tergerusnya perasaan bangga menggunakan bahasa Jawa di kalangan generasi muda Jawa, [3] ketidakpedulian lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta pada saat menggunakan bahasa Jawa ragam tulisan, misal untuk kepentingan pembuatan kain rentang, selebaran, poster, dan lain-lain.

Lalu, persoalan tantangan. Tantangan yang dihadapi bahasa Jawa sekarang adalah, apakah ia dapat meningkatkan ”derajatnya” dari ragam tutur/lisan ke dalam ragam tulis secara signifikan atau tidak. Fakta membuktikan, di antara 130-an juta orang Jawa yang ada di Indonesia terbit tiga buah majalah berbahasa Jawa: Jaya Baya (Surabaya), Panjebar Semangat (Surabaya), dan Djaka Lodang (Yogyakarta), masing-masing terbit sekali dalam seminggu dan jika dijumlahkan total oplah ketiga majalah itu pastika tidak mencapai 100.000 eksemplar. Secara kasar, itu berarti tidak mencapai 10 % orang Jawa yang melek bacaan berbahasa Jawa. Kegetiran itu pun tergambar saat terbit buku berbahasa Jawa. Buku novel, cerpen, atau kumpulan puisi Jawa terbaik pun, yang diterbitkan dan terjual 1.000 eksemplar pada bulan pertama, kecuali yang, kalau ada: ”dipaksakan”. Apakah itu dapat dipandang sebagai bukti kegagalan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah? Itulah antara lain pertanyaan yang mestinya dapat dijawab dalam Kongres Bahasa Jawa.

Tantangan berikutnya adalah, peningkatan ”derajat” bahasa Jawa dari sekadar sebagai bahasa ekspresi (sastra), termasuk untuk keperluan pembuatan syair tembang (Campursari, misalnya) menjadi bahasa pengetahuan. Masih belum terpenuhinya secara utuh keinginan Panitia KBJ V untuk membebaskan persidangan-persidangan, bahkan sejak acara Pembukaan hingga Penutupan dari penggunaan selain bahasa Jawa adalah bukti bahwa bahasa Jawa belum berdaya secara optimal di tengah-tengah masyarakatnya sendiri. Ironisnya, fakta membuktikan bahwa bahasa Jawa sesungguhnya jauh lebih ”analitis” daripada bahasa Indonesia. Misalnya, bahasa Jawa memiliki istilahnya masing-masing untuk: batang kelapa (glugu), daun kelapa (blarak), pucuk daun kelapa (janur), kelapa muda (degan), bunga kelapa (manggar) dan seterusnya. Orang sering masih bertanya, ”Lalu bagaimana halnya dengan istilah-istilah pengetahuan modern, termasuk istilah-istilah teknik yang tidak dimiliki bahasa Jawa? Bukankah setiap bahasa memiliki mekanisme penyerapan dari bahasa lain? Inilah pula persoalan-persoalan yang mestinya menjadi bidang garap Kongres Bahasa Jawa. Alih-alih menyelesaikan persoalan di dalam kamar-nya sendiri, Kongres Bahasa Jawa malah nggedhabyah, melebar ke urusan-urusan kebudayaan (Jawa).

Bertolak dari gambaran tadi, kiranya perlu sekalian saja diagendakan: [1] Kongres Kebudayaan Jawa, [2] Festival Budaya Jawa, [3] Konggres Sastra Jawa, [4] Festival Sastra Jawa, [5] Kongres Guru Bahasa Jawa, [Lomba Menulis Sastra dan Karya Ilmiah berbahasa Jawa]. Jika untuk tiap-tiap program itu diagendakan masing-masing dengan biaya Rp 1 milyar, diadakan 1 kali dalam 5 tahun, itu tidak akan menambah beban Pemerintah. Anggaran belanja tidak bertambah, tetapi akan semakin banyak pihak/kepentingan terakomodasi. Dan dengan demikian, kita punya tambahan alasan untuk berharap: bahasa, sastra, dan budaya Jawa akan memperoleh kejayaannya sebagai bagian dari kebhinekaan Indonesia.

*) Dipublikasikan pertama kali oleh harian Solopos


**) Bonari Nabonenar, bagian dari kepanitiaan KBJ V –tulisan ini adalah pendapat pribadinya.

KSJ III: Biyen Oposisi kok Saiki Kongsi?

