Monday 26 December 2011

JAWA: PERLU BEBERAPA KONGRES*

Oleh: Bonari Nabonenar**

Ketika Kongres Bahasa Jawa (KBJ V) berlangsung seorang pemilik akun Facebook Edie S Triwida yang juga guru bahasa Jawa di sebuah SMP itu mengunggah ”status” di Grup Sastra Jawa Gagrag Anyar: ”Dhumateng ingkang ndherek KBJV nyuwun tulung titip pesen dipunusulaken supados Jawa Timur kersaa ngawontenaken Kongres Guru Basa Jawa saben 4 taun sepindhah gentosan saben kabupaten. Bab dana kedahipun saking APBD Provinsi lajeng kandhap wonten kabupaten ingkang angsal jatah minangka penyelenggara!” Maksudnya, ia titip usulan agar Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengagendakan Kongres Guru Bahasa Jawa (KGBJ) 4 tahun sekali dengan dana dari APBD Provinsi, dan tempat penyelenggaraannya digilir dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota berikutnya.


Itu usulan yang bagus. Tentu dengan catatan, jangan meniru KBJ yang menyedot dana hingga beberapa miliaran rupiah. Saya membayangkan, dengan modal keinginan untuk melakukan yang terbaik demi profesi guru dan perbaikan sistem serta membahas berbagai problematika pengajaran bahasa Jawa di sekolah, batas tertinggi Rp 1 milyar sudah dapat digunakan untuk menggelar KGBJ. Atau, bahkan, cara berhemat model Konggres Sastra Jawa (KSJ) mungkin bisa dicontoh.

Dalam sebuah obrolan santai di luar forum persidangan, pada hari kedua KBJ V (28/11) muncul pula gagasan untuk menggelar Kongres Budaya Jawa. Ini bukan gagasan baru. Berbarengan dengan acara penganugerahan Hadiah Rancage di Surabaya di awal tahun 2000-an digelar pula Pekan Budaya Jawa, yang dimaksudkan sebagai semacam kegiatan pengantar untuk menuju ”Kongres Budaya Jawa” –yang hingga kini belum pernah terlaksana (?). Wacana mengenai perlunya menggelar Kongres Budaya Jawa antara lain muncul setelah mengetahui sering di dalam Kongres Bahasa Jawa pembicaraan dan bahkan makalah-makalah dibuat untuk lebih mendedah persoalan-persoalan kebudayaan dengan memanfaatkan bahasa sebagai alat bantu analisis, hanya sebagai contoh-contoh. Di dalam KBJ V pun begitu. Mantan Dirjen Kebudayaan Edi Sedyawati dari Universitas Indonesia dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia yang didaulat Panitia untuk menjadi salah seorang pemakalah utama pun membuat makalah berjudul ”Aktualisasi Filsafat Jawa dalam Kehidupan Pascamodern.” Ia berbicara tentang filsafat, dan bukan tentang bahasa Jawa, walau di akhir makalahnya dikutip beberapa contoh ungkapan yang memenunjukkan pedoman perilaku orang Jawa: ”mikul dhuwur mendhem jero, wani ngalah luhur wekasane, alon-alon waton kelakon, jer basuki mawa beya.” Kita pasti sepakat, makalah-makalah jenis ini pastilah sangat tepat ditampilkan di dalam Kongres Budaya, dan bukan pada Kongres Bahasa Jawa.

Sebagian besar makalah KBJ V pun lebih terasa ditulis dengan penyudutpandangan yang keliru, misal, mendedah nilai-nilai: sopan santun, kebajikan, etos, yang terkandung di dalam naskah-naskah sastra) Jawa klasik. Makalah-makalah seperti itu pasti lebih terkesan dibuat untuk meyakinkan bahwa sekarang masih penting untuk menginternalisasi nilai-nilai budaya Jawa seperti yang diwariskan para leluhur dan mengaktualisasikannnya di dalam praktik kehidupan sehari-hari. Karena itu jangan heran jika kadang muncul pula celetukan, ”Bukanlah bahasanya yang terpenting, melainkan adalah bagaimana kita, orang Jawa, berperilaku layaknya orang Jawa.” Pikiran seperti tecermin pada pernyataan seperti itulah tampaknya yang kemudian memunculkan gejala ”krama-nisasi” dalam pemakaian bahasa Indonesia. Pasti lucu bukan, jika Kongres Bahasa Jawa justru melahirkan rekomendasi yang hakikatnya adalah justru membunuh Bahasa Jawa itu sendiri? Nah, lho!

Untunglah, di luar makalah yang ditampilkan/dibahas di dalam persidangan-persidangan, Panitia KBJ V memberi oleh-oleh bagi para peserta berupa buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang Disempurnakan terbitan Balai Bahasa Yogyakarta, dua keping CD (Program Alih Aksara Jawa dan Dasa Nama/Sinonim) yang diproduksi Dinas Kebudayaan Provinsi DIY, serta mendapatkan buku antologi cerpen dan puisi Jawa berjudul Pasewakan (Konggres Sastra Jawa III bersama Elma Tera) serta novel berbahasa Jawa karya Suparto Brata berjudul Donyane Wong Culika.