Akeh pitakon kang sairip utawa malah presis kaya irah-irahane tulisan iki. Mula, sinambi ngeling-aling lelakone Konggres Sastra Jawa (KSJ) wiwit sepisanan (2001) nganti kang lagi wae digelar (28 – 30 Oktober 2011) muga-muga tulisan iki bisa atur katrangan kang trawaca, geneya kok ngono, geneya kok ngene.

Satemene, sebutan ”oposisi” apadene ”kongsi” kuwi rasane keladuk ”politis”. Nanging, sumangga kepriye olehe arep ngarani. Ana maneh kang tansah ngarep-arep supaya KSJ tansah bisa ngemban ayahan kadidene ”lembaga kontrol” tumrap Kongres Basa Jawa (KBJ) lan sokur-sokur uga tumrap kawicaksanan liyane saka Pamarentah kang gegayutan karo prakara basa lan sastra Jawa. Aran-aranan ”lembaga kontrol” iku satemene ya krasa kemelipen. Kok kaya dewan (perwakilan rakyat) wae! –senajan ta, sagaduk-gaduke KSJ tansah nindakake ”fungsi kontrol” kuwi, kanthi maneka-warna cara, klebu ngontrol saka njero, kanthi gelem melu kadhapuk dadi perangane Panitia KBJ. Mula, wiwit KSJ I nganti KSJ III, tansah ana paraga/pawongan saka unsur KSJ kang melu dhapuk dadi perangane Panitia KBJ. Geneya pitakon ”Biyen oposisi kok saiki dadi kongsi,” iku lagi njengat saiki?

Apa amarga KSJ III nampa sumbangan prabeya saka Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bojonegoro lan saka Pemerintah Provinsi Jawa Timur, kajaba saka priyantun lan bebadan swasta? Yen ditlusur, ing taun 2006 nalika bakal digelar KSJ II, Panitia KBJ III ya nawakake sumbangan dana. Mung, nalika kuwi saelingku dikantheni panjaluk, aja nggunakake tembung ”Konggres.” Rapat Panitia KSJ II banjur kabotan nampani sumbangan iku. Malah, merga kadhung kecenthok ing rasa, nalika dijabel panjaluk (nggunakake tembung ”Konggres”) lan sumbangan prabeya bakal diwenehake, Panitia KSJ II ya panggah wegah nampani. Iku bisa dadi titikan lamon sambung-rembug antarane Panitia KSJ II lan Panitia KBJ IV iku ora dumadi kanthi becik. Conto liyane, nalika sawatara paraga saka Panitia KSJ II bakal sapatemon karo Panitia KBJ IV ing Surabaya saprelu ngrembug usulan kanggo mbabar buku-buku sastra Jawa, wurung kalakon senajan sing ditilpun saka Ngayogyakarta budhal sadeg-sanyet.

Beda banget karo Panitia KBJ V, kang wiwit diwangun, wis nggoleki paraga saka unsur KSJ saprelu diajak rembugan. Kadang Sugeng Adipitoyo kang sawijining wektu mbarengi Prof Dr Djoko Saryono (Ketua Pelakasana KBJ V) nilpun ngene, ”Mas, sampeyan iki neng endi, arep takparani karo Pak Djoko Saryono.” We lhadalah! Ya gage olehku mangsuli, ”Wah, yen ngono carane aku bisa kuwalat, Mas. Sesuk wae yen Pak Djoko Saryono wis kondur menyang Malang taksowanane!”

Tenan, kelakon sapatemon karo Prof Dr Djoko Saryono M.Hum ing Kampus Universitas Negeri Malang. Rembugan ngalor-ngidul prakara lelakone KBJ lan KSJ. Pepuntopning rembug, Prof Djoko Saryono nelakake pamanggihe manawa anane Konggres Sastra Jawa kang wektune meh padha lan ing papan kang ora adoh karo Kongres Basa Jawa ora prelu didadekake prakara, kepara malah bisaa saiyeg-saekapraya amrih kabeh bisa kelakon kanthi lancar lan ngasilake pancadan kanggo ngranggeh gegayuhane. Mulane banjur disambung maneh rembugan karo sawatara paraga saka unsur KSJ. Mapan ing ruwang rapate salah sijine Asisten Gubernur Jatim, wektu kuwi saka ka unsur KSJ sing teka: Daniel Tito (Sragen), Dhanu Priyo Prabowo (Yogyakarta), Bonari Nabonenar (Malang), JFX Hoeri (Bojonegoro), Aris Sudaryanto alias Pakdhe Uban (Bojonegoro). Sing diulemi padha-padha lumantar SMS nanging ora bisa teka, Sucipto Hadi Purnomo (Semarang).

Apa kanthi mangkono para paraga saka unsur KSJ kuwi banjur kaya wong kang padha kesrimpung daya kritis-e? Mbokmanawa ora. Pratelan-pratelane Daniel Tito kang tkok-slorok, blak-blakan, upamane nalika mitakonake, ”Apa KBJ V iki mengko mung bakal kaya KBJ-KBJ sakdurunge kang katone mung kaya wong ngeceh-eceh dhuwit,” takkira bisa dadi titikan manawa para penggiat KSJ iku durung mlenceng saka gegayuhane sakawit.

Sepisan maneh, lamon dhek taun 2006 kae Panitia KSJ II gelem nampani, dhuwit bantuwan kuwi cetha saka Panitia KBJ V. Dene Panitia KSJ III ora mung arep nampani, nanging malah nyuwun bantuwan saka Pamarentah Provinsi Jawa Timur (ora saka Panitia KBJ V), merga sadhar yen rakyat kuwi duwe hak kanggo melu nanjakake dhuwit ”tabungane” kang disimpen (kanthi cara mbayar pajek lan sapiturute) lan diatur carane nggunakke dening Pamarentah. Ewadene isih ana sing mitakonake, ”Biyen oposisi kok saiki dadi kongsi?” mesthi iku pitakon ngemu pandakwa kang muncul saka pawongan kang ora bisa kanthi trawaca ngaweruhi apa kang satemene wis ditindakake dening para paraga pengiat KSJ kang uga kadhapuk dadi perangane Panitia KBJ V –sakdurunge, sajrone, lan mengko sakwise KBJ V kagelar.

Cekake, arepa dikayangapa, Panitia KBJ V kang wis gelem sapejagong karo (Panitia) KSJ III. Kuwi kudu dianggep sawijining kemajuan. Wis mundhak apik (ing tataran komunikasi) tinimbang KBJ-KBJ sakdurunge. Prekara asile jagongan utawa rembugan kuwi isih ngalor-ngidul, sairing lumakune wektu kudu tansah dijaga amrih dadi sangsaya becik. Syukur ora malah padha bali nglare, manjing kaya wong jothakan maneh. Mesthine iki ya salaras karo unen-unen pitutur, ”Yen ana rembug dirembug.” Ya merga ngajeni kang wis kasdu ngajak rembugan kuwi mula Panitia KSJ III ora kabotan nampani lan malah nyuwun sumbangan prabeya saka Pamarentah Provinsi Jawa Timur, lan senajan sabanjure entuk kabar manawa tibane etungan mung, utawa malah ora ana --separone kang nate ditawakake marang Panitia KSJ II dening Panitia KBJ IV (Semarang, 2006). Muga-muga iku bisa nambahi titikan manawa wong-wong KSJ kuwi ora mata-dhuwiten.

Kanthi mangkono uga, para paraga penggiat KSJ nuduhake manawa maneka kritik lan panyaruwe kang wis kasuntak sasuwene iki ora mung linandhesan semangat waton sulaya, ora mung ben ketok gagah dadi pemberontak. Panyaruwe iku uga ora mung katindakake saka njaba, saka kadohan, nanging uga nalika mapan ing sajerone Panitia (KBJ V). Terus apa titikane yen panyaruwe kuwi wis katindakake? Mbokmanawa sairing lumakune wektu kabeh mengko bakal kabuka. Yen saiki dijlentreh, sajake malah kurang prayoga, malah bakal katon kaya kaladuk ngalem awake dhewe.

Kang prelu dicathet maneh, yakuwi kanyatan manawa ing sajroning swasana ”dialog” kang lagi kawangun kuwi mesthi ora kabeh kawicaksanan kang sasuwene iki kabiji kurang prayoga banjur malik grembyang kaya kang dikarepake para pengritik. Mesthi ana proses. Lha, mulane, ayo saiki padaha melu dititeni, angger tindak lanjut-e KBJ V iki mengko isih panggah kaya sawise KBJ-KBJ sakdurunge: mung ana program sosialisasi lan banjur: sepi mamring, ya ayo aja kendhat-kendhat aweh panyaruwe. Syukur yen ana gerakan swadaya masyarakat kanggo bab-bab kang tundhone nggelak ajune basa lan sastra Jawa kaya kang ditindakake Suparto Brata kanthi mbabar buku-bukune, yen prelu malah ”mbayari wong kanggo maca bukune” kaya kang diandharake ing saweneh acara mapag tumapake KBJ V ing TVRI Jawa Timur sawatara wektu kepungkur, kaya kang wus katindakake sanggar-sanggar apadene paguyuban-paguyuban pamarsudi basa, sastra, lan kabudayan Jawa.

Mbokmanawa kanthi melu ngontrol kepriye lan apa kang bakal katindakake dening Pamarentah (Daerah) gegayutan karo Keputusan lan Rekomendasi KBJ V, bebrayan Jawa wiwit 2012 nganti 2015 utawa 2016 bisa nggolong-nggiligake suwara: sarujuk apa ora Program Pamarentah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, lan Provinsi DIY kang aran Kongres Basa Jawa iku mengko bisa diterusake apa kudu diendhgegake ing Surabaya wingi kuwi wae. [Bonari Nabonenar, Ketua Panitia KSJ III, perangane Panitia KBJ V. –Tulisan iki panemu pribadine dhewe.]


Cathetan: sepisanan digiyarake lumantar Suara Merdeka

FOTO: DHANU PRIYO PRABOWO

Sunday 25 December 2011

Agar Tak Jadi Kongres Omong Kosong

Menyongsong KBJ V (Surabaya, 27 – 30 Nov. 2011)

Kongres Bahasa Jawa akan digelar untukk kelima kalinya, dan karena itu selanjutnya disingkat KBJ V, akan diselenggarakan di Surabaya padha akhir November ini (27 – 30). Walau kritik tak seheboh menjelang KBJ IV (Semarang, 2006) sesungguhnya masih banyak orang pesimis, apakah proyek bernilai miliaran rupiah ini akan diikuti tindak lanjut yang sungguh-sungguh bermakna bagi (pertumbuhan dan perkembangan) bahasa Jawa itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, dalam beberapa kali kesempatan rapat, Sekretaris Panitia yang juga Kepala Bagian Kebudayaan dan Pariwisata, Biro Administrasi Kemasyarakatan, Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur Drs. H. Hizbul Wathon, MM. meminta agar KBJ V ini dikawal oleh semua pihak tidak hanya sampai pada keberhasilan pelaksanaannya, melainkan hingga tindak lanjutnya. Memang, keberhasilan kongres harus dinilai dari: tindak lanjutnya, bukan dari kemewahan, kemeriahan, keserbagemerlapan kongres itu sendiri, walaupun, dalam beberapa kali rapat panitia, justru kekhawatiran akan gagal menggelar perhelatan lima tahunan ini yang lebih dominan mencuat.

KBJ V yang mengusung tema ”Bahasa dan Sastra Jawa sebagai Sumber Kearifan bagi Pebentukan Watak dan Pekerti Bangsa” bisa jadi pertaruhan terakhir, untuk kembali menimbang apakah proyek tiga daerah (Pemprov Jateng, Pemprov Jatim, dan Pemprov DIY) ini memang layak diteruskan sebagai agenda rutin 5 tahunan, ataukah lebih baik dihentikan saja –seruan yang makin menguat menjelang KBJ IV, 2006 lalu. Di sinilah pentingnya dicatat ajakan Pak Hizbul itu. Jika dalam 3 – 4 tahun mendatang suasananya adhem-ayem saja seperti setelah KBJ yang sudah-sudah, tidak terbayangkan, kalimat atau mantra mana lagi yang akan dilontarkan untuk memulihkan harapan masyarakat, sehingga KBJ VI kelak bisa diselenggarakan di Yogyakarta (sesuai gilirannya) tanpa hujan olok-olok. Tampaknya janji yang dikemas dalam retorika paling apik pun tak akan laku lagi. Maka, tidak ada lagi pilihan, setelah KBJ V ini segenap pemangku kepentingan, pemerintah dan masyarakat, harus berani melakukan hal-hal yang lebih berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa dan sastra Jawa.

Tindak lanjut dimaksudkan di sini bukan hanya hal-hal yang sudah menjadi kegelisahan umum, misalnya menyangkut pengajaran: [1] ketersediaan guru (bahasa Jawa) yang berkualitas, [2] tersedianya ruang waktu/jam pelajaran yang cukup di sekolah. Sebagai catatan tambahan, [a] sering muncul keluhan mengenai kualitas guru bahasa Jawa di sekolah, karena dalam banyak kasus, mata pelajaran tersebut dibebankan kepada guru yang bukan fak-nya; [b] ketika pelajaran bahasa Jawa dimasukkan ke dalam kategori ”muatan lokal” ternyata juga sering diisi pelajaran teori/praktik komputer atau yang lain. [c] salah satu rekomendasi KBJ IV (?) bahwa pelajaran bahasa daerah (Jawa) akan diajarkan hingga tingkat SMU (dan sederajat) ternyata hanya ditindaklanjuti oleh Pemprov Jawa Tengah saja; [d] sering terjadi juga, menurut Sucipto Hadi Purnomo, jurnalis yang juga dosen Jurusan Bahasa Jawa Unnes, jam pelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah ”dirampok” oleh bidang studi lain yang gurunya diwajibkan mengajar setidaknya 24-26 jam pelajaran dalam seminggu setelah tersertifikasi.

Dan masih banyak lagi persoalan pengajaran bahasa Jawa, sehingga kira-kira kalau mau dibahas hingga tuntas, waktu efektif kongres yang 3 hari itu pun tidak akan cukup.

Tanpa kongres pun, seharusnya persoalan-persoalan berkaitan dengan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah bisa diselesaikan oleh instansi terkait, terutama Dinas Pendidikan, yang, apa lagi sekarang –dikaitkan lagi dengan ”Kebudayaan”. Saya justru lebih tertarik untuk menyerukan hal-hal yang tak punya ”payung” untuk sampai pada rekomendasi/keputusan dan pada akhirnya kebijakan yang diaplikasikan di luar hal-hal yang secara normatif lebih sering dibicarakan dalam forum-forum resmi.

Ketika suatu saat mendapatkan kesempatan sebagai pembicara di dalam Rapat Koordinasi menuju KBJ V, misalnya, saya beranikan diri untuk melontarkan pernyataan, ”Bagi saya, tidak begitu penting lagi apakah pelajaran bahasa Jawa diberi jam yang banyak atau tidak di sekolah-sekolah, sejauh setiap sekolah yang masih ada di lingkungan masyarakat Jawa masih memiliki fasilitas untuk bermain karawitan, bermain ketoprak, ludruk (kegiatan ekstra kurikuler), dan terutama didukung oleh perpustakaan yang dipenuhi juga dengan buku-buku karya sastra Jawa dan terbitan berkala berbahasa Jawa, itu sudah sangat cukup.

Kegiatan-kegiatan lomba penulisan, lomba nembang, termasuk lomba baca guritan seharusnya juga menjadi agenda rutin untuk para pelajar, mahasiswa, dan pengarang sastra Jawa dari tataran institusi (semisal: sekolah/kampus), lokal, regional, bahkan internasional dengan iming-iming hadiah yang pantas. Dengan demikian generasi muda akan kenal dan kemudian merasa perlu, bahkan penting untuk memiliki ketrampilan berkaitan dengan pemakaian bahasa Jawa.

Yang lebih penting lagi adalah ketersediaan media yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai laboratorium pembelajaran bahasa dan sastra Jawa bagi generasi muda. Memang ada rubrik ”Sinau Ngarang” di majalah Jaya Baya. Tetapi, itu pasti jauh dari memadai. Pasti bukanlah hal yang susah jika salah satu saja di antara tiga daerah (DIY, Jateng, Jatim) mau berkomitmen untuk memerhatikan persoalan pewarisan nilai-nilai budaya Jawa kepada generasi muda dengan memberikan dukungan sepenuhnya bagi penerbitan majalah berbahasa Jawa bagi kaum muda, terutama kalangan pelajar dan mahasiswa. Semoga ini bisa digiring menjadi janji bersama untuk membuktikan bahwa KBJ bukan hanya omong kosong.

Kalau ada perjanjian tertulis bahwa setiap sekolah, baik swasta maupun negri berlangganan 1 eksemplar saja majalah yang bisa diterbitkan sekali sebulan itu (dengan harga tidak sampai Rp 25 ribu/eksemplar) pastilah ada pihak swasta yang bisa digandeng untuk menerbitkannya. Persoalannya, kembali lagi, adalah: komitmen kita! (Bonari Nabonenar, Ketua Panitia Konggres Bahasa Jawa III, juga bagian dari Panitia KBJ V. Tulisan ini adalah pendapat pribadinya).

KETERANGAN FOto: Pasewakan adalah antologi guritan dan crita cekak yang diterbitkan Panitia Konggres Sastra Jawa III, juga menjadi cindera mata bagi peserta KBJ V.

--Tulisan ini dengan sedikit editing, termasuk pada judul, pernah dimuat Jawa Pos.



Saturday 24 December 2011

Menggagas Festival Pekerja Migran 2012

Setelah sukses dengan Festival Sastra Buruh 2007 (Blitar, Jawa Timur) FLP-HK sudah menggelar Festival Sastra Migran 2010 dan akan disusul acara serupa 2012 ini, di Hong Kong. Di Indonesia, masih sepi. Padahal, penerbitan buku-buku karya BMI/Mantan BMI semakin marak. Perhatian dari kalanhgan akademik pun semakin terlihat. Seorang dosen Unesa (Surabaya) yang kini sedang menyelesaikan program S-3-nya juga berniat menjadikan karya-karya BMI untuk bahan disertasinya. Acara internasional sebergengsi UWRF Ubud Writers and Readers Festival 2011 pun mulai memperhitungkan dan mengundang penulis dari kalangan BMI.

Namun demikian, semaraknya dapur produksi penulisan di kalangan BMI ini tetap saja terasa kurang diimbangi oleh kegiatan-kegiatan pendukungnya. Seolah-olah hanya didorong-dorong untuk berproduksi, setelah itu selesai. Buku terbit, masuk pasar, dan didiamkan. Sungguh eman jika acara yang sudah dimulai dengan baik dan susah-payah bernama Festival Sastra Buruh itu tidak dilanjutkan dengan baik.

Baiklah, setidaknya di HK sudah ada FLP yang meneruskan tradisi yang baik itu. Dan di Indonesia, jika tidak ada aral melintang, Mei 2012 nanti kita akan menggelar Festival Pekerja Migran. Bukan hanya untuk sastra, tetapi juga untuk merayakan segala produk baik yang benda maupun takbenda, yang dihasilkan oleh para BMI. Karena itulah, yang akan digelar bukan hanya sastra dan seputarnya, melainkan juga hal-hal lain, bahkan termasuk bakti sosial menanam pohon. Yang sudah diangankan adalah: bedah buku, pameran/bursa buku, pameran foto, pemutaran film, sarasehan sastra, sarasehan budaya, bakti sosial tanam pohon, telekonference, pentas sastra, pentas seni.

Buku yang akan dibedah, diusahakan adalah karya puncak para pekerja migran (BMI) yang mulai saat ini dihimpun. Caranya, para BMI penulis, diharapkan mengirimkan karya terbaiknya (yang belum dibukukan), baik yang baru, yang pernah dimuat di media cetak maupun elektronik, berupa puisi, cerpen, opini, features, memoar, ke pos-el: forumburuhmigran@gmail.com. Jangan lupa melengkapinya dengan biodata dan foto penulis. Ditunggu oleh panitia, selambat-lambatnya hingga 30 Maret 2012.

Partisipasi BMI di seluruh dunia akan sangat menentukan keberhasilan kegiatan ini. Selain mengirimkan karya, menyebarkan informasi ini melalui akun Facebook, milis, atau media lain, adalah bagian dari ujud partisipasi itu. Di Indonesia, sudah ada pihak yang bersedia memfasilitasi agar dapat digelar teleconference-nya. Jika ternyata tidak ada penyandang dana yang sanggup mencukupi kebutuhana acara ini, para penulis juga akan diminta bergotong-royong untuk membayar iuran penerbitan buku. Berdasarkan pengalaman menerbitkan buku Pasewakan setebal 500-an halaman (September 2011), sudah cukup jika masing-masing penulis, tanpa memandang apakah karyanya berupa puisi, cerpen, atau opini, menyumbangkan Rp 100.000 (seratus ribu rupiah).

Itu pun baru dapat diputuskan nanti. Yang terpenting sekarang, segeralah kirimkan karya Anda melalui alamat yang sudah disebutkan tadi. Dan sebarkan informasi ini ke rekan-rekan penulis dari kalangan BMI lainnya. Setuju?


BONARI NABONENAR

Friday 2 December 2011

MEMICU KREATIVITAS

Di dunia kesenian, orang memisahkan secara tegas antara kreasi (penciptaan) dengan inovasi (pembaruan) dan memberi derajat lebih tinggi pada hal yang pertama tadi: penciptaan. Tetapi, dalam pengertian sehari-hari, insan yang sering melakukan proses dan menghasilkan pembaruan-pembaruan dijuluki juga sebagai insan kreatif. Bicara soal kreativitas, Pemerintah kita, Republik Indonesia, tampaknya sedang memompakan semangat baru dengan menggeser urusan ekonomi kreatif ke Kementerian Pariwisata (dan Ekonomi Kreatif) serta mengembalikan urusan ”kebudayaan” ke Kementerian Pendidikan (dan Kebudayaan).

Sesungguhnya, bagaimanakah kreativitas itu bekerja pada satuan masyarakat yang lebih kecil (ambil contoh di sebuah desa) atau bahkan di tiap individu manusia? Pada tataran individu, kreativitas bekerja dengan cara yang unik, datang dengan cara yang sering tidak sama antara pada seseorang dengan orang lain. Ada yang pikiran dan perasaannya mencapai kesegaran optimal di waktu malam, di waktu pagi, dan ada pula orang yang mencapai puncak kondisi kreartif-nya pada waktu siang hari bolong. Ada orang yang bisa bekerja dengan baik ketika berada di antara banyak orang, bekerja secara gotong-royong, masuk dalam tim, melainkan ada orang yang baru bisa bekerja secara optimal jika dibiarkan sendirian. Dan seterusnya, dan seterusnya. Kreativitas, uniknya lagi, sering muncul jusru dalam/dari kesempitan. Karena itu, jika Anda sering mendengar kata-kata, ”Ambil kesempatan di dalam kesempitan,” kini gantilah kata-kata itu dengan, ”pacu kreativitas dalam kesempitan!”

Adalah Mariyatun, seorang pembuat kue pesanan di Desa Jono, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro. Sekitar sebulan lalu, ia mendengar kabar bahwa desanya akan didatangi dan diinapi ratusan orang dari berbagai penjuru Pulau Jawa. Para pendatang itu adalah para pengarang sastra Jawa, guru, dosen, Staf Ahli Kementerian Informasi dan Komunikasi, termasuk di antaranya: Arswendo Atmowiloto.

Mereka datang di desa Jono untuk mengikuti acara Konggres Sastra Jawa III. Sampai 3 hari sebelum Konggres, Mariyatun memeras otak. Merasa bahwa kesempatan begitu sungguh langka, maka Mariyatun terpacu untuk memanfaatkannya. Obsesinya hanya satu, berkaitan dengan dunia kuliner yang ditekuninya: bagaimana menciptakan sesuatu yang baru, yang belum ada di tempat lain, di waktu sebelumnya. Maka, lalu terciptalah ”kripik daun jati (muda)” yang walau agak sepet dan sedikit pahit, tetapi laris dijual sebagai oleh-oleh peserta Konggres.

Begitulah, kreativitas sering memang harus dipicu!

BONARI NABONENAR
--untuk editorial majalah peduli

Thursday 1 December 2011

JLEGUR

user identiti: bonari
password: *******

jlegur!
ambyur telenging talaga
rembulan klumut
lintang klumut
pedhut kasaput warna lumut
kaladuk sengsem mbacut kepencut

jlegur!
ambyur ing bening tirta
yen ditaker sengseming lumban asmara
mung saglugut pinara sasra
wis ben cupumanik astagina
ginawa sapa
cinidra sapa
sengsem lelumban ing talaga
dadi kecebong ya ora apa-apa
jleg!

Sawojajar, November 2011