Memusatkan pembahasan hanya pada persoalan-persoalan bahasa Jawa dan tidak melebar ke persoalan kebudayaan, pastilah juga akan menjadi salah satu variabel untuk menekan biaya penyelenggaraan. Jumlah peserta bisa lebih dirampingkan, misalnya hanya 200 hingga 300 orang. Tempat penyelenggaraannya tidak di hotel bintang 5, dan makalah yang ditampilkan sebanyak-banyaknya 20 atau 25 saja.

Di era sekarang ini, bahasa Jawa memiliki beberapa persoalan, antara lain: [1] kesenjangan antara ragam tutur dan ragam tulisan, seperti tecermin pada kesulitan yang dihadapi banyak orang ketika harus membedakan, kapan menuliskan ”cara” dan kapan harus menuliskan ”coro”, kapan harus menuliskan ”wedi” dan kapan harus menuliskan ”wedhi.” [2] semakin tergerusnya perasaan bangga menggunakan bahasa Jawa di kalangan generasi muda Jawa, [3] ketidakpedulian lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta pada saat menggunakan bahasa Jawa ragam tulisan, misal untuk kepentingan pembuatan kain rentang, selebaran, poster, dan lain-lain.

Lalu, persoalan tantangan. Tantangan yang dihadapi bahasa Jawa sekarang adalah, apakah ia dapat meningkatkan ”derajatnya” dari ragam tutur/lisan ke dalam ragam tulis secara signifikan atau tidak. Fakta membuktikan, di antara 130-an juta orang Jawa yang ada di Indonesia terbit tiga buah majalah berbahasa Jawa: Jaya Baya (Surabaya), Panjebar Semangat (Surabaya), dan Djaka Lodang (Yogyakarta), masing-masing terbit sekali dalam seminggu dan jika dijumlahkan total oplah ketiga majalah itu pastika tidak mencapai 100.000 eksemplar. Secara kasar, itu berarti tidak mencapai 10 % orang Jawa yang melek bacaan berbahasa Jawa. Kegetiran itu pun tergambar saat terbit buku berbahasa Jawa. Buku novel, cerpen, atau kumpulan puisi Jawa terbaik pun, yang diterbitkan dan terjual 1.000 eksemplar pada bulan pertama, kecuali yang, kalau ada: ”dipaksakan”. Apakah itu dapat dipandang sebagai bukti kegagalan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah? Itulah antara lain pertanyaan yang mestinya dapat dijawab dalam Kongres Bahasa Jawa.

Tantangan berikutnya adalah, peningkatan ”derajat” bahasa Jawa dari sekadar sebagai bahasa ekspresi (sastra), termasuk untuk keperluan pembuatan syair tembang (Campursari, misalnya) menjadi bahasa pengetahuan. Masih belum terpenuhinya secara utuh keinginan Panitia KBJ V untuk membebaskan persidangan-persidangan, bahkan sejak acara Pembukaan hingga Penutupan dari penggunaan selain bahasa Jawa adalah bukti bahwa bahasa Jawa belum berdaya secara optimal di tengah-tengah masyarakatnya sendiri. Ironisnya, fakta membuktikan bahwa bahasa Jawa sesungguhnya jauh lebih ”analitis” daripada bahasa Indonesia. Misalnya, bahasa Jawa memiliki istilahnya masing-masing untuk: batang kelapa (glugu), daun kelapa (blarak), pucuk daun kelapa (janur), kelapa muda (degan), bunga kelapa (manggar) dan seterusnya. Orang sering masih bertanya, ”Lalu bagaimana halnya dengan istilah-istilah pengetahuan modern, termasuk istilah-istilah teknik yang tidak dimiliki bahasa Jawa? Bukankah setiap bahasa memiliki mekanisme penyerapan dari bahasa lain? Inilah pula persoalan-persoalan yang mestinya menjadi bidang garap Kongres Bahasa Jawa. Alih-alih menyelesaikan persoalan di dalam kamar-nya sendiri, Kongres Bahasa Jawa malah nggedhabyah, melebar ke urusan-urusan kebudayaan (Jawa).

Bertolak dari gambaran tadi, kiranya perlu sekalian saja diagendakan: [1] Kongres Kebudayaan Jawa, [2] Festival Budaya Jawa, [3] Konggres Sastra Jawa, [4] Festival Sastra Jawa, [5] Kongres Guru Bahasa Jawa, [Lomba Menulis Sastra dan Karya Ilmiah berbahasa Jawa]. Jika untuk tiap-tiap program itu diagendakan masing-masing dengan biaya Rp 1 milyar, diadakan 1 kali dalam 5 tahun, itu tidak akan menambah beban Pemerintah. Anggaran belanja tidak bertambah, tetapi akan semakin banyak pihak/kepentingan terakomodasi. Dan dengan demikian, kita punya tambahan alasan untuk berharap: bahasa, sastra, dan budaya Jawa akan memperoleh kejayaannya sebagai bagian dari kebhinekaan Indonesia.

*) Dipublikasikan pertama kali oleh harian Solopos


**) Bonari Nabonenar, bagian dari kepanitiaan KBJ V –tulisan ini adalah pendapat pribadinya.

0 urun rembug: